Anda di halaman 1dari 45

HIPERTENSI

(Spesialisasi Kasus Pasien Dewasa)

Makalah

Disusun Oleh:
Kelompok 6 kelas A
Dwi Fitria R

260112150505

Ana Meilani

260112150506

Octa Ria

260112150507

Angi Nurkhairina

260112150508

Juliana Prastika

260112150509

Fadila Syafrani

260112150510

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas
mata kuliah Farmakoterapi Terapan, Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran.

Kami juga berterimakasih pada bapak Prof. Dr. Ahmad Muhtadi, M.Si., Apt. yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini sangat berguna dalam menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai materi hipertensi. Kami menyadari
bahwa terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah
kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran membangun. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya.

Jatinangor, 4 Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3

BAB I Pendahuluan...........................................................................................................4
1.

Latar Belakang.......................................................................................................4

2.

Tujuan....................................................................................................................5

BAB II ISI.........................................................................................................................6
2.1.

Definisi Hiperlipidema dan Obesitas..................................................................6

2.2.

Manifestasi Klinik..............................................................................................6

2.3.

Patofisiologi.......................................................................................................8

2.4.

Diagnosis............................................................................................................9

2.5.

Hasil Terapi yang Diinginkan...........................................................................15

2.6.

Terapi Non Farmaologi.....................................................................................16

2.7.

Terapi Farmakologi..........................................................................................18

2.8.

Evaluasi Hasil Terapi........................................................................................32

2.9.

Kasus................................................................................................................36

BAB III............................................................................................................................47
3.1. Kesimpulan...........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................48

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Hipertensi adalah penyakit dengan prevalensi tinggi dan signifikan dalam


menyebabkan morbiditas dan mortalitas, dan biasanya pengobatannya juga mahal
(Marie, 2008). Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang
secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arterikoroner,
gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang
menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya
terkena stroke. Hipertensi merupakan suatu keadaan di mana tekanan darah
menjadi naik karena gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai
oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh
yang membutuhkannya. Penyebab tekanan darah meningkat adalah peningkatan
kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi (tahanan) dari pembuluh darah
dari tepi dan peningkatan volume aliran darah (Sustrani, 2004).
Hipertensi adalah penyakit yang mengalami peningkaan tekanan darah
arterial secara persisten. Hipertensi yang tdk diketahui penyebabnya disebut
hipertensi primer atau esensial : tidak bisa disembuhkan tetapi bisa di kontrol.
Tekanan darah adalah tekanan yang diukur di dinding arterial dengan satuan
mmHg. Terdiri dari 2 tipikal : BP sistolik dicapai selama kontraksi jantung dan
mewakili nilai puncak. BP diastolik BP dicapai setelah kontraksi ketika ruang
jantung terisi, and mewakili nilai nadi (Dipiro, 2008). Gejala-gejala akibat
hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan, dan sakitkepala, seringkali
terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan darah sudah mencapai
angka tertentu yang bermakna. Di Amerika, menurut National Health and
Nutrition Examination Survey (NHNESIII); paling sedikit 30% pasien hipertensi
tidak menyadari kondisi mereka, dan hanya 31% pasien yang diobati mencapai
target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90 mm Hg. Di Indonesia,
dengan tingkat kesadaran akan kesehatanyang lebih rendah, jumlah pasien yang
tidak menyadari bahwa dirinya menderita hipertensi dan yang tidak mematuhi
minum obat kemungkinan lebih besar. Healthy People 2010 for Hypertension

menganjurkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif guna


mencapai pengontrolan tekanan darah secara optimal (Depkes, 2006).
1.2

Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini antara lain:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Menjelaskan definisi dan klasifikasi dari hipertensi.


Menjelaskan patofisiologi dari hipertensi.
Menjelaskan manifestasi klinik dari hipertensi.
Menjelaskan diagnosis dari hipertensi.
Menjelaskan hasil terapi yang diinginkan dari terapi hipertensi.
Menjelaskan penanganan non-farmakologi dan farmakologi

dari

hipertensi.
7. Menjelaskan evaluasi hasil terapi hipertensi.
8. Menjelaskan penanganan terapi hipertensi pada contoh kasus.

