Anda di halaman 1dari 7

Rentetan Konflik Agraria di Indonesia Difilmkan

Kategori: Berita Agraria - Dibaca: 1967 kali Jumat, 21 September 2012 - 16:05:11 WIB
Logo Gekko Studio (bud/SACOM)SACOM (SUARAAGRARIA.COM) - Gekko Studio dan
Perkumpulan Telapak membuat serial film dokumenter yang mengangkat permasalahan
konflik agraria di Indonesia, yakni potret perjuangan petani dan masyarakat adat yang
mempertahankan tanah melawan kepentingan penguasaan sepihak oleh perusahaan
besar, baik swasta maupun plat merah sekalipun.
Dokumenter ini akan ditayangkan perdana Jumat ini (21/9/2012) pukul 19.00
malam nanti di Kedai Telapak, Gedung Alumni IPB Jl. Raya Pajajaran No. 54, Kota Bogor.
Dalam Serial tersebut terdapat tiga film yang diluncurkan, yakni Hutan Jawa
Hutan Siapa? karya Een Irawan Putra, Tapal Batas Lore Lindu karya Melly Nurmawati
dan Gunung Es di Muara Tae besutan Yudi Nofiandi. Selain itu juga akan disajikan video
rangkuman pandangan para pakar terhadap konflik agraria di Indonesia.
Film berjudul Hutan Jawa Punya Siapa? menceritakan Perum Perhutani yang
menguasai kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar di Jawa Madura dengan visi menjadi
pengelola hutan lestari untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menghadapi
tantangan yang berat. Skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang
dikembangkan oleh Perhutani masih dianggap belum menjadi sebuah jalan keluar.
Film selanjutnya berjudul Gunung Es di Muara Tae mengisahkan perjuangan
masyarakat Kampung Muara Tae, Kalimantan yang merebut serta mempertahankan
hutan warisan nenek moyang mereka dari cengkraman perusahaan perkebunan kelapa
sawit.
Sedangkan film Tapal Batas Lore Rindu mencoba menceritakan berbagai konflik
lahan yang sudah terjadi sejak tahun 1970 di Desa Toro dan Marena. Klaim sepihak
pengelolaan kawasan konservasi terhadap Wilayah Adat Toro mencapai 80% dari total
luas wilayah di Toro. Berkat perjuangan masyarakat Marena dan Toro yang sudah
dilakukan puluhan tahun lalu, masyarakat Marena dan Toro berhasil membuat
kesepakatan-kesepakatan dengan Pihak Taman Nasional Lore Lindu dan beberapa pihak
lain dalam hal pengelolaan sumber daya alam.
Rencananya, setelah pemutaran launching film akan dilanjutkan dnegan diskusi
Resolusi Konflik Agraria, dengan nara sumber Prof. hariadi Kartodihardjo (Ketua Dewan
Kehutanan Nasional, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB), Dr. Noer Fauzi Rahman
(Direktur Sajogyo Institute), Dr. Ir. Bambang Sukmananto, MSc (Direktur Utama Perum
Perhutani) dan Khusnul Zaini (Ketua Perkumpulan Telapak).
Konflik Agraria : Karena Pemerintah Cinta Pemodal Daripada Rakyatnya
Posted by PERKUMPULAN WALLACEA on 8 Maret 2014 Posted in: Pendidikan Hukum dan
Hak-Hak Masyarakat, Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tinggalkan komentar Oleh:
Hamsaluddin Divisi PA-PSDA Perkumpulan Wallacea Palopo
Seyogyanya fungsi negara adalah melindungi, menghormati dan mengayomi hak-hak
rakyatnya,
namun di Indonesia ini terkadang nurani kemanusiaan dan rasa
kewarganegaraan kita selalu tersentak dan merasakan pilu saat negara Pelaksana
menerlantarkan rakyat atau bahkan melakukan kedzaliman yang di luar batas wajarnya.
Rabu, tanggal 5 Maret 2014, nasib naas dialami oleh saudara Puji, warga Suku Anak
Dalam(SAD) dikriminalisasi hingga menghembuskan nafas terakhir. Hal ini adalah salah
satu dari banyaknya deretan peristiwa kriminal yang terjadi karena Konflik
Agraria/perebutan Sumber Daya Alam, baik itu antara masyarakat dengan perusahaan
ataupun pemerintah.

Bagaimana Konflik Agraria Merajalela di Negeri ini ???


