Anda di halaman 1dari 18

A.

POSISI KASUS PELANGGARAN KODE ETIK NOTARIS


Berdasarkan surat Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Jawa Barat
No.129/MPW-JABAR/2007, berikut adalah ringkasan dari kasus posisi yang telah terjadi
antara Pelapor dan Terlapor.
Pelapor
Nama

: Ana Mardiana

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Jl. Kacapiring No. 92/122, Bandung

Notaris Terlapor
Notaris Diastuti, S.H., Notaris di Kota Bandung
Alamat Kantor Jl. Sadakeling No.9 di Bandung
Dalam laporannya, Pelapor yang bernama Ana Mardiana dengan pekerjaan
wiraswasta dan beralamat di Jalan Kaca Piring Nomor 92/122 Bandung ini adalah seorang
direktur dari Perseroan Terbatas bernama PT Inovasi Cipta Kreasi. Dalam mengembangkan
dan melaksanakan usahanya, Pelapor melakukan pinjaman tambahan modal pada seorang
pihak yang dikenal sebagai Koesmajadi. Peminjaman uang ini dilakukan sebanyak beberapa
kali dengan rincian sebagai berikut:
-

Pelapor tahun 2003 mendapat pinjaman tambahan modal dari Koesmajadi dan

sudah di kembalikan pada awal tahun 2004,


Tahun 2004 Pelapor kembali meminjam uang kepada koesmajadi sebesar Rp.

250.000.000,00 untuk menutupi kekurangan modal kerja


Berikutnya Pelapor kembali meminjam uang kepada koesmajadi beberapa kali
dengan variasi antara Rp. 5.000.000,- sampai dengan Rp.50.000.000,- yang sudah

dikembalikan semua baik secara kas ataupun transfer rekening bank


Kemudian Pelapor pinjam uang lagi kepada Koesmajadi sehingga seluruh nilai
hutang menjadi sebesar Rp. 580.000.000,- dan sudah dikembalikan sebagian

Kemudian, karena uang tersebut belum dikembalikan seluruhnya Koesmajadi


meminta jaminan dari Pelapor yang kemudian adalah berupa 3 buah ruko di IBCC milik
Pelapor. Ruko tersebut masih berupa cicilan yang belum lunas pembayarannya. Ketika
kemudian suatu hari Pelapor akan mengambil sisa pinjaman dari Koesmajadi, Koesmajadi
meminta agar bertemu dengan Pelapor di sebuah tempat di Sadakeling, Bandung, dimana
Pelapor tidak mengetahui bahwa tempat tersebut adalah sebuah kantor notaris.
Kantor Notaris tersebut adalah kantor milik Notaris Diastuti S.H., Notaris di Kota
Bandung yang alamatnya adalah Jalan Sadakeling No. 9 Bandung. Di kantor Notaris tersebut
Pelapor diminta untuk menandatangani sebuah blangko kosong yang isinya akan dibacakan

oleh Koesmajadi. Awalnya Pelapor keberatan, namun pada akhirnya setuju untuk
menandatangai. Pelapor kemudian meninggalkan tempat tersebut setelah mendapatkan sisa
uang pinjaman dari Koesmajadi.
Setelahnya, pada tanggal 25 september 2006 Pelapor mendapat panggilan dari
kepolisian daerah Jawa Barat unit III sat OPS III/Tripiter dit reskrim. Pelapor dianggap
sebagai tersangka tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378 KUHPidana dan diperiksa
untuk diminta keterangannya. Penyidik kemudian menunjukkan kopi dari salinan Akta No.53
yang berisi perjanjian pengikatan diri untuk melakukan perbuatan Jual Beli antara Pelapor
dan Koesmajadi. Pelapor yang tidak pernah mengetahui bahkan menandatangani akta
tersebut merasa dirugikan dengan adanya akta No. 53 dan melaporkan Notaris Diastuti
sebagai Terlapor.
Berdasarkan Surat putusan tersebut diatas, Pelapor mengajukan tuntutan berupa:
-

Mempertemukan Pelapor dan Terlapor dihadapan majelis pengawas Notaris jawa

barat
Memberikan peringatan keras terhadap Terlapor
Menyatakan bahwa isi dan akta no 53 adalah tidak benar atau palsu

Berdasarkan pemeriksaan, fakta-fakta yang ditemukan betul dilakukan oleh Terlapor


adalah sebagai berikut:
-

Penandatanganan Akta tanpa dibacakan secara patut


Tindakan yang tidak seksama yaitu persetujuan Suami untuk melakukan tindakan
terbalik dengan persetujuan Istri.

