Anda di halaman 1dari 59

NAMA: ELFANDARI TARADIPA

NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Bagaimana hubungan lengan dan tungkai sebelah kanan lemah dan sering
tersedak dengan kejang pada kasus?
Kejang > 5 menit merusak saraf Nervus IX (Glossofaring) terganggu fungsi
nervus tidak berjalan dengan baik (Karena epiglotis mengalami parese sehingga tidak
dapat menutup baik, akibatnya minuman masuk ke laring dan menimbulkan reflek
batuktersedak
Bagaimana hubungan batuk pilek dengan kejang pada kasus?
Tidak ada hubungan.
Apa makna klinis dari riwayat batuk pilek tanpa demam?
Kejang pada kasus ini tidak disertai demam karena pada kasus ini kejang bukan
disebabkan infeksi pada selaput otak atau meningitis seperti yang terjadi pada saat
anak ini 6 bulan, melainkan oleh status epileptikus. Umumnya, status epileptikus
mempunyai jenis kejang yang tidak disertai demam. Karena itulah pada kasus ini
kejang tidak disertai demam.

Bagaimana cara pemeriksaan neurologis pada anak?


1) Rigiditas nuchae: (Kaku kuduk)
Istilah nuchae merujuk pada bagian belakang leher. Rigiditas
nuchae berarti bahwa baik pasien maupun pemeriksa tidak mampu
melakukan fleksi kepala pasien karena spasme refleks otot nuchae
(ekstensor). Iritasi ruang subarakhnoid, paling sering oleh inflamasi
(ensefalitis

atau

meningitis)

atau

karena

darah

subaraknoid,

menyebabkan rigiditas nuchae.


Teknik untuk menguji rigiditas nuchae

Pasien dalam posisi berbaring telentang dan relaks, tempatkan


tangan anda di bawah bagian belakang kepala pasien dan
dengan hati-hati coba lakukan fleksi leher. Pada keadaan
normal, ia akan menekuk dengan bebas. Jika pasien memiliki
rigiditas nuchae, leher melawan fleksi dan pasien merasa
kesakitan. Jika rigiditas nuchae berat, anda dapat menaikkan
kepala pasien dan badan dengan tulang belakang seperti batang
lurus atau pasien seperti patung.

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi
meningeal, pemeriksa harus membedakannya dari bentuk
rigiditas servikal lainnya. Dengan rigiditas nuchae yang nyata,
leher hanya melawan fleksi. Leher bergerak bebas melalui
rotasi dan ekstensi, karena gerakan ini tidak meregangkan
meninges, medula spinalis, dan nerve root. Untuk menunjukkan
rigiditas hanya mempengaruhi otot nuchae, lakukan dua hal
berikut ini:
o Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief
gulingkan kepala pasien dari satu sisi ke sisi lainnya untuk
menunjukkan rotasi kepala yang bebas meski ada resistensi
o

terhadap fleksi
Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala

jatuh ke arah belakang, menguji kebebasan ekstensi


Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap
gerakan leher ke segala arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae
secara khusus berarti resistensi terhadap fleksi leher, yaitu
rigiditas bagian belakang leher

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014

2) Brudzinski neck sign

Cara pemeriksaan
o

Pasien dalam posis tidur telentang, kepala difleksikan oleh


pemeriksa sehingga dagu menyentuh dada

Reaksi abnormal: fleksi pangkal paha dan lutut sebagai respon


terhadap fleksi leher
3) Brudzins
ki

kontralateral

Cara pemeriksaan

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
o Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di
sendi lutut dan fleksi di sendi panggul, lutut kemudian
difleksikan

Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di


sendi lutut

4) Kernig sign
Cara pemeriksaan
o

Pasien berbaring lurus di tempat tidur

Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan


fleksi

Kemudian usahakan ekstensi lutut

Ulangi untuk sisi yang lain

Interpretasi hasil :
o Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernigs sign
bilateral mengindikasikan iritasi meningeal; jika unilateral,
mungkin terjadi pada radikulopati (bandingkan dengan
straight leg raising)
5) Babinski
s sign

Cara: pemeriksa menggores bagian lateral telapak kaki dengan


ujung palu refleks
Reaksi: dorsofleksi ibujari kaki disertai plantarfleksi dan
gerakan melebar jari-jari lainnya

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014

6) Chaddocks sign

Cara: pemerika menggores di bawah dan sekitar maleolus


eksterna ke arah lateral dengan palu refleks ujung tumpul

Reaksi: sama dengan Babinskis sign

7) Gordons sign

Cara: pemeriksa menekan otot-otot betis dengan kuat

Reaksi: sama dengan Babinskis sign

8) Schaeffers sign

Cara: pemeriksa menekan tendo Achilles dengan kuat

Reaksi: sama dengan Babinskis sign

9) Oppenheims sign

Cara: pemeriksa memberi tekanan yang kuat dengan ibu jari


dan telunjuk pada permukaan anterior tibia kemudian digeser
ke arah distal

Reaksi: sama dengan Babinski sign

10) Rossolimos sign

Stimulasi

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Respon normal dorsofleksi ringan jarijari kaki/tidak ada gerakan

Respon abnormal :

plantar fleksi jari

dengan cepat
11) Pemeriksaan N.IX
Kelumpuhan pada N. Hipoglossus akan menimbulkan gangguan
pergerakan lidah.

I.

Akibat gangguan pergerakan lidah, maka perkataan-perkataan

tidak dapat diucapkan dengan baik, disebut dengan disartria.


Dalam keadaan diam, lidah tidak simetris, biasanya bergeser ke

daerah sehat karena tonus di sini menurun.


Bila lidah dijulurkan, lidah akan berdeviasi ke sisi sakit.

Sintesis Masalah
1. Nervus Cranialis
Nervus cranialis Ada 12 saraf kranial yang meninggalkan otak melalui
foramina dan fissura di tengkorak. Semua saraf ini didistribusikan ke kepala
dan leher kecuali saraf kranial kesepuluh, yang mempersarafi struktur-struktur
yang berada di toraks dan abdomen. Saraf-saraf otak tersebut diberi nama
sebagai berikut: olfactorius (n.I), opticus (n.II), oculomotorius (n.III),
trochlearis (n.IV), trigeminus (n.V), abducens (n.VI), facialis (n.VII),
vestibulocochlearis

(n.VIII),

glossopharyngeus

(n.IX),

vagus

(n.X),

accessorius (n.XI), dan hypoglossus (n.XII) .


