Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit TB Paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberkolosis, yang menyerang dari balita
hingga usia lanjut. Penyakit Tuberkulosis Basil Tahan Asam Positif atau
juga bisa disebut dengan TB Paru, sampai kini belum berhasil
diberantas dan telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia (Depkes
RI, 2002).
Pada

tahun

mencanangkan

1993,

kedaruratan

WHO
global

(World

Health

penyakit

TB

Organization)
paru,

karena

disebagian besar negara didunia, penyakit TB Paru tidak terkendali. Hal


ini disebabkan banyaknya penderita TB Paru yang tidak berhasil
disembuhkan (WHO, 2004).
WHO melaporkan adanya 3 juta orang mati akibat TB Paru tiap
tahun dan diperkirakan 5000 orang tiap harinya. Tiap tahun ada 9 juta
penderita TB Paru baru dari 25% kasus kematian dan kesakitan di
masyarakat diderita oleh orang-orang pada usia produktif yaitu dari 15
sampai 54 tahun. Di negara-negara berkembang miskin kematian TB
Paru merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat
dicegah. Daerah Asia tenggara menanggung bagian yang terberat dari
beban TB Paru global yakni sekitar 38% dari kasus TB Paru di dunia
(WHO, 2004).
Indonesia merupakan negara terbesar nomer tiga didunia setelah
India dan Cina yang diperkirakan setiap tahunnya terjadi 583.000
kasus baru TB Paru, dengan kematian TB Paru sekitar 140.000 kasus.

Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat


130 pasien TB Paru dan harapan 705 diantaranya bisa diobati sampai
sembuh (Depkes, 2002).
Angka penjaringan
menunjukkan

capaian

suspek
417

per

sampai

provinsi
dengan

pada
2.277

tahun
per

2011

100.000

penduduk, tertinggi Sulawesi Utara dan terendah Daerah Istimewa


Yogyakarta.

Provinsi

yang

mempunyai

kontribusi

peningkatan

penjaringan suspek yang signifikan di tahun 2011 adalah Sulawesi


Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku,
Sulawesi

Tenggara,

dan

Sulawesi

Utara,

dan

Kalimantan

Barat

(Kemenkes RI, 2011)


Berdasarkan Hasil rekapitulasi profil kesehatan kabupaten/kota
tahun 2007 tercatat TB Paru dengan BTA Positif (+) sebanyak 4.306
kasus dengan

angka kesakitan 1.03 per seribu penduduk. Angka

kesembuhan penderita TB Paru dengan BTA positif di Kalimantan Barat


adalah sebesar 81,55, dengan rincian dari 4.245 penderita yang
diobati, sebanyak 3.462 penderita dinyatakan 23 sembuh. Jika melihat
hasil yang dicapai, maka angka kesembuhan penderita TB Paru BTA +
di Kalimantan Barat sudah mendekati dari target Indikator Indonesia
Sehat 2010 yang ditargetkan sebesar 85% (Kemenkes RI, 2011)
Untuk menanggulangi masalah TB Paru di Indonesia, strategi
DOTS

(Directly

Observerd

treatment

Shountrcourse)

yang

direkomendasikan oleh WHO merupakan pendekatan yang paling tepat


saat ini dan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh. DOTS yaitu
pengawas kesehatan RI (1993) penderita TB Paru diusahakan untuk
menyelesaikan menelan OAT sesuai jadwal pengobatan (Depkes RI,

1993). Tetapi program penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS


belum menjangkau seluruh Puskesmas, Rumah Sakit Negeri maupun
swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.
Adapun tujuan pengendalian pengobatan adalah untuk menjamin
ketekunan, keteraturan pengobatan sesuai jadwal pengobatan untuk
menghindarkan penderita lalai berobat dan putus berobat sebelum
waktunya dan mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan
kekebalan terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Untuk menjamin
kepatuhan penderita menelan obat, makan makanan berprotein tinggi,
pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS =
Directly Observed Treatment Short Course) dan pengawasan konsumsi
zat-zat makanan khususnya konsumsi protein oleh seorang Pengawas
Menelan Obat (PMO) (Depkes RI, 2001).
DOTS berarti pengobatan penderita dengan paduan obat jangka
pendek disertai pengawasan menelan obat setiap hari. Di dalam DOTS
arti pengawasan penuh adalah penderita minum obat dihadapan PMO
yang dapat berasal dari kesehatan, keluarga penderita yang dapat
dipercaya, kader kesehatan (Perkumpulan Pemberantasan Tubercolusis
Indonesia) atau tokoh masyarakat / agama yang disegani penderita
(Depkes RI, 2001)
Salah satu keberhasilan dalam pengobatan penderita TB paru
terletak pada Pengawas Menelan Obat (PMO), PMO dapat diambil dari
orang yang tinggal satu rumah dengan penderita atau tinggal dalam
Dasa Wisma. Selain itu juga dapat diawasi oleh anggota keluarga,
kader dasa wisma, kader PPTI, PKK, guru, teman tokoh masyarakat dan
petugas sosial kecamatan (Kanwil Depkes Propinsi Jateng, 2000).

