Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT EKONOMI TERHADAP


PEMILIHAN PENOLONG PERSALINAN

DISUSUN OLEH :
RIDA RATNA SARI
201301134

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BINA SEHAT PPNI
MOJOKERTO
2016 - 2017

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Persalinan merupakan salah satu peristiwa penting dan senantiasa diingat
dalam kehidupan wanita. Setiap wanita memiliki pengalaman melahirkan
tersendiri yang dapat diceritakan ke orang lain. Memori melahirkan, peristiwa dan
orang-orang yang terlibat dapat bersifat negatif atau positif, dan pada akhirnya
dapat menimbulkan efek emosional dan reaksi psikososial jangka pendek dan
jangka panjang. (Henderson, 2006).
Persalinan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan tempat persalinan
berlangsung. Idealnya, setiap wanita yang bersalin dan tim yang mendukung serta
memfasilitasi usahanya untuk melahirkan bekerja sama dalam suatu lingkungan
yang paling nyaman dan aman bagi ibu yang melahirkan. (Varney, 2008)
Tempat bersalin termasuk salah satu faktor yang dapat memengaruhi
psikologis ibu bersalin. Pemilihan tempat bersalin dan penolong persalinan yang
tidak tepat akan berdampak secara langsung pada kesehatan ibu. Setidaknya ada
dua pilihan tempat bersalin yaitu di rumah Ibu atau di unit pelayanan kesehatan.
(Rohmah, 2010).
Pertolongan persalinan memenuhi kaidah 4 pilar safe motherhood, yang salah
satunya adalah persalinan bersih dan aman serta ditolong oleh tenaga kesehatan
yang terampil. Perlu diwaspadai adanya resiko infeksi dikarenakan paparan
lingkungan yang tidak bersih, alas persalinan yang tidak bersih, serta alat dan
tangan penolong yang tidak bersih karena mobilisasi dari pusat pelayanan
kesehatan ke rumah ibu. (Prasetyawati, A.E., 2012).
Pemilihan tempat bersalin dan penolong persalinan yang tidak tepat akan
berdampak secara langsung pada kesehatan ibu. Sampai saat ini Angka Kematian

Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi dibanding dengan AKI di negara-negara


ASEAN. Laporan survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) terakhir
memperkirakan angka kematian ibu adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup pada
tahun 2007.
Kematian ibu menjadi salah satu indikator penting untuk melihat derajat

kesehatan di suatu wilayah. Kegunaan mengetahui kematian ibu adalah untuk


pengembangan program peningkatan

kesehatan reproduksi, terutama

pelayanan kehamilan dan membuat kehamilan yang aman bebas risiko tinggi
( making pregnancy safer), peningkatan jumlah kehamilan yang dibantu oleh
tenaga kesehatan, penyiapan sistem rujukan dalam penanganan komplikasi

kehamilan,

penyiapan keluarga dan suami siaga dalam menyongsong

kelahiran, yang semuanya bertujuan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu


dan meningkatkan derajat reproduksi. (Profil Kesehatan Kota Mojokerto
2010).
Sesuai kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya penurunan AKI,
adalah dengan mengacu intervensi strategi Empat Pilar Safe Motherhood. Pilar
kedua adalah asuhan antenatal atau pelayanan kesehatan ibu hamil.
(Saifuddin, 2002)
Terkait dengan pilar kedua tersebut dan sasaran utama untuk mencapai
Indonesia Sehat 2010 diharapkan cakupan ibu hamil meningkat menjadi 95%,
cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan menjadi 90%.(Depkes
RI, 2003). Namun, data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010
mencatat cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih baru mencapai
82,3% (Depkes RI, 2010). Dari data Riskesdas tersebut, sebanyak 43,2% ibu
hamil melahirkan di rumahnya sendiri, dimana hanya 2,1% yang mendapat
pertolongan oleh dokter, bidan 5,9% dan tenaga medis lainnya 1,4%, sisanya
sebesar 4% ditolong keluarga dan yang paling banyak 40,2% ditolong dukun
beranak (Pramudiarja, 2011).
Di Kabupaten/kota di Jawa Timur memiliki Lebih dari 50% Angka
Kematian Ibu (AKI) di atas angka provinsi. Kota Blitar memiliki angka
tertinggi yakni 339,31 per 100.000 kelahiran hidup, dan Kota Pasuruan
memiliki angka terendah yakni 0,00 per 100.000 kelahiran hidup. Tingginya
AKI di Jawa Timur tidak hanya karena sebab kesehatan tetapi lebih terkait
sosial ekonomi masyarakat. Jika digambarkan bahwa AKI tersebar merata di
berbagai kabupaten/kota, terutama wilayah barat dan timur Jawa Timur.
Penanganan kasus kematian ibu dan bayi memang tidak sepenuhnya
menjadi tanggung jawab dari jajaran kesehatan saja, karena banyak faktor
yang berperan dalam terjadinya kematian ibu dan bayi seperti tingkat ekonomi
dan pendidikan ibu yang masih rendah, sarana transportasi yang buruk dan
lain sebagainya, yang mau tidak mau penanganannya harus melibatkan lintas
sektor.
Pemilihan tempat persalinan dan penolong persalinan bisa di pengaruhi
oleh beberapa hal, diantaranya jarak dengan fasilitas pelayanan kesehatan, alat
transportasi, letak demografi daerah,status ekonomi dan pengetahuan dalam

