Tutorial Skenario A Blok 20
Tutorial Skenario A Blok 20
SKENARIO D BLOK 19
Kelompok A2
Tutor: dr. Elza Iskandar, Sp.M
Anggota:
Nur Ilmi Sofiah
04011181419061
Alvinnata
04011181419063
04011181419065
Thalia Viotama
04011181419067
Maya Fitriani
04011181419069
Fachrezi Khatami
04011181419071
Usamah Haidar
04011281419101
Illiyyah
04011281419105
Raden Nurizki
04011281419121
Vicra Adhitya
04011281419123
04011281419129
PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA PALEMBANG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan kepada Allah SWT. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul Laporan Tutorial
Skenario D Blok 19 sebagai tugas kompetensi kelompok. Shalawat beriring salam selalu
tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat,
dan pengikut-pengikutnya sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan,
dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih
kepada:
1. Allah SWT, yang telah memberi kehidupan dengan sejuknya keimanan,
2. dr. Elza Iskandar, Sp.M, selaku tutor kelompok A2,
3. teman-teman sejawat Fakultas Kedokteran Unsri,
4. semua pihak yang telah membantu kami.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan
kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah
SWT. Amin.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.
Kelompok A2
KEGIATAN TUTORIAL
Tutor
Moderator
: Usamah Haidar
Sekretaris Meja I
: Vicra Adhitya
Sekretaris Meja II
: Illiyyah
Tanggal Pelaksanaan
Waktu Pelaksanaan
: 10.00-12.30 WIB
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................................1
Kegiatan Tutorial........................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
I.
Skenario........................................................................................................................4
II.
Klarifikasi Istilah..........................................................................................................5
III.
Identifikasi Masalah......................................................................................................6
IV.
Analisis Masalah...........................................................................................................9
V.
Learning Issue.............................................................................................................33
VI.
Sintesis........................................................................................................................34
I.
SKENARIO
Seorang laki-laki, 17 tahun dating berobat ke Puskesmas dengan keluhan bercak-bercak
merah gatal pada badan sejak 1 pekan yang lalu. Kisaran 1 pekan sebelumnya pasien
mengalami meriang dan nyeri otot.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Kesadaran: compos mentis
Vital Sign: Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit, Suhu: 36,8oC
Keadaan Spesifik: dalam batas normal
Status Dermatologikus:
Regio truncus anterior:
Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler, berbentuk oval, diskret dengan
skuama halus
II.
KLARIFIKASI ISTILAH
Bercak Merah
Gatal
Sebuah sensasi tidak nyaman pada kulit yang terasa seolaholah ada sesuatu yang merayap pada kulit dan
membuat orang ingin menggaruk daerah yang
terkena
Meriang
Status Dermatologikus
Regio Truncus Anterior
Papul
Lentikuler
Numuler
Diskret
Skuama Halus
Concern
Seorang laki-laki, 17 tahun dating berobat ke Puskesmas
1.
2.
VVV
VV
5
3.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Kesadaran: compos mentis
Vital Sign: Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit,
o
Suhu: 36,8 C
Keadaan Spesifik: dalam batas normal
4.
Status Dermatologikus:
Regio truncus anterior:
Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler,
berbentuk oval, diskret dengan skuama halus
5.
6.
V
V
I. ANALISIS MASALAH
1. Seorang laki-laki, 17 tahun datang berobat ke Puskesmas dengan keluhan bercak-bercak
merah gatal pada badan sejak 1 pekan yang lalu.