Dalam surat putusan tersebut juga disebutkan hal-hal yang meringakan Terlapor yaitu
bahwa Terlapor kooperatif dalam pemeriksaan. Sedangkan hal-hal yang memberatkan adalah
sebagai berikut:
-

Terlapor telah berulangkali diperiksa oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris

untuk kasus-kasus lainnya.


Terlapor saat ini sedang dalam pengusulan skorsing berdasarkan putusan Majelis

Pengawas Wilayah Notaris Jawa Barat


Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada akta

Notaris
Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat
Perbuatan Terlapor dapat merusak martabat dan kehormatan Notaris
Perbuatan Terlapor dapat merupakan perbuatan yang tidak profesional

Kemudian setelah menjalani sidang pemeriksaan, Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris


kemudian memberikan putusan sebagai berikut:

Mengusulkan kepada majelis pengawas pusat untuk memberhentikan sementara


Notaris yang bersangkutan atau Terlapor dari jabatannya selama 6 bulan vide pasal 9 UU no
30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris.

B. ANALISIS KASUS
1. Terhadap Alur Pengawasan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris
Dalam suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang profesi notaris
terdapat beberapa hal yang dicakup didalamnya antara lain yaitu pelanggaran kode etik,
pelanggaran jabatan, dan apabila terdapat unsur tindak pidana. Apabila dalam suatu perbuatan
yang dilakukan Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau
jabatannya, seperti misalnya terdapat unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini
dapat dilaporkan langsung kepada pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana
terjadinya perbuatan melanggar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan cara beracaranya1.
Sedangkan apabila perbuatan notaris tersebut merugikan pihak lain seperti misalnya
klien, berkaitan dengan melaksanakan jabatannya (dalam pembuatan akta dan semacamnya
yang menjadi tugas dan kewenangan notaris), maka sesuai dengan pasal 67 ayat (1) Undangundang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang berwenang
untuk melakukan suatu tindakan pengawasan adalah Menteri. Menteri yang kemudian
dimaksud adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia2.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam ranah pelanggaran jabatan dan
kode etiknya ini terdapat dua lembaga yang dianggap berwenang untuk melakukan
pengawasan dan tindakan selanjutnya yang akan diberikan terhadap tindak lanjut bagi
pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tersebut. Lembaga-lembaga tersebut adalah Majelis
Pengawas Notaris (selanjutnya disebut MPN) dan Dewan Kehormatan (selanjutnya disebut
DK).
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Dalam memenuhi tugasnya dalam melakukan suatu bentuk pengawasan terhadap
pejabat notaris, selanjutnya Menteri Hukum dan HAM membentuk lembaga yang berwenang
dan berhak untuk melakukan pengawasan yaitu Majelis Pengawas atau MPN. Berdasarkan
pasal 1 angka 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (selanjutnya disebut sebagai UU No 30 tahun 2004) pengertian Majelis Pengawas
sebagaimana kutipan isi dari pasal tersebut adalah:
1 Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita1
20.html diakses pada Selasa, 29 April 2014
2 Loc. Cit.

Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban
untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.3
Majelis Pengawas ini kemudian terdiri dari:
-

Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk di Kabupaten atau Kota4


Majelis Pengawas Wilayah yang dibentuk dan berkedudukan di ibukota Provinsi5
Majelis Pengawas Pusat yang dibentuk berkedudukan di ibukota Negara6
Dalam hal mendapati seorang pejabat notaris melakukan suatu pelanggaran yang

