PENDAHULUAN
1.1. LatarBelakang
Lepra, Morbus Hansen atau yang sering disebut Kusta merupakan
penyakit infeksi kronik granulomatosa dan sekuele yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M. leprae), terutama mengenai saraf perifer, namun
dapat juga mengenai kulit, kadang jaringan seperti mata, mukosa traktus
respiratorius atas, otot, tulang, sendi dan testis.1
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal
dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat
249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008
adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang.
Distribusi tidak merata yang tertinggi antara lain di pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua.2
Pada sebagian besar orang yang terinfeksi, penyakit bersifat
asimptomatik. Sebagian kecil yang terlambat didiagnosis dan terlambat
diobati, memperlihatkan gejala klinis dan mempunyai kecenderungan untuk
menjadi cacat.3 Penderita Kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak
mendapat Multi Drug Terapi (MDT) mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf,
hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.2
Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KDI), Morbus Hansen (Kusta)
adalah kasus dengan tingkat kemampuan 4A, yaitu lulusan dokter dapat
mendiagnosis klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut
secara mandiri dan tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membuat
laporan kasus yang berjudul Morbus Hansen (Kusta).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae.2 Basil ini bersifat obligat intraseluler yaitu hidup
didalam sel terutama pada sel makrofage dan sel Schwann.1 Saraf perifer
merupakan afinitas pertama infeksi, kemudian kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas lalu dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.2
2.2. Epidemiologi
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang
terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal
dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 baru tercatat
249.007. Di Indonesia kumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008
adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang.
Distribusi tidak merata yang tertinggi antara lain di pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua.2 Diantara 11 negara penyumbang penderita kusta di
dunia, Indonesia menempati urutan ke 3 (tiga) setelah India dan Brazil.4
2.3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia yang sampai
sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial. M.leprae
berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan terhadap asam dan
alkohol serta termasuk bakteri gram positif.2 Basil ini bersifat obligat
intraseluler (hidup didalam sel) terutama sel makrofage dan sel Schwann.
Organ yang diserang terutama saraf dan kulit. Untuk pertumbuhan basil
memerlukan tempat dingin di tubuh seperti hidung, testis, cuping telinga
(earlobe) dan saraf perifer yang dekat kulit. Dinding sel M.leprae
leprae akan menghasilkan sitokin seperti IL-1, TNF , dan IL-12. Sitokin
ini akan menstimulasi jumlah dan aktivitas makrofag lain. Penelitian pada
manusia menunjukkan respon terutama Th1 CD4+ sel T pada lepra tipe
tuberkuloid. Respon ini menghasilkan sitokin (IL-2, IFN-gamma, dan TNF) yang mempertahankan inflamasi. Pada pasien tipe lepromatosa, respon
timbul terutama oleh Th2 yang menghasilkan sitokin yang berbeda yaitu IL4, IL-5, IL-10 dan IL-13 yang menekan aktivitas makrofag. 1
Bila kuman M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan
tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepramatosa. 2
2.6. Klasifikasi
Tabel 2.1 Zona Spektrum Kusta Menurut Macam Klasifikasi 2
KLASIFIKASI
Ridley & Jopling
Madrid
WHO
Puskesmas
MB
Jumlah > 5
Lebih dari 1 saraf
BTA positif
Tipe PB
Tipe MB
1. Bercak (Makula)
a. Ukuran
b. Distribusi
c. Konsistensi
d. Batas
e. Kehilangan rasa
pada bercak
f. Kehilangan
kemampuan
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit
b. Membran mukosa
(hidung tersumbat
pendarahan
dihidung)
Tidak ada
Tidak pernah ada
3. Ciri-ciri
Central healing
penyembuhan ditengah
4. Nodulus
Tidak ada
5. Deformitas
Terjadi dini
Kecil-kecil
Bilateral, simetris
Halus, berkilat
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika
ada, terjadi pada yang
sudah lanjut.
Biasanya tidak jelas, jika
ada, terjadi pada yang
sudah lanjut.
.
Ada, kadang-kadang
tidak ada
Ada, kadang-kadang
tidak ada
-
1.
2.
