Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindroma klinis kelainan metabolik,
ditandai oleh adanya hiperglikemik yang disebabkan oleh defek sekresi insulin,
defek kerja insulin atau keduanya. Beberapa jenis yang berbeda dari DM
disebabkan oleh interaksi yang kompleks dari faktor genetika dan lingkungan.
Tergantung pada etiologi DM, faktor yang berperan pada hiperglikemia termasuk
kurangnya sekresi insulin, penurunan penggunaan glukosa, dan peningkatan
produksi glukosa. Disregulasi metabolik yang berhubungan dengan DM
menyebabkan perubahan patofisiologis sekunder beberapa sistem organ yang
memaksakan beban yang luar biasapada individu dengan diabetes dan pada sistem
perawatan kesehatan. Di Amerika Serikat, DM adalah penyebab utama dari
penyakit ginjal tahap akhir (ESRD), nontraumatic amputasi ekstremitas bawah,
dan kebutaan dewasa. Hal ini juga merupakan predisposisi penyakit
kardiovaskular. Dengan meningkatnya insiden infeksi di seluruh dunia, DM akan
kemungkinan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di masa depan.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang menjadi 366 juta tahun
2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam
hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada
tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan berjumlah 21,3 juta.
Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari bahwa mereka
menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan secara
teratur.2
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Peningkatan
insidensi diabetes melitus di Indonesia tentu akan diikuti oleh meningkatnya
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. 1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diabetes

Melitus

adalah

penyakit

kelainan

metabolik

yang

dikarakteristikan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme


karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja
insulin maupun keduanya. Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan
disertai dengan kerusakan,ganguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Walaupun pada diabetes
melitus ditemukan ganguan metabolisme semua sumber makanan tubuh kita,
kelainan metabolisme yang paling utama ialah kelainan metabolisme
karbohidarat. Oleh karena itu diagnosis diabetes melitus selalu berdasarkan
tinginya kadar glukosa dalam plasma darah.3
Diabetes Melitus tipe 2, disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja
dengan baik, kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi
fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Karena
insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe
2 dianggap sebagai non insulin dependent diabetes mellitus. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari
penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun.3
B. Epidemiologi
Prevalensi DM sulit ditentukan karena standar penetapan diagnosisnya
berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012
(ADA 2012),4 sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM.
Sementara itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia
>15 tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.5
Kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki. Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Hasil Riset Kesehatan Dasar
pada tahun 2008, menunjukan prevalensi DM di Indonesia membesar sampai
57%, pada tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus di dunia adalah

sebanyak 371 juta jiwa, dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2
adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes mellitus dan hanya
5% dari jumlah tersebut menderita diabetes mellitus tipe 1.5
Pemeriksan laboratorium bagi penderita DM diperlukan untuk
menegakan diagnosis serta memonitor terapi dan timbulnya komplikasi.
Dengan demikian, perkembangan penyakit bisa dimonitor dan dapat
mencegah komplikasi.
C. Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus, yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah
sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi
insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75%
dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional.6
D. Anatomi Pankreas
Pankreas adalah organ pipih yang terletak dibelakang dan sedikit di
bawah lambung dalam abdomen. Organ ini memiliki 2 fungsi: fungsi endokrin

dan fungsi eksokrin. Bagian eksokrin dari pankreas berfungsi sebagai sel
asinar pankreas, memproduksi cairan pankreas yang disekresi melalui duktus
pankreas ke dalam usus halus. Pankreas terdiri dari 2 jaringan utama, Sloane
(2003), yaitu:
- Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
- Pulau langerhans yang mengeluarkan sekretnya

keluar.

Tetapi,

menyekresikan insulin dan glukagon langsung ke darah.


Pulau-pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologi dari
pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1-3 % dari berat
total pankreas. Pulau langerhans berbentuk opoid dengan besar masingmasing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50,
sedangkan yang terbesar 300, terbanyak adalah yang besarnya 100-225.
Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1-2 juta.

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Pankreas3

Sel endokrin dapat ditemukan dalam pulau-pulau langerhans, yaitu


kumpulan kecil sel yang tersebar di seluruh organ. Ada 4 jenis sel penghasil
hormon yang teridentifikasi dalam pulau-pulau tersebut:
- Sel alfa, jumlah sekitar 20-40 %, memproduksi glukagon yang menjadi
faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai

antiinsulin like

activity.
Sel beta menyekresi insulin yang menurunkan kadar gula darah.
Sel delta menyekresi somastatin, hormon penghalang

pertumbuhan yang menghambat sekresi glukagon dan insulin.


Sel F menyekresi polipeptida pankreas, sejenis hormon pencernaan untuk

hormon

fungsi yang tidak jelas.

