Anda di halaman 1dari 2

1.

Peneliti Yulia Habni ( 2009 )


Dari sekian responden yaitu Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 10% dari total
populasi yaitu sebanyak 50,8 orang dan di genapkan menjadi 51 orang (Arikunto,
2002).
Berdasarkan penelitian terlihat 30,9% perawat tidak setuju bila mencuci alat
sebaiknya dengan sabun. Mencuci alat dengan sabun sangatlah o\penting untuk
memusnahkan bakteri yang terdapat pada alat yang sudah digunakan pada saat
melakukan asuhan keperawatan, apabila alat tidak dicuci akan menambah komplikasi
penyakit pada pasien dan mendapatkan infeksi silang dari peralatan yang kita
saat melakukan tindakan keperawatan. Menurut Harry (2006) pembersihan
adalah membuang semua material asing seperti kotoran dan materi organik dari suatu
objek. Pada saat objek atau alat kontak dengan material infeksius dan berpotensi
menjadi kontaminasi, sehingga alat perlu dicuci dengan sabun atau dengan air hangat
untuk mengurangi area yang telah terkontaminasi oleh mikroorganisme pada saat
melakukan tindakan. Apabila perawat mencuci alat akan mengurangi pencegahan
infeksi nosokomial.
Hasil penelitian pada sub variabel kontrol terhadap portal keluar 38,2%
`perawat tidak setuju apabila alat yang sudah dicuci sebaiknya di sterilkan dengan alat
steril. Apabila alat tidak disterilkan, kotoran yang terdapat pada alat akan menempel
dan menyebarkan bakteri dari pasien satu ke pasien lainnya. Menurut Patricia (2005)
2. Rita Rahmawati ( 2014 )
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dari 32 responden yang bersikap baik
tentang pencegahan infeksi nosokomial, namun masih terdapat 19,4% responden
pelaksanaan cuci tangannya tergolong kurang dan 36,1% responden tergolong cukup.
Hal ini bisa disebabkan karena sebagian perawat bersikap biasa biasa saja kalau tidak
mencuci tangan, setelah melakukan tindakan keperawatan atau bersentuhan dengan
pasien. Menurut Martina Diah (2007) sikap yang tidak mendukung perawat dalam
upaya pencegahan menyeluruh, sering ditunjukkan dengan sikap cuek dan
mengesampingkan cuci tangan setelah melaksanakan tindakan keperawatan, karena
sebagian perawat menganggap tangan mereka tidak kotor (tidak terkena nanah atau
darah). Berdasarkan penilaian terhadap jawaban yang diberikan responden bahwa
seluruh penyataan lebih banyak ditanggapi secara positif. Namun bila dilihat secara
rinci ada penyataan yang ditanggapi ditanggapi secara negatif yaitu penyataan no. 6.
Terlihat 30,5% perawat tidak setuju atau tidak bersemangat untuk mencuci tangan bila
sarana cuci tangan tidak tersedia secara lengkap. Pelaksanaan cuci tangan di rumah
sakit dapat diterapkan dengan baik bila didukung oleh ketersediaan sarana dan
fasilitas cuci tangan. Perawat bertindak sebagai pelaksana, sedangkan pimpinan
rumah sakit bertindak sebagai penyedia alat dan bahan-bahan yang diperlukan dalam
praktek cuci tangan Selain itu cuci tangan masih dipandang hal sepele bukan sebagai
suatu tindakan yang vital, masih rendahnya kesadaran perawat untuk melaksanakan
cuci tangan yang baik dan benar, serta minimnya pelatihan pencegahan infeksi
nosokomial dari tim pengendali infeksi nosokomial di RS juga bisa menjadi alasan
mengapa pelaksanaan cuci tangan di RS ini masih tergolong rendah dan cukup. Bady
dkk (2007) mengatakan bahwa pelatihan dan pemahaman infeksi nosokomial sangat
berhubungan dengan ketrampilan yang dilakukan perawat dalam pencegahan infeksi
nosokomial. Adanya pelatihan diharapkan akan memberikan pengetahuan baru yang
dapat mempengaruhi sikap untuk bertindak secara positif pula. Tidak adanya reward
yang secara konsisten setiap tahunnya bagi pelaksana cuci tangan yang baik di RS ini
juga dapat menjadi salah satu hambatan
3. Ratna Nugraheni 2012
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di rumah sakit umum daerah sutjenegogro
kabupaten wonoshobo pada tanggal 10-21 april 2012 dapat diketahui bahwa kejadian infeksi
nosokomial disana mengalami kenaikan dari bulan juli 2009 sampai akhir bulan 2011 yaitu
tahun 2009 sebesar 19 kasus atau 0,26% tahun 2010 sebesar 49 atau 0,37% dan tahun 2011

