Anda di halaman 1dari 2

Masa lalu adalah urusan perasaan. Masa depan itulah baru urusan pemikiran.

By : Mardyn Guevara
Ini bukan sebuah pengakuan dosa atau penyesalan. Aku menulis ini sebagai upaya
mengais ketulusanmu agar kelak tak perlu ada kekecewaan. Sadar dengan segala kekurangan,
aku terlalu khawatir jika kamu menyimpan masa laluku sebagai beban di pikiran. Padahal
harapanku tak jauh berbeda dengan kutipan di atas, aku ingin masa depanlah yang bertahta di
sana dan perihal masa lalu cukup kau biarkan tuntas.

Karena setiap orang pasti pernah khilaf. Maukah kamu dengan tulus memberi maaf?
Di masa lalu, kebebasan mutlak yang aku pilih untuk diriku sendiri, membuatku kadang
tak mengingat norma lagi. Bisa saja aku dulu seorang gadis urakan yang melakukan banyak hal
di luar batas kewajaran. Bagaimana kalau aku dulu pernah mencuri hanya untuk sekedar
menyenangkan diri? atau bagaimana kalau aku perempuan yang tak virgin lagi?
Bagaimana pun masa laluku, percaya lah segala keburukan itu sudah jauh aku tinggal di
belakang. Aku yang sekarang bukan lagi aku yang dulu. Karena itu, aku memberanikan diri
untuk memintamu bukan sekedar menerima tapi juga memaafkannya. Mungkin sulit, tapi
bisakah kamu mengusahakannya.
Mungkin kamu sempat kecewa. Tapi kumohon jangan biarkan dirimu terus larut dan
membiarkan masa laluku mewabah di kepala.
Kamu selalu punya impian, jika pasanganmu kelak seorang perempuan cerdas yang
memiliki reputasi baik dalam segala hal. Namun sayangnya, kamu justru mendapatkan seseorang
yang punya cacat dihidupnya. Kecewa? aku rasa itu sudah pasti. Tapi sekali lagi, aku memohon
jangan biarkan dirimu terus larut dalam kekecewaan. Jangan biarkan masa laluku mewabah
dikepalamu, sampai akhirnya kamu tak sanggup memikirkan masa depanku.
Sebelum kamu benar-benar menyerah, dan masa depan yang sudah di ujung mata kalah.
Aku akan selalu berusaha membuatmu berlapang dada, meski harus kembali kuceritakan semua
kepahitan yang ada.
Sebagai pertimbanganmu. Izinkan aku bercerita perjuanganku untuk memperbaiki diri
sebelum akhinya kita bertemu.
Bukan cuma kamu yang selalu memiliki impian pasangan yang hampir terlihat sempurna.
Asal kamu tahu mimpiku pun demikian. Seperti yang dijanjikan oleh Tuhan,
Wanita yang baik adalah untuk lelaki yang baik. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik
pula (begitu pula sebaliknya)

Mengingat-ingat janji itu, maka aku putuskan untuk berjuang mati-matian memperbaiki dan
memantaskan diri. Jatuh bangun aku rasakan. Berkali-kali harus terjebak pada nilai-nilai sosial
yang seenaknya menghakimi pikiran. Sering juga aku tenggelam pada penyelasan. Bahkan aku
sempat kehilangan rasa percaya diri hingga merasa tak layak untuk siapa pun. Tapi untuk
kesekian kalinya aku tegaskan lagi, akhirnya aku berhasil menjadi lebih baik dan setidaknya bisa
kamu banggakan.
Anggap saja aku pernah mati di masa lalu, kemudian di masa depan berengkarnasi menjadi
pribadi yang baru.
Kalau kamu belum bisa menerima masa laluku dengan kelegaan. Kamu perlu tahu, waktu
yang aku butuhkan untuk berdamai dengannya tak cukup sebulan atau dua bulan.
Sulit memang, menerima kenyataan yang tak sejalan dengan harapan. Bahkan kamu bisa bilang,
butuh waktu yang panjang untuk mengusahakan dirimu berdamai dengan masa laluku. Tenang
aku cukup sadar diri, karena dulu pun tak hanya sebulan dua bulan aku melakukannya. Kelegaan
butuh proses yang panjang. Dulu setiap hari aku selalu menelan kepahitan, jika mengingat-ingat
kembali semua kesalahan. Setiap hari aku juga selalu meyakinkan diri, kelak akan ada pria baik
hati yang bersedia menerimaku dengan segala cerita yang tersembunyi di masa lalunya. Dan
setiap hari aku selalu berdoa jika pria itu adalah kamu, meski kita belum pernah berjumpa.
Ya, semoga memang pria itu adalah kamu.
Dan asal kamu tahu, impianku hanya satu. Seburuk-buruknya masa laluku, mau kah
kamu menjadi seindah-indahnya masa depanku?
Terlepas dari semua tentang masa lalu yang tak menyenangkan untuk terus diungkit. Ada masa
depan di dalam kepala kamu dan aku yang selalu berusaha bangkit. Masa depan yang selalu
memiliki harapan bisa dilukis seindah-indahnya.
Bayangkan saja kelak kita sukses bersama, memiliki keluarga kecil yang berbahagia, dan
akhirnya menua dengan masa depan yang sudah terencana. Apaakah itu tidak cukup menutupi
banyangan masa laluku yang tak menyenangkan? Apakah masih perlu masa lalu menjadi beban
di pikiran, kalau masa depan lebih menggiurkan?
Karena itu, aku tak akan berhenti mengajukan permohonan ini, bisakah kamu menerima dan
memaafkan semua kesalahan di masa laluku dengan kelegaan hati?

Anda mungkin juga menyukai