berkaitan dengan jabatan dan kode etiknya (yang bersifat berkaitan dengan jabatannya) alur
yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. masyarakat dapat melaporkan pelanggaran jabatan dan kode etik langsung kepada
Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk dimasing-masing Kabupaten atau Kota7.
b. Pelanggaran ini dapat pula diketahui melalui Dewan Kehormatan Perkumpulan
atau berdasarkan pemeriksaan Protokol Notaris yang dilakukan secara berkala.
c. Kemudian Majelis Pengawas Daerah akan menyelenggarakan sidang untuk
memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau pelanggaran
pelaksanaan jabatan Notaris
d. Majelis Pengawas Daerah kemudian wajib untuk memberikan berita acara
pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat 8 karena yang
berwenang untuk mengambil keputusan terhadap laporan tentang Notaris yang
melakukan pelanggaran kode etik atau pelaksanaan jabatan tersebut adalah
Majelis Pengawas Wilayah.
3 Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
4 Lihat Pasal 69 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
5 Lihat pasal 72 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
6 Lihat Pasal 76 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
7 Lihat Pasal 71 huruf e Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
8 Lihat pasal 71 huruf b Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris

e. Majelis pengawas Wilayah kemudian berwenang untuk menyelenggarakan sidang


dan mengambil keputusan berdasarkan berita acara dari Majelis Pengawas Daerah
f. Majelis Pengawas Wilayah dapat memanggil Notaris Terlapor untuk dilakukan
pemeriksaan, yang apabila terbukti dapat memberikan sanksi berupa teguran
tertulis ataupun lisan9.
g. Sedangkan untuk sanksi selain sanksi diatas harus melalui Majelis Pengawas
Pusat.
Uraian ini membenarkan bahwa Majelis Pengawas Wilayah Notaris Jawa Barat
berwenang untuk memeriksa perkara karena Terlapor merupakan Notaris yang memiliki
kantor yang berkedudukan di Jalan Sadakeling, Bandung, Jawa Barat.
Kewenangan Dewan Kehormatan
Sebenarnya dalam melakukan pengawasan terutama dalam dugaan pelanggaran kode
etik dan jabatan Notaris terdapat suatu lembaga lain yang juga dianggap berwenang yaitu
Dewan Kehormatan sebagaimana yang tertera dalam Kode Etik Notaris Ikatan Notaris
Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Kode Etik Notaris) bab I pasal 1. Pelanggaran yang
dimaksud sebagaimana pasal 1 angka 3 Kode Etik Notaris adalah perbuatan yang dilakukan
oleh anggota Perkumpulan yang melanggar ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin organisasi.
Dalam kode etik ini disebutkan bahwa terutama dalam pasal 8 disebutkan bahwa DK
merupakan alat perlengkapan Perkumpulan yang berwenang melakukan pemeriksaan atas
pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya 10. DK adalah
bagian dari perkumpulan yang bersifat mandiri dan bertugas untuk melakukan beberapa hal
mencakup11:
a.

pembinaan, bimbingan, pengawasan, maupun pembenahan anggota dalam hal

kode etik.
b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode
etik yang bersifat internal yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan
masyarakat secara langsung.
c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris.
9 Lihat pasal 78 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
10 Lihat Pasal 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
11 Lihat Bab I pasal 1 angka 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia

Sebagaimana MPN yang memiliki jenjang, DK juga memiliki jenjang pranata dengan
fungsi masing-masing yaitu:
a. Dewan Kehormatan Daerah
b. Dewan Kehormatan Wilayah
c. Dewan Kehormatan Pusat
Saat terjadi suatu pelanggaran kode etik, baik karena dugaan DK Daerah sendiri
ataupun karena laporan Pengurus maupun orang lain, maka berdasarkan pasal 9 Kode Etik
Notaris, akan dilakukan hal-hal sebagai berikut12:
a. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja DK Daerah wajib mengadakan
sidang untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut.
b. Apabila menurut hasil sidang ada dugaan kuat terhadap pelanggaran Kode Etik,
maka dalam waktu tujuh hari kerja setelah sidang tersebut, DK Daerah
berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut untuk didengar
keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri.
c. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun
dalam waktu tujuh hari kerja setelah dipanggil, maka DK

Daerah akan

mengulangi panggilannya sebanyak 2 kali dengan jarak waktu tujuh hari kerja,
dan apabila masih belum memenuhi panggilan tersebut, sidang akan tetap
dilanjutkan tanpa mendengarkan pembelaan diri anggota yag dipanggil
d. DK Daerah kemudian akan menentukan putusannya mengenai terbukti atau
tidaknya

pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi selambat-lambatnya

dalam waktu 15 hari kerja.