Gambar 2. Pulau Langerhans3

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino,


dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada
rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan ke
dalam darah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk keperluan regulasi glukosa
darah.
Sintesis insulin dimulai dalam bentuk prepoinsulin (precursor hormon
insulin) pada retikulum endoplasma sel beta. Dengan bantuan enzim
peptidase, prepoinsulin mengalami pemecahan sehingga terbentuk proinsulin,
yang kemudian dihimpun dalam gelembung-gelembung (secretory vesicle)
dalam sel tersebut. Di sini, dengan bantuan enzim peptidase, proinsulin diurai
menjadi insulin dan peptida-C (C-peptide) yang keduanya sudah siap untuk
disekresikan secara bersamaan melalui membran sel.
Mekanisme secara fisiologis di atas, diperlukan bagi berlangsungnya
proses metabolisme glukosa, sehubungan dengan fungsi insulin dalam proses
utilasi glukosa dalam tubuh. Kadar glukosa darah yang meningkat, merupakan
komponen utama yang memberi rangsangan terhadap sel beta memproduksi
insulin, meskipun beberapa jenis asam amino dan obat-obatan, juga dapat
memiliki efek yang sama. Mekanisme sintesis dan sekresi insulin setelah
adanya rangsangan terhadap sel beta cukup rumit, dan belum sepenuhnya
dipahami secara jelas.
Ada beberapa tahapan dalam sekresi insulin, setelah molekul glukosa
memberikan rangsangan pada sel beta. Pertama, proses untuk dapat melewati
membran sel yang membutuhkan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT)
adalah senyawa asam amino yang terdapat dalam berbagai sel yang berperan
proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai "kenderaan" pengangkut

glukosa masuk dari luar ke dalam jaringan tubuh. Glucose transforter 2(GLUT
2) yang terdapat dalam sel beta misalnya, diperlukan dalam proses masuknya
glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini
merupakan langkah penting, agar selanjutnya ke dalam sel, molekul glukosa
tersebut dapat mengalami proses glikolisis dan fosforilasi yang akan
membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbebas tersebut, dibutuhkan
untuk mengaktifkan proses penutupan K channel yang terdapat pada membran
sel. Terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel menyebabkan
depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh proses pembukaan Ca
channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga
meningkatkan kadar ion Ca intrasel, suasana yang dibutuhkan bagi proses
sekresi insulin melalui mekanisme yang cukup rumit dan belum seutuhnya
dapat dijelaskan.3
E. Fisiologi
Pengaturan Homeostasis Glukosa
Homeostasis glukosa mencerminkan keseimbangan antara produksi
glukosa hepatik dan pengambilan glukosa perifer dan pemanfaatannya. Insulin
adalah regulator terpenting dari keseimbangan metabolisme ini, tapi sinyal
saraf, sinyal

metabolik,

dan hormon lainnya

(misalnya,

glukagon)

menghasilkan pengontrolan terpadu untuk pasokan dan pemanfaatan glukosa.


Organ yang mengatur glukosa dan lipid berkomunikasi dengan
mekanisme saraf dan humoral dengan lemak dan otot memproduksi
adipokines, myokines, dan metabolit yang mempengaruhi fungsi hati. Dalam
keadaan puasa, kadar insulin yang rendah meningkatkan produksi glukosa
dengan mempromosikan glukoneogenesis hepatik dan glikogenolisis dan
mengurangi penyerapan glukosa di jaringan sensitif insulin (otot rangka dan
lemak), sehingga meningkatkan mobilisasi prekursor disimpan seperti asam
amino dan asam lemak bebas (lipolisis).

Gambar 3. Regulasi Homeostasis Glukosa.3

Glukagon, disekresikan oleh sel alfa pankreas ketika glukosa darah atau
insulin tingkat rendah, merangsang glikogenolisis dan glukoneogenesis oleh
hati dan medula ginjal. Pada saat postprandial, beban glukosa memunculkan
kenaikan insulin dan penurunan glukagon, mengarah ke pembalikan proses
ini.

Insulin,

suatu

hormon

anabolik,

mempromosikan

penyimpanan

karbohidrat dan lemak dan sintesis protein. Bagian utama dari glukosa
postprandial digunakan oleh otot rangka, efek dari penyerapan glukosa yang
dirangsang oleh insulin. Jaringan lain, terutama otak, menggunakan glukosa
dalam model insulin insulin. Faktor-faktor yang disekresi oleh miosit skeletal
(irisin), adiposit (leptin, resistin, adiponektin, dll), dan tulang juga
mempengaruhi homeostasis glukosa.5

