Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO D BLOK 19

Kelompok A2
Tutor: dr. Elza Iskandar, Sp.M
Anggota:
Nur Ilmi Sofiah

04011181419061

Alvinnata

04011181419063

Aulia Dini Nafisah

04011181419065

Thalia Viotama

04011181419067

Maya Fitriani

04011181419069

Fachrezi Khatami

04011181419071

Usamah Haidar

04011281419101

Illiyyah

04011281419105

Raden Nurizki

04011281419121

Vicra Adhitya

04011281419123

Naufal Karyna Putri

04011281419129

PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul Laporan Tutorial
Skenario D Blok 19 sebagai tugas kompetensi kelompok. Shalawat beriring salam selalu
tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat,
dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan,
dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan,
2. dr. Elza Iskandar, Sp.M, selaku tutor kelompok A2,
3. teman-teman sejawat Fakultas Kedokteran Unsri,
4. semua pihak yang telah membantu kami.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah
SWT. Amin.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.

Palembang, 8 September 2016

Kelompok A2

KEGIATAN TUTORIAL
Tutor

: dr. Elza Iskandar, Sp.M

Moderator

: Usamah Haidar

Sekretaris Meja I

: Vicra Adhitya

Sekretaris Meja II

: Illiyyah

Tanggal Pelaksanaan

: 5 dan 7 September 2016

Waktu Pelaksanaan

: 10.00-12.30 WIB

Peraturan selama tutorial :


1. Diperbolehkan untuk minum
2. Alat komunikasi mode silent
3. Pada saat ingin berbicara terlebih dahulu mengacungkan tangan, lalu setelah diberi izin
moderator baru bicara
4. Saling menghargai dan tidak saling menggurui

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................1
Kegiatan Tutorial........................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
I.

Skenario........................................................................................................................4

II.

Klarifikasi Istilah..........................................................................................................5

III.

Identifikasi Masalah......................................................................................................6

IV.

Analisis Masalah...........................................................................................................9

V.

Learning Issue.............................................................................................................33

VI.

Sintesis........................................................................................................................34

VII. Kerangka Konsep........................................................................................................53


VIII. Kesimpulan.................................................................................................................54
Daftar Pustaka...........................................................................................................................55

I.

SKENARIO
Seorang laki-laki, 17 tahun dating berobat ke Puskesmas dengan keluhan bercak-bercak

merah gatal pada badan sejak 1 pekan yang lalu. Kisaran 1 pekan sebelumnya pasien
mengalami meriang dan nyeri otot.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Kesadaran: compos mentis
Vital Sign: Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit, Suhu: 36,8oC
Keadaan Spesifik: dalam batas normal
Status Dermatologikus:
Regio truncus anterior:
Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler, berbentuk oval, diskret dengan
skuama halus

II.

KLARIFIKASI ISTILAH
Bercak Merah
Gatal

Sebuah sensasi tidak nyaman pada kulit yang terasa seolaholah ada sesuatu yang merayap pada kulit dan
membuat orang ingin menggaruk daerah yang
terkena

Meriang

Berasa tidak enak badan karena demam

Status Dermatologikus
Regio Truncus Anterior
Papul

Lesi menonjol yang kecil berbatas tegas, dan padat pada


kulit

Plak Eritem Multipel

Bercak kemerahan beragam pada kulit yang dihasilkan oleh


kongesti pembuluh kapiler

Lentikuler

Bentuk-bentuk seperti lensa

Numuler

Berukuran sebesar dan berbentuk seperti uang logam


tersusun atas cakram yang bulat dan tipis

Diskret

Dibuat dari bagian yang terpisah atau ditandai dengan lesi


yang tidak menyatu

Skuama Halus

Struktur mirip lempengan padat atau kepingan tipis, seperti


sel epitel bertanduk pada permukaan tubuh

III. IDENTIFIKASI MASALAH


No

Concern
Seorang laki-laki, 17 tahun dating berobat ke Puskesmas
1.
2.

dengan keluhan bercak-bercak merah gatal pada badan sejak 1


pekan yang lalu.
. Kisaran 1 pekan sebelumnya pasien mengalami
meriang dan nyeri otot.