BAB II
ISI
2.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah arteri terus menerus yang ditunjukan oleh

angka sistolik dan diastolik, tekanan darah diastolik nilai kurang dari 90 mm Hg
dan tekanan darah sistolik nilai 140 mm Hg atau lebih (Dipiro, 2008).
Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi
berbagai faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi
dibedakan menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis
kelamin, dan umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya
aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung
natrium dan lemak jenuh (Dipiro, 2008).

Hipertensi krisis > 180/120 mm Hg ) dapat dikategorikan sebagai


hipertensi darurat

Elevasi ekstrim dengan kerusakan target organ akut atau maju ) atau
hipertensi

Urgensi (elevasi BP tinggi tanpa cedera sasaran - organ akut atau maju )
(Dipiro, 2008).

2.2 Manifestasi Klinik


Berbagai manifestasi klinis hipertensi dapat diperoleh dari anamnesis
ataupun pemeriksaan fisik. Hal-hal penting yang berkaitan dengan hipertensi
harus diketahui, yaitu faktor-faktor risiko dan komplikasi hipertensi berupa
kelainan organ target. Faktor-faktor risiko terjadinya hipertensi adalah riwayat
(hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, dan dislipidemia) pada
pasien ataupun keluarganya, kebiasaan merokok, obesitas, pola makan (tinggi
lemak, garam, dan alkohol), kurang aktivitas fisik, dan kepribadian tertentu.
Komplikasi yang tidak terkontrol dari hipertensi adalah adanya kerusakan organ
target yaitu jantung, otak, mata, ginjal, dan pembuluh arteri perifer. Pasien dengan
hipertensi primer tidak rumit biasanya tanpa gejala awalnya. Pasien dengan
hipertensi sekunder mungkin memiliki gejala gangguan yang mendasarinya
(Dipiro, 2008).
Hipertensi primer (essensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial


(hipertensi primer). Hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya
hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas
menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun
temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor
genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut
data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik
dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium,
tetapi juga didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah
ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid
adrenal, dan angiotensinogen (Dipiro, 2008).
Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit
komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu,
baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan
atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah
merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Dipiro, 2008)
2.3 Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula pada sistem saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke

bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokonstriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin,
meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Bruner
dan Suddarth, 2001).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh
darah sebagai respons rangsang emosi. Kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi
epineprin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol
dan streroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriksi pembuluh
darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstrikstriktor kuat
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Bruner dan Suddarth, 2001).
Pertimbangan gerontologis. Perubahan struktur dan fungsional pada sistem
perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada usia
lanjut. Perubahan tersebut meliputi arterosklerosis, hilangnya elastisistas jaringan
ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah.
Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan parifer (Bruner
dan Suddarth, 2001).

2.4 Diagnosis
Hipertensi disebut "silent killer" karena sebagian besar pasien hipertensi
tidak memiliki gejala.Peningkatan tekanan darah mungkin hanya gejala hipertensi
primer pada pemeriksaan fisik. Diagnosis seharusnya berdasarkan dari rata-rata
dua atau lebih pengukuran yang terlihat dari dua atau lebih pemeriksaan klinis
(Dipiro et al, 2015).