Biosintesis Insulin
Insulin diproduksi di sel beta dari pulau pankreas. Hal ini awalnya
disintesis sebagai rantai tunggal asam amino-86 prekursor polipeptida,
preproinsulin. Pengolahan proteolitik selanjutnya menghilangkan sinyal
peptida terminal amino, sehingga menimbulkan proinsulin. Proinsulin secara
struktural terkait dengan faktor pertumbuhan seperti insulin I dan II, yang
mengikat lemah pada reseptor insulin. Pembelahan fragmen 31, residu internal
dari proinsulin menghasilkan peptida C dan A (21 asam amino) dan B (30
asam amino) rantai insulin, yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Molekul
insulin matang dan C peptida disimpan bersama-sama dan untuk disekresikan
dari butiran sekresi dalam sel beta. Karena C peptida dibersihkan lebih lambat
dari insulin, itu adalah penanda yang berguna sekresi insulin dan
memungkinkan diskriminasi sumber endogen dan eksogen insulin dalam
7

evaluasi hipoglikemia. Sel beta pankreas mensekresikan islet amyloid


polypeptide (IAPP) atau amylin, suatu peptida 37-asam amino, bersama
dengan insulin. Peran IAPP dalam fisiologi normal tidak lengkap ditetapkan,
tetapi merupakan komponen utama dari fibril amiloid yang ditemukan di
pasien dengan diabetes tipe 2, dan analog kadang-kadang digunakan dalam
mengobati tipe 1 dan tipe 2 DM. Insulin manusia diproduksi oleh teknologi
DNA rekombinan; perubahan struktural pada satu atau lebih residu asam

amino memodifikasi karakteristik fisik dan farmakologinya.5


Sekresi Insulin
Glukosa adalah tombol pengatur sekresi insulin oleh sel beta pankreas,
meskipun asam amino, keton, berbagai nutrisi, peptida gastro-intestinal, dan
neurotransmitter juga mempengaruhi sekresi insulin. Kadar glukosa >3,9
mmol L (70 mg/dL) merangsang sintesis insulin, terutama dengan
meningkatkan protein translation dan processing. Glukosa menstimulasi
sekresi insulin dimulai dengan transportasi ke dalam sel beta oleh transporter
glukosa fasilitatif.

Gambar 4. Mekanisme glukosa merangsang sekresi insulin dan kelainan pada


diabetes.3

Fosforilasi glukosa oleh glukokinase adalah langkah tingkat pembatas


yang mengontrol glukosa dalam regulasi sekresi insulin. Metabolisme
selanjutnya glukosa-6-fosfat melalui glikolisis menghasilkan ATP, yang
menghambat aktivitas dari K sensitif ATP+ channel. Kanal ini terdiri dari dua
protein yang terpisah: satu adalah tempat pengikatan hipoglikemik oral
tertentu (misalnya, sulfonilurea, meglitinides); yang lain adalah dalam hati

meluruskan K + channel protein (Kir6.2). Penghambatan kanal K+ ini


menginduksi depolarisasi membran sel beta, yang membuka tegangan saluran
kalsium tergantung (yang mengarah ke masuknya kalsium) dan menstimulasi
sekresi insulin. Insulin profil sekretori mengungkapkan berdenyut pat-tern dari
pelepasan hormon, dengan semburan yang keluar kecil terjadi sekitar setiap 10
menit, ditumpangkan pada osilasi amplitudo lebih besar dari sekitar 80-150
menit. Incretins dilepaskan dari sel-sel neuroendokrin dari saluran pencernaan
setelah asupan makanan dan memperkuat sekresi insulin glukosa-dirangsang
dan menekan sekresi glukagon. Glukagon-like peptide 1 (GLP-1), incretin
paling ampuh, dilepaskan dari sel-sel L di usus kecil dan merangsang sekresi
insulin hanya ketika glukosa darah di atas tingkat puasa. Incretin analog atau
agen

farmakologis

yang

memperpanjang

aktivitas

endogen

GLP-1

meningkatkan sekresi insulin.3


Aksi Insulin
Setelah insulin disekresikan ke dalam sistem vena portal, ~50% dihapus
dan terdegradasi oleh hati. Insulin yang tak terekstraksi memasuki sirkulasi
sistemik di mana ia mengikat reseptor di situs sasaran. Insulin mengikat
reseptor yang akan

merangsang aktivitas tyrosine kinase intrinsik, yang

mengarah ke autofosforilasi reseptor dan perekrutan molekul sinyal


intracellular, seperti substrat reseptor insulin (IRS). IRS dan protein adaptor
lainnya

menginisiasi

kaskade

kompleks

reaksi

phosphorylation

dan

defosforilasi, mengakibatkan metabolisme luas dan efek mitogenik insulin.