VVV
VV
5

3.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Kesadaran: compos mentis
Vital Sign: Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit,
o
Suhu: 36,8 C
Keadaan Spesifik: dalam batas normal

4.

Status Dermatologikus:
Regio truncus anterior:
Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler,
berbentuk oval, diskret dengan skuama halus

5.
6.

V
V

I. ANALISIS MASALAH
1. Seorang laki-laki, 17 tahun datang berobat ke Puskesmas dengan keluhan bercak-bercak
merah gatal pada badan sejak 1 pekan yang lalu.
1.1 Bagaimana hubungan antara jenis kelamin dan usia dengan keluhan pada
kasus? 1 7
1.2 Apa penyebab dan mekanisme bercak merah pada kasus? (sejak 1 pekan yang
lalu) 2 8
1.3 Apa penyebab dan mekanisme gatal pada kasus? (sejak 1 pekan yang lalu) 3 9
1.4 Apa hubungan dari bercak merah dan gatal pada kasus?4 10
2. Kisaran 1 pekan sebelumnya pasien mengalami meriang dan nyeri otot.
2.1 Mengapa meriang dan nyeri otot tidak terjadi lagi sekarang?5 11
2.2 Apa penyebab dan mekanisme meriang pada kasus?6 1
2.3 Apa penyebab dan mekanisme nyeri otot pada kasus?7 2
2.4 Apa hubungan meriang dan nyeri otot?8 3
2.5 Apa hubungan meriang dan nyeri otot dengan keluhan yang sekarang? (bercak
merah dan gatal)9 4
3. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Kesadaran: compos mentis
Vital Sign: Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit, Suhu: 36,8oC
Keadaan Spesifik: dalam batas normal
3.1 Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik? (table)10 5
4. Status Dermatologikus:
Regio truncus anterior:
Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler, berbentuk oval, diskret
dengan skuama halus
4.1 Apa penyebab dan mekanisme dari
A. Papul?11 6
B. Plak eritem multiple (lentikuler sampai numuler), berbentuk oval 1 7
C. Diskret dengan skuama halus2 8
4.2 Mengapa manifestasi klinis hanya muncul di region truncus anterior?3 9

Hipotesis: Seorang laki-laki, 17 tahun diduga mengalami pitiriasis rosea


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Apa saja diagnosa banding pada kasus?4 10


Bagaimana cara menegakkan diagnosis?5 11
Apa diagnosis kerja dari kasus? 6 1
Bagaimana epidemiologi dari kasus?7 2
Bagaimana etiologi dari kasus? 8 3
Bagaimana klasifikasi dari kasus?9 4
Bagaimana faktor risiko dari kasus? 10 5
7

8. Bagaimana patofisiologi dari kasus?11 6


9. Bagaimana manifestasi klinis dari kasus?1 7
10. Bagaimana tatalaksana dari kasus? 2 8
11. Bagaimana edukasi dan pencegahan pada kasus?3 9
12. Bagaimana komplikasi yang dapat terjadi?4 10
13. Bagaimana prognosis dari kasus?5 11
14. Bagaimana SKDI dari kasus?6

II.

LEARNING ISSUE
1. Histofisiologi kulit Regio Truncus Anterior1 4 7 10
2. Efloresensi dan Histopatologi 2 5 8
3. Pitiriasis Rosea3 6 9 11
1Tt,2ida 3karyn 4anis 5vinka 6arin 7linda 8fitri 9vicra 10Farhan 11putra

III. SINTESIS
1. EPILEPSI PADA ANAK
Definisi
Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.
Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar
belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Epilepsi sebetulnya sudah
dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama
yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak.
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh
karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat
berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara,
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).

Lumbantobing mengatakan, bahwa pelepasan aktifitas listrik abnormal dari selsel neuron diotak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini
dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal
maupun general. Gangguan tidak terbatas aktifitas motor yang terlihat oleh mata,
tetapi juga oleh aktifitas lain misalnya emosi, pikiran dan persepsi.
Klasifikasi
Menurut International

League Against Epilepsy

(ILAE) 1981, epilepsi

diklasifikasikan menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan


sindrom epilepsi.
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
No
1.

Kejang Parsial

2.