Gambar : Klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa (Dipiro et al, 2015)
Diagnosis yang akurat merupakan langkah awal dalam penatalaksanaan
hipertensi. Akurasi cara pengukuran tekanan darah dan alat ukur yang digunakan,
serta ketepatan waktu pengukuran. Pengukuran tekanan darah dianjurkan
dilakukan pada posisi duduk setelah beristirahat 5 menit dan 30 menit bebas rokok
dan kafein (Prodjosudjadi, 2000).
Pengukuran tekanan darah posisi berdiri atau berbaring dapat dilakukan
pada keadaan tertentu. Sebaiknya alat ukur yang dipilih adalah sfigmamonometer
air raksa dengan ukuran cuff yang sesuai. Balon di pompa sampai 20-30 mmHg di
atas tekanan sistolik yaitu saat pulsasi nadi tidak teraba lagi, kemudian dibuka
secara perlahan-lahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari auscultatory gap,
yaitu hilangnya bunyi setelah bunyi pertama terdengar yang disebabkan oleh
kekakuan arteri (Prodjosudjadi, 2000).
Pengukuran ulang hampir selalu diperlukan untuk menilai apakah
peninggian tekanan darah menetap sehingga memerlukan intervensi segera atau
kembali ke normal sehingga hanya memelukan kontrol yang periodik. Selain itu
diperlukan pemeriksaan penunjang untuk menilai faktor resiko kardiovaskuler lain
seperti hiperglikemi atau hiperlipidemi yang dapat dimodifikasi dan menemukan
kerusakan organ target akibat tingginya tekanan darah seperti hipertrofi ventrikel

kiri atau retinopati hipertensi pada funduskopi. Tentu saja sebelum melakukan
pemeriksaan fisik diperlukan anamnesis yang baik untuk menilai riwayat
hipertensi dalam keluarga, riwayat penggunaan obat antihipertensi atau obat
lain,gejala yang berhubungan dengan gangguan organ target, kebiasaan dan gaya
hidup serta faktor psikososial (Prodjosudjadi, 2000).
Dalam Soebel & Bakris (1998) dikatakan untuk mendiagnosa pasien
hipertensi dapat dilakukan dengan langkah- langkah:
1.1.

Untuk mendeteksi penyebab sekunder:


Menanyakan apakah usia pasien < 35 tahun atau > 55 tahun, karena usia

ini mendukung hipertensi sekunder, menanyakan riwayat keluarga dan


riwayat pengobatan sebelumnya; tidak adanya riwayat keluarga dapat
mendukung hipertensi sekunder, neoplasma endokrin multiple (MEN),
sindroma von Hippel-Lindau, dan neurofibromatosis dihubungkan dengan
feokromositoma. Adanya trauma pinggang atau nyeri pinggang dapat
menunjukkan iskemia renalis. Hipertensi sistolik dapat disebabkan oleh:
anemia berat, hipertiroidisme, penyakit tulang paget, insufisiensi aorta.
Menanyakan riwayat pengobatan termasuk obat- obat bebas (counter
medications), seperti: dekongestan (contoh, semprot nasal dan obat flu), obat
antiasma (contoh, Primatene Mist), preparat penurun berat badan, obat anti
inflamasi nonsteroid, jamu- jamuan seperti teh untuk penurun berat badan dan
ramuan dedaunan lainnya.
Menanyakan latar belakang pribadi dan sosial, menanyakan apakah
pasien mengonsumsi alkohol, khususnya lebih dari 1- 2 takaran per hari
karena konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan arteri. Menanyakan
apakah pasien merokok, khususnya bila dikombinasikan dengan kafein dan
atau alkohol, merokok dapat memperburuk hipertensi. Menanyakan apakah
pasien ada menggunakan nikotin dalam tembakau yang dapat memperburuk
feokromositoma. Sebagian besar pasien usia lanjut dengan hipertensi
renovaskular memiliki riwayat merokok. Menanyakan apakah pasien ada
mengonsumsi obat- obatan terlarang seperti amfetamin dan kokain, karena
obat ini merupakan penyebab hipertensi yang penting. Menanyakan apakah

10

pasien ada mengonsumsi makanan, tembakau dan beberapa jenis minuman


yang diberi aroma licorice.
Menanyakan beberapa hal untuk melakukan tinjauan sistem, seperti:
apakah pasien ada poliuria, polidipsia, atau nokturia yang dapat mengesankan
kelainan renal atau endokrin, terutama pada anak. Menanyakan apakah ada
pasien mengalami kenaikan berat badan, ekimosis, edema, jerawat baru,
perubahan libido, dan perilaku, atau perubahan pola menstruasi yang
menunjuk pada sindroma cushing. Menanyakan apakah ada oligomenore dan
hirsutisme yang dapat menyertai sindroma cushing, tiroid, atau sindroma
androgenital. Menanyakan apakah ada sakit kepala, diaporesis, palpitasi,
hipotensi postural, kemerahan dan intoleransi panas yang dapat mengesankan
feokromositoma.
1.2.