1.1 Bagaimana hubungan antara jenis kelamin dan usia dengan keluhan pada
kasus? 1 7
1.2 Apa penyebab dan mekanisme bercak merah pada kasus? (sejak 1 pekan yang
lalu) 2 8
1.3 Apa penyebab dan mekanisme gatal pada kasus? (sejak 1 pekan yang lalu) 3 9
1.4 Apa hubungan dari bercak merah dan gatal pada kasus?4 10
2. Kisaran 1 pekan sebelumnya pasien mengalami meriang dan nyeri otot.
2.1 Mengapa meriang dan nyeri otot tidak terjadi lagi sekarang?5 11
2.2 Apa penyebab dan mekanisme meriang pada kasus?6 1
2.3 Apa penyebab dan mekanisme nyeri otot pada kasus?7 2
2.4 Apa hubungan meriang dan nyeri otot?8 3
2.5 Apa hubungan meriang dan nyeri otot dengan keluhan yang sekarang? (bercak
merah dan gatal)9 4
3. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum: Kesadaran: compos mentis
Vital Sign: Nadi: 80x/menit, RR: 20x/menit, Suhu: 36,8oC
Keadaan Spesifik: dalam batas normal
3.1 Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik? (table)10 5
4. Status Dermatologikus:
Regio truncus anterior:
Papul dan plak eritem multiple, lentikuler sampai numuler, berbentuk oval, diskret
dengan skuama halus
4.1 Apa penyebab dan mekanisme dari
A. Papul?11 6
B. Plak eritem multiple (lentikuler sampai numuler), berbentuk oval 1 7
C. Diskret dengan skuama halus2 8
4.2 Mengapa manifestasi klinis hanya muncul di region truncus anterior?3 9
II.
LEARNING ISSUE
1. Histofisiologi kulit Regio Truncus Anterior1 4 7 10
2. Efloresensi dan Histopatologi 2 5 8
3. Pitiriasis Rosea3 6 9 11
1Tt,2ida 3karyn 4anis 5vinka 6arin 7linda 8fitri 9vicra 10Farhan 11putra
III. SINTESIS
1. EPILEPSI PADA ANAK
Definisi
Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.
Masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan juga dipercaya
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Hal ini merupakan latar
belakang adanya mitos dan rasa takut terhadap epilepsi. Epilepsi sebetulnya sudah
dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang pertama
yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak.
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan
epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh
karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat
berbagai etiologi.
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan sementara,
dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik
sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked).
Lumbantobing mengatakan, bahwa pelepasan aktifitas listrik abnormal dari selsel neuron diotak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini
dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal
maupun general. Gangguan tidak terbatas aktifitas motor yang terlihat oleh mata,
tetapi juga oleh aktifitas lain misalnya emosi, pikiran dan persepsi.
Klasifikasi
Menurut International
Kejang Parsial
2.
Kejang Umum
Epidemiologi
Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun wanita, tanpa memandang umur
dan ras. Jumlah penderita epilepsi meliputi 1 - 2 % populasi, secara umum
diperoleh gambaran bahwa insidens epilepsi menunjukkan pola bimodal, puncak
insiden terdapat pada golongan anak dan lanjut usia.
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju
berkisar 50 per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per
9
Faktor Natal
- Asfiksia
Trauma persalinan akan menimbulkan asfiksia perinatal atau perdarahan
intrakranial. Penyebab yang paling banyak akibat gangguan prenatal dan proses
persalinan adalah asfiksia, yang akan menimbulkan lesi pada daerah
hipokampus, dan selanjutnya menimbulkan fokus epileptogenik. Pada asfiksia
perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Hipoksia dan
iskemia akan menyebabkan peninggian cairan dan Na intraseluler sehingga
terjadi udem otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada
batang otak, talamus, dan kollikulus inferior, sedangkan terhadap iskemia
adalah "watershead area" yaitu daerah parasagital hemisfer yang mendapat
vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan rusaknya faktor
inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul
epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan epilepsi, baik pada stadium akut
dengan frekuensi tergantung pada derajat beratnya asfiksia, usia janin dan
lamanya asfiksia berlangsung. Bangkitan epilepsi biasanya mulai timbul 6-12
jam setelah lahir dan didapat pada 50% kasus, setelah 12 - 24 jam bangkitan
epilepsi menjadi lebih sering dan hebat. Pada kasus ini prognosisnya kurang
baik. Pada 75% - 90% kasus akan didapatkan gejala sisa gangguan neurologis,
-
di antaranya epilepsi.