Konflik Agraria merupakan konflik yang terkadang mengarahkan kita pada satu sikap
determinisme, karena potensinya yang sangat besar terjadi di negara yang kaya akan
Sumber Daya Alam ini. Ada beberapa hal yang menjadi paradigma Konflik
Agraria/Sumber Daya Alam, antara lain :

Sumber Daya Alam/Agraria menyimpan suatu lingkungan atau ruang yang saling
berhubungan. aksi kelompok atau perorangan kemungkinan akan mempengaruhi
kelompok lainnya

Sumber Daya Alam/Agraria merupakan ruang sosial yang terkadang memberikan


kesenjangan antara pemodal/produsen ekspor pertanian dan petani skala kecil

Sumber Daya Alam/Agraria adalah subyek yang dapat meningkatkan kelangkaan


yang disebabkan perubahan lingkungan, meningkatnya permintaan dan distribusi
yang tidak setara.

Sumber Daya Alam/Agraria digunakan oleh masyarakat didefinisikan secara


simbolik, Sumber Daya Alam terkadang menjadi Identitas Etnik

Sumber Daya Alam/Agraria adalah obyek Hak, terkadang terjadi konflik atas
penghilangan hak seperti penghilangan hak masyarakat oleh pihak
perusahaan. (Sumber :Pelatihan Negosiasi dalam Konflik Sumber Daya
Alam_Sawit Watch & Scale Up.2011).

Kelima hal di atas merupakan cikal bakal Konflik Agraria yang banyak terjadi di negara
ini. Potensi Konflik Agraria yang besar ini didukung pula dengan Paradigma
Developmentalisme/Pembangunan Bangsa ini yang merujuk pada pengerukan atau
penjarahan terhadap kekayaan Sumber Daya Alam. Negara lebih banyak memercayakan
pengelolaan Sumber Daya Alam kepada para pemodal dan tak pernah memperhatikan
masyarakat yang hidup dan bergantung pada Sumber Daya Alam setempat. Negara
memberikan jamuan suci dengan izin yang mudah. Klaim Tanah Negara yang kemudian
didistribusikan kepada para pemodal. Jaminan keamanan dan investasi yang cukup lama.
Pemodal adalah Raja di negara ini. Pemodal adalah kekasih pelaksana negara yang tak
memiliki kasih bagi rakyatnya sendiri. Perampasan Hak Hidup, Kemiskinan serta
Kriminalisasi, semua terjadi karena pemerintah lebih mencintai pemodal daripada
Rakyatnya. (*)
Tipe Property Rights

REZIM
KEPEMILIKAN
Bromley (1991) membagi rezime kepemilikan menjadi empat :

Rezime kepemilikan individu/pribadi (private property regime), yakni kepemilikan


pribadi atas sesuatu dimana hak atas sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya,
sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan
hanya berlaku untuk pemiliknya.

Rezim kepemilikan bersama (common property regime), yakni kepemilikan oleh


sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan
berlaku untuk anggota kelompok tersebut

Rezim kepemilkan oleh negara, hak kepemilikan dan aturan-aturannya ditetapkan


oleh negara, individu tidak boleh memilikinya

Rezim akses terbuka, tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan
kewajiban

HAK KEPEMILIKAN DAN SISTEM EKONOMI


Sistem ekonomi dunia di dominasi oleh tiga:
Sistem Ekonomi Kapitalis
Seluruh kepemilikan diserahkan kepada swasta. Sistem ekonomi ini percaya, penyerahan
kepemilikan kepada swasta yang diatur oleh mekanisme pasar akan menghasilkan
pencapaian ekonomi yang efisien.
Hal ini karena setiap pemilik memiliki kepastian atas kepemilikannya sehingga menjadi
insentif untuk melakukan aktivitas transaksi.
Namun, pencapaian efisiensi pemerataan akan terhambat karena kepemilikan atas asset
tidak merata, adanya eksternalitas, informasi yang tidak merata, dll sehingga aset hanya
akan menumpuk pada segelintir orang.
Setiap individu memiliki insentif untuk mengambil manfaat atas sumberdaya langka yang
ada pada domain publik sehingga akan menyebabkan sumberdaya tersebut over used.
Sistem Sosialis
Hak kepemilikan diserahkan kepada negara dimana negara berhak memiliki dan
mengelola seluruh sumberdaya yang ada.
Penganut sistem ini yakin bahwa dengan menyerahkan hak kepemilikan pada negara
efisiensi distribusi akan mudah dicapai.
Namun faktanya, efisiensi itu sulit dicapai karena :
ekonomi dikendalikan oleh birokrat yang umumnya tidak reponsif terhadap kebutuhan
masyarakat,
penempatan kaum usahawan pada perusahaan publik kurang termotivasi (kurang
insentif) untuk mencari keuntungan;
kontrol negara atas faktor produksi menyebabkan kekuasaan politik berada ditangan
orang yang ditunjuk negara;
ketiadaan pasar menempatkan perencanaan ekonomi secara terpusat dimana supply,
demand, preferensi konsumen ditentukan oleh negara.