Untuk menilai status end-organ (kerusakan organ target)


Menanyakan apakah belakangan ini ada mengalami angina atau infark

miokard (penurunan tekanan darah bermakna yang dapat membahayakan),


menanyakan apakah ada serangan iskemi serebrovaskular sementara
(Transient Iskemic Attack), menanyakan apakah ada gagal jantung kongestif
dan klaudikasio.
1.3.

Untuk menilai faktor- faktor resiko


Menanyakan penggunaan tembakau, riwayat diabetes melitus di

keluarga, dan menanyakan latar belakang keluarga berupa kematian yang


berhubungan dengan komplikasi vaskular.
A.

Pemeriksaan Fisik
1. Untuk mendeteksi penyebab sekunder:
Memperhatikan keadaan umum, apakah ada sindroma cushing dengan
tanda- tanda: moon faces, fletora, ekimosis, obesitas pinggang, garis ungu,
supraclaviculer fullness (sangat umum) dan hirsutisme. Melihat apakah ada
koarktasio aorta dengan tanda-tanda: pertumbuhan lengan yang tidak
seimbang atau penurunan perkembangan ekstremitas bawah, sangat tidak

11

umum tetapi lebih spesifik daripada ketidakseimbangan tekanan darah.


Melihat apakah ada marfanoid habitus pada neoplasma endokrin multiple tipe
III (2b). Melihat apakah ada hirsutisme dengan atau tanpa virilisme pada
kelamin atau infantilisme genital mungkin menjadi sebuah petunjuk untuk
sindroma androgenital. Melihat apakah ada kepucatan dari ekstremitas
(feokromositoma).
Mengukur tekanan darah yang diambil dari kedua ekstremitas atas,
berbaring dan berdiri, dan di tungkai jika berusia < 35 tahun. Pada hipertensi
essensial, diastolik meningkat saat berdiri; penurunan menunjukkan
hipertensi sekunder. Tekanan darah yang tidak seimbang pada lengan atau
tekanan pada tungkai, tekanan pada lengan pada umumnya lebih berhubungan
dengan

aterosklerosis

daripada

koarktasio.

Menilai

fundi:

adanya

hemangioma retinal pada sindroma von Hippel-Lindau. Menilai karotid:


bising di sini menunjukkan bahwa stenosis arteri renalis yang aterosklerotik
mungkin terjadi. Menilai adanya bising ekstrakardiak, pada dada mungkin
menunjukkan koarktasio, pada abdomen mungkin menunjukkan stenosis
arteri renalis, terdengar paling baik di lateral sampai garis tengah di atas
umbilikus atau pada panggul. Bila sistolik saja tidak spesifik, komponen
diastolik lebih spesifik dan bising terjadi pada 40% pasien dengan stenosis
arteri renalis yang aterosklerotik.
Melakukan pemeriksaan palpasi abdomen, melihat apakah ada penyakit
ginjal polikistik, kista renal dari sindroma von Hippel-lindau. Jarang terjadi
palpasi kuat dapat menimbulkan paroksisme feokromositoma.
Melihat apakah ada bintik cafeau lait, biasanya terlokalisir, daerah
hiperpigmentasi tegas dengan diameter 0,5- 12 cm. Lebih dari 5 bintik dengan
diameter lebih dari 0,5 cm menunjukkan kemungkinan neurofibromatosis
yang dihubungkan baik dengan feokromositoma maupun dengan dysplasia
fibromuskular arteri renalis.
2. Untuk menilai end organ (kerusakan organ target)
Memeriksa fundi, kardiak, neurologik, pulsasi dan pemeriksaan untuk
aneurisma serta edema, ronkhi pada paru, tekanan vena jugularis.

