Namun bila tes diterapkan pada 10.000 orang, hasilnya mengagetkan: kemungkinan hasil
positif palsu adalah 7 sampai 70 orang, yang tentu saja dapat menimbulkan ketakutan
dan kepanikan buat yang bersangkutan. Berapa besarnya angka positif palsu sangat
tergantung dari siapa yang diperiksa. Jika diperiksa pada masyarakat umum (risiko
rendah) banyaknya hasil positif palsu akan lebih tinggi dibandingkan jika diperiksa pada
golongan risiko tinggi.
Misalnya, pada calon pendonor darah yang berasal dari masyarakat umum dimana
prevalensi masyarakat umum terinfeksi HIV adalah 0,01%. Maka bila kita memeriksa
10.000 orang calon donor darah di Indonesia, hasilnya sebagai berikut. Kita akan
mendapatkan 1 yang benar-benar positif (0,01% kali 10.000), sesuai dengan
prevalensi. Akan didapatkan pula yang positif palsu 0.07% x 10.000 = 7, artinya ada 7
orang yang positif tes-nya, tetapi sebetulnya negatif, tidak mengandung antibodi dan virus
HIV.
Jadi dari 10.000 darah yang diperiksa, 8 positif, namun yang benar-benar positif hanya
1. Atau, dengan perkataan lain nilai prediksi tes HIV memakai reagensia merk diatas
(dengan kualitas terbaik) hanya 1 / 8 kali 100%, hanya 12.5%. Jadi, setiap kali ada hasil
positif, kemungkinan bahwa benar-benar positif hanya 12.5%.
Angka prediksi ini akan berbeda jika pemeriksaan dilakukan pada pecandu narkotika,
misalnya. Prevalensi HIV di kalangan remaja pemakai narkotika ini sekitar 30%, dan
mungkin akan terus meningkat. Jadi bila diperiksa 10.000 pecandu, akan didapatkan
yang benar-benar positif sebesar 3000 kasus (30% kali 10.000) dan yang positif palsu 7
orang. Maka nilai prediksi hasil tes tersebut benar-benar positif adalah 3000 per 3007
kali 100%, yaitu 99.77%.
Untuk itu maka setiap uji penyaring HIV yang positif dinyatakan dengan istilah reaktif ,
bukan positif dan perlu dikonfirmasi dengan uji ulang. Untuk negara berkembang, WHO
mensyaratkan untuk menyatakan seseorang terinfeksi HIV maka harus ada 3 hasil positif
dari 3 pemeriksaan ELISA dengan kit yang berbeda (reagensia, prinsip pengerjaan, atau
antigennya berbeda).
Jika masih ragu mengambil kesimpulan maka harus dilakukan pemeriksaan dengan
metode lain. Untuk memastikan apakah benar-benar ada antibodi terhadap HIV maka
dapat dilakukan pemeriksaan Western Blot.
Atau dapat juga dilakukan tes untuk mendeteksi keberadaan virus dalam darah secara
langsung baik secara kualitatif (ada atau tidak virus dalam darah) atau kuantitatif (jumlah
virus dalam darah) yaitu dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Sayangnya
pemeriksaan ini cukup mahal dan baru dapat dilakukan di RS Ciptomangunkusumo .
Semoga uraian tadi dapat memperjelas pemahaman ibu mengenai tes HIV. Mengenai
hasil tes suami ibu, biasanya laboratorium baru akan mengeluarkan hasil positif bila telah
dilakukan konfirmasi dengan 3 macam tes penyaring atau konfirmasi dengan Western
Blot.
Untuk mengurangi risiko tertular maka setiap kali melakukan hubungan suami-istri ,
suami Ibu Sita harus memakai kondom. Saya anjurkan Ibu Sita juga melakukan tes HIV,
agar dapat diketahui dengan pasti apakah ibu tertular atau tidak. Hal ini penting untuk
penanganan selanjutnya termasuk pengobatannya. Pengobatan infeksi HIV sekarang
telah mencapai banyak kemajuan. Penggunaan kombinasi obat-obat antiretroviral (anti
virus HIV) saat ini telah memberi hasil yang menggembirakan, dimana pertumbuhan
virus bisa ditekan sehingga orang dengan HIV dapat hidup tanpa gejala untuk waktu yang
lama.