e. Bila dalam putusan sidang DK Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran
terhadap Kode Etik, maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap
pelanggarnya.
f. Putusan sidang DK Daerah wajib dikirim kepada anggota yang melanggar dengan
surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang,
Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan DK Pusat dalam waktu tujuh hari kerja,
setelah dijatuhkan putusan oleh sidang DK Daerah.
Dalam putusan yang dijatuhkan oleh DK Daerah tersebut dapat dimintai banding yang
diajukan kepada DK Wilayah. Putusan banding tersebut juga dapat dimintai pemeriksaan
tingkat akhir yang diajukan atau dimohonkan kepada DK Pusat.
Perbedaan Kewenangan Pengawasan MPN dan DK

12 Lihat Pasal 9 angka 1 sampai 10 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia

Bagaimanapun dalam pelaksanaan tugasnya, terdapat sedikit perbedaan antara Majelis


Pengawas dan DK. T. Muzakkar dalam tesis yang disusunnya untuk memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang berjudul Perbandingan Peranan
Dewan Kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam Melakukan Pengawasan
Setelah Keluarnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 menyimpulkan terdapat
perbedaan antara pengawasan terhadap Notaris yang dilakukan oleh DK dan Majelis
Pengawas Notaris. Bahwa pengawasan yang dilakukan oleh DK hanyalah mengenai
pelanggaran kode etik. Pelanggaran ini pula haruslah hanya mengenai dan menyangkut
Notaris itu sendiri tanpa menyangkut orang lain. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh
Majelis Pengawas Notaris lebih luas mencakup pengawasan terhadap pelanggaran UU No 30
Tahun 2004 dan terhadap pelanggaran jabatan Notaris13.
Unsur Tindak Pidana atau Kriminalitas
Sebagaimana telah disinggung diatas, Apabila dalam suatu perbuatan yang dilakukan
Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau jabatannya,
seperti misalnya terdapat unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini dapat
dilaporkan langsung kepada pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya
perbuatan melanggar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
dan cara beracaranya14
MPN juga memiliki suatu bentuk kewenangan yang diberikan jika menemukan
sesuatu tindak pidana. MPN dapat bertindak sebagai pelapor tindak pidana sebagaimana
substansi pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia
Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 (selanjutnya disebut sebagai Permen M.02.PR.08.10)15.
Laporan menurut Pasal 1 angka 24 KUHPidana adalah pemberitahuan yang
disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada

13 T. Muzakkar, 2009, Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan dengan Majelis


Pengawas Notaris dalam Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya Undangundang Nomor 30 Tahun 2004, Tesis yang diajukan untuk memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, hlm.141
14 Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berita1
20.html diakses pada Selasa, 29 April 2014
15 T. Muzakkar, Op.Cit., hlm. 114-115

pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana16.
Namun berdasarkan pasal KUHPidana tersebut, yang berhak untuk menjadi pelapor
adalah perseorangan. Badan hukum tidak memiliki legal standing untuk menjadi pelapor. Hal
ini menjadikan Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan hukum tidak dapat menjadi
pelapor tindak pidana sehingga bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh peraturan
menteri diatas. Terlebih berdasarkan pengertian KUHPidana tersebut, pelapor dapat
mengajukan laporan hanya apabila mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh
undang-undang, sedangkan Majelis Pengawas hanyalah diberikan wewenang oleh peraturan
Menteri17.
Hal ini memberikan ketidaksinkronan antara peraturan yang lebih tinggi dengan yang
lebih rendah sehingga harus lebih diperhatikan dimasa mendatang. Dalam hal ini yang akan
digunakan adalah lex superiori derogat lex inferiori dimana peraturan yang lebih tinggi
mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Sehingga Majelis Pengawas tidak dapat
menjadi pelapor tindak pidana kepada penyidik dan penyelidik ataupun jaksa sebagai sebuah
badan hukum. Alternatif yang dapat dilakukan adalah pihak yang merasa dirugikan oleh
tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris tersebut melaporkannya langsung kepada
kepolisian.
Menurut Peraturan Menteri ini, yang memegang prinsip bahwa MPN memiliki
kewenangan untuk melaporkan tindak pidana yang dilakukan notaris kepada pihak
berwenang, apabila ditemukan unsur tindak pidana maka Ikatan Notaris Indonesia dan
kepolisisan membuat nota kesepahaman tentang pemanggilan notaris ke kepolisian.
Pemanggilan notaris harus dilakukan tertulis dan ditandatangani penyidik. Surat panggilan
harus mencantumkan dengan jelas status sang notaris, alasan pemanggilan, dan polisi harus
tepat waktu. Pada hakekatnya, notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi jika
notaris yang bersangkutan berhalangan dan tidak bisa hadir, polisi bisa datang ke kantor
notaris bersangkutan. Nota kesepahaman ini memperkuat aturan pemanggilan notaris dalam
Pasal 6 UU No 30 Tahun 2004 yang menentukan, jika polisi hendak memanggil notaris atau
mengambil minuta akta harus mendapat persetujuan dari MPN Daerah18.