mencari penolong persalinan yang aman. (Data Profil Kesehatan Indonesia


tahun 2013).
Di negara berkembang, dimana perempuan mungkin tidak mampu
mambayar biaya perawatan medis atau tidak dapat mengaksesnya, melahirkan
dirumah mungkin satu-satunya pilihan yang tersedia, dan bahkan wanita itu
mungkin tidak dapat dibantu oleh tenaga profesional, dan hanya dukun atau
bahkan menolong sendiri tanpa bantuan siapa pun.
Makin tinggi status ekonomi lebih memilih tempat persalinan di fasilitas
kesehatan, sebaliknya untuk persalinan di rumah makin rendah status
ekonomi, persentase persalinan di rumah makin besar. (Laporan Riskesdas
2010). Berdasarkan data penelitian yang dilakukan program pendidikan
sarjana kedokteran fakultas kedokteran universitas diponegoro tahun 2010
didapatkan bahwa sebagian besar mereka yang termasuk dalam status
ekonomi miskin memilih pertolongan persalinan oleh dukun bayi, sedangkan
bagi mereka yang tidak miskin memilih pertolongan persalinan oleh bidan..
Hal ini terjadi karena biaya persalinan di dukun bayi cenderung lebih murah
dibandingkan dengan pertolongan persalinan oleh bidan atau tenaga kesehatan
lain.
Melihat fenomena seperti yang digambarkan diatas hal ini menbuat
peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara Tingkat
Ekonomi terhadap Pemilihan Penolong Persalinan
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang ditetapkan
peneliti adalah:
Adakah hubungan antara tingkat ekonomi terhadap pemilihan penolong
persalinan?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1

1.3.2

Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi terhadap
pemilihan penolong persalinan
Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui tingkat ekonomi ibu hamil terhadap pemilihan


penolong persalinan.
1.3.2.2 Untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu hamil tentang macam
macam penolong persalinan.
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubungan tingkat ekonomi ibu hamil terhadap
pemilihan penolong persalinan.
1.4 Manfaat
Penelitian ini memberikan hasil berupa gambaran hubungan tingkat ekonomi
ibu hamil terhadap pemilhan penolong persalinan, sehingga dapat memberikan
manfaat pada :
1.4.1 Peneliti
Dapat menambah wawasan dalam mengadakan penelitian di bidang
riset keperawatan serta sebagai kajian keilmuan dibidang keperawatan
maternita mengenai hubungan tingkat ekonomi ibu hamil terhadap
1.4.2

pemilhan penolong persalinan.


Institusi Pendidikan
Sebagai bahan masukan dalam membimbing dan menambah
pengetahuan mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan di bidang
mata kuliah keperawatan maternitas khususnya masalah tingkat

1.4.3

ekonomi ibu hamil terhadap pemilihan penolong persalinan.


Profesi Keperawatan
Sebagai masukan dan evaluasi yang berguna dalam melakukan
tindakan khususnya menyangkut masalah tingkat ekonomi terhadap
pemilihan penolong persalinan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Tingkat Sosial Ekonomi Masyarakat


2.1.1 Definisi
Tingkat ekonomi adalah tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga
dapat dilihat dengan jelas melalui besarnya pendapatan yang diterima
rumah tangga. Data mengenai pendapatan rumah tangga dapat diperoleh
dari

survei

sosial

ekonomi

nasional

menggunakan

pendekatan

pengeluaran rumah tangga sebagai indikator produksi. Dengan semakin


tinggi persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran

rumah tangga perbulan, menunjukkan semakin rendahnya tingkat


ekonomi penduduk (Depkes RI, 2001).
Sedangkan menurut Depkes

RI

(2001)

sesuai

dengan

hukumekonomi, semakin tinggi pendapatan penduduk, maka semakin


2.1.2

tinggi pula pengeluaran yang dibelanjakan.