Kejang Umum

Klasifikasi Epilepsi (ILAE 1981)


Kejang parsial
Kejang parsial sederhana dengan
sederhana
gejala motoric
Kejang parsial sederhana dengan
gejala somatosensorik atau sensorik
khusus
Kejang parsial sederhana dengan
gejala psikis
Kejang parsial
Kejang parsial kompleks dengan
kompleks
onset parsial sederhana diikuti
gangguan kesadaran
Kejang parsial kompleks dengan
gangguan kesadaran saat onset
Kejang parsial
Kejang parsial sederhana menjadi
yang menjadi
kejang umum
kejang
Kejang parsial kompleks menjadi
generalisata
kejang umum
sekunder
Kejang parsial sederhana menjadi
kejang parsial kompleks dan
kemudian menjadi kejang umum
Kejang absens
Absans atipikal
Kejang mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik-klonik
Kejang atonik

Epidemiologi
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur
dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum
diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak
insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia.
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per
9

100.000 ribu. Salah satu penyebab tingginya insidens epilepsi di negara


berkembang adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi prenatal, perinatal,
serta post natal.
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di
Bagian llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
didapatkan sekitar 175 - 200 pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada
kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing 43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU
dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86 kasus epilepsi pada anak.
Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%), kemudian 6 - 10
tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi prevalensi
epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan sampel 1 wilayah.
Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per 1000 penduduk.
Faktor Resiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
faktor penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada
epilepsy idiopatik. Sedang epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya
disebut epilepsy simtomatik. Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan
genetik sebagai berikut: terdapat suatu gen yang menentukan sintesis dan
metabolisme asam glutamik yang menghasilkan zat Gama amino butiric acid
(GABA). zat ini merupakan penghambat (inhibitor) kegiatan neuron yang
abnormal. Penderita yang secara kurang cukup memproduksi GABA merupakan
penderita yang mempunyai kecenderungan untuk mendapat serangan epilepsi.
Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas
neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun
postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya gangguan
pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan epilepsi.
Faktor Prenatal
-

Umur pada saat ibu hamil


Umur ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang
akan dilahirkan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi
kehamilan di antaranya adalah hipertensi dan eklamsia, sedangkan gangguan
pada persalinan di antaranya adalah trauma persalinan. Komplikasi kehamilan
10

dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, lahir dengan berat badan


kurang, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan janin dengan asfiksia.16 Pada asfiksia akan terjadi hipoksia dan
iskemia.14 Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai. Asfiksia akan menimbulkan lesi pada daerah
-

hipokampus dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik.


Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan seperti placenta previa dan
eklamsia dapat menyebabkan asfiksia pada bayi. Asfiksia disebabkan adanya
hipoksia pada bayi yang dapat berakibat timbulnya epilepsy. Hipertensi pada
ibu dapat menyebabkan aliran darah ke placenta berkurang, sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin dan BBLR.37 Keadaan ini dapat
menimbulkan asfiksia pada bayi yang dapat berlanjut pada epilepsi di
kemudian hari.

Kehamilan pirimpara atau multipara


Urutan persalinan dapat menyebabkan terjadinya epilepsi. Insiden epilepsy
ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan besar
disebabkan pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit
persalinan ( partus lama, persalinan dengan alat, kelainan letak ) dapat terjadi
juga pada kehamilan multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih
dari 4 kali). Penyulit persalinan dapat menimbulkan cedera karena kompresi
kepala yang dapat berakibat distorsi dan kompresi otak sehingga terjadi
perdarahan atau udem otak. Keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak,

dengan epilepsi sebagai manifestasi klinisnya.


Pemakaian bahan toksik
Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti
ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran
dapat menyebabkan epilepsi. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan
perkembangan janin, bukti ilmiah menunjukkan bahwa merokok selama
kehamilan meningkatkan risiko kerusakan janin. Dampak lain dari merokok
pada saat hamil adalah terjadinya placenta previa. Placenta previa dapat
menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi
sungsang sehingga diperlukan seksio sesaria. Keadaan ini dapat menyebabkan
trauma lahir yang berakibat terjadinya epilepsi.
11