Berat badan lahir
Bayi dengan berat badan lahir rendah ( BBLR ) adalah bayi yang lahir
dengan berat kurang dari 2500 gram. Bayi dengan BBLR dapat mengalami
gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini
dapat menyebabkan kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan
otak, dapat menyebabkan epilepsi pada perkembangan selanjutnya. Trauma
kepala selama melahirkan pada bayi dengan BBLR < 2500 gram dapat terjadi
perdarahan intrakranial yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi komplikasi
neurologi.
Kelahiran premature atau postmatur
Bayi prematur adalah bayi yang lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37
Minggu dari hari pertama menstruasi terakhir.42 Pada bayi prematur,
perkembangan alat-alat tubuh kurang sempurna sehingga sebelum berfungsi
dengan baik. Perdarahan intraventikuler terjadi pada 50% bayi prematur. Hal
ini disebabkan karena sering menderita apnea, asfiksia berat dan sindrom
12
berupa epilepsi.
Persalinan dengan alat (forsep, vakum, seksio sesaria)
Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan
letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi.
Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subaraknoid dan
perdarahan intraventrikuler. Persalinan yang sulit terutama bila terdapat
kelainan letak dan disproporsi sefalopelvik, dapat menyebabkan perdarahan
subdural. Perdarahan subaraknoid dapat terjadi pada bayi prematur dan bayi
cukup bulan karena trauma. Manifestasi neurologis dari perdarahan tersebut
dapat berupa iritabel dan kejang. Cedera karena kompresi kepala yang dapat
berakibat distorsi dan kompresi otak, sehingga terjadi perdarahan atau udem
otak; keadaan ini dapat menimbulkan kerusakan otak, dengan epilepsi sebagai
manifestasi klinisnya.
Perdarahan intrakranial
13
kejang.
2) Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling efect sehingga
rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.
3) Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan otak
mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.
4) Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat toksik
berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan kerusakan
neuron.
5) Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa,
oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya
-
Risiko akibat serangan epilepsi bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang
terjadi pada sistem saraf pusat. Risiko untuk perkembangan epilepsi akan
menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan terjadinya
infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses
serta infeksi lainnya.
Ensefalitis virus berat seringkali mengakibatkan terjadinya epilepsi. Di
negara-negara barat penyebab yang paling umum adalah virus Herpes simplex
(tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Epilepsi yang timbul berbentuk
serangan parsial kompleks dengan sering diikuti serangan umum sekunder dan
biasanya sulit diobati. Infeksi virus ini dapat juga menyebabkan gangguan daya
ingat yang berat dan kombinasi epilepsy dengan kerusakan otak dapat
berakibat fatal.
Pada meningitis dapat terjadi sekuele yang secara langsung menimbulkan
cacat berupa cerebal palsy, retardasi mental, hidrosefalus dan defisit N.
kranialis serta epilepsi. Dapat pula cacat yang terjadi sangat ringan berupa
sikatriks pada sekelompok neuron atau jaringan sekitar neuron sehingga
terjadilah fokus epilepsi, yang dalam kurun waktu 2 - 3 tahun kemudian
-
menimbulkan epilepsi.
Epilepsi akibat toksik
Beberapa jenis obat psikotropik dan zat toksik seperti Co, Cu, Pb dan
lainnya dapat memacu terjadinya kejang . Beberapa jenis obat dapat menjadi
penyebab epilepsi, yang diakibatkan racun yang dikandungnya atau adanya
konsumsi yang berlebihan. Termasuk di dalamnya alkohol, obat anti epileptik,
opium, obat anestetik dan anti depresan. Penggunaan barbiturat dan
benzodiazepine dapat menyebabkan serangan mendadak pada orang yang tidak
menderita epilepsi. Serangan terjadi setelah 12 24 jam setelah mengkonsumsi
alkohol. Sedangkan racun yang ada pada obat dapat mengendap dan
Faktor Keturunan
16
17
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
- Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
-
rangsangan berbeda-beda.
Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini
dapatdiwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnyaepileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi
merupakan kerja samaSED dan NPF.
18
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi:
- Fungsi jaringan neuron penghambat (neurotransmitter GABA dan Glisin)
-
tertentu. Umumnya karena tidak teratur makan obat atau menghentikan obat
sekehendak hatinya. Faktor pencetus lain yang harus diperhatikan adalah alkohol,
keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain.
Patofisiologi
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah
kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter
eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan
intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Hipertensi, hiperpireksia
2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
Depresi pernafasan
Hipoglikemia, hiponatremia
Stabilisasi penderita
Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta
memberikan oksigen. Dalam keadaan tcrtcntu, tcrutama bila kejang sudah lama
atau ada hambatan saluran pernafasan, harus dilakukan intubasi. Tekanan darah
dipertahankan, diberikan garam fisiologis dan bila perlu diberi vasopressor. Darah
diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin
dan bagi penderita epilepsi diperiksa kadar obat dalam scrum darahnya. Harus
diperiksa gas - gas darah arteri, untuk melacak adanya asidosis metabolik dan
kemampuan oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan bikarbonat intravena.
Segera diberi 50 ml glukosa 50% intravena, diikuti pemberian tiamin 100 milligram
intramuskuler.
Menghentikan kejang
Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera sesudah tahap stabilisasi selesai.
Tindakan ini dimulai dengan pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masingmasing 10 mg. Pemberian bolus diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg,
sementara itu pernafasan dimonitor terus. Biasanya kejang sudah dapat diatasi. Bila
pemberian diazepam yang waktu paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil,
diberikan fenitoin yang bekerja lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24
jam. Fenitoin diberikan secara intravena, 2 10 mg fenitoin dilarutkan dalam 1ml
garam fisiologis ( 5mg/ml), dengan dosis fenitoin 18 mg/kg berat badan, dengan
kecepatan kurang dari 50 mg/menit. Efek samping aritmi jantung sering timbul
pada pemberian fenitoin yang terlalu cepat atau lebih dari 50 mg/menit, bukan
karena jumlah fenitoin yang diberikan. Diazepam dan fenitoin dapat menekan
pernafasan, terutama bila pemberian terlalu cepat. Oleh karena itu selama
21
pemberian obat ini harus dilakukan monitoring ECG dan pernafasan. Bila kejang
masih terus berlangsung sesudah 20 menit pemberian fenitoin, intubasi harus
dilakukan. Selanjutnya diberi fenobarbital sampai kejang berhenti atau dosis
seluruhnya mencapai 20 mg/kg berat badan. Fenobarbital juga diberikan per infus
dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit. Selama pemberian fenobarbital harus
diperhatikan kemungkinan gangguan pernafasan dan turunnya tekanan darah.
Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil menghentikan kejang, maka
ahli saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui anestesi dengan
pemberian pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang diberikan disesuaikan
sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal dengan outburst suppression pattern
pada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan selama tiga jam, agar otak mempunyai
waktu yang cukup untuk membangkitkan homeostasis dan melawan kejang
berkelanjutan. Di tempat-tempat yang tidak mempunyai sarana pemberian obat
secara intravena atau tidak ada fasilitas resusitasi, dapat diberikan pertolongan
pertama dengan pemberian paraldehid ke dalam otot atau rektum. Suntikan
paraldehid masing-masing 5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3 jam, atau
paraldehid 10% dalam larutan garam fisiologis, sebanyak 5 ml melalui rektum.
Menegakkan diagnosis
Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, melainkan upaya untuk
mencari apa yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini
sedikit banyak tumpang tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan
usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital, alloanamnesis
dilakukan untuk memperoleh keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya.
Adanya kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang,
trauma, radang otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus.
Tahap ini sangat penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan
tahap sebelumnya.
