PENDAHULUAN
Sumber daya manusia dalam sebuah organisasi merupakan unsur yang paling penting
dalam menentukan keefektifan suatu organisasi. Apabila pengolahan sumber daya manusia
tidak berjalan dengan efektif, maka akan muncul berbagai masalah yang akan mengganggu
kinerja perusahaan. Organisasi harus dapat memperlakukan karyawannya dengan baik
sehingga organisasi dapat memperoleh hal-hal yang positif dari karyawan tersebut antara lain
sikap kerja yang positif terhadap atasan, perusahaan, maupun tugas-tugasnya, dan
kecenderungan untuk keluar dari organisasi jadi kecil.
Menurut Bluedom dalam Grant et al., (2001) niat untuk keluar adalah kecenderungan
sikap atau tingkat dimana seorang karyawan memiliki kemungkinan untuk meninggalkan
organisasi atau mengundurkan diri secara sukarela dari pekerjaannya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya niat untuk keluar antara lain usia, lama
kerja, tingkat pendidikan, keikatan terhadap organisasi, kepuasan kerja dan budaya
perusahaan.
1. Usia
Maier (2001), mengemukakan pekerja muda mempunyai tingkat niat untuk keluar yang
lebih tinggi dari pada pekerja-pekerja yang lebih tua. Salah satu alasannya mungkin
karena pekerja yang lebih tua enggan berpindah tempat kerja dikarenakan tanggung
jawab keluarga, mobilitas yang menurun, tidak mau repot pindah kerja dan memulai
pekerjaan di tempat kerja baru, bahkan perasaan senioritas yang belum tentu di dapat
ditempat kerja yang baru walaupun gaji dan fasilitas yang di dapat lebih besar.
Sebaliknya bagi pekerja yang lebih muda keinginan untuk keluar sangat tinggi
disebabkan mereka masih memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan atau
organisasi kerja agar mendapatkan keyakinan diri lebih besar terhadap pekerjaannya,
juga kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang baru serta
tanggung jawab terhadap keluarga lebih kecil sehingga mempermudah mobilitas
pekerjaan.
2. Lama Kerja
Lama kerja merupakan jangka waktu dimana seorang pekerja itu bekerja di suatu
perusahaan. Semakin lama seseorang itu bekerja dalam suatu organisasi atau perusahaan
maka ia akan semakin terampil dan berpengalaman dalam menghadapi pekerjaannya.
Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama masa kerja maka
kecenderungan untuk keluar dari organisasi atau perusahaan semakin rendah.
3. Tingkat Pendidikan
Seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kecenderungan untuk keluar
yang tinggi dibanding yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dikarenakan dia
beranggapan bahwa ia tidak akan sulit untuk masuk dalam suatu perusahaan atau
organisasi dan mendapatkan jabatan karena tingkat pendidikannya yang tinggi.
4. Keikatan terhadap organisasi
Adalah seberapa baik perasaan mengenai organisasi. Hal ini muncul dan berkembang
oleh dorongan adanya kenyamanan, keamanan, dan manfaat lain yang dirasakan dalam
suatu organisasi yang tidak diperolehnya dari tempat atau organisasi yang lain. Semakin
nyaman dan tinggi manfaat yang dirasakan anggota/karyawan, semakin tinggi keikatan
terhadap organisasi sehingga kecenderungan untuk keluar rendah.
5. Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja menurut Locke (1969) dalam Carmeli dan Anat Freund (2004)
merupakan sebuah bentuk reaksi secara emosional atas sebuah pekerjaan yang dilakukan
oleh seseorang. Sebagai sekumpulan perasaan, kepuasan kerja merupakan suatu sikap
yang positif yang menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para pekerja terhadap
kondisi dan situasi kerja termasuk masalah upah, kondisi sosial, kondisi fisik dan kondisi
psikologis.