Selain itu kesembuhan penderita TB paru dapat ditentukan oleh


perilaku dari penderita sendiri, banyak hal yang mempengaruhi
perilaku seseorang antara lain : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan
dan pekerjaan seseorang. Selain itu umur seseorang akan mengalami
kemunduran

dalam

sistem

pertahanan

tubuh,

sehingga

mudah

terserang berbagai penyakit. Tingkat pendidikan akan memberikan


pengalaman

seseorang

terhadap

sesuatu

hal

bagaimana

cara

mengatasi masalah yang dihadapi, sehingga dapat memilih jalan yang


terbaik guna mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi. Pada
umumnya, penderita yang terserang TB paru adalah golongan
masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan primer sehari-hari lebih
penting dari pada pemeliharaan kesehatan. Hal ini dikarenakan
kemiskinan

dan

menyebabkan

jauhnya

penderita

jangkauan
tidak

pelayanan

mampu

kesehatan

membiayai

dapat

transportasi

kepelayanan kesehatan dan ini menjadi kendala dalam melakukan


pengobatan, sehingga dapat mempengaruhi keteraturan berobat.
Adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai

dan

ketersediaan obat serta jumlah tenaga yang cukup belum cukup


menjamin keberhasilan dalam pengobatan, keteraturan dan ketaatan
penderita untuk berobat sampai dengan waktu pengobatan yang telah
ditentukan
pengobatan.

merupakan
Lamanya

faktor

pendorong

pengobatan

TB

dalam

paru

akan

keberhasilan
mengurangi

kepatuhan penderita dalam melakukan pengobatan sesuai demgan


jadwal yang telah ditentukan (Nadesul, Hendrawan. 1996).
Data yang diperoleh dari Dinkes kabupaten Sintang, yang telah
menjalankan pengobatan TB paru di wilayah Puskesmas Dara Juanti

kota Sintang yang meliputi Kel. Kapuas Kiri Hulu, Kel. Kapuas Kiri Hilir,
Tanjung Kelansam, Teluk Kelansam Dan Batu Lalau dengan jumlah 55
penderita pada bulan januari 2013.
Berdasarkan jumlah penderita

di

atas

yang

menjalankan

pengobatan kita akan melihat jumlah penderita yang berhasil sembuh


pada tanggal 15 Juni 15 Juli 2013. Dilihat dari beberapa faktor yang
berhubungan dengan keberhasilan pengobatan TB Paru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat diambil rumusan
masalah sebagai berikut : Faktor apa sajakah yang berhubungan
dengan keberhasilan pengobatan TB Paru BTA Positif yang berobat di
wilayah kerja Puskesmas Dara Juanti kota Sintang?.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui
karakteristik

beberapa

(umur,

fakto

peendidikan,

yang

berhubungan

pekerjaan)

faktor

faktor
obat

( pemakaian OAT sebelumnya, peran PMO, dan keteraturan ) dengan


keberhasilan pengobatan pada penderita TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas Dara Juanti kota Sintang.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan umur penderita TB paru
b. Mendeskripsikan pendidikan penderita TB paru

c. Mendeskripsikan pekerjaan penderita TB paru

d. Mendeskripsikan pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan.

e. Mendeskripsikan peran PMO penderita TB paru

f.

Mendeskripsikan keteraturan minum obat

g. Mendeskripsikan keberhasilan pengobatan penderita TB paru.

h. Menganalisis

hubungan

antara

umur

dengan

keberhasilan

pengobatan TB paru
i.

Menganalisis hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan


pengobatan TB paru.

j.

Menganalisis hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan


pengobatan TB paru

k. Menganalisis

hubungan antara pemakaian OAT sebelumnya

dengan keberhasilan pengobatan TB paru


l.

Menganalisis hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan


pengobatan TB paru

m. Menganalisis hubungan antara keteraturan minum obat dengan

keberhasilan pengobatan TB paru

D. Manfaat Penelitian

Bagi Dinas kesehatan memberi masukan pengelola program


pembrantasan penyakit TB Paru tentang keberhasilan pengobatan TB
Paru sehingga dapat dimanfaatkan dalam kebijakan kesehatan.

E. Bidang Ilmu
Peneltian ini merupakan bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat,
khususnya pemberantasan penyakit menular (P2M) dalam hal ini
adalah penyakit TB Paru.
II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru
1. Gambaran Umum TB Paru
a. Definisi
Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis sebagian
besar menyerang Paru dan dapat mengenai organ tubuh lainnya.
Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus yaitu tahan
terhadap asam pada pewarnaan disebut pula sebagai Basil Tahan
Asam (BTA). Kuman TB Paru cepat mati apabila terkena sinar

matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup dalam beberapa


jam ditempat yang gelap dan lembab (Depkes RI, 2002)
b. Gejala dan tanda TB Paru
Departemen kesehatan menyebutkan gejala dan tanda
penyakit TB Paru BTA Positif adalah :
1) gejala umum : nyeri dada, batuk lebih dari tiga minggu atau
lebih.
2) gejala lain : nyeri dada batuk dahak atau dahak bercampur
darah, keringat malam, demam lebih dari sebulan, sesak
nafas, nafsu makan menurun dan berat badan menurun
(Depkes RI, 1993).
c. Cara Penularan
Sumber penularan penyakit TB Paru dikarenakan oleh
kuman yang berterbangan di udara dan ada juga yang jatuh
pada lantai sehingga dapat terhirup oleh setiap orang, pada
paru-paru kuman atau basil TB Paru akan bersarang dan basil
berkembang biak juga menggerogoti Paru-paru.
Tidak semua orang yang dimasuki basil TB Paru pasti sakit
TB paru karena badannya kuat dan daya tahan tubuhnya kuat
orang mungkin terhindar dari sakit TB Paru. Daya tahan tubuh
yang kuat jika gizi makanan yang cukup, bergerak badan dan

