Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Kepala
2.1.1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue
atau jaringan penunjang longgar dan perikranium (Japardi, I., 2002).
2.1.3. Meningia
Meningia merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsi meningia yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan
cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3
lapisan, yaitu:
a.
b.
yang melibatkan bentuk ringan dari cedera otak yang menyebar. Terjadi disfungsi neurologis
sementara dan bersifat dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Jika ada penurunan
kesadaran mungkin pasien mengalami disorientasi dan binggung hanya dalam waktu singkat
(Hudak dan Gallo, 1996 : 227)
Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif
ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar, yang menyebabkan gangguan
fisik, fungsi kognitif, dan psikososial. Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran(Valadka,1996).Berdasarkan mekanismenya
cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul dan cedera otak tembus/tajam (penetrating head
injury) (Valadka, 1996).
Kontusio serebri yang dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada penilaian klinis dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan kepala dimana didapati adanya intracerebral
hemorrhage yang tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala kami bagi atas:cedera kepalasedang
(CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera kepala berat (CKB) dengan GCS 3-8.
Karakteristik
Pemeriksaan neurologi normal
Tidak ada kontusio
Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol
Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness
Dapat dijumpai abrasi scalp, laserasi atau hematoma
Tidak ada kriteria trauma sedang atau berat
Sedang
Berat
Dikutip dari : Mayer SA, Rowland LP . Head Injury . In : Rowland LP , editor. Merritts
Neurology. 10th ed.Philadelphia : Lippincott Williams & Wikkins; 2000. P401-6.
2.3 Epidemiologi
Insiden trauma kapitis di negara-negara berkembang adalah 200/100.000 populasi per
tahun. Dalam satu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa insiden trauma kapitis
sekitar 180-250/100.000 populasi per tahun di Amerika Serikat. Insiden lebih di Eropa dari
91/100.000 populasi per tahun di Spanyol hingga 546/100.000 di Swedia, di Southern Australia
322/100.000 dan di Afrika Selatan 316/100.000 (Bondanelli dkk, 2005).
Di Indonesia data epidemiologi secara nasional belum ada. Di ruang rawat neurologi
RSCM Jakarta, dari tahun ketahun terdapat peningkatan. Pada tahun 1994 jumlah penderita
dirawat 1002 orang. (Musridharta dkk, 2006).
Insiden tertinggi penderita trauma kapitis ditemukan pada kelompok umur 15-24 tahun
atau 75 tahun lebih, sedangkan pada anak insiden puncaknya pada usia kurang dari 5 tahun.
Angka insiden untuk pria dua kali lebih sering dibanding wanita dengan ratio tertinggi pada
remaja dan dewasa muda, dan range dari 1,2 : 1 sampai 4,4 : 1 dalam populasi yang berbeda
(Bondanelli dkk ,2005 ).
2.4 Patofisiologi
Patofisiologi menurut Markum (1999), trauma pada kepala menyebabkan tengkorak
beserta isinya bergetak, kerusan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar
getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia
aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal ini menyebabkan
pembuluh darah robek sehingga menyebabkan hematoma epidural, subdural, maupun
intrakranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun
sehingga suplai oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringa akan menyebabkan odema
serebral.
Akibat dari hematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak
terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan tekanan intrakranial
merangsang kelenjar dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya
timbul rasa mual dan muntah sehingga masukan nutrisi kurang ( Satyanegara, 1998).
Patofisiologi kerusakan diotak akibat trauma kapitis dapat dikelompokkan dengan dua
stadium yaitu cedera kepala primer dan sekunder (Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002;
Hemphill,2005).
Kerusakan iskhemik otak dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti hipotensi,
hipoksia, tekanan intrakranial /Intracranial Pressure (ICP) yang meninggi, edema, kompresi
jaringan fokal, kerusakan mikrovaskularpada fase lanjut (late phase), dimana terjadi vasospasme
(Vazquez-Barquero,1992; Ingebrigtsen, 1998). Keadaan setelah cedera kepala dapat dibagi
menjadi:
1. Fase awal (fase 1, segera, dengan hipoperfusi),
2. Fase intermediate (fase 2, hari 1-3, tampak hyperemia) dan
3. Fase lanjut vasospastic (fase 3, hari ke-4-15), dengan reduksi aliran darah (Ingebrigtsen, et al.
1998).
Perbedaan fase ini berhubungan jelas dengan variasi regional Cerebral Blood Flow
(CBF), dan reduksi aliran darah ke sekitar inti iskhemik (ischemic core) yang tidak memberi
respon terhadap bertambahnya Cerebral Perfusion Pressure (CPP) (Andersson, 2003).
