Anda di halaman 1dari 20

Blogger.

KONTAK
Nama
Email *
Pesan *

BLOG ARCHIVE

LABELS POST

Galery Photo (14)

info (4)

Legenda (2)

Materi Kuliah (5)

Softwere Master (5)

Tips dan Trik (4)

Tuturial (5)

ALEXA WIDGETS

MY-FACEBOOK
Haery As-sazali

Buat Lencana Anda

Etika dalam melakukan sebuah Penelitian

Etika Penelitian
Etika mencakup norma untuk berperilaku, memisahkan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Rangkuman Etika Penelitian
meliputi butir-butir berikut:

Kejujuran

Jujur dalam pengumpulan bahan pustaka, pengumpulan data, pelaksanaan


metode dan prosedur penelitian, publikasi hasil. Jujur pada kekurangan atau kegagalan
metode yang dilakukan. Hargai rekan peneliti, jangan mengklaim pekerjaan yang bukan
pekerjaan Anda sebagai pekerjaan Anda.

Obyektivitas

Upayakan minimalisasi kesalahan/bias dalam rancangan percobaan, analisis


dan interpretasi data, penilaian ahli/rekan peneliti, keputusan pribadi, pengaruh pemberi
dana/sponsor penelitian.

Integritas

Tepati selalu janji dan perjanjian; lakukan penelitian dengan tulis, upayakan
selalu menjaga konsistensi pikiran dan perbuatan

Ketelitian

Berlaku teliti dan hindari kesalahan karena ketidakpedulian; secara teratur


catat pekerjaan yang Anda dan rekan anda kerjakan, misalnya kapan dan di
mana pengumpulan data dilakukan. Catat juga alamat korespondensi responden, jurnal
atau agen publikasi lainnya.

Keterbukaan

Secara terbuka, saling berbagi data, hasil, ide, alat dan sumber daya penelitian.
Terbuka terhadap kritik dan ide-ide baru.

Penghargaan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)

Perhatikan paten, copyrights, dan bentuk hak-hal intelektual lainnya. Jangan


gunakan data, metode, atau hasil yang belum dipublikasi tanpa ijin penelitinya. Tuliskan
nara sumber semua yang memberikan kontribusi pada riset Anda. Jangan pernah
melakukan plagiasi..

Penghargaan terhadap Kerahasiaan (Responden)

Bila penelitian menyangkut data pribadi, kesehatan, catatan kriminal atau data
lain yang oleh responden dianggap sebagai rahasia, maka peneliti harus menjaga
kerahasiaan data tersebut.

Publikasi yang terpercaya

Hindari mempublikasikan penelitian yang sama berulang-ulang ke pelbagai


media (jurnal, seminar).

Pembinaan yang konstruktif

Bantu membimbing, memberi arahan dan masukan bagi mahasiswa/peneliti


pemula.Perkenankan mereka mengembangkan ide mereka menjadi penelitian yang
berkualits.

Penghargaan terhadap Kolega/Rekan Kerja

Hargai dan perlakukan rekan penelitian Anda dengan semestinya. Bila


penelitian dilakukan oleh suatu tim akan dipublikasikan, maka peneliti dengan kontribusi
terbesar ditetapkan sebagai penulis pertama (first author), sedangkan yang lain menjadi
penulis kedua (co-author(s)). Urutan menunjukkan besarnya ontribusi anggota tim
dalam penelitian.

Tanggung Jawab Sosial

Upayakan penelitian Anda berguna demi kemaslahan masyarakat, meningkatkan


taraf hidup, mudahkan kehidupan dan meringankan beban hidup masyarakat. Anda
juga bertanggung jawab melakukan pendampingan nagi masyarakat yang
ingin mengaplikasikan hasil penelitian Anda

Tidak melakukan Diskriminasi

Hindari melakukan pembedaan perlakuan pada rekan kerja atau mahasiswa


karena alasan jenis elamin, ras, suku, dan faktor-faktor lain yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kompetensi dan integritas ilmiah.

Kompetensi

Tingkatkan kemampuan dan keahlian meneliti melalui pendidikan dan


pembelajaran seumur hidup; secara bertahap tingkatkan kompetensi Anda sampai taraf
Pakar.

Legalitas

Pahami dan patuhi peraturan institusional dan kebijakan pemeintah yang terkait
dengan penelitian Anda.

Rancang pengujian dengan hewan percobaan dengan baik

Bila penelitian memerlukan hewan percobaan, maka percobaan harus dirancang


sebaik mungkin, tidak dengan gegabah melakukan sembarang perlakuan pada hewan
percobaan.

Mengutamakan keselamatan Manusia

Bila harus mengunakan manusia untuk menguji penelitian, maka penelitian


harus dirancang dengan teliti, efek negatif harus diminimalkan, manfaat
dimaksimalkan; hormati harkat kemanusiaan, privasi dan hak obyek penelitian Anda
tersebut; siapkan pencegahan dan pengobatan bila sampel Anda menderita efek egatif
penelitian.