istirahat yang cukup. Atau jika sejak bayi semua anak harus
diberi Imunisasi BCG yang berfungsi untuk mencegah tertular TB
Paru (Hendrawan. 1996).
d. Komplikasi
Komplikasi sering terjadi pada penderita berstadium lanjut
(Nadesul, Hendrawan. 1996), antara lain :
1) Hemoptisis berat (pendarahan dari saluran nafas bawah) yang
dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau
tersambungnya jalan nafas.
2) Kolaps dari lobus akibat kontraksi bronkiat.
3) Bronkiestasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis
(pembentukan) jaringan ikat pada proses pemulihan atau
reaktiti pada paru.
4) Penyebaran infeksi organ lain seperti otak, tulang, persendian,
ginjal dan sebagainya.
5) Insufisiensi kardio pulmoner (Cardio pulmonery insuffiency)
(Depkes RI, 2002)
e. Diagnosis
Bahwa seseorang ditetapkan sebagai penderita TB Paru
apabila melakukan serangkaian pemeriksaan sebagai berikut :

1) Pemeriksaan mikroskopis dahak merupakan cara yang paling


dapat diandalkan (paling murah) dan harus diupayakan tiga
buah spesimen untuk pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan 3x
dengan sesaat, pagi, sesaat (SPS) paling baik dipastikan
dengan hasil positif berikutnya (Depkes RI, 2002).
2) Pemeriksaan semua pasien dengan kronis khususnya batuk
perokok atau batuk lebih dari 4 minggu, mereka yang turun
berat badannya, nyeri dada dan lainnya yang mengakibatkan
TB Paru.
3) Foto rontgen, pemeriksaan rontgen diperlukan bila pasien
yang memiliki masalah-masalah yang sulit terutama para
tersangka TB Paru yang positif HIV. Hal ini tidak dilakukan
untuk

kasus

secara

massal

di

negara-negara

dengan

prevalensi tinggi.
4) Tes tuberkulin, tes ini kurang dapat diandalkan dalam
menegakan diagnosis di negara miskin karena gizi buruk, dan
penyakit lain. Seperti infeksi HIV atau TB Paru yang sangat
parah dapat menghasilkan tes yang lemah meskipun pasien
dewasa atau anak berpenyakit TB Paru aktif. Tes pada anak
dapat berubah karena BCG (Harun, Sutiana, 2002).
f. Klarifikasi Penyakit

Pada penyakit TB Paru dapat diklasifikasikan yaitu TB Paru


dan TB ekstra paru. TB Paru merupakan batuk yang paling sering
dijumpai dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang
jaringan paru-paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB
Paru yang mudah tertular. TB ekstra Paru merupakan bentuk
penyakit TB Paru yang menyerang organ tubuh lain, selain paruparu seperti pleura, kelenjar limfe, persendian tulang belakang,
saluran kencing, susunan saraf pusat (Nursalam, 1997).
2. Program Pemberantasan TB Paru
a. Tujuan Program
1) Tujuan jangka panjang : memutuskan rantai penularan
sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah
kesehatan masyarakat di Indonesia.
2) Tujuan Pendek :
a) Tercapainya kesembuhan minimal 85% penderita baru
BTA positif yang ditemukan,
b) Tercapainya

cakupan

penemuan

penderita

secara

bertahap hingga mencapai 70% dari semua penderita TB


paru,
c) Tercapainya resistensi obat tuberkulosis di masyarakat,

d) Menanggulangi

penderita

akibat

penyakit

TB

paru

(Nursalam, 1997)
b. Kebijakan Operasional
1) Penanggulangan TB paru di Indonesia dilaksanakan dengan
desentralisasi

sesuai

dengan

keijakan

Departemen

dilaksanakan oleh

seluruh unit

Kesehatan.
2) Penggulangan TB paru

pelayanan kesehatan, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit,


Pemerintah dan swasta, BP4 serta praktik dokter swasta,
politeknik umum, politeknik perusahaan dengan melibatkan
peran serta masyarakat secara paripurna dan terpadu.
3) Peningkatan mutu pelayanan, penanggulangan obat rasional
dan kombinasi obat sesuai dengan strategi DOTS.
4) Target program adalah konversi pada akhir pengobatan tahap
intensif minimal 80%, angka kesembuhan sediaan dahak
yang benar (angka kesalahan 5%).
5) Pemeriksaan uji silang (cross check) secara rutin oleh Balai
Laboratorium Kesehatan (BLK) atau laboratorium rujukan
yang ditunjuk untuk mendapatkan pemeriksaan dahak yang
bermutu .

6) Penanggulangan TB paru nasional diberikan Obat Anti


Tuberkulosis (OAT) pada penderita secara Cuma-Cuma dan
jaminan ketersediaannya.
7) Pengembangan sistem pemantauan, supervisi dan evaluasi
program

untuk

mempertahankan

kualitas

pelaksanaan

program.
8) Menggalang kerja sama dan kemitraan dengan program
terkait, sektor pemerintah dan swasta (Depkes RI, 1997)
c. Strategi
Strategi DOTS sesuai rekomendasi WHO (WHO, 2004), yaitu :
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk
dukungan dana.
2) Diagnosis

TB

paru

dengan

pemeriksaan

dahak

secara

mikroskopik
3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
5) Pencatatan dan palaporan secara baku untuk memudahakan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB paru.