16 Ibid.
17 Ibid.

2. Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Notaris Terlapor


Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris Jawa
Barat (selanjutnya disebut MPWN Jabar) diatas, Majelis Pemeriksa yang memeriksa perkara
ini berkesimpulan bahwa Terlapor telah melakukan tindakan pelanggaran jabatan dan kode
etik Notaris yang terdapat dalam pasal-pasal berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) UU No 30 tahun 2004, tentang Sumpah Jabatan
Sebagai profesi yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta bertanggung jawab
dalam jasa pelayanannya, profesi Notaris memiliki sumpah jabatan yang harus dipegang
teguh. Sumpah atau janji ini wajib diucapkan oleh Notaris menurut agamanya yang dilakukan
didepan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Sumpah atau janji tersebut diatur dalam pasal 4
ayat (2) UU No 30 Tahun 2004 sebagaimana kutipannya sebagai berikut:
Saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara
Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta peraturan perundang-undangan
lainnya. bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama,
mandiri, dan tidak berpihak. bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan
menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan
tanggung jawab saya sebagai Notaris. bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan
keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. bahwa saya untuk dapat
diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau
dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada
siapa pun.19
Jika sumpah ini diuraikan terdapat beberapa hal yang yang wajib dilakukan oleh
seorang Notaris sesuai dengan janjinya, yaitu:
1) Patuh dan Setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945,
Undang-undang tentang Notaris, dan peraturan lainnya.
2) Menjalankan jabatan sebagai Notaris dengan amanah, jujur, saksama, mandiri,
dan tidak berpihak.
3) Menjaga sikap dan tingkah laku.
18 Lihat Pasal 6 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
19 Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris

4) Menjalankan kewajiban sebagai Notaris sesuai dengan kode etik profesi,


kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai Notaris.
5) Merahasiakan isi akta dan keterangan.
6) Tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.
Dari beberapa hal yang wajib dilakukan oleh seorang Notaris berdasarkan sumpahnya
diatas, jika dikaitkan dengan kasus diatas, Notaris Terlapor dengan jelas telah melanggar
sumpahnya yaitu pada poin 2 untuk menjalankan jabatan Notarisnya dengan jujur dan
saksama. Dalam sidang pemeriksaan, diketahui bahwa Notaris telapor telah melaksanakan
jabatannya dengan tidak saksama yaitu akta yang telah dibuat oleh Notaris Terlapor tidaklah
dibacakan dengan secara patut serta persetujuan suami untuk melakukan tindakan ternyata
terbalik dengan persetujuan istri.
Notaris Terlapor juga juga melanggar sumpahnya pada poin 1 untuk patuh pada
Undang-undang Notaris dan pada poin 4 yaitu untuk melaksanakan jabatan Notarisnya sesuai
dengan kode etik Notaris. Pelanggaran ini akan diuraikan lebih lanjut pada poin pembahasan
berikut.
b. Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l UU No 30 Tahun 2004
Dalam pasal ini terutama menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang harus
dilakukan oleh seorang notaris. Sebagaimana telah dikemukakan pada kasus posisi diatas,
Notaris Terlapor melakukan pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf a yang kutipannya
adalah:
bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak
yang terkait dalam perbuatan hukum.20
Terkait dengan pasal ini, bahwa Notaris Terlapor disimpulkan telah melakukan hal
berikut; Pertama, berlaku tidak jujur dengan memberikan blanko kosong kepada terlapor.
Yang kemudian blanko tersebut menimbulkan kerugian bagi pelapor. ; Kedua, tidak bertindak
saksama yaitu dengan terbalik dalam menentukan persetujuan suami dengan persetujuan istri,
dan; Ketiga, tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait, karena pelapor tidak mengetahui
blanko tersebut akan digunakan untuk apa. Baru pada kemudian harilah pelapor mengetahui
bahwa telah terjadi perikatan perjanjian Jual beli antara Pelapor dengan pihak Koesmajadi
berdasarkan blanko tersebut. Padahal pelapor tidak mengetahui tentang perikatan ini.
Sedangkan isi dari pasal 16 ayat (1) huruf l adalah sebagai berikut:

20 Lihat pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004


tentang Jabatan Notaris

Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2


(dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
Notaris.21
Dalam kasus posisi telah jelas bahwa notaris pelapor tidak melakukan kewajibannya
untuk membacakan akta dengan patut dihadapan penghadap. Namun tidak jelas dalam sidang
pemeriksaan apakah terdapat saksi dalam penandatangan akta tersebut.
c. Pasal 44 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004
Berikut kutipan isi dari pasal 44 ayat (1):
Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap,
saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda
tangan dengan menyebutkan alasannya.22
Sesuai dengan kasus posisi diatas, Notaris Terlapor tidak melakukan pembacaan
secara patut kepada para penghadap sehingga Notaris Terlapor dianggap telah melakukan
pelanggaran terhadap pasal ini.
d. Pasal 3 dan 4 Kode Etik Notaris
Kedudukan kode etik bagi notaris adalah penting karena notaris merupakan suatu
profesi yang butuh diatur dengan suatu kode etik. Terutama karena notaris adalah pekerjaan
yang berpusat pada legalisasi terutama terkait pada status kebendaan, harta, bahkan hak dan
kewajiban dari klien yang menggunakan jasa notaris. Karena itu agar tidak terjadi
ketidakadilan yang mungking dapat diakibatkan dari pemberian status-status tersebut seperti
mengacaukan ketertiban umum dan hak-hak pribadi masyarakat, maka kode etik ini menjadi
sangat penting.23
Menurut Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris, yang dimaksud dengan kode etik Notaris
adalah sebagai berikut:
seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan lkatan Notaris Indonesia
yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan
dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
21 Lihat Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
22 Lihat pasal 44 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
23 Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm.
133

mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua
anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris,
termasuk didalamnya pars Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris
Pengganti Khusus.24
Kode etik ini dikeluarkan oleh ikatan profesi Notaris yang ada di Indonesia yaitu
Ikatan Notaris Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 27 Januari 2005. Kode etik notaris ini
mencakup Ketentuan Umum, Ruang Lingkup, Kewajiban, Larangan, pengecualian, Sanksi,
Tata cara Penegakkannya, Pemecatan sementara, kewajiban pengurus pusat dan ketentuan
umum yang dihimpun dalam delapan bab dan lima belas pasal.
Kewenangan Ikatan Notaris Indonesia atau I.N.I dalam membentuk kode etik ini
terdapat dalam pasal 83 ayat (2) UU No 30 Tahun 2004. Dalam pasal ini, yang kemudian
menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris adalah Organisasi Notaris dimana para
Notaris kemudian berhimpun. Kemudian pada pasal berikutnya yaitu pasal 89 undangundang tersebut ditegaskan bahwa Kode Etik notaris yang ditetapkan akan berlaku dan
mengikat hingga kode etik notaris yang baru ditetapkan.
Isi dari pasal 3 kode etik notaris adalah t entang kewajiban Notaris yaitu sebagai
berikut25:
1)
2)
3)
4)

Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang balk.


Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan Notaris.
Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab,

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris.


5) Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu
pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara;
7) Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8) Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan
satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan
tugas jabatan sehari-hari.
9) Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya
dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x
80 cm, yang memuat :
24 Lihat Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
25 Lihat pasal 3 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia

a. Nama lengkap dan gelar yang sah;


b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai
Notaris.
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih
dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di papan nama harus ielas dan
mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan
untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10) Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan
setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.
11) Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12) Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang
meninggal dunia.
13) Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium ditetapkan
Perkumpulan.
14) Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta
15) dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.
16) Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan
tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan
sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu
serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi.
17) Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan
status ekonomi dan/atau status sosialnya.
18) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai kewajiban
untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak terbatas pada ketentuan
yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris Indonesia.
Maka berdasarkan kasus pelanggaran diatas, Notaris Terlapor telah melakukan
pelanggaran terhadap kewajiban yang harusnya dilakukannya. Pelanggaran ini terutama pada
poin 14, yaitu melakukan jabatan notarisnya terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan
penandatanganan akta yang dilakukan di kantornya. Notaris pelapor melanggar pasal 3 angka
14 ini sebagaimana dikemukakan dalam kasus posisi diatas yaitu dengan tidak membacakan
secara patut akta yang dibuat dihadapannya.

Berikutnya, Notaris Terlapor melakukan pelanggaran terhadap pasal 4 kode etik


notaris tentang Larangan, terutama terkait dengan poin 15 yang kutipannya adalah sebagai
berikut26:
Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai pelanggaran
terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran
terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
b. Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga
dan/atau
e. Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan
Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.
3. Terhadap Sanksi Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 telah dijabarkan dengan rinci tentang sanksi yang
dapat dijatuhkan oleh terhadap pelanggaran jabatan dan kode etik. Sanksi-sanksi ini
dijelaskan pada BAB XI tentang Ketentuan Sanksi. Terdapat dua pasal dalam penentuan
sanksi di bab ini.
Pasal pertama yaitu pasal 84 menyebutkan bahwa sanksi dapat berupa suatu akta
tersebut yang dibuat oleh Notaris Terlapor dianggap batal demi hukum sehingga turun derajat
menjadi akta dibawah tangan. Disebutkan pula, apabila terdapat pihak yang dirugikan dengan
hal ini, dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi maupun bunga kepada Notaris. Sanksi
ini hanya mencakup tindakan pelanggaran notaris yang diatur dalam pasal-pasal berikut 27:
Pasal 16 ayat (1) huruf i; Pasal 16 ayat (1) huruf k; Pasal 41; Pasal 44; Pasal 48; Pasal 49;
Pasal 50; Pasal 51, atau; Pasal 52.
Pasal berikutnya adalah pasal 85 yang menyebutkan sanksi-sanksi berupa:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian sementara
26 Lihat pasal 4 Kode Etik
27 Lihat Pasal 84 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris

d. Pemberhentian dengan hormat; atau


e. Pemberhentian dengan tidak hormat
Sanksi tersebut berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran ketentuan dalam pasal-pasal
berikut: Pasal 7; Pasal 16 ayat (1) huruf a; Pasal 16 ayat (1) huruf b; Pasal 16 ayat (1) huruf c;
Pasal 16 ayat (1) huruf d; Pasal 16 ayat (1) huruf e; Pasal 16 ayat (1) huruf f; Pasal 16 ayat
(1) huruf g; Pasal 16 ayat (1) huruf h; Pasal 16 ayat (1) huruf i; Pasal 16 ayat (1) huruf j;
Pasal 16 ayat (1) huruf k; Pasal 17; Pasal 20; Pasal 27; Pasal 32; Pasal 37; Pasal 54; Pasal 58;
Pasal 59; dan/atau Pasal 6328.
Dalam Kode Etik Notaris juga diatur tentang sanksi yang dapat dijatuhkan apabila
terjadi pelanggaran terhadap kode etik yang telah diatur. Sanksi tersebut diatur dalam pasal 6
ayat (1) BAB IV tentang Sanksi, berikut kutipannya;
Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik
dapat berupa
a.
b.
c.
d.
e.