Pelapisan sosial ekonomi masyarakat
Pelapisan masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang
relatif permanen yang terdapat dalam sistem sosial didalam hal
pembedaan hak, pengaruh dan kekuasaan (Ahmadi, 2003). Dalam
sosiologi istilah kelas tidak selalu mempunyai arti yang sama. Walaupun
pada hakekatnya mewujudkan sistem kedudukan dalam masyarakat
disebut class-system. Artinya semua orang dalam keluarga yang sadar
dalam kedudukan mereka itu diketahui dan diakui oleh masyarakat
umum. Maka pengertian kelas adalah paralel dengan pengertian lapisan
tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu factor uang, tanah,
kekuasaan atau dasar lain (Soekanto, 2002).
Ukuran-ukuran yang bisa dipakai sebagai dasar dalam membagi
lapisan masyarakat ialah :
a. Ukuran kekayaan
Ukuran kekayaan (kebendaan) dapat dijadikan suatu ukuran, orang
dengan kekayaan paling banyak masuk ke dalam lapisan sosial
ekonomi teratas. Kenyataan tersebut dapat dilihat pada bentuk rumah
yang bersangkutan, mobil pribadi, cara berpakaian serta bahan
pakaian yang dipakai, jumlah pengeluaran juga kebiasaan berbelanja
barang-barang mahal (Ahmadi, 2003).
Dalam Notoatmodjo (2003) bentuk rumah yang dimaksud disini
adalah rumah yang dibangun berdasarkan kemampuan penghuninya,
seperti :
1. Bahan bangunan, misalnya : lantai (ubin atau semen), dinding
(tembok atau bambu), atap (genteng, daun rumbai atau daun
kelapa), tiang dari kayu dan sebagainya.
2. Baik atau tidaknya ventilasi.
3. Cukupnya pencahayaan.
4. Luas bangunan, jika luas bangunan tidak sebanding dengan
jumlah penghuni akan menyebabkan perjubelan (overcrowded).

Luas bangunan optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,53 m untuk tiap anggota keluarga.
5. Fasilitas dalam rumah, seperti : penyediaan air bersih,
pembuangan sampah dan limbah, dapur, ruang berkumpul
keluarga, gudang, serta kandang ternak.
b. Ukuran kekuasaan
Barang siapa memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang
terbesar, menempati lapisan sosial teratas (Soekanto,2002).
c. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati,
menduduki lapisan teratas. Ukuran semacam ini banyak dijumpai
pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya adalah golongan
tua atau yang pernah berjasa besar kepada masyarakat (Soekanto,
2002).
d. Ukuran ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan dipakai ukuran oleh masyarakat yang menghargai
ilmu pengetahuan. Ukuran ini kadang-kadang menjadi negatif karena
ternyata bukan ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi
gelar kesarjanaannya (Ahmadi,2003).
Dalam Ahmadi (2003) ada yang membagi pelapisan masyarakat
ke dalam jumlah yang lebih sederhana, seperti berikut ini :
1. Masyarakat terdiri dari kelas atas (upper class) dan kelas bawah
(lower class).
2. Masyarakat terdiri dari tiga kelas ialah kelas atas (upper class),
kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class).
3. Ada pula yang membagi menjadi kelas atas (upper class), kelas
menengah (middle class), kelas menengah bawah (lower middle
class) dan kelas bawah (lower class).
Pembagian Tingkat ekonomi masyarakat berdasarkan jumlah
pengeluaran. Di propinsi Jawa Tengah pelapisan masyarakat
berdasarkan pengeluaran rumah tangga dalam 1 bulan dibagi
menjadi :
1. Kelas ekonomi bawah : < Rp. 780.000
2. Kelas ekonomi menengah : Rp. 780.000 Rp 1.370.000
3. Kelas ekonomi atas : > Rp. 1.370.000
(BPS, 2009).