Faktor Natal
- Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia
perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Hipoksia dan
iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga
terjadi udem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada
batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia
adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat
vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor
inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul
epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, baik pada stadium akut
dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan epilepsi biasanya mulai timbul 6-12
jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 - 24 jam bangkitan
epilepsi menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya kurang
baik. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis,
-

di antaranya epilepsi.
Berat badan lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir
dengan berat kurang dari 2500 gram. Bayi dengan BBLR dapat mengalami
gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini
dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan
otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Trauma
kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi
perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi

neurologi.
Kelahiran premature atau postmatur
Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37
Minggu dari hari pertama menstruasi terakhir.42 Pada bayi prematur,
perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi
dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal
ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom
12

gangguan pernapasan sehingga bayi menjadi hipoksia. Keadaan ini


menyebabkan aliran darah ke otak bertambah. Bila keadaan ini sering timbul
dan tiap serangan lebih dari 20 detik maka, kemungkinan timbulnya kerusakan
otak yang permanen lebih besar. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara
lain di hipokampus. Oleh karena itu setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, serangan kejang cenderung
berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas.
Bayi yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dari 42 minggu merupakan
bayi postmatur. Pada keadaan ini akan terjadi proses penuaan plesenta,
sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang
dapat dialami oleh bayi yang lahir postmatur ialah suhu yang tak stabil,
hipoglikemia dan kelainan neurologik. Gawat janin terutama terjadi pada
persalinan, bila terjadi kelainan obstetrik seperti: berat bayi lebih dari 4000
gram, kelainan posisi, partus > 13 jam, perlu dilakukan tindakan seksio sesaria.
Kelainan tersebut dapat menyebabkan trauma perinatal (cedera mekanik) dan
hipoksia janin yang dapat mengakibatkan kerusakan pada otak janin.
-

Manifestasi klinis dari keadaan ini dapat berupa epilepsi.


Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1
jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan Kala II : 1,5 jam.
Sedangkan pada multigravida, kala : 7 jam dan kala II: 1-5 jam. Persalinan
yang sukar dan lama meningkatkan risiko terjadinya cedera mekanik dan
hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksi dapat

berupa epilepsi.
Persalinan dengan alat (forsep, vakum, seksio sesaria)
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan
letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi.
Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan
perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat
kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi
cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut
dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat
berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau udem
otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai

manifestasi klinisnya.
Perdarahan intrakranial
13

Perdarahan intrakranial dapat merupakan akibat trauma atau asfiksia dan


jarang diakibatkan oleh gangguan perdarahan primer atau anomali kongenital
Perdarahan intrakranial pada neonatus dapat bermanifestasi sebagai perdarahan
subdural, subarakhnoid, intraventrikuler / periventrikuler atau intraserebral.
Perdarahan subdural biasanya berhubungan dengan persalinan yang sulit
terutama terdapat kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik. Perdarahan dapat
terjadi karena laserasi dari vena-vena, biasanya disertai kontusio serebral yang
akan memberikan gejala kejang-kejang.
Perdarahan subarakhnoid terutama terjadi pada bayi prematur yang
biasanya bersama-sama dengan perdarahan intraventrikuler. Keadaan ini akan
menimbulkan gangguan struktur serebral dengan epilepsi sebagai salah satu
manifestasi klinisnya.
Faktor Postnatal
- Kejang demam
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses
ekstrakranium. Anak-anak yang mengalami kejang demam tersebut tidak
mengalami infeksi susunan pusat atau gangguan elektrolit akut. Umumnya
anak yang mengalami kejang demam berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun,
paling sering usia 18 bulan. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang
dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam. Awitan di atas 6 tahun
sangat jarang.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian mengalami
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam
dapat dibagi menjadi kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) dan
kejang demam komplek (Complex Febrile Seizure).
Bentuk paling sering adalah kejang demam sederhana. Kejang berbentuk
tonik atau tonik klonik. Kejang berlangsung singkat kira kira satu menit, lalu
anak menangis. Selama hidupnya, ia hanya mengalami kejang 1 2 kali.
Kejang demam komplek terjadi pada kira kira 30% anak, dan mempunyai
beberapa ciri yaitu:
1) Bangkitan kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit.
2) Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
3) Bangkitan kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
Harus dibedakan antara kejang demam sederhana dan kejang demam
komplek, karena bentuk bangkitan menentukan risiko kemungkinan kerusakan
14

otak, berulang kejang, kemungkinan menjadi epilepsi di kemudian hari, serta


penatalaksanaan yang harus dilakukan.
Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Suwitra dan
Nuradyo, kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme:
1) Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan kerusakan
DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut. Jaringan
parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan mengganggu
keseimbangan inhibisieksitasi,

sehingga mempermudah timbulnya

kejang.
2) Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga
rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3) Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak
mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4) Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik
berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan
neuron.
5) Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa,
oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya
-

neuron menjadi rusak.