Sebagai contoh, aktivasi dari fosfatidilinositol-3'-kinase (PI-3-kinase) jalur
merangsang translokasi dari transporter glukosa fasilitatif (misalnya, GLUT4)
ke permukaan sel, sebuah acara yang sangat penting untuk penyerapan
glukosa oleh otot rangka dan lemak. Aktivasi jalur reseptor insulin signaling
lainnya menginduksi sintesis glikogen, sintesis protein, lipogenesis, dan
regulisasi berbagai gen dalam sel insulin responsif.3
F. Patofisiologi DM Tipe II
Diabetes melitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya
kekurangan
insulin secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui
3 jalan, yaitu:

a. Rusaknya sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia,
dll)
b. Desensitasi atau penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
c. Desensitasi atau kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu:
- Resistensi insulin
- Disfungsi sel B pancreas
DM tipe 2 mungkin mencakup berbagai gangguan dengan fenotipe
-

umum dari hiperglikemia.5


Pertimbangan Genetik
DM tipe 2 memiliki komponen genetik yang kuat. Kesesuaian DM tipe 2
pada kembar identik adalah antara 70 dan 90%. Individu dengan orangtua
dengan DM tipe 2 memiliki peningkatan risiko diabetes; jika kedua orang tua
memiliki DM tipe 2, risiko mendekati 40%. Resisten insulin, seperti yang
ditunjukkan oleh penggunaan glukosa berkurang di otot rangka, hadir dalam
banyak kerabat nondiabetes, pertama-tingkat individu dengan DM tipe 2.
Penyakit ini poligenik dan multifaktor, karena selain kerentanan genetik,
faktor lingkungan (seperti obesitas, gizi, dan aktivitas fisik) memodulasi
fenotip. Lingkungan di dalam rahim juga berkontribusi, dan baik ditambah
atau dikurangi berat badan lahir meningkatkan risiko DM tipe 2 di usia
dewasa. Gen yang mempengaruhi mengetik 2 DM yang tidak lengkap
diidentifikasi,

namun

studi

asosiasi

genome

baru-baru

ini

telah

mengidentifikasi sejumlah besar gen yang menyampaikan risiko yang relatif


kecil untuk tipe 2 DM (>70 gen, masing-masing dengan risiko relatif 1,061,5). Paling menonjol adalah varian dari faktor transkripsi 7, seperti 2 gen
yang telah dikaitkan dengan DM tipe 2 di beberapa populasi dan dengan IGT
dalam satu populasi berisiko tinggi untuk diabetes. Polimorfisme genetik yang
terkait dengan DM tipe 2 juga telah ditemukan dalam gen yang mengkode
peroksisom proliferator-activated receptor , ke dalam meluruskan kanal
kalium, transporter Zinc, IRS, dan calpain 10. Mekanisme lokus genetik yang
meningkatkan kerentanan untuk DM tipe 2 masih tidak jelas, tetapi
kebanyakan diperkirakan mengubah fungsi pulau atau pengembangan atau
sekresi insulin. Meskipun kerentanan genetik untuk DM tipe 2 sedang
diselidiki aktif (sejauh ini diperkirakan <10% dari risiko genetik ditentukan

10

oleh lokus), saat ini tidak mungkin untuk menggunakan kombinasi dari lokus
genetik yang dikenal untuk memprediksi DM tipe 2.
DM tipe 2 ditandai dengan gangguan sekresi insulin, resistensi insulin,
produksi glukosa hepatik yang berlebihan, dan metabolisme lemak yang
abnormal. Obesitas, terutama visceral atau pusat (yang dibuktikan dengan
rasio pinggul-pinggang), adalah sangat umum di DM tipe 2 (80% dari pasien
mengalami obesitas). Pada tahap awal dari gangguan, toleransi glukosa tetap
mendekati normal, meskipun resistensi insulin, karena sel-sel beta pankreas
mengimbanginya dengan meningkatkan produksi insulin.

Gambar 5. Perubahan metabolik selama pengembangan diabetes mellitus tipe 2. 5

Sebagai resistensi insulin dan kemajuan kompensasi hiperinsulinemia,


pulau pankreas pada individu tertentu tidak dapat mempertahankan keadaan
hiperinsulinemia. IGT, ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial.
Penurunan lebih lanjut dalam sekresi insulin dan peningkatan hepatik
memimpin produksi glukosa untuk diabetes yang nyata dengan hiperglikemia
puasa. Pada akhirnya, kegagalan sel beta terjadi kemudian. Meskipun kedua
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin berkontribusi pada patogenesis
DM tipe 2, kontribusi relatif dari masing-masing bervariasi dari individu ke
-

individu.5
Abnormalitas Metabolik
Abnormalitas Metabolisme Jaringan Otot dan Lemak
Resistensi insulin, penurunan kemampuan insulin untuk bertindak secara
efektif pada jaringan target (terutama otot, hati, dan lemak), merupakan fitur
yang menonjol dari DM tipe 2 dan hasil dari kombinasi kerentanan genetik
dan obesitas. Resistensi insulin relatif, karena beredarnya tingkat insulin yang
supranormal akan menormalkan glukosa plasma. Pada kurva respon dosis