Nervus olfactorius, nervus opticus, dan nervus vestibulocochlearis
merupakan saraf sensorik murni. Nervus oculomotorius, nervus trochlearis,
nervus abducens, nervus accessorius, dan hypoglossus adalah saraf motorik
murni. Nervus trigeminus, nervus facialis, nervus glossopharyngeus, dan
nervus vagus merupakan saraf campuran motorik dan sensorik .
Nervus kranialis memiliki nuklei motorik dan/ atau sensorik di dalam otak
dan serabut-serabut saraf perifer keluar dari otak serta meninggalkan
tengkorak menuju organ sensorik atau efektor . Adapun serabut-serabut saraf
kranial dikelompokkan menjadi beberapa jenis:

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
a. Serabut aferen somatik, yang menghantarkan impuls rasa nyeri, suhu,
raba, tekanan, dan sensasi propioseptif melalui reseptor-reseptornya di
kulit, sendi, otot, dan sebagainya.
b. Serabut aferen otonom (viseral), yang menghantarkan impuls (nyeri) dari
organ visera.
c. Serabut aferen khusus (SAK), yang terdiri atas SAK somatik yang
menghantarkan impuls dari reseptor khusus (mata, telinga) dan SAK
viseral yang menghantarkan impuls kecap dan bau.
d. Serabut eferen somatik umum, yang mempersarafi otot-otot rangka (III,
IV, VI, XII).
e. Serabut eferen viseral, yang mempersarafi otot polos, otot jantung, dan
kelenjar (parasimpatis/ simpatis)
f. Serabut eferen brankhio-metrik khusus yang mempersarafi otot-otot
derivat arkus brankhialis (n.V untuk arkus 1, n.VII untuk arkus 2, n. IX
untuk arkus 3, n. X dan n. XI untuk arkus selanjutnya).
Berbagai komponen saraf otak, fungsi, serta celah di cranium yang dilewati
oleh saraf-saraf tersebut untuk meninggalkan cavum crania diringkas sebagai
berikut:
No

Nama

Saraf-Saraf Kranial (Nervi Craniales)


Komponen
Fungsi

Tempat
keluar di

Olfactorius

Sensorik (SVA)

otak
Celah-celah

Penghidu

di

lamina

cribrosa
ossis
II
III

Opticus
Oculomotorius

Sensorik (SSA)
Motorik

Penglihatan

ethmoidalis
Canalis

opticus
(GSE, Mengangkat kelopak mata Fissura

GVE)

atas, menggerakkan bola orbitalis


mata ke atas, bawah, dan superior
medial;

IV

Trochlearis

Motorik (GSE)

konstriksi pupil;

akomodasi mata
Membantu menggerakkan Fissura
bola mata ke bawah dan orbitalis

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
lateral
V

Trigeminus
Divisi

Sensorik (GSA)

ophtalmicus

superior

Kornea, kulit dahi, kulit Fissura


kepala, kelopak mata, dan orbitalis
hidung;

juga

membran superior

mukosa sinus parasanal dan


Divisi maxillaris

Sensorik (GSA)

rongga hidung
Kulit wajah di atas maxilla; Foramen
gigi geligi rahang atas; rotundum
membrane mukosa hidung,

Divisi

Motorik (SVE)

mandibularis

sinus dan lempeng maxilla


Otot-otot pengunyah, M. Foramen
mylohyoideus,

m. ovale

digastricus venter anterior,


m. tensor veli palatini, dan
m. tensor tympanicum.
No

Nama

Komponen

Fungsi

Tempat
keluar di
otak

Sensorik (GSA)

Kulit pipi; kulit di atas


mandibula dan sisi kepala,
gigi geligi rahang bawah
dan articulation temporo
mandibularis;

membrane

mukosa mulut dan bagian


VI

Abducens

Motorik (GSE)

anterior lidah
M.
rectus

lateralis Fissura

menggerakkan
VII Facialis

Motorik (SVE)

mata

ke orbitalis

lateral
superior
Otot-otot wajah dan kulit Meatus
kepala, m. stapedius, m. acusticus
digastricus venter posterior, interna,
dan m. stylohyoideus.

Sensorik (SVA)

Pengecapan
pertiga

dari

bagian

canalis
dua- facialis,

anterior foramen

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
lidah, dari dasar mulut dan sylomastoide
Sekretomotorik

palatum.

us

parasimpatis

Kelenjar

(GVE)

submandibula

ludah
dan

sublingual,

kelenjar

lakrimalis,

dan

kelenjar

hidung dan palatum.


VII Vestibulocochle
I

ar
Vestibular

Sensorik (SSA)

Dari

utriculus,

sacculus, Meatus

dan canalis semicircularis- acusticus


Cochlear

Sensorik (SSA)

posis dan gerakan kepala


Organ Corti- pendengaran

internus
Meatus
acusticus

IX

Glossopharynge

Motorik (SVE)

us
Sekretomotorik

M.stylopharingeus-

internus
Foramen

membantu menelan.

jugulare

Kelenjar parotis.

parasimpatis
(GVE)

Sensasi

umum

dan

Sensorik (GVA, pengecap dari dua pertiga


SVA, GSA)

bagian posterior lidah dan


faring;

sinus

carotis

(baroreseptor);

corpus

carotis (kemoreseptor)
No

Nama

Komponen

Fungsi

Tempat
keluar di

Vagus

Motorik (GVE, Jantung


SVE)

darah

otak
pembuluh Foramen

dan
besar

di

toraks; jugulare

laring, trakea, bronkus, dan


Sensorik (GVA, paru;
SVA, GSA)

dari

traktus
faring

alimentary
ke

fleksura

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
splenicus
XI

Accessorius

Motorik (SVE)

Radix cranialis

kolon;

hepar,

ginjal, dan pankreas


Otot-otot palatum molle Foramen
(kecuali

m.

tensor

veli jugulare

palatini), faring (kecuali m.


stylopharyngeus),
laring

(kecuali

cricothyroid)
Radiks spinalis
XII Hypoglossus

dan

di

m.
cabang-

Motorik (SVE)

cabang n. vagus
M. sternocleidomastoideus Foramen

Motorik (GSE)

dan m. trapezius
jugulare
Otot-otot lidah (kecuali m. Canalis
palatoglossus)
bentuk

dan

mengatur hypoglossus
pergerakan

lidah
Keterangan: GSA: aferen somatik umum, SSA: aferen somatik khusus, GVA:
aferen viseral umum, SVA: aferen visceral khusus, GSE: eferen somatik
umum, GVE: eferen viseral umum, SVE: eferen viseral khusus.
2. Kejang dan Epilepsi
Definisi
Kejang merupakan suatu manifestasi klinis yang sering dijumpai di ruang
gawat darurat. Hampir 5% anak berumur di bawah 16 tahun setidaknya pernah
mengalami sekali kejang selama hidupnya. Kejang penting sebagai suatu tanda
adanya gangguan neurologis. Keadaan tersebut merupakan keadaan darurat.
Kejang mungkin sederhana, dapat berhenti sendiri dan sedikit memerlukan
pengobatan lanjutan, atau merupakan gejala awal dari penyakit berat, atau
cenderung menjadi status epileptikus.
Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis
yang salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan
kejang tidak terkontrol, depresi nafas dan rawat inap yang tidak perlu.
Langkah awal dalam menghadapi kejang adalah memastikan apakah gejala
saat ini kejang atau bukan. Selanjutnya melakukan identifikasi kemungkinan
penyebabnya.
Patofisiologi