Trauma kepala
Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut
dan kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul
dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta
cerebral palsy dan retardasi mental. Dampak yang tidak nyata memberikan
gejala sisa berupa jaringan sikatrik, yang tidak memberikan gejala klinis awal
namun dalam kurun waktu 3 - 5 tahun akan menjadi fokus epilepsi.
Bangkitan epilepsi pasca cedera kepala pada anak-anak dibagi dalam 3
golongan yaitu
1) Bangkitan segera, sebagai jawaban langsung atas serangan mekanis dari
jaringan otak yang mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap
kejang. Biasanya berhubungan dengan faktor genetik.
2) Bangkitan dini, timbul dalam 24 - 48 jam, pada cedera kepala hebat
sebagai akibat dari udem otak, perdarahan intrakranial, kontusio, laserasi
dan nekrosis. Bangkitan epilepsi biasanya bersifat kejang umum.
3) Bangkitan lambat, biasanya timbul dalam 2 tahun pertama setelah cedera
kepala, bangkitan berasal dari parut serebro-meningeal akibat trauma

yang telah dibuktikan baik secara anatomis, maupun elektro-fisiologis.


Infeksi susunan saraf pusat
15

Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang
terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan epilepsi akan
menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya
infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses
serta infeksi lainnya.
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya epilepsi. Di
negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex
(tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Epilepsi yang timbul berbentuk
serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan
biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya
ingat yang berat dan kombinasi epilepsy dengan kerusakan otak dapat
berakibat fatal.
Pada meningitis dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan
cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental, hidrosefalus dan defisit N.
kranialis serta epilepsi. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa
sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga
terjadilah fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian
-

menimbulkan epilepsi.
Epilepsi akibat toksik
Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb dan
lainnya dapat memacu terjadinya kejang . Beberapa jenis obat dapat menjadi
penyebab epilepsi, yang diakibatkan racun yang dikandungnya atau adanya
konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol, obat anti epileptik,
opium, obat anestetik dan anti depresan. Penggunaan barbiturat dan
benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak pada orang yang tidak
menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12 24 jam setelah mengkonsumsi
alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan

menyebabkan serangan epilepsy.


Gangguan metabolik
Serangan epilepsi dapat terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi
serum glokuse, kalsium, magnesium, potassium dan sodium. Beberapa kasus
hiperglikemia yang disertai status hiperosmolar non ketotik merupakan faktor
risiko penting penyebab epilepsi di Asia, sering kali menyebabkan epilepsi
parsial.