MUJIHARTO PANGA

Beranda

Facebook

Twitter

MILIKU

M U J I H A RTO PAN G A

sya merantau dari bulagi ke gorontalo


L I H AT P R O F I L L E N G K A P K U

POPULAR POSTS

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH KOMUNIKASI BISNIS

Mengindeks Dan Mengabjad

JAWABAN UTS EKONOMI SYARI'AH

BLOGROLL
Ada kesalahan di dalam gadget ini
Selasa, 27 Mei 2014

INTERNAL AUDITOR DAN DILEMA ETIKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan
benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika
bisnis harus dimulai dengan menyediakan kerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan
istilah baik dan benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi terhadap dunia
bisnis. Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis secara umum dan menjelaskan orientasi umum terhadap bisnis, dan
mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan dasar
untuk menganalisis masalah-masalah etis dalam bisnis.
Dalam dunia bisnis, setiap pebisnis yang jujur pastilah ingin berbisnis secara etis. Untuk itu, mereka membangun tata
kelola yang diperkuat dengan panduan etika bisnis dan kode etik kerja. Di mana, semua ini bertujuan untuk dapat berbisnis
dengan landasan moral yang etis dari integritas yang unggul. Persoalannya, di dalam kehidupan, termasuk di dalam bisnis
dan pekerjaan, tidak hanya hadir pemangku kepentingan (stakeholder) dengan perilaku etis, tetapi juga pemangku
kepentingan dengan perilaku tidak etis.
Perilaku tidak etis dari pemangku kepentingan adalah akar persoalan dilema etika bisnis, sehingga hal ini menjadikan
dunia bisnis seperti harus memakan buah simalakama. Dunia bisnis sebagai sumber penciptaan nilai tambah dan
kekayaan, bila dijalankan dengan perilaku etis, maka dia akan menjadi energi yang menciptakan pemerataan ekonomi,
termasuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Buah simalakama dalam dunia bisnis muncul dari keserakahan; dari niat buruk yang ingin menghalalkan atau
membolehkan segala sesuatu oleh dorongan nafsu pribadi; dan oleh dorongan keyakinan pribadi demi keuntungan diri
sendiri. Bila saja setiap pemangku kepentingan mempersiapkan diri masing-masing dengan moral yang penuh integritas
untuk bisa menjadikan etika bisnis sebagai perilaku, sikap, sifat, dan kebiasaan pola hidup; maka, dirinya akan cerdas
menghadapi dilema etika, sehingga tidak harus menciptakan realitas seperti peribahasa buah simalakama.

Kebanyakan perusahaan selalu mempersepsikan etika bisnis sebagai sesuatu yang normatif, sehingga gagal
menjadikannya sebagai perilaku ataupun karakter kerja perusahaan dan insan perusahaan. Diperlukan kesadaran dan
gairah untuk melatih setiap insan perusahaan agar berperilaku etis, juga menyebarkan energi etis saat harus berurusan
dengan pemangku kepentingan yang hadir dari berbagai latar belakang. Dan ini semua sangatlah ditentukan oleh kualitas
kepemimpinan yang tegas dan jelas di dalam menjalankan etika dari integritas yang unggul.
Etika bisnis bila menjadi perilaku dari setiap pemangku kepentingan, maka dia akan menjadi energi positif, yang akan
membuat perusahaan menuai kinerja terbaik dari sistem ekonomi bisnis yang bersih dan sehat. Apalagi bila sistem ekonomi
dan bisnis berada di dalam tata kelola yang etis dari energi integritas pemangku kepentingan, maka dapat dipastikan dilema
etika akan hilang secara otomatis.
Dilema etika bisnis muncul karena berkumpulnya energi negatif dari perilaku tidak etis dan rendah integritas. Hal inilah
yang menyebabkan dunia bisnis harus memakan buah simalakama. Bila semua regulasi, kebijakan, dan pemangku
kepentingan memiliki integritas yang tinggi; untuk menjadikan etika bisnis sebagai perilaku sehari-hari, maka buah
simalakama pastilah menjadi obat yang menyehatkan tubuh perekonomian dan perusahaan.
Namun dalam pembahasan ini kami akan membahas tentang Interanal Auditor dan Dilema Etika. Diama internal
auditor juga perlu yang nama etika karena mengaudit suatu perusahaan yang sesuai dengan etika internal audit sebagai
berikut:
Auditor internal diharapkan menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.

Integritas
Integritas auditor internal membangun kepercayaan dan dengan demikian memberikan dasar untuk landasan penilaian
mereka.

2.

Objektivitas
Auditor internal menunjukkan objektivitas profesional tingkat tertinggi dalam mengumpulkan, mengevaluasi, dan
mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan atau proses yang sedang diperiksa. Auditor internal membuat penilaian
yang seimbang dari semua keadaan yang relevan dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan mereka sendiri atau
pun orang lain dalam membuat penilaian

3.

Kerahasiaan
Auditor internal menghormati nilai dan kepemilikan informasi yang mereka terima dan tidak mengungkapkan informasi tanpa
izin kecuali ada ketentuan perundang-undangan atau kewajiban profesional untuk melakukannya.

4.

Kompetensi
Auditor internal menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan dalam pelaksanaan layanan
audit internal.

Aturan Perilaku
1. Integritas
Auditor Internal:
1.

Harus melakukan pekerjaan mereka dengan kejujuran, ketekunan, dan tanggung jawab.

2.

Harus mentaati hukum dan membuat pengungkapan yang diharuskan oleh ketentuan perundang-undangan
dan profesi.

3.

Sadar tidak boleh terlibat dalam aktivitas ilegal apapun, atau terlibat dalam tindakan yang memalukan untuk
profesi audit internal atau pun organisasi.

4.

Harus menghormati dan berkontribusi pada tujuan yang sah dan etis dari organisasi.
2. Objektivitas
Auditor Internal:

1.

Tidak akan berpartisipasi dalam kegiatan atau hubungan apapun yang dapat mengganggu, atau dianggap
dianggap mengganggu, ketidakbiasan penilaian mereka. Partisipasi ini meliputi kegiatan-kegiatan atau
hubungan-hubungan yang mungkin bertentangan dengan kepentingan organisasi.

2.

Tidak akan menerima apa pun yang dapat mengganggu, atau dianggap dianggap mengganggu, profesionalitas
penilaian mereka.

3.

Harus mengungkapkan semua fakta material yang mereka ketahui yang, jika tidak diungkapkan, dapat
mengganggu pelaporan kegiatan yang sedang diperiksa.
3. Kerahasiaan
Auditor Internal:

1.
2.

Harus berhati-hati dalam penggunaan dan perlindungan informasi yang diperoleh dalam tugas mereka.
Tidak akan menggunakan informasi untuk keuntungan pribadi atau yang dengan cara apapun akan
bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan atau merugikan tujuan yang sah dan etis dari organisasi.
4..Kompetensi
Auditor Internal:

1.