Sistem Ekonomi Campuran


Kepemilikan pribadi dijamin keberadaannya tetapi negara juga berhak memiliki dan
mengelola sumberdaya strategis yang menyangkut kepentingan umum, seperti
sumberdya air, lahan, laut, hutan dll.
Sistem ini muncul karena baik kapitalis maupun sosialis memiliki kelemahan dan
kelebihan masing-masing.
Sistem campuran ini dikenal dengan welfare economic system/social market economy
dimana peran kelembagaan sangat dominan dalam mendistribusikan kesejahteraan pada
masyarakat.
Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut
memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial, namun
kepemilikan dapat pula diserahkan kepada negara manakala pasar tidak responsif atau
mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Penyerahan kepemilikan pada swasta pada saat pasar tidak reponsif atas sumberdaya
tersebut hanya akan menimbulkan kesejangangan kesejahteraan. Disinilah peran negara
diperlukan untuk mengintroduksi kelembagaan sebagai pengganti pasar yang
mengalami kegagalan.
PROPERTY RIGHTS DAN EKONOMI KELEMBAGAAN
Eksternalitas Keberadaanya diakui oleh ekonomi klasik/neoklasik, pasar tidak dapat
menyelesaikannya sehingga diperlukan intervensi pemerintah.
Ronald Coase menolak kehadiran intervensi pemerintah dalam menyelesaikan persoalan
eksternalitas. Menurutnya, eksternalitas dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar
asalkan hak kepemilikan telah diatur dengan baik. Artinya, semua komoditas dan jasa
telah memiliki status kepemilikan yang jelas.
Contoh: jika industri akan membuang limbah ke sungai maka ia harus
membayar/memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan. Hal ini dapat
dilakukan jika hak masyarakat atas jasa lingkungan sungai telah mendapatkan
pengakuan. Peran pemerintah mempertegas/menjamin hak-hak masyarakat atas jasa
lingkungan tersebut
Perbandingan Kelembagaan Kapitalis antara AS, Jerman dan Jepang

DINAMIKA PROPERTY RIGHTS


Dinamis: mengalami perubahan seriring dengan perubahan sistem politik, sosial, budaya
dan teknologi.
Ketika jumlah manusia masih sedikit sementara sumberdaya masih melimpah tidak perlu
adanya kepemilikan, tidak perlu adanya aturan main yang mengatur kepemilikan.
Kepemilikan bersama yang secara tradisional hidup dan efektif menjaga keseimbangan
pemanfaatan sumberdaya alam mengalami tekanan hebat seiring dengan meningkatkan
jumlah populasi manusia sehingga kepemilikan individu menjadi alternatif yang dipilih.
PERUBAHAN PROPERTY RIGHTS

PROPERTY RIGHTS DAN EFISIENSI EKONOMI


Efisiensi: upaya untuk memperoleh output yang lebih banyak dengan input yang sama
Dapat ditempuh melalui tiga cara:
Meningkatkan spesialisasi tenaga kerja
Meningkatkan kapasitas dan inovasi teknologi
Meningkatkan kepastian status kepemilikan, melalui:

Pemberian status/perlindungan hak kepemilikan atas temuan teknologi atau produksi