2.2 Teori Pemilihan Penolong Persalinan


Salah satu faktor yang paling mempengaruhi apa yang akan terjadi selama
proses melahirkan adalah memilih penolong dalam membantu proses
melahirkan (Gaskin, 2003).
2.2.1 Definisi
Pemilihan penolong persalinan adalah suatu penetapan pilihan penolong
2.2.2

persalinan terhadap persalinan ibu yang melahirkan.


Macam-Macam Penolong Persalinan
Menurut Syafrudin (2009) dalam pelayanan kesehatan ibu dan
anak, dikenal beberapa jenis tenaga yang memberi pertolongan kepada
masyarakat. Jenis tenaga tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tenaga kesehatan, meliputi : dokter spesialis dan bidan.
1. Dokter Spesialis Kandungan
Dokter spesialis kandungan adalah dokter yang mengambil
spesialis kandungan. Pendidikan yang mereka jalani difokuskan
untuk mendeteksi dan menangani penyakit yang terkait dengan
kehamilan, terkadang yang terkait dengan proses melahirkan.
Seperti halnya dokter ahli bedah (Gaskin, 2003). Dokter spesialis
kandungan dilatih untuk mendeteksi patologi.
Ketika mereka mendeteksinya, seperti mereka yang sudah
pelajari, mereka akan memfokuskan tugasnya untuk melakukan
intervensi medis. Dokter spesialis kandungan menangani wanita
hamil yang sehat, demikian juga wanita hamil yang sakit dan
beresiko tinggi. Ketika mereka menangani wanita hamil yang
sehat, mereka sering melakukan intervensi medis yang
seharusnya hanya dilakukan pada wanita hamil yang sakit atau
dalam keadaan kritis. Disebagian besar negara dunia, tugas
dokter kandungan adalah untuk menangani wanita hamil yang
sakit atau dalam keadaan kritis (Gaskin, 2003).
Baik dokter spesialis kandungan maupun bidan bekerja
lebih higienis dengan ruang lingkup hampir mencakup seluruh
golongan

masyarakat.

Umumnya,

mereka

hanya

dapat

mengulangi kasus-kasus fisiologis saja, walaupun dokter


spesialis secara teoritis telah dipersiapkan untuk menghadapi
kasus patologis. Jika mereka sanggup, harus segera merujuk

selama pasien masih dalam keadaan cukup baik (Syafrudin,


2009).
Walaupun mereka dapat menanggulangi semua kasus, tetapi
hanya sebagian kecil saja masyarakat yang dapat menikmatinya.
Hal ini disebabkan karena biaya yang terlalu mahal, jumlah yang
terlalu sedikit dan penyebaran yang tidak merata. Dilihat dari
segi pelayanan, tenaga ahli ini sangat terbatas kegunaannya.
Namun, sebetulnya mereka dapat memperluas fungsinya dengan
bertindak

sebagai

konseptor

program

obstetri

yang

pelaksanaannya dapat dilakukan oleh dokter spesialis atau bidan


(Syafrudin, 2009).
2. Bidan
Definisi bidan menurut Keputusan Menteri Kesehatan 2007
adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan
yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut,
serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau
memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.
Bidan adalah seorang tenaga kesehatan yang mempunyai tugas
penting dalam bimbingan dan penyuluhan kepada ibu hamil,
persalinan nifas dan menolong persalinan dengan tanggung
jawabnya sendiri, serta memberikan asuhan kepada bayi baru
lahir (prenatal care) (Wiknjosastro, 2005). Asuhan ini termasuk
tindakan pencegahan deteksi kondisi abnormal ibu dan anak,
usaha mendapatkan bantuan medic dan melaksanakan tindakan
kedaruratan dimana tidak ada tenaga bantuan medic. Dia
mempunyai tugas penting dalam pendidikan dan konseling, tidak
hanya untuk klien tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
Pada saat ini, ada dua jenis bidan, yaitu mereka yang
mendapat pendidikan khusus selama tiga tahun dan perawat yang
kemudian dididik selama satu tahun mengenai kebidanan dan
disebut sebagai perawat bidan (Syafrudin, 2009). Salah satu
tempat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak
adalah BPS (Bidan Praktek Swasta) Menurut Meilani dkk (2009)