Pelekukan keluar ini akan menimbulkan kekuatan robekan pada permukaan luar
tengkorak sehingga di sini bermula suatu fraktur linier yang menjalar dalam dua arah yang
berlawanan, yaitu satu patahan berjalan menuju impak dan yang lainnya menjauhi impak. Jika
pelekukan ke dalam daerah impak cukup hebat, maka pada daerah impak akan terjadi fraktur
depresi. Pada keadaan ini ada tidaknya pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak
bergantung pada kecepatan penyerapan energi di titik impak (kecepatan impak). Semakin cepat
pukulan, maka semakin kurang pelekukan ke luar pada daerah yang berjauhan dari impak dan
bertambah terlokalisasi di daerah depresi yang terjadi. Dengan demikian, pada keadaan ini kita
dapat menjumpai adanya 3 kemungkinan pola fraktur, yaitu fraktur linier saja yang berjalan dari
perifer menuju impak, fraktur depresi saja di daerah impak atau fraktur depresi dan satu atau
lebih fraktur linier yang berjalan dari perifer menuju ke daerah depresi (Soemarmo Markam,
1999).
2.6 Pemeriksaan Klinis pada Cedera Kepala
2.6.1 Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, bila terjadinya kecelakaan yang dialami oleh
pasien. Selain itu perlu ditanyakan pula tentang kesadarannya, luka-luka yang diderita, muntah
apa tidak, adanya kejang. Bila pasien sadar, tanyakan apa yang terjadi, apa keluhan yang
dirasakannya. Kalau pasien tidak ingat apa yang terjadi, tanyakan apa yang terakhir diingatnya
sebelum kecelakaan.
2.6.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital: kesadaran, nadi, tensi darah, frekuensi
dan jenis pernapasan serta suhu badan. Tingkat kesadaran dicatat yaitu kompos mentis,apatis,
somnolen, spoor, soporokoma atau koma. Selain itu ditentukan dengan menilai Skala Koma
Glasgow
Score
Spontaneous
To speech
To pain
None
Obey command
Localize pain
None ( flaccid )
Oriented
Confused conversation
Inappropriate word
Incomprehensible sounds
None
Skala 5
Skala 4
Skala 3
: Keterbatasan berat. Pasien perlu bantuan untuk aktivitas harian dan tidak dapat
hidup mandiri.
Skala 2
: Status vegetatif persisten. Tidak adanya fungsi wicara dan fungsi mental pada
pasien yang tampak bangun dengan respon buka mata spontan.
Skala 1
: Mati
Skala 5 dan 4 dinilai baik. Skala 3, 2, dan 1 dinilai buruk. (WB Saunders Co, 1996)
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti
biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan pemeriksaan
obyektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan meningens, yang
berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas
tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada fraktur atau dislokasi servikalis.
Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik (nervus
kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu : nervus I (nervus olfaktoris),
nervus II (nervus optikus), nervus III (nervus okulomotoris), nervus IV (troklearis), nervus V
(trigeminus), nervus VI (Abdusens), nervus VII (fasialis), nervus VIII (oktavus), nervus IX
(glosofaringeus) dan nervus X (vagus), nervus XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus
spinalis (pada otot lidah) dan nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf
sensorik dan saraf motorik (Markam,S dkk., 1999).
2.7 Pemeriksaan Laboratorium
2.7.1 Glukosa
Bukti yang paling kuat dari nilai prognostic dari parameter laboratorium terdapat pada
glukosa, dengan kadar yang tinggi dikaitkan dengan outcome yang jelek. Peranan kadar glukosa
darah pada patofisiologi kerusakan neuronal setelah trauma kapitis belum jelas (Kinoshita dkk,
2002).
Mekanisme yang mendasari perburukan kerusakan adalah multifactorial. Peningkatan
pembentukan laktat dan H+ mengakibatkan penurunan pH intraseluler dan ekstraseluler sebagai
konsekuensi dari iskemia. Kadar laktat yang meningkat juga akan mempengaruhi glial dan
endotel kapiler, menyebabkan gangguan vaskular (Kinoshita dkk, 2002). Hiperglikemia
dikaitkan dengan laktat serebral yang meningkat dan mengakibatkan asidosis pada jaringan otak
lokal. Asidosis jaringan otak memperburuk fungsi mitokondria pada penumbra, jaringan otak
yang mengalami iskemi sedang yang terletak di sekitar pusat trauma, dan meningkatkan ukuran
infark serebral (Paolino dan Garner, 2005).
Rosner dkk telah berspekulasi bahwa hiperglikemi dan peningkatan katekolamin darah
dikaitkan secara sebab-akibat. Katekolamin dan glucagon menstimulasi pecahnya glikogen yang
tersimpan di hati menjadi glukosa. Bessey dkk telah menunjukkan pada manusia normal terdapat
tiga hormon infus (glukagon, katekolamin dan kortisol) yang menyebabkan hiperglikemi seperti
yang terlihat pada stress sedang atau berat. Katekolamin meningkatkan sekresi glukagon dan
menginhibisi sekresi insulin setelah trauma dan stress ( cit.Young dkk 1989).