Gilmer (1966) dalam buku Moch. Asad (2004:114) berpendapat faktor-faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:
- Kesempatan untuk maju. Dalam hal ini ada tidaknya kesempatan untuk memperoleh
kesempatan peningkatan pengalaman dan kemampuan kerja selama bekerja.
- Keamanan kerja. Keadaan yang aman sangat mempengaruhi perasaan kerja karyawan
baik pria maupun wanita selama bekerja.
- Gaji. Gaji lebih banyak menyebabkan ketidakpuasan, dan jarang orang yang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang di perolehnya.
- Manajemen Kerja. Manajemen kerja yang baik adalah yang memberikan situasi dan
kondisi kerja yang stabil, sehingga karyawan dapat bekerja dengan nyaman.
- Kondisi kerja. Dalam hal ini adalah tempat kerja, ventilasi, penyinaran, kantin, dan
tempat parkir.
- Pengawasan (Supervisi). Bagi karyawan, supervisor dianggap sebagai figur ayah dan
sekaligus atasannya. Supervisi yang buruk dapat mengakibatkan jumlah ketidak
hadiran dan kecenderungan untuk keluar yang tinggi.
- Faktor intrinsik dari pekerjaan. Atribut yang ada pada pekerjaan mensyaratkan
keterampilan tertentu. Sukar dan mudahnya serta kebanggaan akan tugas akan
meningkatkan atau mengurangi kepuasan.
- Komunikasi. Komunikasi yang lancar antara karyawan dengan pimpinan banyak
dipakai untuk menyukai jabatannya. Dalam hal ini adanya kesediaan pihak pimpinan
untuk mau mendengar, memahami dan mengakui pendapat atau prestasi
karyawannya sangat berperan dalam menimbulkan kepuasan kerja.
- Aspek sosial dalam pekerjaan. Merupakan salah satu sikap yang sulit digambarkan
tetapi dipandang sebagai faktor yang menunjang puas atau tidak puas dalam kerja.
- Fasilitas. Fasilitas rumah sakit, cuti, dana pensiun, atau perumahan merupakan
standar suatu jabatan dan apabila dapat dipenuhi akan menimbulkan rasa puas.
6. Budaya Perusahaan
Budaya perusahaan terbentuk dari kesepakatan nilai-nilai pribadi anggota perusahaan
yang pada akhirnya dikukuhkan sebagai nilai-nilai yang dipegang bersama. Demikian
pula sebaliknya budaya perusahaan akan diserap oleh karyawan menjadi nilai-nilai
pribadi mereka. Budaya yang tertanam kuat di dalam diri karyawan akan mendorong dan
meningkatkan motivasi kerja karyawan yang akan meningkatkan produktivitas kerja.
Apabila karyawan memiliki penyerapan budaya perusahaan yang kuat dan persepsi yang
baik terhadap pengembangan karir secara individual dan organisasional maka karyawan
tersebut akan bertahan untuk berkarir di perusahaan tersebut namun apabila penyerapan
budaya yang kuat hanya diikuti persepsi terhadap pengembangan karir secara individual
tanpa adanya program pengembangan karir organisasional maka ada kemungkinan
karyawan keluar dari perusahaan tersebut.
Menurut George & Jones (2002), hal yang juga mempengaruhi niat keluar dari pekerjaan
adalah:
1. Nilai (values)
2. Sikap (attitudes)
FENOMENA
Para Pria Sukses Berhenti Kerja demi Keluarga
KOMPAS.com
Kini, di Amerika Serikat muncul fenomena baru, yakni para pria yang telah mencapai
kesuksesan memilih mundur dari posisi dan pekerjaan untuk menghabiskan lebih banyak
waktu bersama keluarganya.
Uniknya, mereka memilih keluar dari pekerjaan saat usia masih relatif muda dan belum
memasuki usia pensiun.
Salah satunya adalah CFO Uber Brent Callinicos yang mengumumkan bahwa pada awal
pekan ini dia meninggalkan pekerjaan agar dapat memiliki lebih banyak waktu bersama
keluarganya. Pengunduran diri Callinicos ini diumumkan sepekan setelah CFO Google
Patrick Pichette mengumumkan bahwa dirinya memutuskan untuk berhenti bekerja untuk
keliling dunia bersama sang istri.