11

insulin menunjukkan pergeseran ke kanan, menunjukkan berkurangnya


sensitivitas, dan respon maksimal berkurang, menunjukkan penurunan secara
keseluruhan dalam penggunaan glukosa maksimum (30-60% lebih rendah dari
pada individu normal). Resistensi insulin mengganggu penggunaan glukosa
oleh jaringan sensitif insulin dan meningkatkan output glukosa hepatik; kedua
efek berkontribusi pada terjadinya hiperglikemia.
Peningkatan output glukosa hepatik terutama menyumbang peningkatan
tingkat GDP, sedangkan penurunan hasil penggunaan glukosa perifer di
hiperglikemia postprandial. Pada otot rangka, ada penurunan lebih besar
dalam penggunaan glukosa nonoxidative (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa oksidatif melalui glikolisis. metabolisme glukosa pada
jaringan independen insulin tidak diubah dengan DM tipe 2.
Mekanisme molekuler yang tepat mengarah ke resistensi insulin pada
DM tipe 2 belum dijelaskan. Tingkat reseptor insulin dan aktivitas tyrosine
kinase di otot rangka berkurang, tetapi perubahan ini kemungkinan besar
akibat hiperinsulinemia sekunder dan bukan defek primer. Oleh karena itu,
defek "postreseptor" pada insulin diatur oleh fosforilasi/defosforilasi
tampaknya memainkan peran dominan dalam resistensi insulin. Kelainan
termasuk akumulasi lipid dalam miosit skeletal, yang dapat mengganggu
fosforilasi oksidatif mitokondria dan mengurangi insulin merangsang produksi
ATP mitokondria. Gangguan oksidasi asam lemak dan akumulasi lipid dalam
miosit tulang juga dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif seperti
peroksida lipid. Dari catatan, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin
resisten terhadap efek insulin (misalnya, mereka mengendalikan pertumbuhan
sel dan diferensiasi menggunakan mitogenik jalur activated protein kinase).
Akibatnya, hiperinsulinemia dapat meningkatkan aksi insulin melalui jalur ini,
berpotensi mempercepat kondisi diabetes terkait seperti aterosklerosis.
Obesitas menyertai DM tipe 2, khususnya di lokasi pusat atau visceral,
dianggap bagian dari proses patogenik. Selain ini depot lemak putih, manusia
sekarang diakui memiliki lemak coklat, yang memiliki kapasitas termogenik
yang jauh lebih besar. Upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan kegiatan
atau kuantitas lemak coklat (mis, myokine, irisin, dapat mengkonversi putih
untuk lemak coklat). Massa adiposit meningkat menyebabkan peningkatan

12

kadar beredar asam lemak bebas dan produk sel lemak lainnya. Misalnya,
adipocytes mengeluarkan sejumlah produk biologis (asam lemak bebas
nonesterified, retinol-binding protein 4, leptin, TNF-, resistin, IL-6, dan
adiponektin). Selain mengatur berat badan, nafsu makan, dan pengeluaran
energi, adipokines juga memodulasi sensitivitas insulin. Peningkatan produksi
asam lemak bebas dan beberapa adipokines dapat menyebabkan resistensi
insulin di otot rangka dan hati. Misalnya, asam lemak bebas merusak
pemanfaatan glukosa di dalam otot rangka, meningkatkan produksi glukosa
oleh hati, dan merusak fungsi sel beta. Sebaliknya, produksi oleh adiposit
adiponektin, suatu peptida yang peka terhadap insulin, berkurang pada
obesitas, dan ini dapat menyebabkan resistensi insulin hepatik. Produk
adiposit dan adipokines juga memproduksi keadaan peradangan dan mungkin
menjelaskan mengapa tanda peradangan seperti IL-6 dan protein C-reaktif
sering meningkat pada DM tipe 2. Selain itu, sel-sel inflamasi ditemukan
menginfiltrasi jaringan adiposa. Penghambatan jalur sinyal inflamasi seperti
jalur nuklir faktor-kB (NF-kB) muncul untuk mengurangi resistensi insulin
dan meningkatkan hiperglikemia pada model binatang dan sedang diuji pada
manusia.
Gangguan Sekresi Insulin
Sekresi insulin dan sensitivitas saling terkait. Pada DM tipe 2, sekresi
insulin awalnya meningkatkan respons terhadap resistensi insulin untuk
menjaga toleransi glukosa normal. Awalnya, defek sekretori insulin ringan dan
selektif melibatkan glukosa yang merangsang sekresi insulin, termasuk
penrunan pada fase sekretori pertama. Respon terhadap secretagogues
nonglucose lainnya, seperti arginin, yang diawetkan, tapi fungsi beta
keseluruhan berkurang sebanyak 50% pada awal DM tipe 2. Kelainan pada
pengolahan proinsulin tercermin dengan peningkatan sekresi proinsulin di DM
tipe 2. Akhirnya, defek sekretori insulin adalah progresif. Alasan penurunan
kapasitas sekresi insulin dalam DM tipe 2 tidak jelas. Asumsinya adalah
bahwa defek genetik kedua menyebabkan kegagalan sel beta. Massa sel beta
turun sekitar 50% pada individu dengan lama DM tipe 2. Islet amyloid
polipeptida atau amylin, disekresikan oleh sel beta, membentuk deposit
amyloid fibril ditemukan di pulau dari individu dengan berdiri lama DM tipe