Proses inflamasi dipercaya berperan dalam pathogenesis trauma kepala melalui
mekanisme sekunder (Kinoshita dkk, 2002). Charian dkk dengan yakin menunjukkan pada
hewan percobaan bahwa dampak trauma pada kortikal diikuti oleh iskemik dengan adanya
hiperglikemi yang secara signifikan meningkatkan volume otak iskemik, volume kontusio dan
mortalitas dan penurunan hasil fungsional pada penderita (cit Atkinson,2000).
2.7.2 Hematokrit
Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila
tekanan darah rata-rata 50-160mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser ke kanan pada
pasien hipertensif dan sebaliknya). Dibawah 50mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas
160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial.
Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear
terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau
hipertensi.
Peninggian tekanan intrakranial (TIK) mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial,
regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan
50ml/100gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial,
tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolic serta distorsi atau kompresi pembuluh
darah oleh massa atau herniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK
adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang telah terjadi oleh
sebab apapun akan meningkatkan TIK yang berakibat gangguan ADO yang memperberatkan
edema ( Chesnut, RM, 1996)
Pada saat autoregulasi cairan darah otak intak, viskositas hanya berpengaruh sedikit
terhadap Aliran Darah Otak (ADO), yang secara primer dipengaruhi oleh diameter pembuluh
darah. Pada saat autoregulasi hilang ( saat cedera kepala), pembuluh darah dilatasi maksimal, dan
viskositas menjadi faktor yang sangat menentukan terhadap ADO. Fungsi autoregulasi cairan
darah otak disesuaikan oleh radius pembuluh darah untuk mengkompensasi perubahan tekanan
dan viskositas darah, pada situasi dimana fungsi autoregulasi hilang dan radius pembuluh darah
maksimal, viskositas menjadi sangat penting dalam menentukan cairan darah otak, sehingga
hematokrit menjadi sangat menentukan viskositas darah. (Deutsch H,Ulman JS.2005)
Banyak studi hewan membuktikan peningkatan Aliran Darah Otak dan penurunan
iskemik sebagai hasil dari hemodilusi dan pengurangan hematokrit. Hematokrit adalah
perbandingan sel darah merah terhadap volume darah. Nilai normal beragam tetapi secara umum
untuk lelaki adalah diantara 40,7% hingga 50,3% manakala untuk wanita adalah 36,1% hingga
44,3%. ( Carlson AP,Schemer CR, Lu SW.Retrospective evaluation of anemia and transfusion in
traumatic brain injury. J trauma, 2006 September; 61(3):571).
Hematokrit meninggi pada keadaan :
Dehidrasi
Eritrositosis
Polisitemia vera
Anemia
Leukemia
Multiple myeloma
Rheumatoid arthiritis
Malnutrisi
2. Vegetative state : tanda dari vegetative state adalah ketiadaan fungsi kognitif yang
ditunjukkan oleh hilangnya komunikasi total; yang menyatakan bahwa korteks serebri
tidak berfungsi lagi. Tidak seperti pada pasien koma, pasien pada vegetative state
memiliki respon buka mata, gerakan bola mata, dan siklus tidur/bangun. Meskipun pasien
pada vegetative state dapat menunjukkan berbagai aksi motorik yang refleksif, kebiasaan
ini tidak dapat menunjukkan kesadaran. Meskipun pasien bangun tetapi mereka tidak
waspada
3. Disabilitas berat : sadar tetapi pasien yang membutuhkan pertolongan termasuk dalam
kategori ini. Meskipun tingkat ketergantungan bervariasi, yang termasuk dalam kategori
ini adalah pasien yang tergantung pada seorang caregiver pada seluruh aktifitas
sepanjang hari. Pada beberapa pasien, fungsi kognitif dan fisik masih relatif utuh, tetapi
pasien sangat disinhibisi atau apatis sehingga mereka tidak meninggalkan perlengkapan
peribadi mereka. Pasien yang tidak dapat ditinggal sendiri dan merawat diri mereka
sendiri selama interval 24 jam termasuk dalam kategori ini.
4. Disabilitas sedang : pasien yang tidak membutuhkan pertolongan tetapi tidak mampu
termasuk dalam kategori ini. Meskipun mereka dapat tinggal sendiri, tetapi pasien ini
memiliki tingkat kecacatan fisik dan kognitif yang membatasi mereka dibandingkan
tingkat kehidupan sebelum trauma. Banyak pasien pada kategori ini kembali bekerja,
meskipun dalam pekerjaan mereka diberikan kelonggaran khusus dan asisten untuk
mereka, dan mereka tidak dapat memikul pekerjaan sebesar tanggung jawab mereka
sebelum sakit.
5. Perbaikan baik : pasien tidak bergantung dimana mereka dapat kembali ke pekerjaan atau
aktifitas mereka sebelum sakit tanpa adanya keterbatasan mayor masuk dalam kategori
ini. Pasien ini dapat memiliki defisit neurologi atau kognitif yang menetap sampai tingkat
ringan, tetapi defisit ini tidak mengganggu keseluruhan fungsi mereka. Pasien ini
kompeten bersosialisasi dan mampu membawa diri mereka secara adekuat dan tanpa
perubahan kepribadian yang berarti.