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan
atau otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di
neuron otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit
atu kejang berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker
neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya
inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3]
meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena
proses eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat
ilnhibisi yang tidak sempurna.
Klasifikasi
Klasifikasi kejang meliputi :
a. Bangkitan Parsial/fokal
1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
a) Dengan gejala motorik.
b) Dengan gejala sensorik.
c) Dengan gejala otonomik.
d) Dengan gejala psikis.
2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran.
b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.
3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)
a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan
umum
b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial
kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum
b. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)
1) Bangkitan lena (absence)
Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi
mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik
pada mata, dagu dan bibir.
2) Bangkitan mioklonik

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat
umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih
ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal.
3) Bangkitan tonik
Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas
menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan
kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah
menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat
bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan
pupil dilatasi.
4) Bangkitan atonik
Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya
kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh
sehingga pasien terjatuh.
5) Bangkitan klonik
Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang
kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.
6) Bangkitan tonik-klonik
Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian
diikuti oleh gerakan klonik.
3. Status Epileptikus
Definisi
Status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang
atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus
dipertimbangkan sebagai status epileptikus (Muttaqin, 2008).
Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari
30 menit, atau adanya dua bangkitan atau lebih dimana diantara bangkitanbangkitan tadi tidak terdapat pemulihan kesadaran. Namun demikian
penanganan bangkitan harusdimulai dalam 10 menit setelah awitan suatu
bangkitan (Kamus Kedokteran Dorland, 2009).
Status Epileptikus (aktivitas kejang lama yang akut) merupakan suatu
rentetan kejang umum yang terjadi tanpa perbaikan kesadaran penuh di antara
serangan. Istilah ini telah diperluas untuk mencakup kejang klinis atau listrik

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
kontinue yang berakhir sedikitnya 30 menit, meskipun tanpa kerusakan
kesadaran (Muttaqin, 2008).
Klasifikasi
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering
dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi
bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah
menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputusputus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea
retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan
laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali
pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode
kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada en selofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau
kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan
status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon
yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin
bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang
umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat
aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua
tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena
didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan
kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada
satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan
dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat
terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi
mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan
angka kejadian kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonikklonik umum yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga
kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang
mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat
antikonvulsan. Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 12 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang
menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anakanak dan usia tua.
Faktor Resiko dan Etiologi
Beberapa faktor meningkatkan resiko terjadinya epilepsi, seperti retardasi
mental, palsi serebral, ayah atau ibu dengan epilepsi, riwayat kejang tanpa
disertai demam sebelumnya. Etiologi dari penyakit ini antara lain infeksi
sistem saraf pusat, tumor otak, malaformasi otak, trauma kepala, kelainan
kongenital, idiopatik.
Patofisiologi
Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya
perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron.
Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran
dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan
neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang
bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang
berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi
membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang,
suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau
menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.
Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas
listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang
penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali
bangkitan

tanpa

provokasi.

Bangkitan

epilepsi

disebabkan

oleh

ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan


muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus
tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi
disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan
retardasi mental. Selain itu, pada kasus ini, juga sudah dijelaskan pada analisis
sebelumnya bahwa gejala sisa akibat meningitis juga berperan dalam kejadian
kejang yang berujung pada status epileptikus.
Manifestasi Klinis
-

asimetris pada pemeriksaan neurologis

postur abnormal

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
- demam (suhu bisa lebih dari 38,50C)
-

otot hipertoni

kejang

penurunan kesadaran

bradikardi, takipneu

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti dan detail,
pemeriksaan fisis lengkap dan EEG serta dibantu oleh pemeriksaan pencitraan
bila ada indikasi.
Pada episode kejang pertama, anamnesis harus ditujukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding lain sebagai penyebab kejang, seperti
infeksi SSP, trauma, kelainan metabolik, hipoglikemi, gangguan elektrolit,
keracunan obat, atau toksin. Bila tidak ditemukan penyebab tersebut,
kecurigaan dapat mengarah pada epilepsi dan minta orang tua untuk
menggambarkan dengan detail faktor pemicu, awitan, durasi, frekuensi, dan
jenis bangkitan kejang. Selidiki apakah ada keadaan organik yang mendasari
melalui pemeriksaan lingkar kepala, pertumbuhan, pemeriksaan neurologis.
Tanyakan mengenai postur tubuh sianosis, kontrol sfingter kandung kemih,
dan periode post-iktal apakah tampak mengantuk atau sakit kepala.
Pemeriksaan EEG berguna untuk menegakkan diagnosis epilepsi bila
ditemukan aktivitas epileptiform pada periode inter-iktal atau abnormalitas
fokal Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada keadaan kurang tidur (sleepdeprived).
Pemeriksaan pencitraan diindikasikan pada:
1) Anak dengan gambaran kejang fokal atau kejang umum yang bukan
merupakan

bagian

dari

sin.

drom

klinis

dengan

penyebab

genetik(misalnya BECTS, CAE, JAE, atau JME 2)


2) Anak usia <2 tahun
Pemeriksaan pencitraan yang disarankan adalah MRI karena lebih superior
dalam mengidentifikasi struktur anatomi dan proses patologis, seperti mesial
temporal sclerosis, malaformasi vaskular. atau tumor kecil(misalnya glioma),
CT scan dapat digunakan bila MRI tidak tersedia atau bila terdapat

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
kontraiindikasi penggunaan MRI. namun perlu diingat bahwa beberapa
keadaan di atas mungkin tidak dapat didentifikasi pada CT Scan.

Fase Epileptikus
Menurut Kariasa (2002), secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus
dibagi menjadi lima fase, yaitu :
a. Fase pertama : Pada fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti
peningkatan aliran darah otak dan cardiac output ,peningkatan oksigenase
jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum,
peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan oleh
asidosis laktat dan terjadi perubahan saraf yang bersifat reversibel pada
tahap ini.
b. Fase Kedua : Setelah 30 menit ada perubahan ke fase kedua yaitu
kemampuan tubuh beradaptasi menjadi berkurang dimana tekanan darah ,
pH dan glukosa serum kembali normal. Kemudian, terjadilah kerusakan
saraf yang bersifat irreversibel pada tahap ini.
c. Fase ketiga : Pada fase ketiga, aktivitas kejang berlanjut mengarah pada
terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan
peningkatan kerusakan saraf yang irreversibel.
d. Fase keempat : Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk
memerlukan mekanisme ventilasi.
e. Fase kelima : Keadaan pada fase keempat diikuti oleh penghentian dari
seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kerusakan saraf
dan kerusakan otak berlanjut.
Tatalaksana
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik,
dan penanganan segera mungkin dan harus dirawat pada ruang intensif (ICU).
Lini

pertama

dalam

penanganan

status

epileptikus

menggunakan

Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam


(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh
ikatan pada Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan
Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat
larut dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25
menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari
konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan
kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian

antikonvulsan

masa

kerja

lama

seharusnya

dengan

menggunakan Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg


dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis
selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek samping termasuk
hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan
jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal
iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan dekstrosa tidak
digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi presipitasi yang
mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Penanganan pada saat kejang

Menghentikan kejang : Diazepam dosis awal 0,3 0,5 mg/KgBB/dosis IV


(perlahan-lahan)

atau

0,4

0,6

mg/KgBB/dosis

REKTAL

SUPPOSITORIA. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan


dosis yang sama 20 menit kemudian.