Hanya akan memberikan layanan sepanjang mereka memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman
yang diperlukan.

2.

Harus melakukan audit internal sesuai dengan Standar Internasional Praktik Profesional Audit Internal.

3.

Akan terus-menerus meningkatkan kemampuan dan efektivitas serta kualitas layanan mereka.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana sesungguhnya internal auditor itu?
Bagaimana dilema etika bisnis itu
1.3 Tujuan Penulisan
Agar memahami internal auditor tersebut.

Agar mamahami dilema etika bisnis saat ini.

BAB II
PEMBAHASAN TENTANG
INTERNAL AUDITOR DAN DILEMA ETIKA
2.1 Pengantar
Tema tentang independensi dan etika dalam profesi akuntan memiliki pemahaman yang sangat penting
dan mendalam. Sorotan masyarakat terhadap profesi akuntan sangatlah besar sebagai dampak beberapa
skandal perusahaan besar dunia seperti Enron dan WorldCom yang melibatkan para akuntan (Largay III, 2002;
Verrechia, 2003).
Finn et.al. (1988) dan Bazerman et.al. (1997) menyatakan bahwa akuntan seringkali dihadapkan pada
situasi adanya dilema yang menyebabkan dan memungkinkan akuntan tidak dapat independen. Akuntan diminta
untuk tetap independen dari klien, tetapi pada saat yang sama kebutuhan mereka tergantung kepada klien
karena fee yang diterimanya, sehingga seringkali akuntan berada dalam situasi dilematis. Hal ini akan berlanjut
jika hasil temuan auditor tidak sesuai dengan harapan klien, sehingga menimbulkan konflik audit (Tsui, 1996;
Tsui dan Gul, 1996). Konflik audit ini akan berkembang menjadi sebuah dilemma etika ketika auditor diharuskan
membuat keputusan yang bertentangan dengan independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang
mungkin terjadi atau tekanan di sisi lainnya (Windsor dan Askhanasy, 1995). Auditor secara social juga
bertanggung jawab kepada masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan
pragmatis pribadi atau kepentingan ekonomis semata. Situasi seperti hal tersebut di atas sangat sering dihadapi
oleh auditor. Auditor seringkali dihadapkan kepada situasi dilema etika dalam pengambilan keputusannya (Tsui,
1996; Tsui dan Gul, 1996; Larkin, 2000; Dillard dan Yuthas, 2002).
Auditing internal adalah sebuah fungsi penilaian independen yang dijalankan di dalam organisasi untuk
menguji dan mengevaluasi system pengendalian internal organisasi. Kualitas auditing internal yang dijalankan
akan berhubungan dengan kompetensi dan obyektivitas dari staf internal auditor organisasi tersebut (Adams,
1994; Bou-Raad, 2000). Sebagai pekerja, internal auditor mendapatkan penghasilan dari organisasi di mana dia
bekerja, hal ini berarti internal auditor sangat bergantung kepada organisasinya sebagai pemberi kerja. Di lain
pihak, internal auditor dituntut untuk tetap independen sebagai bentuk tanggungjawabnya kepada publik dan
profesinya (Abdolmohammadi dan Owhoso, 2000; Windsor; 2002). Di sini konflik audit muncul ketika auditor
internal menjalankan aktivitas auditing internal. Internal auditor sebagai pekerja di dalam organisasi yang
diauditnya akan menjumpai masalah ketika harus melaporkan temuan-temuan yang mungkin tidak
menguntungkan dalam penilaian kinerja manajemen atau obyek audit yang dilakukannya. Ketika manajemen
atau subyek audit menawarkan sebuah imbalan atau tekanan kepada internal auditor untuk menghasilkan
laporan audit yang diinginkan oleh manajemen maka menjadi dilema etika. Untuk itu auditor dihadapkan kepada
pilihan-pilihan keputusan yang terkait dengan hal-hal keputusan etis dan tidak etis.
Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun
moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Kemampuan dalam mengidentifikasi

dan melakukan perilaku etis atau tidak etis adalah hal yang mendasar dalam profesi akuntan. Internal auditor
juga tidak terlepas dari masalah bagaimana membuat keputusan etis. Internal auditor sebagai karyawan
mempunyai tanggung jawab kepada organisasi di mana dia bekerja, tetapi sebagai seorang akuntan profesional
dia harus bertanggunjawab kepada profesinya, kepada masyarakat dan dirinya sendiri untuk berkelakuan etis
yang baik. Kemampuan internal auditor untuk membuat keputusan yang akan diambil ketika menghadapi situasi
dilema etika akan sangat bergantung kepada berbagai hal, karena keputusan yang diambil oleh internal auditor
juga akan banyak berpengaruh kepada organisasi dan konstituen di mana dia berada (Arnold dan Ponemon,
1991). Internal auditor secara terus menerus dihadapkan pada situasi dilema etika yang melibatkan pilihanpilihan antara nilainilai yang saling bertentangan. Manajemen dapat mempengaruhi proses pemeriksaan yang
dilakukan oleh internal auditor. Manajemen dapat menekan internal auditor untuk melanggar standar
pemeriksaan, tetapi internal auditor juga terikat kepada etika profesi dan mempunyai tanggungjawab sosial,
maka auditor berada dalam situasi yang dilematis. Memenuhi tuntutan manajemen berarti melanggar standar
dan etika profesi, namun di lain pihak, jika tidak memenuhi tuntutan tersebut kemungkinan dapat menghasilkan
sanksi atas diri internal auditor.
Faktor determinan penting dalam perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara
unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses
sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu (Ford dan Richardson, 1994; Loe et.al., 2000; Larkin,
2000; Paolillo & Vitell, 2002). Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri
pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya), sedangkan faktor-faktor lainnya adalah
factor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.