3. Pengobatan Penyakit TB Paru


a. Tatalaksanaan Pengobatan TB Paru
Pengobatan diberikan dalam dua tahap (Dekes RI, 1997), yaitu :
1) Tahap Intensif (awal dimana pasien mendapat obat setiap hari
dan diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau
resistensi terhadap semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis),
terutama Rifampisin. Bila tahap ini diberikan secara tepat
pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu dua
minggu. Sebagian besar TBC Paru BTA Positif (+) menjadi BTA
Negatif (-) pada akhir pengobatan ini.
2) Tahap lanjutan, pasien mendapat obat dalam jangka waktu
yang

lebih

lama

dan

jenis

obat

lebih

pasien

TB

sedikit

untuk

kekambuhan.
Tujuan

dari

penyembuhan

pengobatan

pasien,

mencegah

paru

kematian,

adalah

mencegah

kekambuhan dan menurunkan resiko penularan(Depkes RI,


2001). Menyembuhkan pasien dengan gangguan semininal
mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien,
meencegah kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang
terkait, mencegah kekambuhannya penyakit, mencegah kuman
menjadi resisten dan melindungi kelurga dan masyarakat
penderita terhadap infeksi (Jhon Crofson, 2001). Jenis obat yang

digunakan dalam pemberantasan TB paru antara lain (Jhon


Crofson, 2001) :
1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat
membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa

hari

pertama pengobatan.
2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman
semi dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.
3) Piranizamid, (Z), bersifat bakterisid dapat membunuh kuman
yang berada dalam sel suasana asam.
4) Streptomycine (S), bersifat bakterisid.
5) Etambutol (E), bersifat bakteriotatik.

b. Program Obat Anti Tuberkulosis (Depkes RI, 1997)


Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO
(World Health Organization) dan IUAT-LD (International Union
Againts Tuberculosis and Lung Disease) dengan jangka 6 (enam)
bulan yaitu :

1) Kategori I (2HRZA / 4H3R3)


Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),
Pirazanamid (Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari
selama 2 (dua) bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan tahap
lanjutan yang terdiri Isoniasid dan Rifampisin diberikan 3
(tiga) kali seminggu selama 4 (empat) bulan (4H3R3) (Depkes
RI, 1997). Panduan OAT kategori I diberikan untuk :
a) Pasien baru TB Paru BTA Positif (+)
b) Pasien baru TBC Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang
sakit berat.
c) Penyakit paru ekstra berat
2) Kategori II (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE
dan suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1
bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan
tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3
kali dalam seminggu(Depkes RI, 1997).
3) Kategori III (2HR2/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari HR2 yang diberikan setiap hari
selama 2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri

HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (Depkes RI,


1997).

OAT kategori ini diberikan untuk :


a) Pasien batuk TBC Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif
(+) sakit ringan.
b) Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis
kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis eksudtiva unilateral,
Tuberkuilosis kulit, Tuberkulosis tulang (kecuali tulang
belakang, Tuberkulosis sendi dan kelenjar adrenal)
c. Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan diklasifikasikan antara lain :
1) Sembuh
Penderita

dinyatakan

sembuh

bila

penderita

telah

menyelesaikan pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan


ulang dahak (follow - up) paling sedikit 2 (dua) berturut-turut
hasilnya negatif (yaitu pada AP sebulan sebelum AP dan pada
satu pemeriksaan Follow up sebelumnya (Harun, Sutiana,
2002).
2) Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara


lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali
berturut-turut negatif. Tindak lanjut : Penderita diberi tahu
apabila muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan
menikuti prosedur tetap (Harun, Sutiana, 2002).
3) Pindah
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di
suatu Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
Kabupaten ini dan penderita harus membawa surat pindah /
rujukan (TB 09) (Depkes RI, 1997).

4) Drop Out (DO)


Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA Positif (Depkes RI, 2001)
5) Gagal
Penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum
akhir pengobatan atau lebih dan penderita dengan hasil BTA

Negatif Rontgen positif menjadi BTA Positif pada akhir bulan


ke-2 pengobatan (Depkes RI, 1997).
6) Meninggal
Penderita TB paru yang diketahui meninggal karena sebab
apapun.
4. Pengendalian

Penderita

dan

Penentuan

Keberhasilan

Pengobatan
Pengendalian pengobatan penderita dilaksanakan pada saat
kunjungan penderita ke uni pelayanan kesehatan atau dengan
kunjungan ke rumah penderita yang dilakukan oleh petugas
kesehatan

maupun

Penentu status

petugas

penderita

pengawas

menelan

obat

(PMO).

atau keberhasilan dan keketebalan

ditentukan pada akhir masa pengobatan (Depkes RI, 1993).


Keberhasilan pengobatan Tuberkulosis dinilai berdasarkan : uji
bakteriologi, radiologi dan klinik. Uji bakteriologi pada akhir
pengobatan TB Paru BTA Positif menjadi negatif dan hasil rontgen
ulang menjadi baik atau tidak ada masalah dengan paru-parunya
Depkes RI, 1993).

5. Faktor

yang

Berhubungan

dengan

Keberhasilan

Pengoabatan TB Paru
a. Perilaku
Meskipun

perilaku

adalah

bentuk

respon

atau

reaksi

terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang),


namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada
karakteristik

atau

faktor-faktor

lain

dari

orang

yang

bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama


bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda.
Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang
berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini
dapat di bedakan menjadi 2, yaitu (Soekidjo, 2003) :
1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang
yang

bersangkutan,

yang

bersifat

given

atau

bawaan,

misalnya : umur, pendidikan, tingkat kecerdasan, tingkat


emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, pekerjaan
dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan
faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Beberapa teori lain yang telah di coba untuk mengungkap
determinan

perilaku

dari

analisa

faktor-faktor

yang

mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan


dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Soekidjo,
2003).
Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat
kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat di pengaruhi
oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes)
dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya
perilaku itu sendiri di tentukan atau terbentuk dari 3 faktor
(Soekidjo, 2003) :
1) Faktor-faktor

predisposisi

(predisposing

faktors),

yang

terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,


nilai-nilai, pekerjaan dan sebagainya.
2) Faktor-faktor pendukung (enabling faktors), yang terwujud
dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya
fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya
peran PMO, pemakaian OAT dan sebagainya.
3) Faktor-faktor pendorong (reinforcing faktors) yang terwujud
dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas
yang

lain,

keluarga

dan

masyarakat

yang

merupakan

kelompok referensi oleh perilaku masyarakat.