Teguran;
Peringatan;
Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.29

Sanksi tersebut berlaku bagi setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melanggar
kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggarannya.30
Dalam kasus pelanggaran jabatan dan kode etik diatas, Notaris Terlapor melanggar
pasal 16 ayat (1) huruf a yang sanksinya diatur dalam pasal 85 diatas dan pasal 44 yang
sanksinya diatur dalam pasal 84. Sehingga mengakibatkan akta yang diperkarakan (akta No.
53) tentang perjanjian jual beli antara Pelapor dengan pihak Koesmajadi menjadi batal demi
hukum dan turun derajat menjadi akta bawah tangan. Dalam hal ini, apabila Pelapor
menyatakan tidak sepakat dengan isi perjanjian, maka akta perjanjian tersebut tidak perlu
dilanjutkan kecuali bagi pihak Koesmajadi untuk memperkarakan dengan dalih wanprestasi.
Kemudian Notaris Terlapor juga dapat dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal
85.
Dalam hal memberikan atau menjatuhkan sanksi-sanksi diatas dapat dilakukan oleh:
28 Lihat Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
29 Lihat Pasal 6 Kode Etik Notaris
30 Lihat Pasal 6 ayat (2) Kode Etik Notaris

a. Majelis Pengawas Wilayah, yaitu dalam pasal 73 ayat (1) huruf e berwenang
untuk memberikan sanksi berupa sanksi teguran lisan ataupun tertulis. Selanjutnya
dalam huruf f dapat mengusulkan pemberian sanksi kepada Majelis Pengawas
Pusat
b. Majelis Pengawas Pusat, yaitu dalam pasal 77 huruf c berwenang untuk
menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pada huruf d mengusulkan
sanksi kepada Menteri.
c. Menteri Hukum dan HAM; melakukan sanksi pemberhentian tidak hormat.
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi
pemidanaan tetapi

tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris

apabila mengandung suatu undur tindak pidana seperti pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian
dalam pembuatan surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi
administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik
dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang
menerangkan adanya bukti keterlibatan secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta
otentik.

C. SIMPULAN DAN REKOMENDASI


Dari analisis kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Bahwa, dalam menangani suatu kasus pelanggaran jabatan dan kode etik yang
dilakukan oleh seorang Notaris dapat dilakukan oleh dua lembaga tergantung
fungsi masing-masing yaitu Majelis Pengawas Notaris, yang berkaitan dengan
pelanggaran jabatan dan kode etik yang berhubungan dengan pihak selain Notaris;
dan Dewan Kehormatan, yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik secara
internal. Sehingga Majelis Pengawas Wilayah Notaris (dalam kasus ini adalah
MPWN Jabar) berwenang dan dapat melakukan pengadilan terhadap pelanggaran
jabatan dan kode etik yang dilakukan oleh Notaris Terlapor
2. Bahwa, berdasarkan pemeriksaan di persidangan, pasal-pasal yang dianggap
dilanggar oleh Notaris Terlapor adalah pasal berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) UU No 30 tahun 2004
b. Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l UU No 30 tahun 2004
c. Pasal 44 UU No 30 tahun 2004
d. Pasal 3 dan 4 Kode Etik Notaris
3. Sesuai dengan analisis yang telah dilakukan, Notaris Terlapor benar telah
melakukan pelanggaran sebagaimana pasal-pasal yang dimaksud.
4. Bahwa, sanksi yang dijatuhkan berdasarkan pelanggaran jabatan dan kode etik
yang dilakukan oleh Notaris Terlapor adalah sanksi sesuai dengan pasal:
a. Pasal 84 UU No 30 Tahun 2004
b. Pasal 85 UU No 30 Tahun 2004
5. Sanksi tersebut diusulkan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris kepada Majelis
Pengawas Pusat untuk dilakukan pemberhentian sementara. Sanksi tersebut telah
benar dan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Rekomendasi yang dapat diberikan terhadap putusan kasus tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Majelis Pengawas Wilayah Notaris memutuskan secara tegas bahwa akta yang
telah dibuat oleh Notaris Terlapor adalah batal demi hukum dan turun menjadi
akta dibawah tangan.
2. Majelis Pengawas Wilayah Notaris selain mengusulkan kepada Majelis Pengawas
Pusat Notaris untuk melakukan pemberhentian sementara, dapat pula memberikan
peringatan atau teguran baik secara tertulis maupun tidak tertulis atau lisan
terhadap Notaris Terlapor.

Anda mungkin juga menyukai