2.2 Konflik Audit dan Dilema Etika


Banyak pihak yang berkepentingan di dalam sebuah organisasi bisnis. Investor yang menanamkan
dananya ke dalam perusahaan atau kreditur yang meminjamkan dananya, sehingga pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan tidak terbatas kepada manajemen saja, tetapi meluas
kepada investor dan kreditor serta calon investor dan calon kreditur. Para pihak tersebut memerlukan informasi
mengenai perusahaan, sehingga seringkali ada dua pihak yang berlawanan dalam situasi ini. Di satu pihak,
manajemen perusahaan ingin menyampaikan informasi mengenai pertanggunjawaban pengelolaan dana yang
berasal dari pihak luar, di lain pihak, pihal eksternal ingin memperoleh informasi yang andal dari manajemen
perusahaan. Profesi akuntan timbul untuk memberikan informasi yang terpercaya bagi kedua belah pihak dalam
situasi seperti ini.
Kode etik yang digunakan oleh para profesional beranjak dari bentuk pertanggunjawaban profesi
kepada masyarakat. Akuntan sebagai sebuah profesi juga tidak terlepas dari pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Damman (2003) menyatakan bahwa sebenarnya akuntan di dalam aktivitas auditnya banyak hal
yang harus dipertimbangkan, karena dalam diri auditor mewakili banyak kepentingan yang melekat dalam proses
audit (built-in conflict of interest). Seringkali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam
konflik audit (Tsui, 1996; Tsui dan Gul, 1996). Konflik dalam sebuah audit akan berkembang pada saat auditor
mengungkapkan informasi tetapi informasi tersebut oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum.
Konflik ini akan menjadi sebuah dilema etika ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang
menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin terjadi di sisi lainnya

(Windsor dan Askhanasy, 1995). Karena auditor seharusnya secara sosial juga bertanggung jawab kepada
masyarakat dan profesinya daripada mengutamakan kepentingan dan pertimbangan pragmatis pribadi atau
kepentingan ekonomis semata, sehingga seringkali auditor dihadapkan kepada masalah dilema etika dalam
pengambilan keputusannya.
Situasi dilema menurut Gunz, Gunz dan McCutcheon (2002) adalah situations in which professional must
choose between two or more relevant, but contradictory, ethical directives, or when every alternative results in an
undesirable outcome for one or more persons

Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi
pengambilan keputusan yang terkait dengan keputusannya yang etis atau tidak etis. Situasi tersebut terbentuk
karena dalam konflik audit ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keputusan auditor sehingga auditor
daihadapkan kepada pilihan keputusan etis dan tidak etis.

2.3 Pengambilan Keputusan Etis (Ethical Decision Making)


Keputusan etis (ethical decision) per definisi adalah sebuah keputusan yang baik secara legal maupun
moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Trevino, 1986; Jones, 1991). Beberapa review tentang penelitian
etika (Ford dan Richardson, 1994; Louwers, Ponemon dan Radtke, 1997; Loe et.al., 2000; Paolillo & Vitell, 2002)
mengungkapkan beberapa penelitian empirik tentang pengambilan keputusan etis. Mereka menyatakan bahwa
salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah faktor-faktor yang secara unik
berhubungan dengan individu pembuat keputusan dan variabel-variabel yang merupakan hasil dari proses
sosialisasi dan pengembangan masing-masing individu. Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabelvariabel yang merupakan ciri pembawaan sejak lahir (gender, umur, kebangsaan dan sebagainya). Sedangkan
faktor-faktor lainnya adalah faktor organisasi, lingkungan kerja, profesi dan sebagainya.
Penelitian tentang pengambilan keputusan etis, telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan
mulai dari psikologi sosial dan ekonomi. Beranjak dari berbagai hasil penelitian tersebut kemudian
dikembangkan dalam paradigm ilmu akuntansi. Louwers, Ponemon dan Radtke (1997) menyatakan pentingnya
penelitian tentang pengambilan keputusan etis dari pemikiran dan perkembangan moral (moral reasoning and
development) untuk profesi akuntan dengan 3 alasan, yaitu pertama, penelitian dengan topik ini dapat digunakan
untuk memahami tingkat kesadaran dan perkembangan moral auditor dan akan menambah pemahaman tentang
bagaimana perilaku auditor dalam menghadapi konflik etika.
Kedua, penelitian dalam wilayah ini akan lebih menjelaskan problematika proses yang terjadi dalam menghadapi
berbagai pengambilan keputusan etis auditor yang berbeda-beda dalam situasi dilema etika. Ketiga, hasil
penelitian ini akan dapat membawa dan menjadi arahan dalam tema etika dan dampaknya pada profesi akuntan.
Beberapa model penelitian etis seringkali hanya mendeskripsikan bagaimana proses seseorang
mengambil keputusan yang terkait dengan etika dalam situasi dilema etika (Jones, 1991; Trevino, 1986). Sebuah
model pengambilan etis tidak berada kepada pemahaman bagaimana seharusnya seseorang membuat
keputusan etis (ought to do), namun lebih kepada pengertian bagaimana proses pengambilan keputusan etis itu
sendiri. Alasannya adalah sebuah pengambilan keputusan akan memungkinkan menghasilkan keputusan yang
etis dan keputusan yang tidak etis, dan memberikan label atau mendefinisikan apakah suatu keputusan tersebut
etis atau tidak etis akan mungkin sangat menyesatkan (McMahon, 2002).