12

3. Pemeriksaan yang relevan dengan hipertensi sistolik


Memeriksa tiroid, apakah ada tremor, pucat, dan insufisiensi aorta.
B.

Evaluasi Laboratorium
Evaluasi laboratorium dilakukan untuk menilai panel kimiawi serta
menilai abnormalitas elektrolit. Menilai apakah hiperkalsemia, yang biasanya
ada pada hiperparatiroidisme, neoplasia endokrin multiple, feokromositoma,
hiperglikemia, sindroma cushing feokromositoma, akromegali, dan bersamasama dengan diabetes melitus primer.
Menilai

abnormalitas

elektrolit,

seperti

pemeriksaan

urinanalisis,

elektrokardiogram, radiografi dada, pemeriksaan hematokrit. Evaluasi minimum


absolut harus mencakup pemeriksaan carik celup urine, pemeriksaan hematokrit,
pemeriksaan kalium, kreatinin dan pemeriksaan elektrokardiogram.
C.

Uji Laboratorium Tambahan


Pemeriksaan ekokardiogram tidak diperlukan secara rutin tapi mungkin
berguna dalam mengambil keputusan untuk memberikan terapi. Melakukan
pemantauan tekanan darah di rumah yang dikerjakan sendiri oleh pasien yang
terutama berguna pada pasien dengan riwayat keluarga negatif dan hipertensi
labil serta mereka dengan intoleransi pengobatan yang jelas. Pemantauan rawat
jalan ini berguna pada kasus tertentu (contoh, sinkop nokturnal tanpa
pemantauan abnormalitas Holter.
Melakukan pemeriksaan ultrasonogarfi renal pada semua anak hipertensi,
yang mana mereka dengan gejala obstruksi (termasuk frekuensi urinaria atau
poliuria, dan mereka dengan kreatinin serum meningkat.
Melakukan pemeriksaan hipertensi sekunder: pemicu evaluasi lanjutan.
Awitan pada usia < 25 tahun atau > 50 tahun menyarankan pemeriksaan untuk
hipertensi sekunder, khususnya apabila ada bruit abdomen.
Ada berbagai jenis pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan untuk
mendukung diagnosis hipertensi. Pemeriksaan foto dada dan rekam jantung
(EKG) dilakukan untuk mengetahui lamanya menderita hipertensi dan

13

komplikasinya terhadap jantung (sehingga dapat menilai adanya kelainan


jantung juga). Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) dilakukan untuk menilai
apakah ada kelainan ginjal, anuerisma (pelebaran arteri) pada bagian perut,
tumor di kelenjar adrenal. Magnetic Resonance Angiography (MRA) dilakukan
untuk melihat kelancaran aliran darah (Purtie, 2012).
Seringkali, satu-satunya tanda hipertensi primer pada pemeriksaan fisik
adalah BP tinggi. Diagnosis hipertensi harus didasarkan pada rata-rata dua atau
lebih pembacaan yang diambil setiap dua atau lebih penemuan klinis. Selama
perkembangan hipertensi, tanda-tanda kerusakan organ mulai muncul, terutama
terkait dengan perubahan patologis di mata, otak, jantung, ginjal, dan pembuluh
darah perifer. Pemeriksaan funduskopi dapat mengungkapkan penyempitan
arteriolar reveal, focal penyempitan arteriolar focal, arteriovenous nicking, dan
perdarahan retina, eksudat, dan infark. Kehadiran papilledema menunjukkan
hipertensi darurat yang memerlukan penanganan yang cepat.
Pemeriksaan kardiopulmonari dapat mengungkapkan detak jantung yang
abnormal atau ritme, hipertrofi ventrikel kiri (LV), dorongan prekordial, suara
jantung yang ketiga dan keempat, dan rales. Pemeriksaan vaskular perifer dapat
mendeteksi bukti aterosklerosis, yang dapat dilihat selama aorta atau abdominal
atau berbunyi, vena menggelembung, berkurang atau denyut nadi perifer tidak
ada, atau edema menurun luar biasa.
Pasien dengan stenosis arteri ginjal memiliki bruit abdominal sistolik
diastolik. Pasien dengan sindrom Cushing mungkin memiliki ciri-ciri fisik moon
face, buffalo hump, hirsutisme, dan abdominal striae. Hipokalemia menyarankan
hipertensi mineralokortikoid-induced. Terdapat protein, sel darah, di dalam urin
mungkin mengindikasikan penyakit renovaskular.
Uji laboratorium yang harus diperoleh pada semua pasien sebelum
memulai terapi obat termasuk urinalisis, jumlah sel darah lengkap, serum kimia
(natrium, kalium , kreatinin, glukosa puasa, lipid puasa, dan elektrokardiogram
12-lead ( EKG ). Tes ini digunakan untuk menilai faktor risiko lain dan untuk
mengembangkan data dasar untuk memantau perubahan metabolik obat-induced.

