Anda di halaman 1dari 3

Tentang Nasionalisme dan Tuhan yang

Ternyata Tinggal di Bali


Di antara wilayah di Indonesia, lanjut Kang Dedi, yang paling nasionalis adalah Bali. Lebih
tepatnya, orang-orang Hindu di Bali.
http://mojok.co/2016/06/tentang-nasionalisme-dan-tuhan-yang-ternyata-tinggal-di-bali/

Oleh Robi Sugara


Diposkan pada 26 June 2016
April 2016.
Dua bulan yang lalu, saya bertemu dengan Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta-Jawa Barat. Bupati
yang diberi gelar Si Raja Syirik oleh Daulah FPI (Front Pembela Islam) karena keberadaan
sejumlah patung di daerahnya. Menurut FPI, Purwakarta adalah kota santri. Akan tetapi, setelah
Dedi Mulyadi menjabat, kota ini berubah menjadi kota syirik yang dikelilingi oleh patung-patung
dan pohon dilapisi kain bercorak putih-hitam lengkap dengan bau kemenyan. Dari situlah, Dedi
atau dipanggil juga Kang Dedi mendapat gelar tersebut: Si Raja Syirik.
Sejak lama saya sebenarnya ingin bertemu dengan Kang Dedi. Keinginan saya bertemu
dengannya karena didorong oleh pertama pemberitaan kontroversi patung-patung yang berdiri
tegak di setiap sudut kotanya dan kedua karena Purwakarta saat ini bersih, rapih, teratur dan
terlihat cantik. Dorongan plus-plus yang menggugah saya ingin bertemu dengannya juga karena
julukan Si Raja Syirik itu tadi. Meski sebenarnya kalau FPI kurang suka dengan Dedi Mulyadi tidak
seharusnya diberikan gelar raja.
Yang pantas itu, saran saya, ya pemuja berhala. Itu saran gratisan dari saya. Silakan jika berkenan
bisa digunakan cuma-cuma.
Untuk ukuran kepala daerah yang jam terbangnya super sibuk, pertemuan saya dengan beliau
berlangsung tidak sebentar. Kami bertemu di rumah dinasnya yang begitu indah dengan lapisan
kayu dan dikelilingi taman. Kita buka jendelanya biar udara masuk. Rumah ini tidak menggunakan
AC (Air Conditioner) karena semuanya berasal dari alam, ungkap Dedi. Di dalam rumah dinasnya
ada lukisan Prabu Siliwangi dan Nyi Roro Kidul. Juga terdapat mungkin ratusan wayang golek
yang berjajar di beranda rumahnya.
Di hadapan saya, Kang Dedi bercerita tentang nasionalisme bangsa Indonesia. Menurutnya,
esensi nasionalisme bangsa ini perlahan-lahan sudah mulai merosot karena semua selesai cukup
hanya dengan disimbolisasikan lewat upacara dan hormat bendera. Akan tetapi tidak
diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Di antara wilayah di Indonesia, lanjut Kang Dedi, yang paling nasionalis adalah Bali. Lebih
tepatnya, orang-orang Hindu di Bali. Ia menjelaskan, Hindu di Bali itu tidak mutlak merujuk kepada
sumbernya di India di mana agama itu lahir di sana. Orang Hindu-India pun enggan mengakui
bahwa itu Hindu-Bali merujuk ke India karena kentalnya unsur lokalitas setempat.
Namun, justru karena itulah kaum Hindu-Bali, menurut Kang Dedi, sudah berhasil membawa
Tuhannya untuk tinggal di Bali bersama dengan mereka. Hal tersebut membuat mereka turut
mencintai tanah kelahirannya, juga budaya leluhur dan segala peninggalannya. Pengaruh oleh
budaya Hindu yang ada di India tidak serta merta diserap total begitu saja oleh kaum Hindu-Bali.
Kejadian tersebut kemudian dibandingkan oleh Kang Dedi dengan apa yang terjadi di kalangan
umat Islam dan Nasrani (Khususnya Katolik) di Indonesia.
Secara geografis, sebagaimana kita tahu, Tuhan dari kedua agama tersebut tidak hadir secara
langsung di Indonesia. Umat Islam, misalnya, entitas (ke)tuhan(an) mereka lebih condong ke Arab
karena alasan historis. Maka yang terjadi kemudian adalah adaptasi budaya antara Islam-Arab ke
Indonesia. Ironisnya, hal ini kemudian menimbulkan klaim yang salah kaprah: Semakin Arab
seorang Indonesia, maka ia dinilai semakin Islam. Pun demikian yang terjadi dengan Katolik di
mana mereka lebih berkiblat pada Vatikan.
Kembali ke tentang Tuhan yang tinggal di Bali. Pada tahun 2015 lalu, seorang sutradara Jepang
bernama Toshio Lee pernah membuat film yang berjudul Kami Sama ha Bali ni iru. Jika
dibahasaindonesiakan, arti judul tersebut kira-kira menjadi Tuhan Ada di Bali. Namun, dalam
bahasa Inggris, film yang dibintangi Shinichi Tsutsumi, Machiko Ono, dan Hiroshi Tamaki ini diberi
judul Bali Big Brother.
Diangkat dari novel Dekasegeba Daifugo (If You Work Abroad You Can Become a Tycoon)
karya Sho Kuroiwaini, film ini berkisah tentang seorang pengusaha Jepang yang membantu
masyarakat miskin di Bali. Pengusaha tersebut berpendapat, mungkin dengan bisa membantu
masyarakat miskin di Bali lewat pendidikan, itu sudah sebuah jalan bagi Tuhan.
Sebelumnya, film tentang Bali juga pernah dibuat oleh Hollywood dengan judul Eat, Pray, Love
yang dibintangi oleh artis papan atas Julia Robert. Film ini juga menjadikan Bali sebagai destinasi
spiritual dalam pencarian Tuhan.
Sejujurnya, kisah tentang keagungan spiritualitas Bali bukan pertama kalinya saya dengar. Pun
dengan nasionalisme Bali terhadap Indonesia. Seseorang dari Bali pernah mengatakan kepada
saya hal serupa dengan yang dibilang Kang Dedi tadi: Hanya Hindu-Bali yang tidak pernah
membangkang pada Indonesia.
Anda mungkin terkejut, tapi silakan bandingan sendiri opini tersebut dengan fakta historis yang
terjadi di negeri ini. Kendati tak mutlak benar, namun kita bisa lihat bagaimana geliat
pemberontakan Darul Islam (DI) atau Negara Islam Indonesia (NII), juga Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) terhadap NKRI. Sementara di Nasrani, ada Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan
Republik Maluku Selatan (RMS) yang juga melakukan pembangkangan atas nasionalisme.