Rest (dalam dalam Zeigenfuss dan Martison, 2002) menyatakan bahwa model pengambilan keputusan
etis terdiri dari 4 (empat tahapan), yaitu pertama pemahaman tentang adanya isu moral dalam sebuah dilema
etika (recognizing that moral issue exists).Dalam tahapan ini menggambarkan bagaimana tanggapan seseorang
terhadap isu moral dalam sebuah dilema etika. Kedua adalah pengambilan keputusan etis (make a moral
judgment), yaitu bagaimana seseorang membuat keputusan etis. Ketiga adalah moral intention yaitu bagaimana
seseorang bertujuan atau bermaksud untuk berkelakuan etis atau tidak etis. Sedangkan keempat adalah moral
behavior, yaitu bagaimana seseorang bertindak atau berperilaku etis atau tidak etis.
Jones (1991) menyatakan ada 3 unsur utama dalam pengambilan keputusan etis, yaitu pertama, moral
issue, menyatakan seberapa jauh ketika seseorang melakukan tindakan, jika dia secara bebas melakukan
tindakan itu, maka akan mengakibatkan kerugian (harm) atau keuntungan (benefit) bagi orang lain. Dalam
bahasa yang lain adalah bahwa suatu tindakan atau keputusan yang diambil akan mempunyai konsekuensi
kepada orang lain. Kedua adalah moral agent, yaitu seseorang yang membuat keputusan moral (moral
decision). Ketiga adalah keputusan etis (ethical decision) itu sendiri, yaitu sebuah keputusan yang secara legal
dan moral dapat diterima oleh masyarakat luas (Jones, 1991).
Perkembangan penalaran moral (cognitive moral development), sering disebut juga kesadaran moral
(moral reasoning, moral judgment, moral thinking), merupakan faktor penentu yang melahirkan perilaku moral
dalam pengambilan keputusan etis, sehingga untuk menemukan perilaku moral yang sebenarnya hanya dapat
ditelusuri melalui penalarannya. Artinya, pengukuran moral yang benar tidak sekedar mengamati perilaku moral
yang tampak, tetapi harus melihat pada kesadaran moral yang mendasari keputusan perilaku moral tersebut.
Dengan mengukur tingkat kesadaran moral akan dapat mengetahui tinggi rendahnya moral tersebut (Jones,
1991).
Trevino (1986) menyusun sebuah model pengambilan keputusan etis dengan menyatakan bahwa
keputusan etis adalah merupakan sebuah interaksi antara faktor individu dengan faktor situasional (personsituation interactionist model). Dia menyatakan bahwa pengambilan keputusan etis seseorang akan sangat
tergantung
kepada
faktor-faktor
individu (individual
moderators) seperti ego
strength,
field
dependence, and locus of control dan faktor situasional seperti immediate job context, organizational culture,
andcharacteristics of the work.
Model yang diajukan Trevino (1986) dapat jelaskan yaitu, ketika seseorang dihadapkan pada sebuah
dilema etika maka individu tersebut akan mempertimbangkannya secara kognitif dalam benaknya. Hal ini searah
dengan pernyataan Jones (1991) tentang moral issue yang ada dalam dilema etika tersebut bahwa kesadaran
kognitif moral seseorang akan sangat tergantung kepada level perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam
Arnold dan Sutton, 1997). Pembentukan pemahaman tentang moral issue tersebut akan tergantung kepada
faktor individual (pengalaman, orientasi etika dan komitmen kepada profesi) dan faktor situasional (nilai etika
organisasi).
Berdasarkan model dari Trevino (1986) tersebut maka dalam penelitian ini akan diuji sebuah personsituation interactionist model untuk internal auditor. Faktor yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan etis internal auditor ketika menghadapi dilema etika adalah faktor individual yaitu pengalaman,
komitmen profesional serta orientasi etika auditor dan factor situasional yaitu nilai etika organisasi.

2.4 Pengalaman Kerja Auditor


Pengalaman kerja telah dipandang sebagai suatu faktor penting dalam memprediksi kinerja auditor
(Sularso dan Naim, 1999; Bonner, 1990; Davis, 1997; Jeffrey, 1992). Pengalaman auditor akan semakin

berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit, diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja,
pengawasan dan reviewoleh akuntan senior, mengikuti program pelatihan dan penggunaan standar auditing.
Kidwell, Stevens dan Bethke (1987) melakukan penelitian tentang perilaku manajer dalam menghadapi
situasi dilema etika, hasil penelitiannya adalah bahwa manajer dengan pengalaman kerja yang lebih lama
mempunyai hubungan yang positif dengan pengambilan keputusan etis. Hasil penelitian ini juga didukung oleh
penelitian Larkin (2000) dan Glover et.al. (2002). Larkin (2000) melakukan penelitian yang melibatkan internal
auditor di lembaga keuangan dan menyatakan bahwa internal auditor yang berpengalaman cenderung lebih
konservatif dalam menghadapi situasi dilema etika. Glover et.al. (2002) melakukan penelitian pada beberapa
mahasiswa program bisnis dan menyatakan bahwa mahasiswa yang senior lebih berperilaku etis dibandingkan
dengan yang lebih yunior.
Kalbers dan Fogarty (1995) dalam penelitiannya tentang internal auditor menyatakan ada hubungan
antara pengalaman kerja dengan profesionalisme dan afiliasi terhadap komunitasnya (community affiliation).
Meskipun hasil penelitian tersebut hanya menunjukkan bukti yang terbatas, alasan ini dimungkinkan karena
untuk menguatkan komitmen profesional seorang auditor perlu waktu dalam keterlibatannya untuk menjadi
bagian dan menerima manfaat sebagai bagian dari sebuah komunitas profesinya.

2.5 Komitmen Profesional


Komitmen profesional diartikan sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan individu dengan
profesinya. Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan antara individu dengan tujuan dan nilainilai yang ada dalam profesi termasuk nilai moral dan etika. Definisi komitmen profesional banyak digunakan
dalam literatur akuntansi adalah sebagai: 1) suatu keyakinan dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai di dalam
organisasi profesi 2) kemauan untuk memainkan peran tertentu atas nama organisasi profesi 3) gairah untuk
mempertahankan keanggotaan pada organisasi profesi (Jeffrey dan Weatherholt, 1996).
Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen profesional, pemahaman etika dan
sikap ketaatan terhadap aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa akuntan dengan komitmen profesional yang kuat
maka perilakunya lebih mengarah kepada ketaatan terhadap aturan dibandingkan dengan akuntan dengan
komitmen profesional yang rendah. Namun riset ini belum menunjukkan bagaimana komitmen profesi dan
orientasi etika berhubungan dengan perilaku akuntan dalam situsai dilema etika. Khomsiyah dan Indriantoro
(1998) mengungkapkan juga bahwa komitmen professional mempengaruhi sensitivitas etika auditor pemerintah
yang menjadi sampel penelitiannya. Windsor dan Ashkanasy (1995) mengungkapkan bahwa asimilasi keyakinan
dan nilai organisasi yang merupakan definisi komitmen profesi mempengaruhi integritas dan independensi
auditor.