13

2. Apakah deposit amyloid pulau seperti peristiwa primer atau sekunder tidak
diketahui. Lingkungan metabolik diabetes juga dapat berdampak negatif
terhadap fungsi islet. Misalnya, hiperglikemia kronik paradoks merusak fungsi
islet (toksisitas glukosa) dan mengarah ke memburuknya hiperglikemia.
Peningkatan kontrol glikemik sering dikaitkan dengan peningkatan fungsi
islet. Selain itu, ketinggian kadar asam lemak bebas (lipotoxicity) dan lemak
dari makanan juga dapat memperburuk fungsi pulau. Mengurangi GLP-1
tindakan dapat berkontribusi untuk sekresi insulin berkurang.3
Peningkatan Glukosa Hepatik dan Produksi Lipid
Pada DM tipe 2, resistensi insulin di hati mencerminkan kegagalan
hiperinsulinemia untuk menekan glukoneogenesis, yang menghasilkan puasa
hiperglikemia dan penurunan penyimpanan glikogen oleh hati di postprandial.
Peningkatan produksi glukosa hepatik terjadi di awal perjalanan diabetes,
meskipun mungkin setelah timbulnya kelainan sekresi insulin dan resistensi
insulin di otot rangka. Sebagai hasil dari resistensi insulin pada jaringan
adiposa, lipolisis dan fluks asam lemak bebas dari adipocytes meningkat, yang
menyebabkan peningkatan lipid (very low density lipoprotein [VLDL] dan
trigliserida) sintesis dalam hepatosit. penyimpanan lipid ini atau steatosis di
hati dapat menyebabkan penyakit hati berlemak nonalkohol dan tes fungsi hati
yang abnormal. Hal ini juga bertanggung jawab untuk dislipidemia ditemukan
pada DM tipe 2 (peningkatan trigliserida, mengurangi high density lipoprotein
[HDL], dan peningkatan padat low density lipoprotein [LDL] partikel kecil).3
G. Faktor Resiko
Faktor Resiko Diabetes Melitus:
1. Obesitas
Terdapat korelasi bermakna antara obesitas dengan kadar glukosa darah,
pada derajat kegemukan dengan IMT > 23 dapat menyebabkan peningkatan
kadar glukosa darah menjadi 200mg%.
2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan
tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari
dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer.
3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus
Seorang yang menderita Diabetes Mellitus diduga mempunyai gen
diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen resesif. Hanya orang
14

yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang menderita Diabetes
Mellitus.
4. Dislipedimia
Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.
5. Umur
Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus
adalah > 45 tahun.
6. Riwayat persalinan
Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi >
4000 gram.
7. Alkohol dan Rokok
Perubahan-perubahan

dalam

gaya

hidup

berhubungan

dengan

peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini


dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidakaktifan
fisik,

faktor-faktor

lain yang berhubungan

dengan

perubahan

darilingkungan tradisional kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi


perubahan-perubahan dalam konsumsi alkohol dan rokok, juga berperan
dalam peningkatan DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme
gula darah terutama pada penderita DM, sehingga akan mempersulit
regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah.2
H. Manifestasi Klinik
Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik. Gejala akut
diabetes melitus yaitu: Poliphagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu
makan bertambah namun berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah.
Gejala kronik diabetes melitus yaitu: Kesemutan, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada
ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau
dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.3
Patofisiologi gejala DM

15

Pada keadaan defisiensi insulin relatif, masalah yang akan ditemui


terutama adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas yang terjadi akibat efek
insulin yang tidak adekuat.
Hiperglikemia