Perilaku seseorang dibentuk oleh tiga yaitu pengetahuan, sikap
dan praktek :

1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang

melakukan

penginderaan

terhadap

suatu

obyek

tertentu. Pengetahuan
yang

tercakup

dalam

dominan

kognitif

mempunyai

tingkatan (Soekidjo, 2003) :


a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah
diajarkan dan dipelajari sebelumnya.
b) Memahami (Comprehension)
Memahami

artinya

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjelaskan secara benar tentang obyek yang dketahui.


c) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi artinya sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real.
d) Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi suatu obyek kedalam komponen-komponen.
e) Sintesis (Syntesis)

Sintesis

adalah

suatu

kemampuan

untuk

menyusun

formulasi baru dari formulas-formulasi yang ada.


f) Evalusi (Evaluation)
Evaluasi

ini

berkaitan

dengan

kemampuan

untuk

melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi


atau obyek.
2) Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Manifestasi
dari sikap tidak dapat langsung dilihat tetapi hanya ditafsirkan
dari perilaku yang tertutup (Soekidjo, 2003). Seperti halnya
pengetahuan sikap terdiri dar 4 tingkatan :
a) Menerima (receiving)
Menerima

berarti

bahwa

orang

(obyek)

mau

atau

mempertimbangkan stimulus yang diberikan (obyek).


b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap.

c) Menghargai (valuding)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan, mendiskripsikan
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung

jawab

atas

segala

sesuatu

yang

telah

dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang


paling tinggi.
3) Praktik
Praktik berarti sama dengan praktek keperawatan. Praktek
atau tindakan adalah sesuatu perbuatan nyata atau aktifitas
nyata

sehubungan dengan stimulus

atau

obyek. Untuk

terwujudnya suatu sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan


faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan
antara lain adalah fasilitas (Soekidjo, 2003). Sikap seseorang
untuk menjadi praktek melalui empat tahapan :
a) Persepsi (perception)
Mengenal

dan

memilih

berbagai

obyek

sehubungan

dengan tingkatan yang akan diambil adalah merupakan


praktek tingkat pertama.

b) Respon Terpimpin (guided response)


Dapat melaksanakan sesuatu sesuai urutan yang benar
dan sesuai dengan contoh.
c) Mekanisme (mekanisme)
Apabila seseorang telah dapat melaksanakan sesuatu
dengan benar secara otomatis.
d) Adopsi (adaption)
Adaptasi adalah suatu praktek atau dibedakan yang sudah
berkembang dengan benar
b. Umur
Umur merupakan salah satu faktor pendorong yang dapat
menentukan perilaku seseorang dalam keberhasilan pengobatan
penyakitnya,

umur

yang

semakin

tua

akan

mempunyai

pengalaman yang cukup untuk memandang suatu masalah dari


berbagai sudut pandang, begitu pula dengan pengobatan.
Seseorang

semakin

tua

umurnya

akan

lebih

taat

dalam

melakukan pengobatan sesuai petunjuk petugas kesehatan


karena mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk sembuh
(Soekidjo, 2003). Biasanya TB paaru lebih banyak menyerang
pada usia yang tua karena adanya proses penurunan sistem
kekebalan dalam tubuh (Depkes RI, 2001).

c. Pendidikan
Pendidikan kesehatan adalah proses perubahan pada diri
seseorang

yang

dihubungkan

dengan

pencapaian

tujuan

kesehatan individu, dan masyarakat, pendidikan kesehatan tidak


dapat

diberikan

pada

seseorang

atau

orang

lain,

bukan

seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau proses


pengembangan yang berubah secara dinamis, yang di dalamnya
seseorang menerima atau menilai informasi, sikap, maupun
praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat
(Harun, Sutiana,1997).
d. Pekerjaan
Pada umumnya, penderita yang terserang tuberkulosis
adalah golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Kebutuhan
primer

sehari-hari

lebih

kesehatan.

Kemiskinan

kesehatan

dapat

penting
dan

dari

jauhnya

menyebabkan

pada

pemeliharaan

jangkauan

penderita

pelayanan

tidak

mampu

membiayai transportasi kepelayanan kesehatan dan ini menjadi


kendala

dalam

melakukan

pengobatan,

sehingga

dapat

mempengaruhi keteraturan berobat (Depkes RI, 1994).


e. Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan.
Pemakaian OAT sebelum pengobatan 6 bulan diartikan sebagai
pemakaian

OAT

yang

diberikan

sebelum

berakhir

prpses

pengobatan yang sedang dievaluasi, tetapi tidak mengalami


penyembuhan. Pemakaian OAT sebelumnya berkaitan dengan
resistensi,

makin

lama

makin

sering

dan

makin

teratur

pemakaian OAT akan makin meningkat kemungkinan resisten


OAT terhadap mycobacterium tuberculosis (Harun, Sutiana,
1993).
f. Pengawasan Menelan Obat (PMO)
Salah satu program keberhasilan pengobatan TB Paru dilakukan
pengawasan menelan obat (PMO) (Kanwil Depkes Propinsi
Jateng. 2000)
1)

Pengawas Menelan Obat


(PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan panduan OAT
jangka pendek dengan pengawasan langsung untuk menjamin
keteraturan pengobatan diperlukan Pengawas Menelan Obat
(PMO).