BPS adalah satu wahana pelaksanaan seorang bidan di


masyarakat. Praktik pelayanan bidan perorangan (swasta),
merupakan penyediaan pelayanan kesehatan, yang memiliki
kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya
dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Setelah bidan
melaksanakan pelayanan di lapangan, untuk menjaga kualitas
dan keamanan dari layanan bidan, dalam memberikan pelayanan
harus

sesuai

dengan

pendistribusian

badan

kewenangannya.
yang

Penyebaran

melaksanakan

praktik

dan
perlu

pengaturan agar dapat pemerataan akses pelayanan yang sedekat


mungkin dengan masyarakat yang membutuhkannya. Tarif dari
pelayanan bidan praktik akan lebih baik apabila ada pengaturan
yang jelas dan transparans, sehingga masyarakat tidak ragu untuk
datang ke pelayanan Bidan Praktik Perorangan (swasta). Layanan
kebidanan dimaksudkan untuk sebisa mungkin mengurangi
intervensi medis. Bidan memberikan pelayanan yang dibutuhkan
wanita hamil yang sehat sebelum melahirkan. Cara kerja mereka
yang ideal adalah bekerjasama dengan setiap wanita dan
keluarganya untuk mengidentifikasi kebutuhan fisik, social dan
emosional yang unik dari wanita yang melahirkan. Layanan
kebidanan terkait dengan usaha untuk meminimalisir episiotomy,
penggunaan forcep, epidural dan operasi sesar (Gaskin, 2003).
2. Tenaga non kesehatan :
1. Dukun
Pengertian dukun biasanya seorang wanita sudah berumur
40 tahun ke atas, pekerjaan ini turun temurun dalam keluarga
atau

karena

ia

merasa

mendapat

panggilan

tugas

ini

(Wiknjosastro, 2007). Menurut Syafrudin (2009), jenis dukun


terbagi menjadi dua, yaitu :
a. Dukun terlatih : Dukun yang telah mendapatkan pelatihan
oleh tenaga kesehatan dan telah dinyatakan lulus.
b. Dukun tidak terlatih : Dukun yang belum pernah dilatih oleh
tenaga kesehatan atau dukun yang sedang dilatih dan belum
dinyatakan lulus.

Penolong persalinan oleh dukun mengenai pengetahuan


tentang fisiologis dan patologis dalam kehamilan, persalinan,
serta nifas sangat terbatas oleh karena atau apabila timbul
komplikasi ia tidak mampu untuk mengatasinya, bahkan tidak
menyadari

akibatnya,

dukun

tersebut

menolong

hanya

berdasarkan pengalaman dan kurang profesional. Berbagai kasus


sering menimpa seorang ibu atau bayi sampai pada kematian ibu
dan anak (Wiknjosastro, 2005).
Seperti diketahui, dukun bayi adalah merupakan sosok yang
sangat dipercayai di kalangan masyarakat. Mereka memberikan
pelayanan khususnya bagi ibu hamil sampai dengan nifas secara
sabar. Apabila pelayanan selesai mereka lakukan, sangat diakui
oleh masyarakat bahwa mereka memiliki tarif pelayanan yang
jauh lebih murah dibandingkan dengan bidan. Umumnya
masyarakat merasa nyaman dan tenang bila persalinannya
ditolong oleh dukun atau lebih dikenal dengan bidan kampung,
akan tetapi ilmu kebidanan yang dimiliki dukun tersebut sangat
terbatas karena didapatkan secara turun temurun (tidak
berkembang) (Meilani dkk, 2009).
Dalam usaha meningkatkan pelayanan kebidanan dan
kesehatan anak maka tenaga kesehatan seperti bidan mengajak
dukun untuk melakukan pelatihan dengan harapan dapat
meningkatkan kemampuan dalam menolong persalinan, selain itu
dapat juga mengenal tanda-tanda bahaya dalam kehamilan dan
persalinan, selain itu dapat juga mengenal tanda-tanda bahaya
dalam kehamilan dan persalinan dan segera minta pertolongan
pada bidan. Dukun yang ada harus ditingkatkan kemampuannya,
tetapi kita tidak dapat bekerjasama dengan dukun dalam
mengurangi angka kematian dan angka kesakitan (Wiknjosastro,
2005).
Selain

itu,

perempuan

yang

sudah

mempersiapkan

biaya

persalianannya, dengan cara menabung sebagian penghasilannya atau

penghasilan suaminya, akan memilih untuk melahirkan di bidan


2.2.3

(Juariah, 2009).
Karakteristik Ibu dalam Pemilihan Penolong Persalinan
Adapun dari segi karakteristik ibu dalam pemilihan penolong persalinan
antara lain :
1. Pendidikan
Tingkat