pada

diabetes

melitus

terjadi

akibat

penurunan

pengambilan glukosa darah ke dalam sel target, dengan akibat peningkatan


konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg per 100ml. Hal ini
juga diperberat oleh adanya peningkatan produksi glukosa dari glikogen hati
sebagai respon tubuh terhadap kelaparan intrasel. Keadaan defisiensi glukosa
intrasel ini juga akan menimbulkan rangsangan terhadap rasa lapar sehingga
frekuensi rasa lapar meningkat (polifagi).
Penimbunan glukosa di ekstrasel akan menyebabkan hiperosmolaritas.
Pengeluaran cairan tubuh berlebih akibat poliuria disertai dengan adanya
hiperosmolaritas ekstrasel yang menyebabkan penarikan air dari intrasel ke
ekstrasel akan menyebabkan terjadinya dehidrasi, sehingga timbul rasa haus
terus-menerus dan membuat penderita sering minum (polidipsi). Dehidrasi
dapat berkelanjutan pada hipovolemia dan syok, serta AKI akibat kurangnya
tekanan filtrasi glomerulus. Jadi, salah satu gambaran diabetes yang penting
adalah kecenderungan dehidrasi ekstra sel dan intra sel, dan ini sering juga
disertai dengan kolapsnya sirkulasi. Dan perubahan volume sel akibat keadaan
hiperosmotik ekstrasel yang menarik air dari intrasel dapat mengganggu
fungsi sel-sel dalam tubuh.7
I. Diagnosis8
DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis
tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan
dengan

menggunakan

pemeriksaan

glukosa

darah

kapiler

dengan

glukometer.
Pemeriksaan glukosa plasma puasa >126 mg/dl. Puasa adalah kondisi
tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
Atau

16

Pemeriksaan glukosa plasma 200 mg/dl 2 jam setelah Tes Toleransi


Glukosa Oral(TTGO) dengan beban 75 gram. (peringkat bukti B)
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode HighPerformance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik, seperti : poliuria, polidipsi,
polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfyngsi ereksi
pada pria serta pruritis vulva pada wanita.
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT), glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
1. Glukosa darah puasa terganggu (GDPT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl
2. Toleransi glukosa terganggu (TGT):
Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dl
Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c 5,7-6,4%.8
J. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes yang meliputi:

17

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki


kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan

mortalitas

DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa
darah, tekanan

darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan

pasien secara komprehensif.

Langkah-langkah Penatalaksanaan Umum:


1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:
a. Riwayat Penyakit
Gejala yang dialami oleh pasien.
Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah.
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung
koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit
DM dan endokrin lain).
Riwayat penyakit dan pengobatan.
Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status
ekonomi.
b. Pemeriksaan Fisik
Pengukuran tinggi dan berat badan.
18

Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar tiroid, paru


dan jantung
Pemeriksaan kaki secara komprehensif
c.

Evaluasi

Laboratorium
HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada pasien
yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki kendali glikemik
stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada pasien dengan perubahan terapi
atau yang tidak mencapai sasaran terapi.
Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.
d.

Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap penderita

yang baru terdiagnosis DMT2 melalui pemeriksaan :

Profil lipid dan kreatinin serum.

Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.

Elektrokardiogram.

Foto sinar-X dada

Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara komprehensif


oleh dokter spesialis mata atau optometris.
Pemeriksaan

kaki

secara

komprehensif

setiap

tahun

untuk

mengenali faktor risiko prediksi ulkus dan amputasi: inspeksi,


denyut pembuluh darah kaki, tes monofilament 10 g, dan Ankle
Brachial Index (ABI).
Langkah-langkah Penatalaksanaan Khusus8
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu
dilakukan intervensi

19

farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau suntikan.


1. Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting
dari pengelolaan DM secara holistik.
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka
yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari
seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu,
dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik
dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan
cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal
dihitung dengan cara = 220-usia pasien.
4. Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan
latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral
dan bentuk suntikan.
a. Obat anti hiperglikemi Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5
golongan:
1)

Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea dan

Glinid

20

- Sulfoniurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu sekresi
insulin oleh sel beta pankreas.
-

Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan

pada peningkatan

sekresi

insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia


post prandial.
2)

Peningkat

Sensitivitas

terhadap

Insulin:

Metformin

dan

Tiazolidindion (TZD)
-

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati


(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa perifer. Metformin
merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.

Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator


Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti termasuk di sel
otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan gagal jantung (NYHA FC III- IV) karena dapat
memperberat edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang
masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone
3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus
halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila
GFR 30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome.

21

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim
DPP-IV

sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam

konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk


meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon
bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent).
5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral
jenis baru yang menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.

Tabel 1. Obat Hiperglikemik Oral.8


Golongan Obat
Sulfonilurea

Cara Kerja Utama

utama
BB naik

Meningkatkan
sekresi insulin

Glinid

Meningkatkan

Menekan produksi
glukosa

hati

Penurunan
HbA1c
1,0-2,0%

Hipoglikemia

sekresi insulin
Metformin

Efek samping

dan

BB naik

0,5-1,5%

Hipoglikemia
D
ispepsia, diare,

1,0-2,0%

asidosis laktat

menambah
sensitifitas terhadap
Penghambat Alfa-

insulin
Menghambat

Flatulen,

Glukosidase
Tiazolidindion

absorbsi glukosa
Menambah

lembek
Edema

tinja

0,5-0,8%
0,5-1,4%

sensitifitas terhadap
insulin
22

Penghambat
DPP-IV

Penghambat
SGLT-2

Meningkatkan
sekresi

Sebah, muntah

0,5-0,8%

ISK

0,5-0,9%

insulin,

menghambat
sekresi glucagon
Nenghambat
reabsorpsi glukosa
di

tubuli

distal

ginjal

23

b. Obat Antihiperglikemi Suntik


1) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
- Ketoasidosis diabetik
- Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
- Hiperglikemia dengan asidosis laktat
- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
- Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
- Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
- Insulin kerja pendek (short acting insulin)
- Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
- Insulin kerja panjang (long acting insulin)
- Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).
Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.
Dasar pemikiran terapi insulin:
-

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi

insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.


Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau
keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan

hiperglikemia setelah makan.


Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap

defisiensi yang terjadi.


Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah basal
(puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun
insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal

adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).


Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan
dengan menambah 24 unit setiap 34 hari bila sasaran terapi belum tercapai.
24

Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C
belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial
(mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah
prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short
acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan
subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus),
atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali

prandial (basal bolus).


Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan
glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja
pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen
usus (acarbose).

Tabel 2. Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja8


Jenis Insulin

Awitan (onset)

Puncak

Lama

Efek

Kerja

Kemasan

Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)


Insulin Lispro
(Humalog)
Insulin Aspart
(Novorapid)
Insulin Glulisin
(Apidra)

Pen/cartridge
5-15 menit

1-2 jam

4-6 jam

Pen, vial
Pen

Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )


Humulin R
Actrapid
30-60 menit
2-4 jam
6-8 jam
Sansulin

Vial,
pen/cartridge

Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)


Humulin N
Insulatard
Insuman Basal

1,54 jam

4-10 jam

8-12 jam

Vial,
pen/cartridge
25

Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)


Insulin Glargine
(Lantus)
Insulin Detemir
(Levemir)

13 jam

Hampir tanpa
puncak

12-24 jam

Pen

Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin Analog)

Degludec (Tresiba)*

30-60 menit

Hampir tanpa
puncak

Sampai 48
jam

Campuran (Premixed) (Insulin Manusia)


70/30 Humulin (70%
NPH, 30% reguler)
70/30 Mixtard (70%
NPH, 30% reguler)

30-60 menit

312 jam

Campuran (Premixed, Insulin Analog)


75/25 Humalogmix
(75% protamin lispro,
25% lispro)

12-30 menit

1-4 jam

70/30 Novomix(70%
protamine aspart, 30%
aspart)

26

2). Agonis GLP-1/Incretin Mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru
untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang
pengelepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan
berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin ataupun sulfonilurea.
Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek samping yang
timbul pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.
Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combinationdalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan.
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja
panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan
terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik
dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah
610 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan
cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali,
maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.8

27

Gambar 6. Algoritma Pengelolaan DM Tipe II.8


K. Penyulit Diabetes Mellitus
Penyulit Akut
1) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat
(300320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2) Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200
mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat
(330380 mOs/mL), plasma keton (+/), anion gap normal atau sedikit meningkat.
28

Catatan: kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna
mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3) Hipoglikemia
Hipoglikemia dan cara mengatasinya:
- Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL
- Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu
dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering
disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat
sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh
obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu
yang cukup lama untuk pengawasannya (2472 jam atau lebih, terutama pada
pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO
kerja panjang). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus
dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran
mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut
-

sering lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.


Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah,

kesadaran menurun sampai koma).


Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi
pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang
mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada

pasien dengan hipoglikemia berat.


Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat diberikan
glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat, sebelum
dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.3

Penyulit Menahun
1) Makroangiopati
- Pembuluh darah jantung
29

Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan

kelainan yang pertama muncul.


- Pembuluh darah otak
2) Mikroangiopati:
- Retinopati diabetic
- Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
-

memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati


Nefropati diabetik
Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me-ngurangi risiko

nefropati
Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi

risikoterjadinya nefropati
3) Neuropati
- Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa
hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untukterjadinya ulkus kaki dan
-

amputasi.
Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan

lebih terasa sakit di malam hari.


Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining
untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi

sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.


Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang memadai

akan menurunkan risiko amputasi.


Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik,

atau gabapentin.
Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki.3

L. Pencegahan
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan
meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan
menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
30

tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,


pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan

primer.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini penyulit
sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan terutama bagi
pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan selalu diulang pada
setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet dapat menurunkan resiko

timbulnya kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes.


Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah
mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada pasien
dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat dilakakukan
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien
dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap, misalnya pemberian
aspirin

dosis

rendah

80-325

mg/hari

untuk

mengurangi

dampak

mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai disiplin,


jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi
medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan
pencegahan tersier.2

31

Anda mungkin juga menyukai