Komplikasi
Asidosis
Hipoglikemia
Hiperkarbia
Hipertensi pulmonal
Edema paru
22
Hipertermia
Edema otak
Aspirasi Pneumonia
Prognosis
Tergantung pada:
Penyakit dasar
Komplikasi
Terapi lanjutan ini dimulai 5-10 menit setelah terapi awal. Adapun tujuan dari terapi
ini ialah untuk meningkatkan efek anti epilepsi. Deretan teratas yang sering
digunakan dalam terapi ini adalah fosphenytoin/phenytoin IV, sodium valproate,
phenobarbital ataupun midzolam. Para ahli menyarankan untuk pemberian
fosphenytoin.
3.
Bila terapi awal dan lanjutan epilepsi gagal, maka diperlukan obat tambahan lain.
Cukup sulit untuk memutuskan untuk melanjutkan urgent control therapy atau
berpindah ke obat lain. Namun, peralihan ke obat lain disarankan 20-60 menit
setelah pemberian urgent control therapy yang tidak berpengaruh ke pasien. Pada
tahap ini, setelah pemberian bolus IV di tahap urgent control therapy gagal,
pengobatan dilanjutkan dengan pemberian AED melalui infus. Mulanya berikan
infus AED yang sama dengan AED IV yang dipakai sebelumnya. Jika masih belum
berpengaruh, beri agen/AED lain. Adapun yang direkomendasikan ialah midzolam,
pentobarbital, propofol, thiopental. Saat pemberian infus, dilihat keadaan kardiopulmonal pasien.
Penghentian kejang:
0 - 5 menit:
Yakinkan bahwa aliran udara pernafasan baik
Monitoring tanda vital, pertahankan perfusi oksigen ke jaringan, berikan
oksigen
Bila keadaan pasien stabil, lakukan anamnesis terarah, pemeriksaan umum dan
neurologi secara cepat
Cari tanda-tanda trauma, kelumpuhan fokal dan tanda-tanda infeksi
5 10 menit:
Pemasangan akses intarvena atau melalui rektal
Pemberian diazepam 0,2 0,5 mg/kgbb secara intravena, atau diazepam rektal
0,5 mg/kgbb. Pemberian dosis diazepam juga bisa berdasarkan usia. Pasien < 3
tahun, beri diazepam rektal 5mg. Sedangkan pada pasien > 5 tahun, beri
diazepam rektal 7,5-10mg
Dosis diazepam intravena atau rektal dapat diulang satu dua kali setelah 510
menit.
Jika didapatkan hipoglikemia, berikan glukosa 25% 2ml/kgbb.
24
10 15 menit
Berikan fenitoin 15 20 mg/kgbb intravena diencerkan dengan NaCl 0,9%
Dapat diberikan dosis ulangan fenitoin 5 10 mg/kgbb sampai maksimum
dosis 30 mg/kgbb.
30 menit
Berikan fenobarbital 10 mg/kgbb, dapat diberikan dosis tambahan 5-10 mg/kg
dengan interval 10 15 menit.
Pemeriksaan laboratorium sesuai kebutuhan, seperti analisis gas darah,
elektrolit, gula darah. Lakukan koreksi sesuai kelainan yang ada. Awasi tanda
tanda depresi pernafasan.
Bila kejang masih berlangsung siapkan intubasi dan kirim ke unit perawatan
intensif.
Protokol Penanganan SE Konvulsif
Stadium
Stadium I (0-10 menit)
Penatalaksanaan
o Memperbaiki fungsi kardiorespirasi
o Memperbaiki jalan napas, pemberian oksigen, resusitasi
o
o
o
o
o
o
III
(0-60/90
Prognosis
Prognosis SE tergantung pada berbagai faktor, termasuk klinis, durasi
bangkitan, usia pasien, dan yang terpenting adalah gangguan yang mendasari
terjadinya bangkitan. Kematian refraktori SE terbanyak pada lanjut usia.
26
IV.
KERANGKA KONSEP
27
V.
KESIMPULAN
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun 6 bulan, BB 14 kg mengalami hemiparase dextra, parase
nervus kraniales VII dan XII sinistra tipe sentral ec status epilepticus.
28