Tujuh bulan lalu, CEO MongoDB Max Schireson juga memutuskan untuk meninggalkan
pekerjaannya. Schireson mengaku kehilangan berbagai momen penting dalam hidupnya
karena fokus pada pekerjaan, termasuk operasi yang dijalani sang putra dan musibah anak
anjing peliharaannya ditabrak mobil.
Fenomena para pria pemangku kekuasaan yang memilih untuk mengundurkan diri dari
pekerjaan biasanya terjadi pada perusahaan teknologi. Kondisi ini secara tak langsung
mengisyaratkan bahwa sebenarnya pria ingin terlibat dalam keluarga dan rumah tangga.
Mereka ingin menghadiri pertandingan buah hatinya dan berbagi kegembiraan dalam
keluarga. Mereka pun ingin menghormati dan mengapresiasi kehadiran istri mereka.
Pada tahun 2011 silam, Families and Work Institute (FWI) menulis laporan penelitian
bertajuk The New Male Mystique. Lembaga itu menyoroti para eksekutif pria yang
mengalami pergulatan klasik tentang konflik keluarga dan pekerjaan. Ketidakseimbangan ini
muncul ketika dalam sepekan waktu mereka lebih banyak dihabiskan pada pekerjaan
ketimbang keluarga.
Laporan tersebut berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 1.298 responden pria yang
telah menikah serta memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap. Hasilnya, 60 persen responden
melaporkan bahwa mereka mengalami konflik antara pekerjaan dan keluarga.
"Studi ini memungkinkan para pria mengungkapkannya. Kelihatannya mereka tidak seberat
wanita, tetapi ternyata mereka bergumul dengan permasalahan yang sama. Mereka juga
menghadapi masalah keseimbangan antara pekerjaan dan peran sebagai orangtua," ujar
Presiden FWI Ellen Galinsky.
PEMBAHASAN FENOMENA
Mistik Pria Gaya Baru (The New Male Mystique)
Mistik adalah keyakinan yang menawan tetapi perlu dibuktikan kebenarannya.
Sejak lama, wanita lebih sering mengalami konflik antara keluarga dan pekerjaan. Sekarang
pekerja pria juga mengalami hal yang sama. Fenomena ini diistilahkan dengan Mistik Pria
Gaya Baru.
Walau pada zaman sekarang ini, peran jender semakin egaliter dan para wanita semakin
berperan dalam mencari nafkah keluarga, pria masih menganut faham Mistik Pria Gaya
Lama, yaitu tekanan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Contohnya, pria yang
telah menjadi ayah bekerja lebih lama dan lebih keras dibandingkan pria seumur yang tidak
punya anak dibawah umur 18 tahun. Tekanannya lebih besar.
Fenomenanya adalah:
pria sekarang lebih terlibat dalam kehidupan keluarganya dibandingkan dengan jaman
dulu.
Pria mulai menghabiskan waktu bersama anak-anak dan berkontribusi lebih besar
dalam menjaga rumah dan keluarga
Pria mengalami apa yang sejak dulu dialami wanita bekerluarga jika mulai bekerja
tekanan untuk mengerjakan pekerjaan di kantor dan di rumah
Penelitian tidak melibatkan pria yang belum punya pasangan, yang belum punya anak, tidak
punya anak di bawah umur 18 tahun atau tidak hidup bersama, dan tidak hidup bersama
anggota keluarga lain.
Delapan puluh persen responden hidup bersama pasangan. Tujuh puluh lima persen kedua
pasangan sama-sama bekerja. Empat puluh sembilan persen pria memiliki anak dibawah 18
tahun. Enam belas persen pria dilaporkan hidup bersama dengan orang tua sebagai tanggung
jawabnya.