barang baru, berimplikasi terhadap peningkatan produktifitas dan efisiensi ekonomi.
Ketidakjelasan kepemilikan terhadap SDA menyebabkan terjadinya kecenderungan
eksploitasi besar-besaran yang dalam jangka panjang akan menurunkan efisiensi
ekonomi
Property Rights 1
Posted: June 13, 2010 in Pengantar Ilmu Kelembagaan
Tags: ekskusifitas, hak kepemilikan, property rights
PENGERTIAN PROPERTY RIGHTS
Banyak yang mengartikan property sebagai benda (a thing). Namun penelusuran ilmiah
oleh para ahli hukum, ekonomi, politik, dll, menunjukan bahwa property merupakan hak
atas sesuatu bukan sesuatu itu sendiri. Hak mengandung pengertian klaim atas sesuatu
yang dapat ditegakan (enforceable) atau dihormati oleh pihak lain. Klaim atas sesuatu
tanpa adanya perlindungan hukum atasnya atau tanpa bisa ditegakan tidak akan
bermakna dan memberikan manfaat apa-apa. Oleh karena itu, unsur terpenting dari
property adalah penegakan (enforcement). Walaupun pengertian property sudah
mengandung makna hak (rights) tapi banyak ditemukan adanya penggandengan kata
property dengan right sehingga muncul frase property rights (hak-hak kepemilikan). Ini
merupakan penegasan atas kandungan makna hak yang ada dalam kata property.
Karena property merupakan hak yang harus ditegakan/ dihormati oleh pihak lain, maka
property merupakan institusi/lembaga/aturan main, yang dalam penegakannya
memerlukan badan/lembaga yang berwenang menjamin tegaknya hak-hak tersebut.
Ada juga yang beralasan mengapa property right perlu ditegakan karena property
dianggap sebagai hak azasi manusia. Hak manusia untuk memiliki merupakan hak yang
paling mendasar. Bila hak ini tidak ada, maka manusia kehilangan eksistensinya. Oleh
karena itu, pihak berwenang (pemerintah, lembaga adat, atau lembaga yang
mendapatkan mandat) harus berupaya agar property manusia atas sesuatu bisa tegak.
Property rights atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk
mengakses, memanfaatkan (utilize), mengelola atas sesuatu, mengubah atau
mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain. Sesuatu
yag dimaksud bisa berupa barang (fisik), jasa atau pengetahuan/informasi yang bersifat
intangible. Pengertian property seperti ini sangat dekat dengan menguasai sesuatu
secara ekslusif.
Bromley (1989) mendefinisikan propety right sebagai hak untuk mendapatkan aliran
laba/keuntungan secara aman (secure) karena orang lain respek terhadap aliran laba
tersebut (terkait dengan transaksi).
Dari penjelasan di atas, property right merupakan klaim seseorang secara ekslusif atas
sesuatu untuk memanfaatkan (utilize), mengelola atas sesuatu, mengubah atau
mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut. Transfer bisa dalam bentuk menjual,
menghibahkan, menyewakan, meminjamkan dll. Property sangat penting dalam ekonomi
karena berkaitan dengan kepastian pengusaan faktor-faktor produksi. Faktor-faktor
produksi harus mendapat prioritas utama untuk memperoleh kepastian karena kalau
tidak proses produksi akan terganggu yang akan menyebabkan perekonomian macet.

Karena itu, kepastian penguasaan atas lahan dan tenaga kerja sebagai faktor produksi
utama telah mendapatkan perhatian penting dalam sejarah ekonomi dari masa ke masa.
TEORI PROPERTY RIGHTS
Furubotn dan Richter (2000) melacak teori kepemilikan dan bermuara pada dua teori :
Teori kepemilikan individu, merupakan penopang utama doktrin hak-hak alamiah (natural
rights) dari ekonomi klasik yang mengarah pada lahirnya private property right/
individualistis.
Teori kepemilikan sosial, mendorong lahirnya commons property atau state property
yang dianut secara ekstrim oleh negara-negara sosialis.
Caporapo dan Levine (1992) menjelaskan dua teori yang berbeda mengenai property
rights, yaitu :
1. Aliran positivism, menganggap hak-hak kepemilikan lahir melalui sistem politik.
Sistem politik/kekuasaan mendesain hak kepemilikan dan menegakannya melalui
pengadilan hukum.
2. Aliran alamiah yang mengatakan bahwa hak kepemilikan melekat pada seseorang
sejak lahir. Kelahiran individu disertai dengan kelahiran atas hak-haknya yang tidak bisa
dipisahkan. Ditegakan atau tidak melalui prose pengadilan hukum, hak bawaan lahir
sejatinya harus ada.
Hak kepemilikan tidak merujuk pada hubungan antar manusia dengan sesuatu tapi
hubungan antar manusia dengan manusia yang muncul dari keberadaan sesuatu dan
penggunaannya. Kepemilikan atas sesuatu menjadi penting manakala sesuatu tersebut
bersifat langka. Kepastian kepemilikan atas sesuatu yang langka sangat penting untuk
dapat berlangsungnya proses transaksi. Semakin tinggi kepastian tersebut, biaya
transaksinya semakin rendah. Dalam konteks property rights, biaya transaksi meliputi
biaya transfer hak-hak kepemilikan dan perlindungan kepemilkan tersebut dari klaim
pihak lain.
KARAKTERISTIK PROPERTY RIGHTS
Tietenberg (1992) mengidentifikasi karakteristik property right :
Eksklusivitas : pemanfaatan, nilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara
ekslusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak
kepemilikan tersebut
Transferability : seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik
yang lain secara sukarela melalui jual beli, sewa, hibah dll
Enforceability : hak kepemilikan bisa ditegakan, dihormati dan dijamin dari praktek
perampasan/ pembeslahan pihak lain.

Anda mungkin juga menyukai