2.6 Orientasi Etika


Orientasi etika (ethical orientation atau ethical ideology) berarti mengenai konsep diri dan perilaku
pribadi yang berhubungan dengan individu dalam diri seseorang. Cohenet. al. (1995 dan 1996) dan Finegan
(1994) menyatakan bahwa setiap orientasi etika individu, pertama-tama ditentukan oleh kebutuhannya.
Kebutuhan tersebut berinteraksi dengan pengalaman pribadi dan sistem nilai individu yang akan menentukan
harapan atau tujuan dalam setiap perilakunya sehingga pada akhirnya individu tersebut menentukan tindakan
apa yang akan diambilnya.

Orientasi Etika menurut Forsyth (dalam Barnett, Bass dan Brown, 1994) dioperasionalisasikan sebagai
kemampuan individu untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan nilai etika dalam suatu kejadian. Orientasi
etika menunjukkan pandangan yang diadopsi oleh masing-masing individu ketika menghadapi situasi masalah
yang membutuhkan pemecahan dan penyelesaian etika atau dilema etika.
Kategori orientasi etika yang dibangun oleh Forsyth (1992) menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua
konsep yaitu idealisme versus pragmatisme, dan relativismeversus nonrelativisme yang ortogonal dan
bersama-sama menjadi sebuah ukuran dari orientasi etika individu.
Idealisme menunjukkan keyakinan bahwa konsekuensi sebuah keputusan yang diinginkan dapat
diperoleh tanpa melanggar nilai-nilai luhur moralitas. Dimensi ini dideskripsikan sebagai sikap individu terhadap
suatu tindakan dan bagaimana tindakan itu berakibat kepada orang lain. Individu dengan idealism yang tinggi
percaya bahwa tindakan yang etis seharusnya mempunyai konsekuensi yang positif dan selalu tidak akan
berdampak atau berakibat merugikan kepada orang lain sekecil apapun (Barnett, Bass dan Brown, 1994). Di lain
pihak, pragmatisme mengakui hasil keputusan adalah yang utama dan jika perlu mengabaikan nilai-nilai
moralitas untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Dalam kaitan dengan ini maka internal auditor yang
mempunyai idealisme yang tinggi akan selalu bekerja dengan cermat dan profesional dan ini berarti internal
auditor dengan orientasi etika yang idealis akan berperilaku lebih etis dalam menghadapi dilema etika.
Konsep relativisme menunjukkan perilaku penolakan terhadap kemutlakan aturan-aturan moral yang
mengatur perilaku individu yang ada. Orientasi etika ini mengkritik penerapan prinsip-prinsip aturan moral yang
universal. Relativisme menyatakan bahwa tidak ada sudut pandang suatu etika yang dapat diidentifikasi secara
jelas merupakan yang terbaik, karena setiap individu mempunyai sudut pandang tentang etika dengan sangat
beragam dan luas. Kebalikannya, orientasi etika non-relativisme (atau absolutisme) menunjukkan pengakuan
adanya prinsipprinsip moral dengan kewajiban-kewajiban yang mutlak.
Shaub, Finn dan Munter (1993) dalam penelitiannya tentang sensitivitas etika auditor, meneliti
hubungan orientasi etika auditor dengan komitmen profesional auditor. Mereka menyatakan bahwa individu yang
mempunyai idealisme secara otomatis akan memelihara tatacara pekerjaannya sesuai dengan standar
profesional, sehingga standar profesional tersebut akan menjadi arahan dalam bekerja. Hal ini akan searah
dengan konsep non-relativisme yang menyatakan tingkat absolutisme yang tinggi. Tujuan utama akuntan
sebagai sebuah profesi audit adalah juga termasuk menghindari kerugian yang diterima oleh pengguna laporan
keuangan, sehingga seorang auditor yang memiliki orientasi etika idealis akan selalu merujuk kepada tujuan dan
arahan yang ada pada standar profesionalnya.
Ziegenfuss dan Singhapakdi (1994) melakukan penelitian tentang persepsi etis dan nilai-nilai individu
terhadap anggota Institute of Internal Auditor. Mereka menyatakan bahwa orientasi etika internal auditor
mempunyai hubungan positif dengan perilaku pengambilan keputusan etis. Internal auditor dengan skor
idealisme yang tinggi akan cenderung membuat keputusan yang secara absolute lebih bermoral (favor moral
absolute) dan sebaliknya.

2.7 Nilai Etika Organisasi


Nilai etika organisasi (corporate ethical value) adalah sebuah sistem nilainilai etis yang ada di dalam
organisasi. Sistem nilai ini dihasilkan dari proses akulturisasi dari berbagai nilai-nilai yang ada, baik yang berasal
dari di dalam maupun dari luar organisasi. Nilai etika organisasi, atau lebih spesifik, lingkungan etika di dalam
organisasi, terbuat dari berbagai praktek yang dijalankan oleh manajemen beserta nilai-nilai yang
menyertainya(espoused values). Nilai etika organisasi sebagai komponen utama kultur organisasi merupakan