Pertanyaan 1: Apa yang menjadi resiko pria yang mengalami konflik pekerjaan dan
keluarga?
Temuan 1
Lamanya jam kerja paling mempengaruhi pria dalam konflik pekerjaan dan keluarga
semakin lama jam kerja, semakin tinggi kemungkinan terjadinya konflik pekerjaan dan
keluarga. Kesimpulan sebagai berikut:
Pria yang bekerja kurang dari 40 jam per minggu, 29% mengalami konflik pekerjaan
dan keluarga
Pria yang bekerja 40 jam hingga 49 jam per minggu, 39% mengalami konflik
pekerjaan dan keluarga (jam kerja bertambah 122%, kemungkinan konflik bertambah
134%)
Pria yang bekerja lebih dari 50 jam, 60% mengalami konflik pekerjaan dan keluarga
(jam kerja bertambah lebih dari 125%, kemungkinan konflik pekerjaan dan keluarga
bertambah 206%)
Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa 54% pria lebih memilih untuk mengurangi jam kerja
dibandingkan kenyataannya
Temuan 2
Konflik pekerjaan dan keluarga tidak hanya berkaitan dengan jam kerja. Hal lain yang
mempengaruhi adalah karaktek pekerjaan dan faktor psikologis (misalnya: sikap terhadap
pekerjaa, keluarga dan peran jender yang pantas) juga mempengaruhi konflik pekerjaan dan
keluarga.
Faktanya pada pekerjaan adalah:
Pada tahun 1977 dan tahun 2008, pria bekerja rata-rata 47 jam per minggu
Sementara wanita bekerja rata-rata 39 jam per minggu pada tahun 1977 dan 42 jam
per minggu pada tahun 2008
Pria menghabiskan waktu bersama anak-anak 1.8 jam per hari kerja pada tahun
1977, meningkat menjadi 3 jam per hari kerja pada tahun 2008
Pria menghabiskan waktu mengerjakan pekerjaan rumah tangga 1.2 jam per hari
kerja pada tahun 1977, meningkat menjadi 2.3 jam per hari kerja
Walau secara logis waktu yang dihabiskan pria dalam pekerjaan berkaitan dengan konflik
pekerjaan dan keluarga, ternyata waktu yang dihabiskan pria bersama anak-anak dan waktu
mengerjakan pekerjaan rumah tangga tidak berpengaruh dalam mengurangi kemungkinan
konflik pekerjaan dan keluarga.
Temuan 3
konflik pekerjaan dan keluarga semakin meningkat karena adanya peningkatan tuntutan
pekerjaan, semakin kaburnya batasan antara kehidupan di lokasi pekerjaan dan di rumah
(pekerjaan dikerjakan di rumah), menurunnya rasa aman pada pekerjaan (persaingan semakin
ketat, tekanan meningkat) dan gaji yang tidak bertambah, meningkatkan kemungkinan
konflik pekerjaan dan keluarga.
Jam kerja pria mungkin sama dengan 40 tahun yang lalu, tetapi pekerjaan itu sendiri berubah.
Pria dituntut semakin cepat dan semakin keras dalam bekerja.
Pria dengan tuntutan pekerjaan yang tinggi dan sedang lebih besar kemungkinan mengalami
konflik pekerjaan dan keluarga dibandingkan dengan yang rendah. Faktanya ini tidak
berkaitan dengan jam kerja per minggu.
Sekarang pria semakin sering dihubungi oleh manajemen soal pekerjaan di rumah
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dari antara pria-pria yang dihubungi tersebut,
separuhnya mengalami konflik pekerjaan dan keluarga.
Pandangan pria tentang keamanan pekerjaan juga menurun. Sekarang pria semakin kuatir
bahwa mereka akan kehilangan pekerjaan dalam waktu dua tahun mendatang.
Dalam hal kehilangan pekerjaan, semakin kuatir pria kehilangan pekerjaannya, semakin besar
kemungkinan konflik pekerjaan dan keluarga yang dialaminya.