Turunkan demam :
Anti Piretika : Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5 10
mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3 4 kali per hari.
Kompres : suhu > 39 C dengan air hangat, suhu > 38 C dengan air biasa.

Pengobatan penyebab : antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan


penyakit

dasarnya.

Penanganan suportif lainnya meliputi : bebaskan jalan nafas, pemberian


oksigen,

menjaga

keseimbangan

keseimbangan tekanan darah.


Pencegahan Kejang

air

dan

elektrolit,

pertahankan

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana dengan
Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan anti piretika pada saat anak
menderita penyakit yang disertai demam.
Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam
Valproat 15 40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 3 dosis. Ada
baiknya obat digunakan minimal 1 tahun dan dihentikan secara bertahap
jika setelah 2 tahun dari pemberian obat tidak ada kejang. Bila selama
pemberian obat terjadi kejang, tambahkan menjadi 2 obat anti epilepsi
atau ganti dengan jenis lain dan hitung ulang waktu pengobatan hingga 2
tahun bebas dari kejang.
Komplikasi
Status epileptikus terjadi ketika penderita mengalami kejang selama lebih
dari lima menit atau mengalami serangkaian kejang pendek tanpa kembali
sadar di antara kejang. Status epiliptikus dapat menyebabkan kerusakan
permanen pada otak, bahkan kematian.
Komplikasi lainnya yang juga jarang terjadi adalah kematian mendadak.
Hingga kini, penyebab kematian mendadak pada penderita epilepsi masih
belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengemukakan bahwa itu
berkaitan dengan dampak pada jantung dan pernapasan akibat kejang.
Prognosis
Prognosis bergantung pada usia, riwayat kejang sebelumnya, frekuensi
kejang, dan terapi. Bila penanganan tepat dan cepat dilakukan, maka prognosis
akan baik. Bila usia onset pertama kejang >12 tahun, ada defisit neurologis
(seperti retardasi mental), riwayat kejang saat neonatus, maka prognosis akan
lebih buruk.
Definisi Meningitis
Meningitis adalah suatu reksi peradangan yang mengenai satu atau semua apisan
selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang
menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa.8

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Meningitis adalah radang/inflamasi pada selaut otak atau meningen (termasuk dura,
arachnoid, dan piamater) merupakan penyakit yang sangat penting dan serius pada
anak.7
Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai sebagian atau seluruh
selaput otak (meningen) yang melapisi otak dan medulla spinalis, yang ditandai
dengan adanya sel darah putih dalam cairan serebrospinal.5
Insidensi8

Meningitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.

Incident puncak terdapat rentang usia 6 12 bulan.

Rentang usia dengan angka moralitas tinggi adalah dari lahir sampai dengan 4
tahun.

Etiologi

Berbagai bakteri, virus, fungi, tuberkulosis, cryptococcuc, dan anaerobe dapat


menyebabkan meningitis. Etiologi berbeda tergantung umur pasien, sbb:7

Pada neonatus umur 0-3 bulan

Bakteri yang menyebabkan meningitis pada neonatus biasanya berasal dari jalan lahir
ibu. E. coli, Klebsiella, Listeria, Group B Streptococcus (GBS). Bayi harus dianggap
imonocompromised, maka semua penyebab harus dipertimbangkan dalam
diagnosis. Virus yang sangat berbahaya pada neonatus adalah Herpes Simplex (HSV)
dari jalan lahir. Kebanyakan ibu tidak tahu mereka menderita infeksi ini.

Pada anak yang berumur 3 bulan sampai 3 tahun : H.influenzae penyebab utama

60% pada semua kasus meningitis bakteri pada anak yang berusia kurang dari 12
bulan. Meningitis tuberculosis paling sering tampak pada golongan anak umur ini dan
merupakan lanjutan dari infeksi primer.

Pada anak yang berumur 3-21 tahun: virus (enterovirus, arbovurus, herpesvirus)

adalah penyebab utama pada anak berumur ini. Bakteri yang paling sering dilaporkan
adalah N.meningitidis dan S. pnemoniae.
Table 1. Etiologi Meningitis Berdasarkan Umur7
Etiologi
0-3 bulan
Streptococcus
X
group B
Escherichia coli
X
Listeria
X
monocytigenes
Hemophilus

3-36 bulan

3-21 bulan

Yg lemah imun

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
influenzae
Streptococcus
pneumonia
Neisseria
meningitidis
Fungus/jamur
Tuberculosis
(TBC)
Enterovirus,
Herpesvirus,
Arbovirus, dll

X
X

Meningitis bakterial akut merujuk kepada bakteri sebagai penyebabnya.


Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal dan pleositosis yang bersifat
akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis,
Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan meningitis
seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.6
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular
nonpiogenik yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita
biasanya menunjukkan gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang
didominasi oleh limfosit. Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan
peyebab dari meningitis aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya
Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).6
Gejala Klinis8
a. Neonatus
1) Gejala tidak khas
2) Panas (+)
3) Anak tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah dan kesadaran
menurun.
4) Ubun-ubun besar kadang kadang cembung.
5) Pernafasan tidak teratur.
b. Anak Umur 2 Bulan Sampai Dengan 2 Tahun
1) Gambaran klasik (-)
2) Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang.
3) Kadang-kadang high pitched ery.
c. Anak Umur Lebih 2 Tahun
1) Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala.

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
2) Kejang

3) Gangguan kesadaran.
4) Tanda-tanda rangsang meninggal, kaku kuduk, tanda brudzinski dan kering (+).

Patofisiologi Meningitis8

MENINGITIS BAKTERIAL
Meningitis bakteri (purulenta) adalah meningitis yang bersifat akut dan
menghasilkan eksudat

berupa pus, serta bukan disebakan oleh bakteri spesifik

maupun virus.5
Meningitis bakterialis merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh
infeksi lapisan meningen oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Serikat sudah menurun sejak diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus
influenzae tipe B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70%
kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media,
mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun
lainnya.5