acuan yang mangarahkan anggota-anggota organisasi dalam menghadapi lingkungan internal maupun
eksternalnya yang terbentuk dari nilai-nilai etika individual dari manajemen baik formal maupun informal
terhadap situasi etika di dalam organisasi (Huntet.al., 1989).
Nilai etika organisasi dapat digunakan untuk menetapkan dan sebagai patokan dalam menggambarkan
apa-apa yang dikerjakan merupakan hal yang baik atau etis dan hal yang tidak baik atau tidak etis dalam
organisasi. Hunt et.al. (1989) juga menyatakan bahwa nilai etika organisasi adalah sebuah derajat pemahaman
organisasi tentang bagaimana organisasi bersikap dan bertindak dalam menghadapi isu-isu etika. Hal ini meliputi
tingkat persepsi 1) bagaimana para pekerja menilai manajemen dalam bertindak menghadapi isu etika di dalam
organisasinya 2) bagaimana para pekerja menilai bahwa manajemen member perhatian terhadap isu-isu etika di
dalam organisasinya dan 3) bagaimana para pekerja menilai bahwa perilaku etis (atau tidak etis) akan diberikan
imbalan (hukuman) di dalam organisasinya. Douglas, Davidson dan Schwartz (2001) menyatakan bahwa nilai
etika organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan nilai kepribadian individu.

BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
kesimpulan umum bahwa nilai etika organisasi, orientasi etika dan komitmen profesional secara individu
maupun simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengambilan keputusan etis internal auditor
dalam situasi dilema etika. Nilai etika organisasi sebagai faktor situasional individu mempunyai pengaruh yang
dignifikan terhadap orientasi etika internal auditor. Orientasi etika auditor mempunyai pengaruh yang positif
terhadap komitmen profesi, dan kemudian secara bersama-sama keduanya mempunyai hubungan positif
dengan pengambilan keputusan etis internal auditor dalam situasi dilema etika. Dalam penelitian ini tidak
ditemukan pengaruh pengalaman kerja dalm hubungannya dengan komitnen profesional maupun pengambilan
keputusan etis.

Daftar Pustaka

Sasongko, Budi. Internal Auditor Dan Dilema Etika. www.theAkuntan.Com


http://auditorinternal.com/2010/01/19/kode-etik-auditor-internal/
http://ekonomi.kompasiana.com/manajemen/2013/12/07/ketika-dilema-etika-bisnis-bagai-buah-simalakama-616393.html
http://medica-chemistry.blogspot.com/2012/11/dilema-etik.html
http://auditorinternal.com/2010/05/20/bagaimana-membedakan-auditor-internal-dan-eksternal/
http://diandyt.wordpress.com/2012/11/21/definisi-dilema-etika/
http://auditorinternal.com/2010/02/23/menghitung-kompetensi-sang-auditor-internal/
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Akuntan Publik
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan Dan Pembangunan Republik IndonesiaNomor 18 Tahun
2013 Tentang Pengangkatan Ke Dalam Jabatan Fungsional Auditor Melalui Perpindahan Jabatan Dengan
Perlakuan Khusus Di Lingkungan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2013
Rahmawati. 1997. Hubungan antara Profesionalisme Internal Auditor dengan Kinerja Tugas, Kepuasan Kerja, Komitmen
Organisasi, Keinginan Untuk Pindah, Tesis S2, Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Diposkan oleh Mujiharto Panga di Selasa, Mei 27, 2014


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

0 komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru

Subscribe
Latest Tricks
Search

Posting Lama Beranda

Copyright 2016 MUJIHARTO PANGA | Designed for r4 - r4i gold, r4 3ds, r4 sdhc

ETIKA TES
Kegiatan pengujian berperan sangat besar dalam system pendidikan dan system
persekolahan.karena pentingnya itu maka setiap tindakan pengujian selalu
menimbulkan kritik yang tajam dari masyarakat. Kritik tersebutt tidak jarang
dating dari para ahli, disamping dating dari orang tua yang secara langsung atau
tidak langsung berkepentingan terhadap pengujian. Diantara beberapa kritik
tersebut ada beberapa yang harus menjadi perhatian sungguh sunggup oleh
para praktisi dan ahli tes, pengukuran dan evaluasi. Kritik tersebut antara lain:
Tes senantiasa akan mencampuri rahasia pribadi peserta tes. Setiap tes
berusaha mengetahui pengetahuan dan kemampuan peserta tes, yang dapat
berarti membuka kelemahan dan kekuatan pribadi seseorang. Didalam
masyarakat yang sangat melindungi akan hak dan rahasia pribadi,masalah ini
seslalu akan menjadi gugatan atau keluhan.
Tes selalu menimbulkan rasa cemas peserta tes.memang sampai bats tertentu
rasa cemas itu dibutuhkan untuk dapat mencapai prestasi terbaik, tetapi tes
acapkali menimbulkan rasa cemas yang tidak perlu, yang justru dapat
menghambat seseorang mampu mendemonstrasikan kemampuan terbaiknya.
Tes acapkali justru menghukum peserta didik yang kreatif.karena tes itu selalu
menuntut jawaban yang sudah ditentukan pola dan isinya, maka tentu saja hal
itu tidak memberi ruang gerak yang cukup bagi anak yang kreatif.
tes selalu terikat pad kebudayaan tertentu. Tidak ada tes hasil belajar yang
bebas budaya. Karena itu kemampuan peserta tes untuk memberi jawaban
terbaik turut ditentukan oleh kebudayaan penyusun tes.
Tes hanya mengukur hasil belajar yang sederhana dan yang remeh. Hampir tidak
pernah ada tes hasil belajar yang mampu mengungkapkan tingkah laku peserta
didik secara menyeluruh, yang justru menjadi tujuan utama pendidikan formal
apapun.
Karena banyak kritik yang tajam dari masyarakat terhadap tes hasil pendidikan,
maka para pendidik harus dapat melakukan tes dengan penuh tanggung jawab.
Untuk itu perlu ditegakan beberapa etika tes, yang membedakan tes yang etik
dan tindakan yang tidak etik dalam pelaksanaan tes secara professional. Praktek
tes hasil belajar yang etik terutama mencangkup empat hal utama :
a. Kerahasiaan Hasil Tes
Setiap pendidik dan pengajar wajib melindungi kerahasiakan hasil tes, baik
secara hasil individual maupun secara kelompok. Hasil tes hanya dapat
disampaikan kepada orang lain bila :