2)

Persyaratan PMO
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui baik oleh
petugas kesehatan maupun penderita selain itu harus
dusegani dan dihormati oleh penderita.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.

c) Bersedia membatu penderita dengan sukarela.


d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersamasama dengan penderita.
e) Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan
di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi dan
lain-lain.
3) Tugas PMO
a) Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara
teratur sampai selesai pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada penderita agar menelan obat
secara teratur.
c) Mengingatkan penderita untuk periksaq ulang dahak pda
waktu-waktu yang telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB
Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru
segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.
g. Keteraturan Minum Obat
Keteraturan

minum

obat

diukur

sesuai

dengan

petunjuk

pelaksanaan yang telah ditetapkan yaitu dengan pengobatan


lengkap sampai dalam jangka waktu pengobatan sampai 100%

(68 kali). Keteraturan pengobatan apabila kurang dari 90% maka


akan mempengaruhi penyembuhan. OAT harus diminum teratur
sesuai dengan jadwal, terutama pada fase pengobatan awal
guna

menghindari

terjadinya

kegagalan

pengobatan

serta

terjadinya kekambuhan(Nursalam, 1997).

B. Kerangka Teori

Faktor
Predisposing :
1. Pengetahuan
C. Kerangka
2. Sikap Konsep
Variabel Bebas
Faktor Enabling :
1. Pemakaian OAT
Umur
2. Peran PMO
Pendidikan

Karakteristik :
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Pekerjaan

Perilaku
Keteraturan
Minum Obat

Keberhasilan
Pengobatan TB
Paru

Pekerjaan
Faktor Reinforing :
Pemakaian OAT
1. Petugas
Kesehatan Peran PMO
2. Keluarga
3. Masyarakat
Keteraturan Minum

Variabel Terikat
Keberhasilan
Pengobatan TB Paru

D. Hipotesa
1. Ada hubungan antara umur dengan keberhasilan pengobatan TB
paru
2. Ada hubungan antara pendidikan dengan keberhasilan pengobatan
TB paru
3. Ada hubungan antara pekerjaan dengan keberhasilan pengobatan
TB paru
4. Ada

hubungan

antara

pemakaian

OAT

sebelumnya

dengan

keberhasilan pengobatan TB paru


5. Ada hubungan antara peran PMO dengan keberhasilan pengobatan
TB paru
6. Ada hubungan antara keteraturan minum obat dengan keberhasilan
pengobatan TB paru
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian explanatory research yaitu


mengetahui

hubungan

antara

beberapa

faktor

dengan

angka

keberhasilan pengobatan TB Paru melalui uji hipotesa. Metode


penelitian yang digunakan adalah survey dengan wawancara dengan
kuesioner melalui pendekatan cross sectional yaitu penelitian dimana
pengumpulan data dilakukan bersama-sama (Soekidjo, 2002).

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi penelitian adalah semua pasien penderita TB paru
yang telah mendapat pengobatan pada bulan JanuariJuni 2013
dengan jumlah 124 penderita dimana akhir pengobatanya dihitung
pada tanggal 15 Juni- Juli 2013 .
2. Sampel
Sampel penelitian ini adalah sebagian yang diambil dari
seluruh obyek yang diteliti dianggap mewakili seluruh populasi
(Soekidjo,

2002).

Pengambilan

sampel

dalam

penelitian

ini

menggunakan quota sampling yaitu sampel penelitian ditentukan


jatahnya karena keterbatasan waktu dan biaya dengan rumus
minimal size. Besar sampel dapat ditentukan dengan rumus sebagai
berikut :

n =

N
2
1+ N (d )

55
1+6,35

55
7,35

keterangan :
N= Besar
Populasi
menjadi 7 responden
n = Besar Sampel
d = Tingkat

C. Variabel dan Defenisi Operasional


1. Variabel Penelitian
a.

Variabel Bebas
1) Umur
2) Pendidikan
3) Pekerjaan
4) Pemakaian OAT
5) Peran PMO
6) Keteraturan Minum Obat

b. Variabel Terikat
Keberhasilan Pengobatan TB Paru
2. Defenisi Operasional

7,48

dibulatkan

Variabel

Variabel
bebas:
Umur

Defenisi

Alat

Operasional

Parameter

Adalah
usia
penderita saat
mulai
menerima
pengobatan
TB
dihitung
berdasarkan
jumlah ulang
tahun
yang
dihitung dari
kelahiran
sampai
saat
wawancara
yang
dinyatakan
dalam satuan
tahun.

Ukur
Wawancar
a

0-14
Tahun

Skala
Rasio

Skor
Format
wawancara
dengan Skor:

(anak-anak)

Anak-anak:
1

Remaja: 2

Dewasa
muda: 3

Dewasa
tua: 4

Lanjut
usia: 5

15-29
Tahun
(remaja)

30-44
Tahun
(dewasa
muda)

45-59
Tahun

(dewasa tua)

>
tahun

60

(usia lanjut)
Pendidika
n

Adalah
jenjang
pendidikan
formal
yang
berhasil
ditempuh
responden
berdasarkan
ijazah
terakhir.

Tdk
Sekolah

SD

SLTP

Wawancar
a

Ordinal

Format
wawancara
dengan skor:

Tdk
sekolah: 0

SLTA

SD: 1

Perguruan
Tinggi
(PT)

SLTP: 2

SLTA: 3

Perguruan
tinggi (PT):
5

Pekerjaan

Pemakain
OAT

Peran
PMO

Keteratura
n Minum

Adalah
kegiatan atau
usaha
yang
dilakukan
penderita
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup seharihari
sampai
pada
saat
menderita TB
paru.