Patofisiologi
Meningitis bakteri pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit lain.
Bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit
faringitis, tonsillitis, pneumonia, bronchopneumonia, endokarditis, dan lain-lain.5
Penyebaran bakteri dapat pula secara perikontinuitatum dari peradangan organ
atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media,
mastoiditis, thrombosis sinus kavernosus, sinusitis. Penyebaran bakteri dapat juga
akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak.5
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang.
Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran
pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi
submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal,
fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan
beberapa mekanisme:5
Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran
melalui kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi
kongenital, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.5
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun
(misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi
penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.5
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai
sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
imun inang karena terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi
secara tidak terkendali dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi
ini melibatkan peran dari sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-),
interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi
pleositosis dan kerusakan neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-, IL-1, IL-6, dan
IL-8 merupakan ciri khas meningitis bakterial.6
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk
yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis
sitokin dan mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses
ini dimulai oleh ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida)
untuk mengenali reseptor (Toll-like receptor)
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan
permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam
ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan
peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik,
neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke BBB yang rusak sehingga
terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk meningitis bakterial.5
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam
ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial,
produk-produk degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang
menyebabkan edema sitotoksik.6
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra
kranial dan pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme
anaerob

terjadi

dan

mengakibatkan

peningkatan

konsentrasi

laktat

dan

hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan hasil dari menurunnya transpor


glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali ini tidak ditangani dengan baik,
dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun permanen.5
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari
meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder
terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik
bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).5
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan
herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan
oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI.
Jika tidak diobati maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat
berkembang menjadi henti napas atau henti jantung.5
Insidensi Meningitis Bakterial
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus
meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun
sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .6
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi
sekitar 20.000-30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis
kurang lebih 4 kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus
pneumoniae meningitis adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis
pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm,
insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran
preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis
neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.6
19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae,
3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata
mortalitas paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan
kembali meninggi pada usia tua. Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi AfroAmerika dan Indian dibandingkan pada populasi Kaukasia dan Hispanik. Bayi lakilaki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding
bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh
Listeria monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus
pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan maupun laki-laki. Kebanyakan
penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak
dengan usia kurang dari 2 tahun.5
Gejala Klinis Meningits Bakterial
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala
sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia,
konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui
berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk, opisthotonus, ubun-ubun
menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia, cephalgia, penurunan kesadaran,
irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul
tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.6

opistotonus

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:5


Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya
disertai febris dan fotofobia.
Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita
meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis
belum dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan
petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi
perasat ini negatif pada anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014

Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
menyerang syaraf.
Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap
inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk
terhadap hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.
Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang
memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4
hospitalisasi merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae
yang berat.
Papil edema dan gejala TIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah
disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif
diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation)
Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan
sistemik (seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang
cukup banyak pada ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada
etiologinya.
Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi
meningitis:
Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan
petunjuk adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya
kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau
Haemophilus influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii.
Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap
pertumbuhan bakteri di meningen.
Gejala neurologis meningitis dapat dibagi 4 fase :6

Fase I : sub febris, lesu, iritabel, selera makan menurun, mual dan sakit kepala
ringan.

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Fase II : tanda rangsang meningen, kelainan saraf otak (III, IV) kadang
hemiparese, arteritis.

Fase III : tanda neurologi fokal, konvulsi, kesadaran menurun.

Fase IV : tanda fase III disertai koma, syok.

Fase III dan IV bila sembuh dapat mengalami cacat.


Pada meningitis bakteri stadium dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi None
dan Pandy umunya positif, sedang sebagian besar sel terdiri dari polimorfonuklear.
Pada meningitis bakteri biasanya kadar protein dalam cairan serebraspinal meninggi,
kadar gula menurun, kadang klorida kadang-kadang rendah, dan kadang-kadang
ditemukan kuman penyebab dengan pemeriksaan sediaan langsung di bawah
mikroskop.
Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke
kiri, umumnya terdapat anemia megaloblastik. Pemeriksaan glukosa darahpada
infeksi akut biasanya kadar glukosa darahnya meninggi, dan akan segera menurun
dalam selang waktu 6-12 jam kemudian. Sedang pada meningitis bakteri kadar
glukosa darahnya menurun karena dibutuhkan untuk metabolism bakteri.
Bakteri Penyebab
Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif
(Escherichia coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada
neonatus preterm yang menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur
pembedahan sering didapatkan Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai
penyebab meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang jarang
dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.6
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari
pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat
persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama
kehidupan yang disebabkan oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa
perinatal. Streptococcus grup B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset
lanjut.5,6

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia
marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter
diversus dan Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada
penderita yang juga menderita abses otak.
Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi
etiologi tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah
menggunakan vaksin konjugasi secara rutin.6,7
Streptococcus pneumoniae meningitis
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan
penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah
jenis yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada
berbagai usia dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling
tinggi pada bayi dan lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus
infeksi di parameningen atau pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu
dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae
sering menimbulkan meningitis pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy,
penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada
saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak
langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim
dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran sensorineural,
hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.6,7
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring
dalam 24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap
antimikroba. Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini
disebabkan oleh perubahan dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan
perbaikan protein pengikat penicillin pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor
menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang resisten terhadap penicillin juga
menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan
makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan
pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan
kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan
kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.6,7
Neisseria meningitidis meningitis6,7
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering
ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan
kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang
menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering
dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui kontak langsung,
droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering pula dari karier
asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan kisaran waktu 1-7
hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen terminal (C5-C9),
infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis, penggunaan
kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi
kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS
pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian
umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk
yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang
muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan
apus darah tepi.
Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis5,6,7
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari
kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi
pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi
pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang
belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah terhadap
kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan dari manusia
ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran
pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus
menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat
menurunkan morbiditas dan sekuelae.
Listeria monocytogenes meningitis5,6,7
Bakteri

ini

menyebabkan

meningitis

pada

neonatus

dan

anak-anak

immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan


yang terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia,
Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial meningitis cenderung tersamar dan
diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium, patogen ini
sering disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau diphteroid.
Etiologi lain-lain6,7
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS
pada penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang
immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas,
Serratia, Proteus dan diphteroid
Diagnosis Meningitis Bakteri
Meningitis bakteri ditemukan atas dasar gejala klinis dan hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal yang didapatkan dengan pungsi lumbal pada saat penderita ke rumah
sakit.
Diagnosis dapat diperkuat dengan hasil positif pemeriksaan sediaan langsung dengan
mikroskop dan hasil biakan, tetapi pemeriksaan kuman yang negative tidak
menyingkirkan diagnosis meningitis bakteri.5
Pada pemeriksaan laboratorium :
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan
melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi
pada meningen ditandai oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan
kadar glukosa LCS. Tekanan LCS (opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih,
berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan
secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan LCS.5
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan
pemberian terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di
lain waktu saat tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
klinis. CT scan atau MRI sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan
pemantauan terhadap tekanan intrakranial dan herniasi.5
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah
total leukosit dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada
beberapa kasus, test rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS
umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL.
Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada penderita terutama pada meningitis dengan
onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan
penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak
menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.5
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang
didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan
lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan
morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau
agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat
menunjukkan patogen penyebab dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy
coat juga dapat memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler.6
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium
Agent

WBC
Opening
count per
Pressure
mL

1005000;
Bacterial meningitis 200-300
>80%
PMNs*

Viral meningitis

10-300;
90-200 lymphocy
tes

Glucose
(mg/dL)