Hindu-Bali, menurut seseorang tadi, juga tidak pernah mempersoalkan meski agama mereka
pernah menjadi mayoritas pada masa dahulu kala di Nusantara. Tidak pernah ada keinginan
sejengkalpun, katanya lagi, untuk kembali merebut Nusantara dan meng-Hindu-kan seluruh orang.
Sebuah sikap yang bersebrangan dengan beberapa kelompok ekstremis agama lain di negeri ini
yang kerap getol memaksa orang menghormati agamanya atau, lebih jauh, mengubah dasar
negara sesuai agama mereka.
Sebagai salah satu contoh, misalnya, kelompok Hizbut Tahrir (HTI) kerap bersuara nyaring ingin
merebut kembali sejumlah wilayah yang dulu pernah dikuasai oleh kerajaan Islam.
Menjelang usai pertemuan, Kang Dedi mengatakan bahwa nasionalisme hanya akan berhasil
ketika masyarakat bisa mengawinkan ideologi dari luar dengan yang lokal. Ketika mereka saling
menghargai antara Assalamualaikum dan Sampurasun tanpa harus mempersoalkan mana
yang harus diucapkan duluan, atau mana yang lebih pantas dihormati. Sebab sebenarnya,
wabilkhusus dalam Islam, Tuhan selalu berjarak dekat dengan para mahluk ciptaan-Nya:
Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwa Aku itu
dekat. (Al-Baqarah: 186).

Anda mungkin juga menyukai