3.
luka.1
Periksa adanya pembesaran saraf dengan seksama seperti N.ulnaris,
cabang kulit N.radialis, N.peroneus, N.medianus, N.popliteal lateralis, N.
tibialis posterior, N. aurikularis magnus. Saraf paling sering terkena
adalah N. ulnaris dan N. peroneus.1
4.
Tes untuk anestesia : Gunakan kapas untuk tes raba, ujung jarum untuk
5.
tes rasa nyeri, dan dengan air panas dan dingin untuk tes suhu.1
Lihat adanya komplikasi pada jari-jari tangan, mata, hidung, lering dan
testis. Adanya ulkus terutama pada telapak kaki, dan anhidrosis pada
lesi.1
Status internus lengkap. 1
Menemukan BTA dengan slit skin smears.1
6.
7.
Syarat perhitungan IM : 2
-
IB 1 + tidak usah dibuat IM nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
IB
Solid
Nonsolid
IM
4+
3+
9
8
91
92
9%
8%
1+
2+
22
1/23
3+
5+
18
7
8
33
93
92
395
7%
8%
IB penderita
18
3
6
IM penderita
33
100% ....%
33 395
Ada pendapat, bahwa jika semua BTA kurang dari 100, dapat pula
dibuat IM nya, tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam pecahan yang
tidak boleh diperkecil atau diperbesar. Sebagai contoh umpanya solid ada 4,
nonsolid ada 44, maka IM 4 : 48. 2
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan pengamatan
sediaan antara orang orang selaboratorium, antar laboratorium, nasional
maupun internasional. Pada tindak lanjut penderita secara bakterioskopik
sebaiknya dilakukan oleh laboratorium dan orang orang yang sama pula,
agar keobyektifannya dapat dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat
dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat sulit, bahkan ada yang berpendapat
tidak mungkin. 2
2. Pemeriksaan Histopatologis
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, sel alveolar
dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit yang disebut histiosit. Salah
satu tugas makrofas adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M.
leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Selular
(SIS) orang itu.
Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di pagositosis, makrofag
itu akan berubah bentuk menjadi sel epitoloid yang tidak dapat bergerak lagi
dan akan dapat berubah lagi menjadi sel datia Langhans. Adanya masa
epitoloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Bagi yang SIS
nya rendah atau lumpuh, histiosit bukannya menghancurkan M. leprae yang
sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut
penyebar luasan. 2
Granduloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat derivatnya.
Gambaran histopatologik bagi tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan sarag yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
nonsolid.
Bagi
lempromatosa
terdapat
kelim
sunyi
subepidermal
10
b)
c)
d)
e)
f)
A)
11
Gejala
1) Kelainan kulit
Reaksi Ringan
Tambah
aktif,
menebal
merah,
teraba panas dan
nyeri tekan. Makula
yang menebal dapat
mencapai plaque
Reaksi Berat
Kelainan
membengkak sampai
ada yang pecah,
merah, teraba panas
dan nyeri tekan. Ada
kelainan kulit baru,
tangan dan kaki
membengkak; sendisendi sakit.
2) Saraf tepi
Tidak ada nyeri Nyeri tekan, dan/atau
tekan saraf dan gangguan
fungsi,
gangguan fungsi
misalnya kelemahan
otot.
Bila ada reaksi pada kelainan kulit yang dekat dengan lokasi saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat. 4
2. Reaksi tipe 2 (=ENL=Erytema Nodosum Leprosum)
Terjadi pada penderita MB dan merupakan reaksi humoral,
dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh
membentuk antibodi dan komplemen. Antigen + antibodi +
komplemen = immunokompleks. 4
Tabel 2.6 Gejala Reaksi Tipe 2 dibagi Dua Menurut Keadaanya yaitu
Reaksi Ringan dan Reaksi Berat 4
Gejala
1) Kelainan kulit
2) Keadaan umum
3) Saraf tepi
4) Organ tubuh
Reaksi ringan
Nodul
merah
nyeri tekan jumlah
sedikit, biasanya
hilang
sendiri
dalam 2-3 hari
Tidak ada demam
atay
demam
ringan
Tidak ada nyeri
raba
atau
gangguan fungsi
Tidak
ada
gangguan
12
Reaksi Berat
Benjol (nodul) nyeri tekan,
ada yang pecah (ulseratif),
jumlah banyak, berlansung
lama
Demam ringan sampai berat
Ada nyeri raba, dan atau
gangguan fungsi
Terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh
- Mata : iridosiklitis
- Testis : epididymoorchitis
- Ginjal : nefritis
- Sendi : artritis
Kelenjar
limfe
:
limfadenitis
Gangguan pada tulang,
hidung & tenggorokan
2.