Temuan 4
Pria yang lebih mementingkan pekerjaan lebih mungkin mengalami konflik pekerjaan dan
keluarga dibandingkan pria yang mementingkan keluarga atau keduanya.
Pada tahun 2008, 62 persen pria yang mementingkan pekerjaan mengalami konflik pekerjaan
dan keluarga, dua kali lipat lebih besar daripada yang mementingkan keluarga (36%). Pria
yang mementingkan pekerjaan rata-rata bekerja 49 jam seminggu, sementara yang
mementingkan keluarga hanya 43 jam. Lamanya waktu untuk bekerja mempengaruhi
besarnya konflik pekerjaan dan keluarga sementara lamanya waktu bersama keluarga kurang
berpengaruh. Mungkin konflik berkurang karena pria merasa nyaman dengan perannya
bersama keluarga
Temuan 5
Pria yang berpikiran tradisional (pria harus mencari nafkah dan wanita harus mengurus
rumah dan anak-anak) cenderung mengalami konflik pekerjaan dan keluarga.
Pandangan pria dan wanita mengenai pemikiran tradisional ini cenderung sama. Hanya saja,
pria yang sangat setuju dengan pandangan ini, cenderung mengalami konflik pekerjaan dan
keluarga lebih besar.
Kemungkinan, pria yang lebih egaliter mengenai peran jender ini kurang merasa tertekan
sehingga mengurangi konflik pekerjaan dan keluarga.
Temuan 6
Pria yang hidup bersama istri atau pasangan mengalami konflik pekerjaan dan keluarga lebih
banyak daripada yang tidak walaupun hasil penelitian tidak begitu berbeda.
Temuan 7
Ayah yang punya anak di bawah 18 tahun lebih mungkin mengalami konflik pekerjaan dan
keluarga.
Biaya membesarkan anak cukup besar dan pria merasa tertekan untuk bekerja lebih lama
untuk memenuhi kebutuhan anak sementara harus berperan sebagai ayah. Artinya, tekanan
pada pria muncul dari tekanan keuangan dan waktu bersama anak.
Temuan 8
Ayah yang lebih terpusat pada keluarga, bekerja lebih lama dalam seminggu dibandingkan
dengan pria yang tidak memiliki anak.
Walau sebenarnya tidak bisa dibandingkan langsung, hal ini menjelaskan bawah pria bisa
bekerja lebih lama untuk memenuhi kebutuhan keluarganya walaupun mengurangi waktu
bersama
Temuan 9
Banyak ayah yang lebih suka bekerja lebih singkat, tetapi mereka tetap bekerja lama dalam
seminggu untuk menafkahi keluarga.
Alasannya adalah:
Kenyataan bahwa peran jender sudah berubah selama 4 dekade ini, dimana wanita lebih
banyak terlibat dalam karir dan pria lebih banyak terlibat dalam keluarga, menghadapkan pria
pada situasi yang rumit. Pria ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga dan
mereka juga tetap ingin berhasil dalam karir.
Hasil penelitian juga menyatakan bahwa pria lebih bertanggung jawab merawat orang tua
dibandingkan wanita.
Pertanyaan 2: Apa faktor yang menjadi pembeda dalam konflik pekerjaan dan
keluarga, terutama pada pekerja level atas?