Bekerja

Tidak
bekerja

Adalah
pemakaian
OAT
pada
penderita TB
paru sebelum
selesai
pengobatan 6
bulan
mengalami
droup
out,
sebelum
menjalani
pengobatan di
Puskemas
Dara
Juanti
kota Sintang
yang sedang
dievaluasi .

Ada

Tidak ada

Adalah
sebagai
pengawas
menelan obat
pada
penderita TB
paru
BTA
positif
pada
saat
menjalani
pengobatan.

Ada

Tidak ada

Adalah suatu
proses dimana

Teratur

Wawancar
a

Wawancar
a

Wawancar
a

Wawancar
a

Nominal

Nominal

Nominal

Nominal

Format
wawancara
dengan skor:

Bekerja: 1

Tidak
bekerja: 2

Format
wawancara
dengan skor:

Ada: 2

Tidak: 1

Format
wawancara
dengan skor:

Ada: 1

Tidak ada:
2

Format
wawancara

Obat

penderita
melakukan
ketepatan
waktu dalam
pengobatan.
dilihat
dari
teratur
dan
tidak
teraturannya
penderita
minum obat.

apabila
penderita
tidak
pernah
lalai /lupa
minum
obat atau
pernah
lalai
<3
hari pada
fase awal
dan < 1
minggu
pada fase
lanjutan.

dengan skor:

Teratur: 2

Tidak
teratur: 1

Tdk
Teratur :
apabila
penderita
lalai atau
tidak
pernah
minum
obat
>3
hari pada
fase awal
dan lebih
dari
1
minggu
pada fase
lanjutan.

Variabel
terikat:
Keberhasil
an
Pengobata
n TB Paru

Adalah
hasil
pengobatan
TB Paru dari
uji
bakteriologik
dan
klinik
pada
penderita TB
paru BTA (+)
yang
menjalani
pengobatan

Sembuh

Tidak
sembuh

Observasi

Nominal

Format
wawancara
dengan skor:

Sembuh: 2

Tidak
sembuh: 1

OAT
jangka
pendek yang
telah menjadi
BTA (-) pada
fase
awal
dengan lama
pengobatan
selama
6
bulan.

3. Instrumen Penelitian
a. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang
dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman
inidisuun berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti.
b. Catatan Lapangan
Sarana lain yang digunakan sebagai pelengkap wawancara
adalah catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan yang
dibuat peneliti sewaktu dilapangan dan dilengkapi setelah
mengadakan pengamatan. Catatan lapangan biasanya dibuat
dalambentuk kata-kata kunci, singkatan atau pokok-pokok utama
saja

c. Alat Perekam MP3 Player

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat bantu


yaitu MP3 player untuk merekam seluruh pembicaraan hasil
wawancara. Kegunaan alat ini adalah dapat digunakan untuk
melakukan analisis ulang oleh peneliti lainnya, memberikan
dasar yang kuat tentang apakah yang dikatakan oleh peneliti itu
benar-benar terjadi dan dapat dicek kembali dengan mudah.
Kekurangan alat ini adalah memakan waktu, biaya, dan situasi
terganggu.
d. Uji Validitas
Uji valitas dilakukan dengan koefisien korelasi person
product moment dengan taraf signifikan 5% dengan nilai r
r

tabel

dinyatakan valid (Arikunto, 2010), dengan rumus :

Y 2

X 2 }{n Y 2

r xy

X 2
n

n XY ( X Y )

Keterangan :
r xy
= koefisien kolerasi dua variabel antara x dan y
n
x

= jumlah responden
= skor variabel (jawaban responden)

= skor total variabel untuk responden n

hitung

>

Semua item dikatakan valid jika nilai koefisien validitasnya


lebih dari atau sama dengan nilai kritik dalam tabel (0,75), dan
jika nilai lebih kecil nilai koefisien validitasnya dari pada nilai
kritik dalam tabel (0,75), maka item di katakan tidak valid
jumlah responden adalah 7 orang (Azwar, 2012).

e. Reabilitas
Reabilitas diuji dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach
dengan rumus sebagai berikut :

[ ][

k
s
1 2
k 1
sx

2
i

Keterangan :

= Koefisien reabilitas
Alpha
k
= banyaknya belahan
2
Si
= varians skor belahan

4. Metode Pengumpulan Data


a.

Sumber data
1) Data primer
Data yang diperoleh secara langsung mendatangi responden
dengan

wawancara

langsung

dengan

responden,

yaitu

dengan menggunakan panduan wawancara dengan pasien TB


paru

dan

kordinator

pemegang

program

TB

paru

di

Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang


2)

Data sekunder
Data yang didapatkan dari dokumen pencatatan dan laporan
di Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang.

b. Prosedur penelitian
1) Mengurus perijinan penelitian ke Puskesmas Dara Juanti Kota
Sintang.
2) Melakukan wawancara pada responden yang datang di
Puskesmas Dara Juanti Kota Sintang
3) Hasil dari wawancara dan pencatatan dapat diambil beberapa
faktor tingkat keberhasilan pengobatan TB Paru.

c. Tehnik Mengumpulkan data


1) Wawancara (interview)
2) Observasi
3) Dokumentasi
5. Pengolahan dan Analisa data

a. Pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan
tahap sebagai berikut :
1) Editing (Penyuntingan)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan terhadap semua
isian pada semua item pertanyaan dalam kuesioner untuk
mengetahui beberapa faktor tingkat keberhasilan pengobatan
TB

Paru.