sebesar 190 atau 1,48%. Jumlah pasien yang menjalani rawat inap di RSUD Setjoegoro yaitu
pada bulan Juli sampai Desember tahun 2009 jumlahnya adalah 7106 pasien, tahun 2010
jumlahnya 13124 pasien serta tahun 2011 jumlahnya 12789 pasien. dari hasil wawancara dan
observasi praktik teknik aseptik petugas kesehatan dan pengunjung masih kurang seperti
kebiasaan mencuci tangan sebelum mengobati, merawat ataupun memegang pasien,

4. NI LUH PUTU SRI DEWI DAMAYANTI ( 2015 )


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang berjumlah 112
orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 72 orang. Selain itu juga dilakukan
observasi pada 51 orang untuk mengetahui perilaku perawat dalam pencegahan
infeksi nosokomial. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan systematic
random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi
dengan instrumen kuesioner wawancara untuk mengetahui pengetahuan dan lembar
observasi untuk mengetahui perilaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar (51,3%) responden terdapat pada kelompok umur 30 sampai 39 tahun, berjenis
kelamin perempuan (87,5%) dengan jenjang pendidikan D3 keperawatan (75%).
Mayoritas responden (54,1%) pada kelompok masa kerja 11 sampai 20 tahun dan
pernah mengikuti pelatihan tentang infeksi nosokomial (66,6%). Secara keseluruhan
tingkat pengetahuan responden paling banyak (38,8%) responden memiliki tingkat
pengetahuan baik. Observasi perilaku menunjukkan seluruh responden mencuci
tangan menggunakan air dan sabun ataupun handrub setelah melakukan tindakan
penyuntikan, TTV (tindakan-tindakan vital) dan bedah. Seluruh responden
menggunakan APD masker pada saat melakukan tindakan pemasangan infus dan
bedah. Dari hasil penelitian disarankan pihak rumah sakit sebaiknya memberikan
sosialisasi kepada seluruh perawat dengan materi K3RS dan infeksi nosokomial
seperti penyebab, faktor yang mempengaruhi infeksi noskomial dan upaya
pencegahannya. Serta melakukan pengawasan dan memberi teguran jika ada perawat
yang tidak menggunakan sarung tangan dan tidak mencuci tangan sebelum kontak
dengan pasien.
5. DIAN PANCANINGRUM 2011
Swanburg (2000) mengatakan bahwa sumber daya manusia perawat di
institusi rumah sakit merupakan jumlah yang terbanyak. Selama 24 jam perawan
bertugas merawat pasien, seringnya perawat melakukan kontak dengan pasien
membuat peluang yang cukup besar bagi perawat dalam menyumbang angka kejadian
infeksi nosokomial di rumah sakit. Hasil univariat item perilaku kerja yang
ditampilkan, hanya 17 orang dari 110 orang perawat (15,5%) melakukan cuci tangan
sebelum melakukan tindakan. Padahal Setiawati (2009) tangan yang kotor merupakan
media dalam perpindahan mikroorganisme. Saat perawat melakukan kontak dengan
pasien dalam keadaaan kotor karena tidak dicuci kemungkinan besar akan terjadi
perpindahan mikroorganisme dari perawat ke pasien. Pasien dalam kondisi sakit,
dengan daya tahan tubuh yang menurun diperburuk perilaku perawat yang tidak cuci
tangan saat kontak dengan pasien, dapat memperburuk
dari 110 orang perawat telah mengikuti pencegahan infeksi nosokomial. Point
2) tingkat usaha yang dicurahkan, pada point ini didapatkan bahwa dari 110 orang
perawat sebanyak 57 orang (51,8%) memiliki motivasi kurang, , dan 60 orang
(54,45%) perawat mengatakan jaminan kesehatan dan keselamatan yang diberikan
oleh rumah sakit adalah kurang. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa
sumber daya manusia perawat Rumah Sakit Haji Jakarta emiliki motivasi yang
kurang.

Anda mungkin juga menyukai