Analisa dititikberatkan pada empat kelompok pria yang mengalami konflik pekerjaan dan
keluarga, yaitu:
Temuan 1
Pria-pria ini diuntungkan jika memiliki atasan atau rekan kerja yang mendukung:
Pria yang memiliki atasan atau rekan kerja kurang mengalami konflik pekerjaan dan
keluarga
Pria yang mendapat dukungan penuh dari atasan kepada keluarga, hampir tidak
mengalami konflik pekerjaan dan keluarga
Pria yang memiliki tuntutan pekerjaan yang tinggi kurang mengalami konflik
pekerjaan dan keluarga jika memiliki atasan atau rekan kerja yang mendukung
Dialog dengan pimpinan mengenai keluarga dan masalah pribadi berpengaruh besar pada pria
dengan tanggung jawab keluarga. Ayah yang memiliki istri/ pasangan yang bekerja dan
merasa nyaman mendiskusikan masalah keluarga dan pribadi kepada pimpinannya,
cenderung mengalami lebih sedikit konflik pekerjaan dan keluarga dibandingkan dengan pria
yang merasa tidak nyaman
Temuan 2
Pria yang mengalami konflik pekerjaan dan keluarga menganggap penting fleksibilitas
(waktu, tempat, cara dll) dalam pekerjaan:
57% pria bekerja diatas 50 jam per minggu tetapi lebih fleksibel dalam bekerja, lebih
sedikit mengalami konflik pekerjaan dan keluarga dibandingkan dengan 20% yang
tidak fleksibel
47% pria yang memiliki tuntutan pekerjaan yang tinggi tetapi lebih fleksibel dalam
bekerja, sedikit mengalami konflik pekerjaan dan keluarga dibandingkan 27% yang
tidak fleksibel
51% ayah yang memiliki istri yang bekerja tetapi lebih fleksibel dalam bekerja,
sedikit mengalami konflik pekerjaan dan keluarga dibandingkan dengan 37% yang
tidak fleksibel
64% pria yang mementingkan pekerjaan tetapi lebih fleksibel dalam bekerja, sedikit
mengalami konflik pekerjaan dan keluarga dibandingkan dengan 21% yang tidak
fleksibel
Kemampuan menyesuaikan jadwal dan mengambil waktu untuk hal-hal mendesak, sangat
penting bagi pria yang bekerja 50 jam per minggu atau lebih. Mereka menentukan pada jam
berapa mereka bekerja sehingga bisa menyisihkan waktu pada saat yang tepat untuk keluarga.
Fleksibiltas yang dimaksud seperti:
Resiko konflik pekerjaan dan keluarga berkaitan erat dengan tinggi jam kerja dalam
seminggu dengan kenyataan bahwa pria yang mementingkan pekerjaan tidak sesuai lagi
dengan perubahan nilai sosial yang menyatakan bahwa pria harus lebih terlibat dalam
keluarga
Temuan 3
Pria yang mengalami konflik pekerjaan dan keluarga membutuhkan budaya kerja yang
mendukung fleksibilitas di tempat kerja.
Dahulu, tempat kerja yang fleksibel dianggap sebagai tanda bahwa pekerja lebih fokus pada
keluarga dibandingkan pada pekerjaan. Sekarang budaya tersebut berubah. Pekerja seperti itu
tetap dianggap sebagai pekerja keras dan tidak merusak kesempatan untuk berkarir.
Lingkungan dan budaya tenaga kerja dalam membesarkan anak juga berubah, seperti:
Untuk menghadapi tantangan di atas, Lead Center menganggap perlu melakukan integrasi
antara pekerjaan, keluarga dan kesehatan. Untuk membentuk budaya yang terintegrasi ini,
maka diperlukan fleksibilitas pada tempat kerja.
Fleksibilitas ini berkaitan dengan:
1. Waktu kapan dan seberapa lama perlu bekerja:
a. Minggu kerja yang dipadatkan. Jika pekerjaan dipadatkan pada satu minggu,
beban kerja pada minggu berikutnya bisa berkurang
b. Waktu yang fleksibel. Jam mulai dan berakhir bekerja ditentukan bersama
manajer dengan jumlah jam yang sama
c. Pekerjaan paruh waktu. Jumlah jam kerja lebih sedikit dengan pendapatan
lebih sedikit, tetapi setidaknya lebih dari separu jam kerja biasa
d. Cuti pribadi atau keluarga. Cuti ini bisa ditanggung atau di luar tanggungan
pemberi pekerjaan
2. Tempat dimana perlu bekerja:
a. Bekerja dari rumah
b. Pusat layanan telekomunikasi
c. Kantor virtual
3. Tugas tugas seperti apa yang perlu dikerjakan di tempat kerja
a. Berbagi tugas. Pekerja-pekerja mengatur waktu dan tugas dari satu pekerjaan
penuh waktu
b. Tugas pokok yang dinegosiasikan. Pekerja memilih tugas pokok yang mau
dikerjakannya
c. Menciptakan tugas pokok. Pekerja menciptakan tugas poko dalam memenuhi
kebutuhan pemberi tugas
d.
