Anda di halaman 1dari 3

Aliansi Bisnis Skala Menengah-Kecil

Bob Widyahartono MA *)
Jakarta (ANTARA News) - Sektor riil yang menjadi agen pembangunan ekonomi oleh
beberapa kalangan pengamat ekonomi yang berada di luar main stream masih dicemaskan
memasuki Tahun Tikus (2008), dengan berlanjutnya berbagai kendala dalam fokus operasi.
Apakah dengan membentuk aliansi atas dasar jaringan kerja (networking) dan saling percaya
(trust) merupakan salah satu upaya menerobos kendala?
Aliansi bisnis muncul sebagai strategi dalam arti membangun jaringan keterkaitan ke
belakang (backward) dan atau ke depan (forward) dan kecepatan beroperasi demi
hububungan dengan pensuplai dan pelanggan. Dunia bisnis di negeri ini memang sudah ada
aliansi, namun praktik demikian belum dapat dikatakan sebagai lazim, karena salah
pengertian dan atau salah penerapan. Awalnya memang terungkap kekhawatiran bahwa
aliansi berarti kehilangan kontrol manajemen dan pengebirian laba yang beraliansi.
Aliansi "bukan merger atau pencaplokan yang kecil oleh yang lebih besar. Aliansi sebagai
bentuk kerjasama yang mengutamakan "pro-pasar" dan "pro-peningkatan" daya beli
lingkungan secara proporsional. Kesadaran pemahaman ini juga perlu oleh dunia perbankan,
dan terutama oleh instansi pemerintahan di daerah, agar bersama membangun good
governance dalam masing-masing pihak. Dalam komunitas bisnis di negara lain, baik
domestik maupun regional dan internasional, banyak terjadi praktik aliansi.
Oleh karena itu, berbagai kalangan bisnis di negeri ini ke masa depan perlu mencermati
kembali aliansi bisnis sebagai strategi menggerakkan (generate) dampak sinergis dalam
manajemen sumber daya bisnis dengan mengoperasikan diversifikasi dalam lingkungan
bisnis yang sudah ada.
Dengan ber-aliansi, maka suatu perusahaan menyadari keterbatasan sumber daya manajerial
dan kompetensi teknologis untuk secara mandiri menghadapi lingkungan peluang yang makin
terbuka. Suatu aliansi biasanya membawa serta (entails) berbagi sumber daya komplementer
untuk mampu mengerjakan suatu kegiatan dan menciptakan sesuatu yang bernilai yang tidak
dapat dihasilkan oleh satu perusahaan tunggal. Melalui aliansi tergugah peranan intermediasi
bank menjadi lebih professional kredibel dengan bisnis.
Dengan menggabungkan sumber daya internal dan sumber daya perusahaan lainnya, maka
berarti perusahaan yang memprakarsai aliansi bergerak maju untuk menerima tantangan dan
mau bekerjasama menuju ke masa depan. Bisa pula penciptaan lini bisnis dan produk baru.
Alasan beraliansi dalam praktiknya terjadi, karena keterbatasan sumber daya dalam masing
masing perusahaan yang beraliansi.
Konsep aliansi bisnis sudah cukup lama dipahami. Aliansi itu mebuka peluang untuk
kemitraan usaha (joint ventures) dalam investasi, konsorsium berbagai perusahaan dengan
spesialisasi yang beragam yang menumbuhkan integrasi bisnis ke hulu dengan yang ke hilir
(backward/forward integration). Pengaturan aliansi itu tidak instan, tapi berlangsung dalam
proses.
Walaupun sudah lebih dari satu dasawarsa dan kinipun tidak basi (outdated) untuk kita bagi

sesama bangsa Asia. Profesor Yoshiya Teramoto dari Graduate School of Management,
Tsukuba University Japan, dalam "Entrepreneurship for Business Alliances" (1992)
mengungkapkan tiga atribut dalam aliansi: 1. economy of scope, 2. economy of speed, dan 3.
network effect. Pemikiran konseptual tersebut, karena bukan dari Barat/Amerika, sayangnya
tidak memperoleh tanggapan dari kalangan pengamat dan bisnis di negeri ini. Walaupun
awalnya sudah satu dasa warsa lalu, dan tetap berkembang sampai diserap oleh kalangan
bisnis Korea Selatan, China dan beberapa anggota ASEAN.
Mengapa terjadi economy of scope (skala kebersamaan dalam kerja) sebagai konsep sampai
kini belum cukup disadari dan dipahami oleh kita semua. Mempersatukan (bringing together)
serangkaian sumber daya manajerial, karena keterbatasan merupakan wujud: economy of
scope. Sebagai catatan, hal ini berbeda dengan konsep economies of scale, membesarkan diri
oleh satu unit perusahaan saja.
Pendekatan demikian itu melibatkan penentuan sumber daya yang dibutuhkan untuk kegiatan
inti yang dijadikan sasaran, dengan secara bergairah mendayagunakan sumber daya intern
(in-house), melibatkan sebanyak mungkin sumber daya dari luar untuk kegiatan non-inti.
Dengan pendekatan demikian perusahaan yang beraliansi menggerakkan felksibilitas
organisasi untuk menanggapi perubahan sosial dan ekonomi.
"Economy of speed" perlunya kesadaran dan implementasi manajemen waktu sebagai sumber
daya. Artinya "just in time" atau ketepatan waktu dalam berproses dan berinteraksi tanpa
menunda-nunda dengan beralasan yang tidak relevan. Keberhasilan bisnis Jepang sejak tahun
1970an adalah karena perbaikan mutu oleh pengendalian mutu, penekanan biaya, persaingan
dalam inovasi produksi dan teknologi yang ujung-ujungnya bersumber pada efisiensi dalam
waktu.
Pengendalian waktu secara efisien memungkinkan perusahaan tidak hanya dalam penekanan
biaya, tetapi dalam perluasan keanekaan produk dan pasar, peningkatan mutu teknologis
produk, dan memantapkan keunggulan bersaing berbagai perusahaan Jepang dalam pasaran
internasional sejak tahun 1970an. Caranya adalah dengan beraliansi untuk memperoleh
keunggulan.
"Berjaringan kerja" (networking effect) menghasilkan dampak positif. Salah satunya adalah
"integrasi teknologi". Dalam aspek tersebut, teknologi tidak melulu yang bersifat "keras"
(hard), tetapi "soft technology", seperti proses produksi, teknik pemasaran, keterampilan
manajerial (managerial competence).
Melalui uji jaringan kerja tersebut ditumbuhkan lintas budaya (cross cultural business
alliance) yang mendekatkan dan berbagi, serta memadukan sistem nilai, perilaku antaranggota anggota yang berjaringan kerja. Dengan sikap pandang baru berjiwa kewirausahaan
dalam menghargai mitra aliansi dengan membuka peluang mengubah sikap pandang yang
lama tanpa memaksakan paradigma tunggal.
Proses beraliansi merupakan proses keuletan, konsistensi, kredibilitas dan kemauan
berpengetahuan yang harus diperankan tidak saja oleh pelopor bisnis, tapi justru oleh
manajemen menengah setiap bisnis yang diberdayakan (empowered middle management)
hingga makin berjiwa professional beretika dalam operasi bisnis dengan strategi, struktur dan
sistem yang diperbarui sesuai kebutuhan operasi baru ke depan.

Belajar untuk lebih baik dengan menanggalkan yang menghambat, merupakan suatu
kebajikan tersendiri. (*)
*) Bob Widyahartono MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah Pengamat Ekonomi dan Studi
Pembangunan; Dosen Senior Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar)
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai