: Ana Mardiana
Pekerjaan
: Wiraswasta
Alamat
Notaris Terlapor
Notaris Diastuti, S.H., Notaris di Kota Bandung
Alamat Kantor Jl. Sadakeling No.9 di Bandung
Dalam laporannya, Pelapor yang bernama Ana Mardiana dengan pekerjaan
wiraswasta dan beralamat di Jalan Kaca Piring Nomor 92/122 Bandung ini adalah seorang
direktur dari Perseroan Terbatas bernama PT Inovasi Cipta Kreasi. Dalam mengembangkan
dan melaksanakan usahanya, Pelapor melakukan pinjaman tambahan modal pada seorang
pihak yang dikenal sebagai Koesmajadi. Peminjaman uang ini dilakukan sebanyak beberapa
kali dengan rincian sebagai berikut:
-
Pelapor tahun 2003 mendapat pinjaman tambahan modal dari Koesmajadi dan
oleh Koesmajadi. Awalnya Pelapor keberatan, namun pada akhirnya setuju untuk
menandatangai. Pelapor kemudian meninggalkan tempat tersebut setelah mendapatkan sisa
uang pinjaman dari Koesmajadi.
Setelahnya, pada tanggal 25 september 2006 Pelapor mendapat panggilan dari
kepolisian daerah Jawa Barat unit III sat OPS III/Tripiter dit reskrim. Pelapor dianggap
sebagai tersangka tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378 KUHPidana dan diperiksa
untuk diminta keterangannya. Penyidik kemudian menunjukkan kopi dari salinan Akta No.53
yang berisi perjanjian pengikatan diri untuk melakukan perbuatan Jual Beli antara Pelapor
dan Koesmajadi. Pelapor yang tidak pernah mengetahui bahkan menandatangani akta
tersebut merasa dirugikan dengan adanya akta No. 53 dan melaporkan Notaris Diastuti
sebagai Terlapor.
Berdasarkan Surat putusan tersebut diatas, Pelapor mengajukan tuntutan berupa:
-
barat
Memberikan peringatan keras terhadap Terlapor
Menyatakan bahwa isi dan akta no 53 adalah tidak benar atau palsu
Dalam surat putusan tersebut juga disebutkan hal-hal yang meringakan Terlapor yaitu
bahwa Terlapor kooperatif dalam pemeriksaan. Sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah
sebagai berikut:
-
Notaris
Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat
Perbuatan Terlapor dapat merusak martabat dan kehormatan Notaris
Perbuatan Terlapor dapat merupakan perbuatan yang tidak profesional
B. ANALISIS KASUS
1. Terhadap Alur Pengawasan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris
Dalam suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang profesi notaris
terdapat beberapa hal yang dicakup didalamnya antara lain yaitu pelanggaran kode etik,
pelanggaran jabatan, dan apabila terdapat unsur tindak pidana. Apabila dalam suatu perbuatan
yang dilakukan Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau
jabatannya, seperti misalnya terdapat unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini
dapat dilaporkan langsung kepada pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana
terjadinya perbuatan melanggar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan cara beracaranya1.
Sedangkan apabila perbuatan notaris tersebut merugikan pihak lain seperti misalnya
klien, berkaitan dengan melaksanakan jabatannya (dalam pembuatan akta dan semacamnya
yang menjadi tugas dan kewenangan notaris), maka sesuai dengan pasal 67 ayat (1) Undangundang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berwenang
untuk melakukan suatu tindakan pengawasan adalah Menteri. Menteri yang kemudian
dimaksud adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia2.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam ranah pelanggaran jabatan dan
kode etiknya ini terdapat dua lembaga yang dianggap berwenang untuk melakukan
pengawasan dan tindakan selanjutnya yang akan diberikan terhadap tindak lanjut bagi
pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah Majelis
Pengawas Notaris (selanjutnya disebut MPN) dan Dewan Kehormatan (selanjutnya disebut
DK).
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Dalam memenuhi tugasnya dalam melakukan suatu bentuk pengawasan terhadap
pejabat notaris, selanjutnya Menteri Hukum dan HAM membentuk lembaga yang berwenang
dan berhak untuk melakukan pengawasan yaitu Majelis Pengawas atau MPN. Berdasarkan
pasal 1 angka 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disebut sebagai UU No 30 tahun 2004) pengertian Majelis Pengawas
sebagaimana kutipan isi dari pasal tersebut adalah:
1 Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita1
20.html diakses pada Selasa, 29 April 2014
2 Loc. Cit.
Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.3
Majelis Pengawas ini kemudian terdiri dari:
-
berkaitan dengan jabatan dan kode etiknya (yang bersifat berkaitan dengan jabatannya) alur
yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. masyarakat dapat melaporkan pelanggaran jabatan dan kode etik langsung kepada
Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk dimasing-masing Kabupaten atau Kota7.
b. Pelanggaran ini dapat pula diketahui melalui Dewan Kehormatan Perkumpulan
atau berdasarkan pemeriksaan Protokol Notaris yang dilakukan secara berkala.
c. Kemudian Majelis Pengawas Daerah akan menyelenggarakan sidang untuk
memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan jabatan Notaris
d. Majelis Pengawas Daerah kemudian wajib untuk memberikan berita acara
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat 8 karena yang
berwenang untuk mengambil keputusan terhadap laporan tentang Notaris yang
melakukan pelanggaran kode etik atau pelaksanaan jabatan tersebut adalah
Majelis Pengawas Wilayah.
3 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
4 Lihat Pasal 69 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
5 Lihat pasal 72 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
6 Lihat Pasal 76 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
7 Lihat Pasal 71 huruf e Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
8 Lihat pasal 71 huruf b Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
kode etik.
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode
etik yang bersifat internal yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan
masyarakat secara langsung.
c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris.
9 Lihat pasal 78 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
10 Lihat Pasal 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
11 Lihat Bab I pasal 1 angka 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
Sebagaimana MPN yang memiliki jenjang, DK juga memiliki jenjang pranata dengan
fungsi masing-masing yaitu:
a. Dewan Kehormatan Daerah
b. Dewan Kehormatan Wilayah
c. Dewan Kehormatan Pusat
Saat terjadi suatu pelanggaran kode etik, baik karena dugaan DK Daerah sendiri
ataupun karena laporan Pengurus maupun orang lain, maka berdasarkan pasal 9 Kode Etik
Notaris, akan dilakukan hal-hal sebagai berikut12:
a. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja DK Daerah wajib mengadakan
sidang untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
b. Apabila menurut hasil sidang ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik,
maka dalam waktu tujuh hari kerja setelah sidang tersebut, DK Daerah
berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut untuk didengar
keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
c. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun
dalam waktu tujuh hari kerja setelah dipanggil, maka DK
Daerah akan
mengulangi panggilannya sebanyak 2 kali dengan jarak waktu tujuh hari kerja,
dan apabila masih belum memenuhi panggilan tersebut, sidang akan tetap
dilanjutkan tanpa mendengarkan pembelaan diri anggota yag dipanggil
d. DK Daerah kemudian akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau
tidaknya
pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana16.
Namun berdasarkan pasal KUHPidana tersebut, yang berhak untuk menjadi pelapor
adalah perseorangan. Badan hukum tidak memiliki legal standing untuk menjadi pelapor. Hal
ini menjadikan Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan hukum tidak dapat menjadi
pelapor tindak pidana sehingga bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh peraturan
menteri diatas. Terlebih berdasarkan pengertian KUHPidana tersebut, pelapor dapat
mengajukan laporan hanya apabila mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan Majelis Pengawas hanyalah diberikan wewenang oleh peraturan
Menteri17.
Hal ini memberikan ketidaksinkronan antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang
lebih rendah sehingga harus lebih diperhatikan dimasa mendatang. Dalam hal ini yang akan
digunakan adalah lex superiori derogat lex inferiori dimana peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga Majelis Pengawas tidak dapat
menjadi pelapor tindak pidana kepada penyidik dan penyelidik ataupun jaksa sebagai sebuah
badan hukum. Alternatif yang dapat dilakukan adalah pihak yang merasa dirugikan oleh
tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris tersebut melaporkannya langsung kepada
kepolisian.
Menurut Peraturan Menteri ini, yang memegang prinsip bahwa MPN memiliki
kewenangan untuk melaporkan tindak pidana yang dilakukan notaris kepada pihak
berwenang, apabila ditemukan unsur tindak pidana maka Ikatan Notaris Indonesia dan
kepolisisan membuat nota kesepahaman tentang pemanggilan notaris ke kepolisian.
Pemanggilan notaris harus dilakukan tertulis dan ditandatangani penyidik. Surat panggilan
harus mencantumkan dengan jelas status sang notaris, alasan pemanggilan, dan polisi harus
tepat waktu. Pada hakekatnya, notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi jika
notaris yang bersangkutan berhalangan dan tidak bisa hadir, polisi bisa datang ke kantor
notaris bersangkutan. Nota kesepahaman ini memperkuat aturan pemanggilan notaris dalam
Pasal 6 UU No 30 Tahun 2004 yang menentukan, jika polisi hendak memanggil notaris atau
mengambil minuta akta harus mendapat persetujuan dari MPN Daerah18.
16 Ibid.
17 Ibid.
mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris,
termasuk didalamnya pars Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris
Pengganti Khusus.24
Kode etik ini dikeluarkan oleh ikatan profesi Notaris yang ada di Indonesia yaitu
Ikatan Notaris Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 27 Januari 2005. Kode etik notaris ini
mencakup Ketentuan Umum, Ruang Lingkup, Kewajiban, Larangan, pengecualian, Sanksi,
Tata cara Penegakkannya, Pemecatan sementara, kewajiban pengurus pusat dan ketentuan
umum yang dihimpun dalam delapan bab dan lima belas pasal.
Kewenangan Ikatan Notaris Indonesia atau I.N.I dalam membentuk kode etik ini
terdapat dalam pasal 83 ayat (2) UU No 30 Tahun 2004. Dalam pasal ini, yang kemudian
menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris adalah Organisasi Notaris dimana para
Notaris kemudian berhimpun. Kemudian pada pasal berikutnya yaitu pasal 89 undangundang tersebut ditegaskan bahwa Kode Etik notaris yang ditetapkan akan berlaku dan
mengikat hingga kode etik notaris yang baru ditetapkan.
Isi dari pasal 3 kode etik notaris adalah t entang kewajiban Notaris yaitu sebagai
berikut25:
1)
2)
3)
4)
Teguran;
Peringatan;
Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.29
Sanksi tersebut berlaku bagi setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melanggar
kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggarannya.30
Dalam kasus pelanggaran jabatan dan kode etik diatas, Notaris Terlapor melanggar
pasal 16 ayat (1) huruf a yang sanksinya diatur dalam pasal 85 diatas dan pasal 44 yang
sanksinya diatur dalam pasal 84. Sehingga mengakibatkan akta yang diperkarakan (akta No.
53) tentang perjanjian jual beli antara Pelapor dengan pihak Koesmajadi menjadi batal demi
hukum dan turun derajat menjadi akta bawah tangan. Dalam hal ini, apabila Pelapor
menyatakan tidak sepakat dengan isi perjanjian, maka akta perjanjian tersebut tidak perlu
dilanjutkan kecuali bagi pihak Koesmajadi untuk memperkarakan dengan dalih wanprestasi.
Kemudian Notaris Terlapor juga dapat dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal
85.
Dalam hal memberikan atau menjatuhkan sanksi-sanksi diatas dapat dilakukan oleh:
28 Lihat Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
29 Lihat Pasal 6 Kode Etik Notaris
30 Lihat Pasal 6 ayat (2) Kode Etik Notaris
a. Majelis Pengawas Wilayah, yaitu dalam pasal 73 ayat (1) huruf e berwenang
untuk memberikan sanksi berupa sanksi teguran lisan ataupun tertulis. Selanjutnya
dalam huruf f dapat mengusulkan pemberian sanksi kepada Majelis Pengawas
Pusat
b. Majelis Pengawas Pusat, yaitu dalam pasal 77 huruf c berwenang untuk
menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pada huruf d mengusulkan
sanksi kepada Menteri.
c. Menteri Hukum dan HAM; melakukan sanksi pemberhentian tidak hormat.
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi
pemidanaan tetapi
apabila mengandung suatu undur tindak pidana seperti pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian
dalam pembuatan surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi
administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik
dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang
menerangkan adanya bukti keterlibatan secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta
otentik.
Rekomendasi yang dapat diberikan terhadap putusan kasus tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Majelis Pengawas Wilayah Notaris memutuskan secara tegas bahwa akta yang
telah dibuat oleh Notaris Terlapor adalah batal demi hukum dan turun menjadi
akta dibawah tangan.
2. Majelis Pengawas Wilayah Notaris selain mengusulkan kepada Majelis Pengawas
Pusat Notaris untuk melakukan pemberhentian sementara, dapat pula memberikan
peringatan atau teguran baik secara tertulis maupun tidak tertulis atau lisan
terhadap Notaris Terlapor.