KESIMPULAN
Mistik Pria Gaya Baru menyadarkan kita bahwa pria menghadapi dua tuntutan besar yaitu
kecenderungan untuk lebih memberi perhatian pada keluarga dan struktur sosial, sistem dan
norma yang mempersulit pria untuk mengurangi jam kerja dan menghabiskan waktu bersama
keluarga. Sebagai tambahan, pekerjaan mereka semakin penuh tuntutan dan tidak aman.
Apa yang harus diubah pria agar bisa mengatur konflik antara pekerjaan dan keluarga? Yang
paling penting adalah adanya dialog terbuka tentang konflik antara pekerjaan dan keluarga.
konflik antara pekerjaan dan keluarga adalah konflik pria dan wanita dalam keluarga. Pihak
yang terlibat dalam dialog adalah pihak yang berkepentingan seperti pimpinan pekerjaan,
rekan kerja, teman, keluarga dan komunitas, pembuat kebijakan dan media.
Pemberi pekerjaan juga bisa ikut terlibat dalam mengurangi konflik antara pekerjaan dan
keluarga. Caranya dengan mengembangkan budaya organisasi, kebijakan dan penerapannya
yang bisa mengurangi konflik antara pekerjaan dan keluarga. Keterlibatan pemberi pekerjaan
adalah:
Mengubah asumsi bawah pria yag bekerja lama dalam seminggu adalah pekerja yang
baik dan menciptakan budaya kerja yang mendukung fleksibilitas pria dalam
memperhatikan keluarganya
Mengurangi beban pekerjaan dengan mencari cara agar pria bisa lebih efektif
(misalnya dengan mengurangi pekerjaan yang tidak perlu dan meningkatkan
kerjasama tim)
Meninjau ulang kebijakan dan penerapan fleksibilitas dalam pekerjaan
Mengembangkan jalur karir yang lebih fleksibel yang mengurangi beban kerja
terutama pada saat keluarga membutuhkan perhatian suami atau ayah (misalnya pada
masa kelahiran anak, pada saat orang tua sedang sakit) tanpa mengancam
kemungkinan karir pria untuk berkembang
Menawarkan pengurangan waktu kerja yang menguntungkan pria dari segi prosentase
pembayaran, manfaat yang diterima dan kemungkinan pengembangan karir
Memberi kesempatan pada pria untuk mendiskusikan pekerjaan mereka dan peran
dalam keluarga dan menjadi bagian dalam mencari solusi yang menguntungkan
pemberi kerja dan keluarga
Pada level sosial dan kebijakan, masalah ini berputar di sekitar isu tentang ketersediaan dan
kemampuan untuk memenuhi biaya kebutuhan anak, biaya kesehatan dan perumahan. Jika
hal ini dipermudah, maka beban keluarga juga lebih mudah. Lebih lanjut, perbedaan gaji
antar jender juga perlu dikurangi.
Untuk meningkatkan kehidupan yang nyaman di tempat kerja dan keluarga, harus ada
perubahan di segala tingkatan, seperti:
Kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan ternyata sangat menarik untuk diteliti lebih
lanjut. Dari berbagai kemungkinan alasan, pengaruh keluarga saja bisa memberikan hasil
yang menarik. Hal ini juga semakin menarik jika penelitian dilakukan dalam waktu yang
lama dan mengambil data yang cukup selama bertahun-tahun.
Penelitian mengenai hal ini masih sedikit di Indonesia, tetapi pada tahun-tahun mendatang,
hal ini akan menjadi penting