Faktor Keturunan

16

Diperkirakan sekitar 20% dari penderita epilepsi mempunyai etiologi genetik,


meliputi sejumlah yang dikatagorikan sebagai idiopatik.52 Perkembangan terbaru
menunjukkan telah diketahuinya kelainan yang bertanggung jawab atas epilepsi
yang diwariskan termasuk masalah-masalah Iigand-gated (saluran natrium dan
kalium) yang pewarisannya secara autosom dominan. Sebagai contoh adalah
autosomal-dominant noctumal frontal lobe epilepsy telah diketahui sebabnya yaitu
mutasi sub unit alfa 4 yang terdapat di reseptor nikotinat, benign neonatal
familialconvulsions disebabkan oleh mutasi saluran kalium dan epilepsi umum
(grand mal) dengan febrile convulsions plus yang disebabkan oleh kelainan pada
saluran natrium.
Bukti bahwa mekanisme genetik dapat secara langsung mempengaruhi
sinkroniasi neuron, dan dengan demikian menyebabkan epilepsi berhasil
diidentifikasi gen-gen pengkode protein seperti ion chanel yang dengan jelas
memainkan suatu peranan langsung yang bermakna didalam pengontrolan
eksitabilitas neuron. Secara teoritis, defek yang diturunkan pada tiap gen-gen
pengkode protein yang menyangkut eksitabilitas neuron dapat mencetuskan
bangkitan epilepsi. Kelompok penting dari calon gen-gen untuk epilepsi yang
herediter adalah gen-gen ion chanel. Gen-gen ini dapat dibagi kedalam ion chanel
ligand-gated, meliputi reseptor-reseptor untuk neurotransmitter dan ion chanel
voltage-sensitive. Chanelopathi adalah defek dari ion chanel yang bersifat genetik,
dimana terjadi kelainan pembentukan protein ion chanel pada waktu penggabungan
beberapa asam amino, sehingga menyebabkan membran sel menjadi hipereksitabel.
Untuk seseorang dengan kondisi saraf hipereksitabel (spasmofili), suatu stresor
yang sifatnya umum saja, mudah sekali pada tingkatan tertentu berubah menjadi
distress.
Patogenesis
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi
ion di dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk
ion-ion menerobos membran neuron.

17

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
- Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
-

inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.


Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan

menyebarkan aktivitas kejang.


Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang.
Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu

aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.


Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut

respon NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.


Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal

mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial


aks secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian
mengajak neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan
epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal
muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam
otak.Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang
berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang
terkena dan terlibat. Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil
dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu:
-

Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang


pekatidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnyadapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis

rangsangan berbeda-beda.
Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini
dapatdiwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnyaepileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja samaSED dan NPF.

18

Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan


epilepsy pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang
yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak
ada.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang

tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi:
- Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)
-

kurangoptimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.


Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan
Aspartat)berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan
juga.

2. STATUS EPILEPTICUS PADA ANAK


Status epileptikus (SE) merupakan keadaan emergensi medis berupa kejang
(seizure) persisten atau berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi dan
kecacatan jangka panjang. Etiologi yang mendasari sangat menentukan prognosis
SE. Pendekatan penatalaksanaan SE telah mengalami perubahan dibandingkan
beberapa tahun yang lalu seiring pemahaman mengenai patofisiologi aktivitas
kejang; namun penatalaksaan SE saat ini sangat bervariasi antar institusi, karena
masih kurangnya data pendukung.
Etiologi
Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak
dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui
adalah, infark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan
metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara
mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus
disebabkan oleh penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan
penenang dengan mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Penderita yang
sebelumnya tidak mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai riwayat
trauma kepala, radang otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainankelainan ini terutama yang terdapat pada lobus frontalis, lebih sering menimbulkan
status epileptikus, dibandingkan dcngan lokasi lain pada otak. Penderita yang
mempunyai riwayat epilepsi, dcngan sendirinya mempunyai faktor pcncctus
19

tertentu. Umumnya karena tidak teratur makan obat atau menghentikan obat
sekehendak hatinya. Faktor pencetus lain yang harus diperhatikan adalah alkohol,
keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain.
Patofisiologi
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah
kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter
eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan
intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Pelepasan adrenalin dan noradrenalin

Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme

Hipertensi, hiperpireksia

Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat

2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:

Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak

Depresi pernafasan

Disritmia jantung, hipotensi

Hipoglikemia, hiponatremia

Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia,


hipoksemia, trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%)
Gejala klinis
Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai separuh tubuh,
gerakan adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status epileptikus.
Keluarga penderita yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali
dengan jelas. Enam puluh sampai delapanpuluh persen status epileptikus dimulai
dengan gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran
lepas muatan listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer
lain. Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini
berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam
bentuk klinis seperti ini penderita berada dalam keadaan status epileptikus.
20

Penatalaksanaan dan Pengobatan


Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat darurat neurologic.
Harus diatasi secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf
permanen. Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan :
1. Stabilisasi penderita.
2. Menghentikan kejang.
3. Menegakkan diagnosis.

Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta
memberikan oksigen. Dalam keadaan tcrtcntu, tcrutama bila kejang sudah lama
atau ada hambatan saluran pernafasan, harus dilakukan intubasi. Tekanan darah
dipertahankan, diberikan garam fisiologis dan bila perlu diberi vasopressor. Darah
diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin
dan bagi penderita epilepsi diperiksa kadar obat dalam scrum darahnya. Harus
diperiksa gas - gas darah arteri, untuk melacak adanya asidosis metabolik dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% intravena, diikuti pemberian tiamin 100 milligram
intramuskuler.
Menghentikan kejang
Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera sesudah tahap stabilisasi selesai.
Tindakan ini dimulai dengan pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masingmasing 10 mg. Pemberian bolus diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg,
sementara itu pernafasan dimonitor terus. Biasanya kejang sudah dapat diatasi. Bila
pemberian diazepam yang waktu paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil,
diberikan fenitoin yang bekerja lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24
jam. Fenitoin diberikan secara intravena, 2 10 mg fenitoin dilarutkan dalam 1ml
garam fisiologis ( 5mg/ml), dengan dosis fenitoin 18 mg/kg berat badan, dengan
kecepatan kurang dari 50 mg/menit. Efek samping aritmi jantung sering timbul
pada pemberian fenitoin yang terlalu cepat atau lebih dari 50 mg/menit, bukan
karena jumlah fenitoin yang diberikan. Diazepam dan fenitoin dapat menekan
pernafasan, terutama bila pemberian terlalu cepat. Oleh karena itu selama
21

pemberian obat ini harus dilakukan monitoring ECG dan pernafasan. Bila kejang
masih terus berlangsung sesudah 20 menit pemberian fenitoin, intubasi harus
dilakukan. Selanjutnya diberi fenobarbital sampai kejang berhenti atau dosis
seluruhnya mencapai 20 mg/kg berat badan. Fenobarbital juga diberikan per infus
dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit. Selama pemberian fenobarbital harus
diperhatikan kemungkinan gangguan pernafasan dan turunnya tekanan darah.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil menghentikan kejang, maka
ahli saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui anestesi dengan
pemberian pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang diberikan disesuaikan
sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal dengan outburst suppression pattern
pada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan selama tiga jam, agar otak mempunyai
waktu yang cukup untuk membangkitkan homeostasis dan melawan kejang
berkelanjutan. Di tempat-tempat yang tidak mempunyai sarana pemberian obat
secara intravena atau tidak ada fasilitas resusitasi, dapat diberikan pertolongan
pertama dengan pemberian paraldehid ke dalam otot atau rektum. Suntikan
paraldehid masing-masing 5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3 jam, atau
paraldehid 10% dalam larutan garam fisiologis, sebanyak 5 ml melalui rektum.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk
mencari apa yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini
sedikit banyak tumpang tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan
usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital, alloanamnesis
dilakukan untuk memperoleh keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya.
Adanya kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang,
trauma, radang otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus.
Tahap ini sangat penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan
tahap sebelumnya.
Komplikasi

Asidosis

Hipoglikemia

Hiperkarbia

Hipertensi pulmonal

Edema paru
22

Hipertermia

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

Gagal ginjal akut

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Edema otak

Aspirasi Pneumonia

Prognosis
Tergantung pada:

Penyakit dasar

Kecepatan penanganan kejang

Komplikasi

3. ALGORITMA TATALAKSANA STATUS EPILEPTICUS PADA ANAK


Adapun tujuan utama dalam terapi ini ialah untuk menghentikan aktivitas kejang
baik dari klinis maupun dari segi electrocardiographic. Dalam terapi status
epileptikus, pertama kali dan penting bagi dokter untuk membebaskan jalan napas.
Posisikan tubuh pasien miring untuk mengeluarkan cairan ataupun lendir yang bisa
menghalangi jalan napas. Beri pasien oksigen 100%. Selanjutnya, terapi dilanjutkan
dengan memberi obat anti epilepsi yang terbagi atas dua tahap:
1.

Emergent Control Therapy (tahap awal)

Para ahli merekomendasikan pemberian benzodiazepin dalam menangani epilepsi.