Dengan

kelengkapan

pengisian konsisten

dan

relevansi serta kejelasan jawaban.


2) Coding (Penyajian)
Kegiatan tahap ini adalah mengubah informasi dengan
menggunakan kunci jawaban yang telah disusun dalam
bentuk

angka

untuk

memudahkan

proses

pengolahan

selanjutnya mengenai isi kuesioner yang meliputi : umur,


pendidikan, pekerjaan, peran PMO, keteraturan minum obat.
3) Tabulating (Tabulasi)
Memasukan

data

hasil

survai

tingkat

keberhasilan

pengobatan TB Paru dengan umur, pendidikan, pekerjaan,


peran PMO, keteraturan minum obat, kedalam tabel-tabel
sesuai dengan kriteria kegiatan memasukan data (entery data

) dilakukan melalui bantuan komputer. terhadap semua data


pada kuesioner.
b. Analisa data
1) Analisis Univariat
Analisa

deskriptif

dilakukan

untuk

menggambarkan

secara variabel dengan membuat tabel distribusi frekuensi


atau grafik.
2) Analisis Bivariat.
Untuk mengnalisis hubungan antara umur, pendidikan,
pekerjaan,

pemakaian

OAT

sebelumnya,

peran

PMO,

keteraturan minum obat dengan keberhasilan pengobatan


menggunakan r-product-momen (Arikunto, 2010).

Besarnya nilai r

interprestasi

Antara 0,800 sampai

Tinggi

1,00
Cukup
Antara 0,600 sampai
Agak rendah
0,800
Rendah
Antara 0,400 sampai
0,600
Antara 0,200 sampai

Sangat rendah

0,400
Antara 0,000 sampai
0,200

6. Tehnik Penyajian Data


Setelah data didapat kemudian diolah dan data tersebut
disajikan dalam bentuk tabel.
7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di laksanakan di wilayah kerja Puskesmas Dara Juanti
Kota Sintang pada bulan Januari-Juni 2013.

8. Jadwal Penelitian

No
.
1.

Kegiatan

Jan

Feb

Maret

April

Mei

Juni

2.
3.
4.
5.
6.
7.

DAFTAR PUSTAKA

1. Almatsier. M. Idris F.2000 The Involment of the private Practioness


an Tuberculosis Control Program Throught DOTS Strategy : A
Discourse. Majalah Kesehatan. 50 : 497-498.
2. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan
Praktik. jakarta:Renika Cipta.
3. Bhisma murti. 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi.
Jogyakarta.
4. B.Y Yan..1992. Anti Tuberculosis Chemotherapy And Its Rotation to
Tuberculosis Control In China. Pros 12th. Asia Pasifik Congress an
desease of the chest.. .
5. Dahlan Z.1997. Diagosa dann Penataksanaan Tberkulosis. Cermin
Dunia Kedokteran., 115 : 8-12.
6. Depkes.RI. 1993. Pedoman Penemuan dan Pengobatan Penderita TB
Paru. Jakarta. Depkes
7. Depkes RI. 1993. Pedoman Tuberkulosis Paru. Jakarta.
8. Dep

Kes

RI

1997.

Pedoman

Penanggulangannya. Jakarta . Depkes

Penyakit

Tuberkulosis

Dan

9. Depkes RI. 2001. Buku Petunjuk Praktis Bagi Petugas dan Pelaksana
Penanggulangan TBC di Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta. Depkes.
10.

Depkes

RI.

2002.

Pedoman

Nasional

Penangulangan

Tuberkulosis. Jakarta.

11.

John Crofson. 2001. Norman Horne Fredmiller. Tuberkulosis

Klinis. Widya Medika. Jakarta.


12.

Kanwil Depkes Propinsi Jateng. 2000. Buku Pedoman Bagi

Pengawas Menelan Obat. Semarang. P3M


13.

Mangkunegara, H dan Suryatenggara W. 1994. Pedoman

Praktisi Diagnosa dan Penatalaksana Tuberkulosis Paru. Cetakan ke2. Jakarta : Yayasan Penerbit IDA.
14.

Muharman Harun, Ella Sutiana. 2002. Tuberkulosis Klinis.

Widya Medika.. Jakarta


15.

Nadesul, Hendrawan. 1996.

Penyebab, Pencegahan dan

Pengobatan TB Paru. Jakarta : Puspas Swara.


16.

Soekidjo Notoadmodjo. 2002. Metode Penelitian Kesehatan.

Jakarta. Edisi Revisi. PT. Rineka Cipta.


17.

Soekidjo,

Notoatmodjo.

2003.

Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Pendidikan

dan

Perilaku

18.

W. Herdin Subuan, Nursalam. M. Panggabean. S.P.1997..

Gulton. Ilmu Penyakit Demam. Jakarta.


19.

Wardoyo. 1997. Waspadai Ancaman Kesehatan Kita. Aneka

Ilmu. Solo
20.

Warijan.1991. Tes gaya hasil objektif IKIP Pres. Semarang.

21.

WHO. TB Control in the Workplace, Report of an Intercontry

Consultan,

New

Delphi.

2004.

Depkes

2002,

http://www.depkes.go.id/index.php?option2
articles&arcid=154&item=3, 20 Mei 2004.
22. Wukir Sari. Skripsi 2005. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap PMO
Dengan Pencegahan Penyakit Tuberculosis Paru Di Puskesmas
Pandanaran Kota Semarang. UNIMUS. Semarang

Anda mungkin juga menyukai