Protein
(mg/dL)

Microbiology

<40

>100

Specific pathogen
demonstrated in 60% of
Gram stains and 80% of
cultures

Normal,
reduced in
LCM and
mumps

Normal but
may be
slightly
elevated

Viral isolation, PCR assays

Elevated,
>100

Acid-fast bacillus stain,


culture, PCR

50-200

India ink, cryptococcal

Tuberculous
meningitis

100-500;
180-300 lymphocy Reduced, <40
tes

Cryptococcal

180-300 10-200;

Reduced

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
lymphocy
meningitis
tes

Aseptic meningitis

10-300;
90-200 lymphocy
tes

Normal values

0-5;
80-200 lymphocy
tes

antigen, culture

Normal

Normal but
may be
slightly
elevated

Negative findings on workup

50-75

15-40

Negative findings on workup

Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri
pada cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari
spesimen LCS, darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis
dengan riwayat pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di
mana bakteri tidak dapat berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal
pada cairan tubuh penderita.
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat
dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif
dan S. pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat
memberikan reaksi silang dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram
spesimen LCS lebih spesifik dibandingkan rapid diagnostic test.
Diagnosa Banding Meningtis Bakterial
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:5
1. Abses otak
2. Tumor otak
3. Vaskulitis SSP
4. Lead encephalopathy
5. Meningitis fungal
6. Meningitis tuberculosis
7. Tuberculoma
8. Stroke
9. Encephalitis

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Penatalaksanaan Meningitis Bakterial
Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis.
Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika
neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan
klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga
keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial
masih memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan kimiawi dan sitologis.5,6
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan.
Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan
hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga
berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan
NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus
mencapai normal.5,6
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi
pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin
oksigenasi yang adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan
dengan kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada
neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran
untuk menskrining gangguan pendengaran.6
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi
antimikroba yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan
dengan: memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat
menentukan input dan output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan
volume yang sesuai untuk mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak
harus mendapat terapi cairan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80
mmHg, jumlah urine output 500 ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat.
Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan
darah dan sirkulasi yang adekuat.6
Terapi antimikroba untuk neonatus6

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi
antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida.
Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk
Streptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain
Escherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan
basil gram negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi
aminoglikosida memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada
saat meningen sedang mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III
dapat mencapai LCS dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan
infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone
berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar
terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak
39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy
khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak
satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan
Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk
terapi inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition
concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat
tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan
kebanyakan S. pneumoniae yang resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin
dan cefotaxime dianjurkan untuk penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji
sensitivitas antimikroba dilakukan.
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas
disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal
dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan
bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus
grup B dan Enterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi
adekuat dengan penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena
adanya resistensi.5
Infeksi

yang

melibatkan

Staphylococcus

aureus,

Pseudomonas

aeruginosa

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau
kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21
hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama
untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu.
Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril .
Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial
untuk memantau respon terhadap terapi, khususnya meningitis oleh basil gram
negatif.
Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak5
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis
bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan
untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae.
Umumnya terapi dimulai dengan pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4
dosis terbagi diberikan tiap 6 jam. Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi
atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime.
Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan
Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki
aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan
cefotaxime atau ceftriaxone.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi
dan sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian
kortikosteroid dapat mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya
penetrasinya kecil. Sehingga petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan
dan kerugian pemberian kortikosteroid pada terapi meningitis. Semua antibiotik
diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS adekuat.
Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi
vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping
chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau
trovafloxacin.2,5,6
Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam,
sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
data mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP. 2.6
Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadangkadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi.
Tetapi pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi adanya relaps atau
rekrudesensi meningitis. Misalnya HIB dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring
bahkan setelah terapi meningitis yang berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu
diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi
dirawat di rumah atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N.
meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi meningitis
berhasil.2,5,6
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa
penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan
febris perlu untuk dievaluasi ulang.2
Pemberian dexamethasone
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone
ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone
(0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone
dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis
rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan
penurunan insidensi sekuelae neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data
yang berhubungan dengan kegunaan dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae
meningitis kurang meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, pemberian
dexamethasone dapat menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.5,6
Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi5
Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara
signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di
antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika tekanan
intrakranial tidak terkendali penderita dapat mengalami herniasi otak. Keadaan ini
ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan pergerakan okuler, bradikardia,
hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak
ke dalam ruang intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30
menit dan pemberiannya dapat diulang bila diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi
data terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan
furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada
penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.
Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas
yang adekuat dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian
antikonvulsi secara intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV
dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek
antikonvulsi sering memanjang dan karena kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam
waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang berlangsung secara gradual. Phenytoin
(Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat
digunakan untuk kejang.5,6
Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium)
diberikan secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10
mg. Efek antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5
mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya.
Lorazepam (Ativan) yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan
dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena
obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia
jantung dapat disebabkan oleh phenytoin. Phenobarbital dan phenytoin dapat
merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat meningkatkan metabolisme
beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap kejang atau
menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan
pemeriksaan neuro-imaging.5,6
Pencegahan5
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan
penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap
sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin.
Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen
tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat
terjadi sehingga orang yang kontak dengan penderita harus segera mencari
pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis rifampin 600 mg peroral
tiap 12 jam selama 2 hari.
Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu
yang kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda
kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa
memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan kontak adalah seseorang
yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah
menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut selama 57 hari sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat
pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi
profilaksis.
Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan
penurunan dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug
Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama
(Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang
mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.
Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat
adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan
imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi
komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri
yang telah dimurnikan.

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Komplikasi5
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung
etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka
panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus nonkomunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone
dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan
pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi
audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke
petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi
fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari dan
mengoptimalkan fungsi motorik.
Prognosis5
Prognosis pasien meningitis bacterial tergantung dari beberapa hal :

Umur pasien (makin muda makin jelek prognosisnya)

Jenis mikroorganisme penyebab

Berat ringannya infeksi

Lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan

Kepekaan bakteri terhadap antibiotic yang diberikan

Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae


atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan
faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan
oleh S. pneumoniae, L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality
rate lebih tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang
disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.5