Pemberian benzodiazepin bisa melalui IV, IM, rektal, buccal maupun nasal.
Diutamakan pemberian AED ialah melalui rektal. AED yang direkomendasikan
dalam pemberian rektal adalah diazepam. Selain itu, pemberian juga bisa
dilakukan melalui IV untuk Lorazepam, melalui IM, buccal dan nasal untuk
midzolam. Dalam pemberian benzodiazepin, beri juga terapi suportif berupa
vasopresor. Hal ini bertujuan untuk mengatasi hipotensi dan depresi respirasi
yang merupakan efek samping dari benzodiazepin.
2.

Urgent Control Therapy (tahap lanjut)


23

Terapi lanjutan ini dimulai 5-10 menit setelah terapi awal. Adapun tujuan dari terapi
ini ialah untuk meningkatkan efek anti epilepsi. Deretan teratas yang sering
digunakan dalam terapi ini adalah fosphenytoin/phenytoin IV, sodium valproate,
phenobarbital ataupun midzolam. Para ahli menyarankan untuk pemberian
fosphenytoin.
3.

Refractory Status Epilepticus

Bila terapi awal dan lanjutan epilepsi gagal, maka diperlukan obat tambahan lain.
Cukup sulit untuk memutuskan untuk melanjutkan urgent control therapy atau
berpindah ke obat lain. Namun, peralihan ke obat lain disarankan 20-60 menit
setelah pemberian urgent control therapy yang tidak berpengaruh ke pasien. Pada
tahap ini, setelah pemberian bolus IV di tahap urgent control therapy gagal,
pengobatan dilanjutkan dengan pemberian AED melalui infus. Mulanya berikan
infus AED yang sama dengan AED IV yang dipakai sebelumnya. Jika masih belum
berpengaruh, beri agen/AED lain. Adapun yang direkomendasikan ialah midzolam,
pentobarbital, propofol, thiopental. Saat pemberian infus, dilihat keadaan kardiopulmonal pasien.
Penghentian kejang:
0 - 5 menit:
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan
oksigen
Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 10 menit:
Pemasangan akses intarvena atau melalui rektal
Pemberian diazepam 0,2 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal
0,5 mg/kgbb. Pemberian dosis diazepam juga bisa berdasarkan usia. Pasien < 3
tahun, beri diazepam rektal 5mg. Sedangkan pada pasien > 5 tahun, beri
diazepam rektal 7,5-10mg
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu dua kali setelah 510
menit.
Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
24

10 15 menit
Berikan fenitoin 15 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 10 mg/kgbb sampai maksimum
dosis 30 mg/kgbb.
30 menit
Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 15 menit.
Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda
tanda depresi pernafasan.
Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan
intensif.
Protokol Penanganan SE Konvulsif
Stadium
Stadium I (0-10 menit)

Stadium II (1-60 menit)

Penatalaksanaan
o Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
o Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen, resusitasi
o
o
o
o
o
o

Pemeriksaan status neurologik


Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
EKG
Pemasangan infus
Mengambil 50-100 darah untuk pemeriksaan lab
Pemberian OAE emergensi: diazepam 10-20 mg IV (kecepatan

pemberian 2-5 mg/menit atau rektal dapat diulang 15 menit


kemudian)
o Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa thiamin
250 mg intravena
o Menangani asidosis
o Menentukan etiologi
o Bila kejang berlansung terus selama 30 menit setelah
Stadium
menit)

III

(0-60/90

pemberian diazepam pertama, beri phenytoin IV 15-18 mg/kg


dengan kecepatan 50 mg/menit
o Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
o Mengoreksi komplikasi
o Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60 menit, transfer
pasien ke ICU, beri propofol (2 mg/kgBB bolus IV, diulang bila
25

perlu) atau thiopentone (100-250 mg bolus IV dalam 20 menit,


dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan
Stadium IV (30-90 menit)

12-24 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG terakhir,


lalu dilakukan tappering off.
o Memantau bangkitan dengan EEG, tekanan intrakranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan.

Bagan Penanganan SE Konvulsif

Prognosis
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis, durasi
bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting adalah gangguan yang mendasari
terjadinya bangkitan. Kematian refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.

26

IV.

KERANGKA KONSEP

27

V.

KESIMPULAN

Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun 6 bulan, BB 14 kg mengalami hemiparase dextra, parase
nervus kraniales VII dan XII sinistra tipe sentral ec status epilepticus.

28

Anda mungkin juga menyukai