Ada izin dari peserta didik yang bersangkutan atau orang yang bertanggung
jawab terhadap peserta didik (bagi peserta didik yang belum dewasa). Jadi
dengan demikian praktek menempelkan hasil tes di papan pengumuman dengan
identitas jelas peserta tes, merupakan pelanggaran terhadap etika ini.
Ada tanda-tanda yang jelas terhadap hasil tes tersebut menunjukan gejala yang
membahayakan dirinya atau membahayakan kepentingan orang lain.
Bila penyampaian hasil tes tersebut kepada orang lain jelas-jelas
menguntungkan peserta tes.
b. Keamanan tes
Tes merupakan alat pengukur yang hanya dapat digunakan secara professional.
Dengan demikian tes tidak dapat digunakan diluar batas-batas yang ditentukan
oleh profesionalisme pekerjaan guru. Dengan demikian maka setiap pendidik
harus dapat menjamin keamanan tes, baik sebelum maupun sesudah digunakan.
c. Interpretasi Hasil Tes
Hal yang paling mengandung kemunkinan penyalahgunaan tes adalah
penginterpretasian hasil tes secara salah. Karena itu maka interpretasi hasil tes
harus diikuti tanggung jawab professional. Bila hasil tes diinterpretasi secara
tidak patut, daalam jangka panjang akan dapat membahayakan kehidupan
peserta tes.
d. Penggunaan tes
Tes hasil belajar haruslah digunakan secara patut. Bila tes hasil belajar tertentu
merupakan tes baku, maka tes tersebut harus digunakan di bawah ketentuan
yang berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut harus digunakan dibawah
ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan tes baku tersebut. Tak ada tes baku
yang boleh digunakan diluar prosedur yang ditapakan oleh tes itu sendiri..
Disamping beberapa prinsip seperti yang diuraikan di atas, ada beberapa
petunjuk praktis yang hendaknya ditaati oleh pendidik dalam tes:
Pelaksaan tes hendaknya diberi tahu terlebih dahulu kepada peserta tes. Hanya
karena pertimbangan tertentu, yang sangat penting yang dapat membenarkan
pendidik tidak memberi tahu terlebih dahulu kepada peserta tes tentang tes
yang akan dilaksanakan. Bahkan kisi-kisi tes sebaiknya diberi tahu kepada
peserta tes sebelum melaksanakan tes.
Sebaiknya pendidik menjelaskan cara menjawab yang dituntut dalam suatu tes.
Petunjuk menjawab tes bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan. Petunjuk
yang bersifat menjebak harus dihindari.
Sebaiknya pendidik justru memotivasi peserta tes mengerjakan tesnya secara
baik. Jangan sampai seorang pendidik justru menakut-nakuti peserta didik.
Bila pendidik menggunakan tes baku, maka hendaknya pendidik tersebut
bertanggung jawab penuh terhadap keamanan tes tersebut. Tidak ada tes baku
yang boleh digunakan dalam latihan.

Seorang pendidik dapat menggunakan hasil tes untuk mengidentifikasi kekuatan


dan kelemahan peserta tes, asalkan hal tersebut tetap menjadi rahasia peserta
tes dan pendidik yang bersangkutan.
Guru hendaknya menghindari diri dari keterlibatan dalam bimbingan tes yang
dapat diperkirakan akan menggangu proses hasil belajar peserta didik. Hal ini
menjadi penting bila guru yang bersangkutan justru terlibat dalam penyusunan
butir tes yang digunakan.
Adalah tidak etik bila seorang guru mengembangkan butir soal atau perangkat
soal yang paralel dengan suatu tes baku dengan maksud untuk digunakan dalam
bimbingan tes.
Adalah tidak etik untuk mendiskriminasikan peserta didik tertentu atau kelompok
tertentu yang boleh mengikuti suatu tes atau melarang mengikuti tes.
Adalah tidak etik untuk memperpanjang waktu atau menyingkat waktu yang
telah ditentukan oleh petunjuk tes.
Guru tidak boleh meningkatkan rasa cemas peserta tes dengan penjelasan yang
tidak perlu.
Secara lebih mandasar etika tes ini diatur dalam standar tes yang dikembangkan
oleh organisasi profesional seperi American Psycological Association (APA),
American Educational Research Education (AERA), dan National Council on
Measuremant in Educaton (NCME). Terakhir ketiga organiasi professional ini
membentuk panitia bersama untuk menyusun standar dalam tes. Mereka
menghasilkan buku yang dinamakan Standard for Educational and Psychological
Testing (1985).
Dalam standar ini dicantumkan berbagai tolak ukur, seperti :
1. Technical Standards for Test Construction and Evaluation;
2. Professional Standards for Test Use;
3. Standards for Particular Application; dan
4. Standards for Administrative Procedures.
Semua standar ini mencangkup dua aspek utama, yaitu tes hasil belajar dan tes
psikologi. Pelanggaran terhadap standar ini merupakan pelanggaran terhadap
etika profesi, yang dalam hal tertentu dapat merupaakan pelanggaran atau
kejahatan.
Sumber / daftar pustaka
1. Mimin Haryati, Model & Teknik Penilaian pada tingkat satuan pendidikan,
Jakarta : GP Press, 2007
(http://pendidikan.anekanews.com/2010/04/pengertian-hubungan-perbedaandan-etika.html)
2. Asmawi Zainul, Pengukuran, Tes dan Evaluasi Hasil Belajar, Jakarta : PAU,
1992.
(http://pendidikan.anekanews.com/2010/04/pengertian-hubungan-perbedaan-

dan-etika.html)
3. Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 1998.
(http://pendidikan.anekanews.com/2010/04/pengertian-hubungan-perbedaandan-etika.html)

Anda mungkin juga menyukai