pendidikan

seseorang

akan

berpengaruh

dalam

memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar. Orang


yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih
rasional terhadap informasi yang datang dan alasan berfikir sejauh
mana keuntungan yang mungkin mereka peroleh dari gagasan
tersebut. Perempuan yang tidak lagi meyakini atau sudah mulai
longgar keyakinanya dengan adat istiadat. Biasanya kalangan ini
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Mereka lebih mudah
mengadop informasi tentang kesehatan baik dari bidan atau tenaga
kesehatan ataupun media cetak maupun elektronik. Mereka
berpendapat bahwa pendidikan kesehatan dan bidan lebih bermanfaat
untuk kesehatan mereka dan bayinya dan mereka meyakini kalau
memeriksakan kehamilan kepada tenaga kesehaan, pertolongan
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, tanpa memperdulikan
adat istiadatpun bayinya akan selamat. Oleh karena itu mereka
berpendapat tidak ada gunanya mengikuti pantangan kalau tidak
rasional alasanya. Perempuan dan kalangan ini biasanya hanya akan
memilih tenaga kesehatan sebagai penolong selama kehamilan,
persalinan maupun nifasnya (Juariah, 2009)
2. Pekerjaan
Pekerjaan ibu adalah kegiatan rutin sehari-hari yang dilakukan
oleh seorang ibu dengan maksud untuk memperoleh penghasilan.
Setiap pekerjaan apapun jenisnya, apakah pekerjaan tersebut
memerlukan kekutan otot atau pemikiran, adalah beban bagi yang
melakukan. Beban ini dapat berupa beban fisik, beban mental,
ataupun beban social sesuai dengan jenis pekerjaan si pelaku.
Kemampuan kerja pada umumnya diukur dari ketrampilan dalam
melaksanakan pekerjaan. Semakin tinngi ketrampilan yang dimiliki

oleh tenaga kerja, semakin efisien badan (anggota badan), tenaga dan
pemikiran (mentahnya) dalam melaksanakan pekerjaan. Penggunaan
tenaga dan mental atau jiwa yang efisien, berarti beban kerjanya
relative mudah (Notoatmodjo, 2007).
Suatu pekerjaan merupakan hal yang kuat dalam pemanfaatan
fasilitas kesehatan modern. Perempuan yang menjadi ibu rumah
tangga tanpa bekerja di luar rumah, secara finansial mereka
tergantung

pada

suaminya.

Sehingga,

ketika

suaminya

berpenghasilan sedikit, juga akan berdampak terhadap tabungan


mereka untuk melahirkan. Selain itu, ketidaksiapan secara finansial,
selain berkaitan dengan jumlah penghasilan,juga dengan kemauan
untuk menabung untuk p ersiapan persalinan. Hal ini menjadi alasan
perempuan

untuk

lebih

memilih

dukun

sebagai

penolong.

Sebaliknya, perempuan yang secara finansial lebih baik, apakah


karena penghasilan suaminya lebih memadai, atau karena mereka
juga berpenghasilan, lebih memiliki kesiapan secara finansial.
Selain itu, perempuan yang sudah mempersiapkan biaya
persalianannya, dengan cara menabung sebagian penghasilannya
atau penghasilan suaminya, akan memilih untuk melahirkan di bidan
(Juariah, 2009).
3. Keadaan Sosial Ekonomi
Dalam memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan
sekunder keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah
tercukupi dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini
akan

mempengaruhi

pemenuhan

kebutuhan

akan

informasi

pendidikan. Hal ini menjadi alasan perempuan untuk lebih memilih


dukun sebagai penolong. Karena mereka beralasan bahwa dukun
lebih

murah

dibanding

tenaga

kesehatan

lainnya.

Mereka

menganggap dukun murah karena mereka dapat membayarnya


dengan beras, kelapa atau ayam yang tersedia di rumah mereka.
Mereka tidak ingin memilih bidan karena mereka harus membayar
bidan dengan uang yang kadang-kadang tidak tersedia di rumah
mereka (Juariah, 2009).

Sebaliknya, perempuan yang menganggap bahwa biaya ke dukun


sama dengan ke bidan, hanya cara pembayarannya yang berbeda
cenderung akan memilih bidan. Mereka berpendapat bahwa, jika
memilih bidan mereka harus membayar dengan uang yang relatif
banyak dalam sekali waktu, tetapi jika mereka memilih dukun,
mereka harus membayar secara berkesinambungan sampai periode
nifas (Juariah, 2009).

Anda mungkin juga menyukai