MENINGITIS TUBERKULOSIS
Adalah infeksi peradangan selaput otak akibat komplikasi bakteri TBC dimana
tanda tuberkulosa hampir sama dengan kriteria diagnosa tuberkulosa anak. Penyakit
ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium,
usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram
positif, berukuran 0,4 3 , mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama
berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15
sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intracellular pathogen pada hewan dan manusia. Selain Mycobacterium tuberkulosis,
spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium.
bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti9
Insidensi
Tuberkulosis yang menyerang SSP (Sistem Saraf Pusat) ditemukan dalam tiga
bentuk, yakni meningitis, tuberkuloma, dan araknoiditis spinalis. Ketiganya sering
ditemukan di negara endemis TB, dengan kasus terbanyak berupa meningitis
tuberkulosis. Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1% dari semua kasus tuberkulosis.4
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberkulosis pada anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang semua usia,
termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka
kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun,
jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada
umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita
tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar
antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan
kembali normal secara neurologis dan intelektual.4
Patofisiologi Meningitis Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis
primer. Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan
di abdomen (22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus
primer (1,2%). Dari fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus
torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa
tuberkulosis milier atau hanya menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
tenang.4
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali olen pembentukan tuberkel di otak, selaput
otak atau medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa
inkubasi infeksi primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang.
Bila penyebaran hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung
menyebabkan penyakit tuberkulosis primer seperti TB milier dan meningitis
tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat merupakan reaktivasi dari fokus
tuberkulosis (TB pasca primer). Salah satu pencetus proses reaktivasi tersebut adalah
trauma kepala.4,5
Primernya Di Paru-Paru4,5
Kuman kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel.
Tumpahan protein kuman tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang
reaksi hipersensitivitas yang hebat dan selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang
yang paling banyak terjadi di basal otak. Selanjutnya meningitis yang menyeluruh
akan berkembang.
Secara patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:4,5
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit
dan sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi.
Adapun saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling
sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul
gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma
optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta
bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan
menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan,
proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel
dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika
media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang
perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel,
proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena adalah
arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi
dan menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme
terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan
infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:5
1. Disseminated milliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier;
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tidak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada
setiap pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
umur, berat dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang
diberikan, virulensi dan jumlah kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
Gejala Klinis Meningitis Tuberkulosa
Pada meningitis TBC, secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis
yang nyata walaupun selaput otak sudah terkena. Gejala yang tibul terdiri dari 3
stadium :4,5,6
1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal)
Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu
Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan
neurologis
Gejala: * demam (tidak terlalu tinggi) * rasa lemah
nafsu makan menurun (anorexia) * nyeri perut
sakit kepala * tidur terganggu
mual, muntah * konstipasi
apatis * irritable
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang
sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan
perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi,
apatis, mungkin saja tanpa disertai demam dan timbul kejang intermiten. Kejang
bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%.
Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke
stadium II
2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen.
Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas
lengkung serebri.
Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
bayi.
Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di
dasar otak " menyebabkan gangguan otak / batang otak.
Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan
kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema
ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan
fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul
disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark
bilateral atau edema otak yang berat.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih
besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin
menurun.
Gejala:
* Akibat rangsang meningen " sakit kepala berat dan muntah (keluhan
utama)
* Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:
- disorientasi
- bingung
- kejang
- tremor
- hemibalismus / hemikorea
- hemiparesis / quadriparesis
- penurunan kesadaran
* Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:
Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII
Tanda: - strabismus - diplopia
- ptosis - reaksi pupil lambat

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
- gangguan penglihatan kabur
3. Stadium III (koma / fase paralitik)
Terjadi percepatan penyakit, berlandsung selama 2-3 minggu
Gangguan fungsi otak semakin jelas.
Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi
oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Gejala:
* pernapasan irregular
* demam tinggi
* edema papil
* hiperglikemia
* kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma, otot
ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi
sama sekali.
* nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur
* hiperpireksia
* akhirnya, pasien dapat meninggal.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu.
Kriteria Diagnosis Meningitis Tuberkulosa
Dari anamnesis: adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung
stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik), adanya gambaran klinis yang
ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada
neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi
malas minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang
(pada 40% kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).5,6

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Diagnosis tuberculosis sesuai dengan kriteria diagnosis tuberkulosa anak yaitu :5,6
a. Bakteri /PA +, atau bakteri/PA -:

X-foto +

Sumber +

Gejala +

BCG -

b. Bakteri/PA :

Mantoux tes

Umur < 6 tahun atau konversi dalam 1 tahun terakhir +

X-foto

Sumber +/-

Gejala +/-

BCG -

c. Bakteri/PA - :

Mantoux tes +

Umur > 6 tahun

X-foto

Sumber +/-

Gejala +

BCG -

d. Bakteri/PA - :

Mantoux tes +

X-foto milier/kel paratrakea/hilus membesar +

Sumber +/-

Gejala +/-

BCG -

e. Bakteri/PA + ; BCG + :

Bakteri/PA

Mantoux tes +

X foto milier/ kel.paratrakea/hilus membesar +

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Sumber +/

Gejala +/-

Apabila salah satu dari criteria di atas dipenuhi maka dapat dibuat diagnosis
tuberculosis.4,5,6
Dari pemeriksaan fisik: tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen
seperti kaku kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2
tahun
Uji tuberkulin positif. Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan screening tuberkulosis yang
paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa efektivitas uji tuberkulin pada
anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, tetapi
hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux, dilakukan
penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas
lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur
diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi.
Berikut ini adalah interpretasi hasil uji mantoux :
1.

Pembengkakan (Indurasi)

: 04 mm uji mantoux negatif.


Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosa.

2.

Pembengkakan (Indurasi)

: 39 mm uji mantoux meragukan.


Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan Mycobacterium atypic atau
setelah vaksinasi BCG.

3.

Pembengkakan (Indurasi)

: 10 mm uji mantoux positif.


Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mycobacterium
tuberculosa

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
- Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Gurin) terjadi reaksi cepat
(dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi 5 mm, maka anak dicurigai
telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.5,6
Dari hasil pemeriksaan laboratorium4,5,6
Darah:
- anemia ringan
- peningkatan laju endap darah pada 80% kasus.
Cairan otak dan tulang belakang / liquor cerebrospinalis (dengan cara pungsi
lumbal) :4,5
- Warna: jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-batang.
Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan
ada hambatan di medulla spinalis.
- Jumlah sel: 100 500 sel / l. Mula-mula, sel polimorfonuklear dan limfosit
sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel polimorfonuklear lebih banyak
(pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada fase akut dapat
mencapai 1000 / mm3.
- Kadar protein: meningkat (dapat lebih dari 200 mg / mm3). Hal ini
menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan
tingginya kadar fibrinogen.
- Kadar glukosa: biasanya menurun (<>liquor cerebrospinalis dikenal sebagai
hipoglikorazia. Adapun kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis
adalah 60% dari kadar glukosa darah.
- Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun
- Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan
kuman.
Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi lumbal
selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu
hasil pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.4,5

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Dari pemeriksaan radiologi:
- Foto toraks : dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis.
- Pemeriksaan EEG (electroencephalography) menunjukkan kelainan kira-kira pada
80% kasus berupa kelainan difus atau fokal.
- CT-scan kepala : dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal,
serta adanya dan luasnya hidrosefalus.
Gambaran dari pemeriksaan CT-scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala pada pasien meningitis tuberkulosis adalah normal pada awal penyakit.
Seiring berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah
enhancement di daerah basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan
tanda-tanda edema otak atau iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga
ditemukan tuberkuloma yang silent, biasanya di daerah korteks serebri atau
talamus.4,5
Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi
yang sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan
intrakranial. Terapi harus segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke
arah meningitis tuberkulosis.4
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yakni:4,5,6
Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis, yakni
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
Berikut ini adalah keterangan mengenai obat-obat anti tuberkulosis yang digunakan
pada terapi meningitis tuberkulosis:
Isoniazid
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel
dan ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam selutuh jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan
memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid diberikan secara oral. Dosis