3.
4.
Gejala / Tanda
Keadaan umum
Reaksi tipe 1
Umumnya
baik,
demam ringan (sub
febril) atau tanpa
demam
Peradangan di kulit
Bercak kulit lama
menjadi
lebih
meradang
(merah)
dapat timbul bercak
baru
Saraf
Sering
terjadi,
umumnya
berupa
nyeri tekan saraf
dan/atau gangguan
fungsi saraf
Peradangan
pada Hampir tidak ada
organ lain
5.
Waktu timbulnya
6.
Tipe kusta
7.
Faktor pencetus
Reaksi tipe 2
Ringan
sampai
berat
disertai kelemahan umum
dan demam tinggi
Timbul nodul kemerahan,
lunak dan nyeri tekan.
Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulcerasi)
Dapat terjadi
ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa
saraf yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba yaitu saraf
ulnaris, peroneus communis dan tibialis posterior.5
(1) Saraf Ulnaris 5
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita
14
ulnaris kiri (tangan kiri pemeriksa memegang lengan kiri pasien dan
tangan kanan pemeriksa meraba saraf ulnaris kiri pasien tersebut).
15
16
(2) Tangan5
Fungsi sensorik saraf ulnaris dan medianus
Posisi pasien : tangan yang akan diperiksa diletakkan di
atas meja/paha pasien atau bertumpu pada tangan kiri
pemeriksa sededmikian rupa, sehingga semua ujung jari
tersangga (tangan pemeriksa yang menyesuaikan diri
dengan keadaan tangan pasien) misalnya claw hand, maka
tangan pemeriksa menyangga ujung-ujung jari tersebut
tangannya
Bila pasien merasakan sentuhan diminta untuk menunjuk
(secara acak).
Bila pasien tidak dapat menunjukkan 2 titik atau lebih
berarti ada gangguan rasa raba pada saraf tersebut.
17
kelingking
dari
jari-jari
lainnya.
Bila
pasien
dapat
Penilaian :
- Bila jari kelingking pasien dapat menahan dorongan ibu jari
-
mengalami
kelemahan,
anda
dapat
melakukan
18
Penilaian :
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah.
- Bila ada tahanan terhadap kertas berarti otot masih kuat.
Saraf Medianus (kekuatan otot ibu jari) 5
- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai
kelingking, tangan kanan pasien agat telapak tangan pasien
-
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kekuatan ototnya
-
tergolong kuat.
Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti kekuatan ototnya
tergolong sedang.
- Bila tidak ada gerakan berarti sudah lumpuh.
Saraf Radialis (kekuatan pergelangan tangan) 5
- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah
-
19
Penilaian :
- Bila pasien mampu menahan tarikan, berarti kekuatan ototnya
-
tergolong kuat.
Bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu menahan tarikan
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan
pemeriksa berarti kekuatan otot tergolong kuat.
20
2.12. Penatalaksanaan
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rimpafisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.5
Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk : 2
- Mencegah dan mengobati resistensi
- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
1. Regimen Terapi untuk Lepra Pausibasiler :1
- Rifampisin 600 mg/bulan, sebelum makan.
- Dapson (DDS) 100 mg/hari.
21
22
23
Pada reaksi tipe 2, kerusakan saraf tidak secepat reaksi tipe 1, dan
talidomid merupakan drug of choice. Jika obat ini ada kontraindikasi, maka
digunakan prednison dengan dosis awal 20-40 mg/hari, tergantung respons
penyakit. 2
24
2.14. Prognosis
Prognosis untuk vitam umumnya bonam, namun dubia ad malam pada
fungsi ekstremitas, karena dapat terjadi mutilasi, demikian pula untuk
kejadian berulangnya.5
25