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis maksimal 300 mg
/ hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya
dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml.
Konsentrasi puncak di darah, sputum, dan liquor cerebrospinalis dapat dicapai
dalam waktu 1-2 jam dan menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid
terdapat dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik
dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya lebih banyak
terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan
bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya neuritis perifer, dapat diberikan
piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap
100 mg isoniazid.
Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat
dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan) dan kadar serum
puncak dicapai dalam 2 jam. Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan
dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis
satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg / kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/
kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh,
termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke dalam liquor
cerebrospinalis lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang mengalami
peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah perubahan
warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warma oranye
kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300
mg, dan 450 mg.
Pirazinamid
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan diresorbsi baik pada saluran
cerna. Dosis pirazinamid 15-30 mg / kgBB / hari dengan dosis maksimal 2 gram /
hari. Kadar serum puncak 45 g / ml tercapai dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat
suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek
samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna, dan
hiperurisemia (jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
500 mg.
Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk
membunuh kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam
pengobatan tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase
intensif meningitis tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis).
Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari,
maksimal 1 gram / hari, dan kadar puncak 45-50 g / ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik
pada jaringan dan cairan pleura dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan
utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan
pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak saraf pendengaran
janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.
Etambutol
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterid jika
diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB / hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan
dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh
dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna
merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum
dapat diperiksa tajam penglihatannya. Penelitian di FKUI menunjukkan bahwa
pemberian etambutol dengan dosis 15-25 mg / kgBB / hari tidak menimbulkan
kejadian neuritis optika pada pasien yang dipantau hingga 10 tahun pasca
pengobatan.

Rekomendasi

WHO

yang

terakhir

mengenai

pelaksanaan

tuberkulosis pada anak, etambutol dianjurkan penggunaannya pada anak dengan


dosis 15-25 mg / kgBB / hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB
berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau
tidak dapat digunakan.
Bukti klinis mendukung penggunaan steroid pada meningitis tuberkulosis
sebagai terapi ajuvan. Penggunaan steroid selain sebagai anti inflamasi, juga dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak. Steroid yang dipakai
adalah prednison dengan dosis 1-2 mg / kgBB / hari selama 4-6 minggu, setelah itu
dilakukan penurunan dosis secara bertahap (tappering off) selama 4-6 minggu sesuai
dengan lamanya pemberian regimen. Pada bulan pertama pengobatan, pasien harus
tirah baring total.
Komplikasi Meningitis Tuberkulosa
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia,
dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak,
nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi
pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan
keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri.
Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini
biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis
menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada
kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai
kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual,

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan
gonadotropin.5
Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien didiagnosis
dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya. Apabila
tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis dapat meninggal dunia.
Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang berumur kurang dari 3
tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada pasien yang lebih tua
usianya.5

MENINGITIS SEROSA NON TUBERKULOSA


Adalah meningitis serosa tanpa disertai adanya tanda-tanda tuberkulosa aktif sesuai
dengan criteria diagnosis.6

MENINGITIS VIRUS/ASEPTIK
Adalah reaksi peradangan pada selaput otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
penyebab (virus, parasit, bakteri, mikoplasma atau kamidia.6
Patogenesis5,6
Meningitis aseptik 85% disebabkan oleh virus, penyebarannya bisa secara hematogen,
perikontinuitatum amupun akibat trauma kepala. Setelah msuk ke dalam tubuh, virus
tersebut akan tersebar ke seluruh tubuh dengan berbagai cara :

Setempat: virus hanya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.

Penyebaran hematogen primer: virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar


ke organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.

Penyebaran hematogen sekunder: virus berkembang biak di daerah pertama kali


masuk (permukaan selaput lender) kemudian menyebar ke organ lain.

Pnyebaran melalui saraf: virus berkembang biak di permukaan selaput lender dan
menyebar melalui saraf.
Pada keadaan mulanya akan timbul demam pada pasien tetapi belum ada kelainan

neurologis. Virus akan terus berkembang biak dan menyebar ke saraf dan timbul
gangguan neurologis.6

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014
Pada meningitis virus terdapat pleositosa pada cairan serebrospinal terutama sel
mononuclear. Cairan tersebut bebas kuman, sering kadar proteinnya sedikit meninggi,
jumlah sel berkisar 100-800/mm3 atau lebih, kadar glukosa dalam batas normal,
glukosa darah bisa menurun, normal atau meninggi.6
Gejala Klinis5,6
Meningitis virus gejalanya dapat sedemikian sampai sedang, bersifat akut tetapi
dapat juga perlahan. Jika gejala agak berat biasanya ditandai sakit kepala dan nyeri
kuduk.
Masa prodomal berlangsung antara 1-4 gari ditandai dengan demam, sakit kepala,
pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat. Diikuti
dengan tanda ensefalitis yaitu gelisah, iritabel, screaming attack, perubahan dalam
perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang. Kadang-kadang gangguan neurologis fokal
beru[a afasia, hemiparesis, hemiplegic, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda
rangsang meningel dapat mencapai otak.
Diagnosis5
Diagnosis meningitis virus/aseptic dibuat dengan mengesampingkan penyebabpenyebab bacterial. Penyebab khusus meningitis virus biasanya hanya ditentukan
dengan isolasi penyebab atau membuktikan adanya kenaikan antibody khusus.
Table 2. Karakteristik Cairan Serebrospinal1
Karakteristik Cairan Serebraspinal (LCS)
Normal
Meningitis viral
Penampakan
Jernih
Jernih atau agak keruh
Sel (mm3)
0-4
20-1000
Tipe
Limfosit
Limfosit
Protein g/L
0,2-0,4

Glukosa mmol/L
3-6
3-6

Meningitis bakterial
Berkabut atau purulen
500-5000
Neutrofil

Diagnosa Banding5

Meningitis TBC

Abses Otak

Tumor otak

Ensefalopati

Penatalaksanaan Meningitis Viral5,6


Meningitis viral diterapi sesuai gejala. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh
lebih baik : penyembuhan total biasa terjadi.

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014

BAB III
KESIMPULAN
Meningitis adalah suatu reksi peradangan yang mengenai satu atau semua apisan
selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang
menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa.
Berbagai bakteri, virus, fungi, tuberkulosis, cryptococcuc, dan anaerobe dapat
menyebabkan meningitis. Etiologi berbeda dapat tergantung umur pasien.
Penatalaksanaan meningitis :

NAMA: ELFANDARI TARADIPA


NIM: 04011181419006
PENDIDIKAN DOKTER UMUM 2014

Anda mungkin juga menyukai