14

Tes laboratorium yang lebih spesifik digunakan untuk mendiagnosa


hipertensi sekunder. Ini termasuk plasma norepinefrin dan tingkat urin
metanephrine untuk heochromocytoma, plasma dan level urin aldosteron untuk
aktivitas primer renin aldosteron, dan aktivitas renin plasma, tes stimulasi
captopril, vena renin ginjal, dan angiografi arteri ginjal untuk penyakit
renovaskular .
2.5

Hasil Terapi yang Diharapkan


Tujuan keseluruhan dari pengobatan hipertensi adalah untuk mengurangi

morbiditas dan mortalitas dengan mengurangi penyebab hipertensi secara tepat.


Nilai BP <140/90 untuk sebagian besar pasien, tetapi <130/80 untuk pasien
dengan diabetes melitus, penyakit ginjal kronis yang signifikan, penyakit arteri
koroner yang dikenal (infark miokard (MI), angina), penyakit pembuluh darah
aterosklerosis bukan koroner (stroke iskemia, serangan iskemia sementara,
penyakit arteri perifer (PAD), aneurisma aorta abdominal), atau 10% atau lebih 10
tahun risiko Framingham penyakit jantung koroner fatal atau nonfatal MI. Pasien
dengan disfungsi LV memiliki nilai BP <120/80 mm Hg. SBP adalah prediktor
yang lebih baik untuk risiko CV daripada DBP dan harus digunakan sebagai
penanda klinis utama pengendalian penyakit hipertensi.

2.6 Terapi Non Farmakologi


Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk
mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam
penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi
harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat
menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan
rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada
pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat
mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasien-pasien
dengan tekanan darah prehipertensi.

15

Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan


tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau
gemuk; mengadopsi

pola makan DASH (Dietary Approach to Stop

Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium;
aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja.

Pada sejumlah

pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu
obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan
pasien dari menggunakan obat. Program diet yang mudah diterima adalah
yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada
pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan
alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril
(Muchid, 2006).
Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien
mengerti rasionalitas intervensi diet :
a. Hipertensi 2 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding
orang dengan berat badan ideal
b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk
(overweight)
c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat
menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk
d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang
juga prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang
dapat berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke
penyakit kardiovaskular.
e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat
menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi.
f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,
kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan
pembatasan natrium.

JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya
dengan buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total

16

lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4
g (100 mEq)/hari. Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah
raga aerobik secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per
minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah
raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan
sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi
walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi
dengan dokter untuk mengetahui jenis olahraga mana yang terbaik
terutama untuk pasien dengan kerusakan organ target.

Merokok

merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular.


Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan
resiko lain yang dapat diakibatkan oleh merokok (Muchid A., 2006).

1.7 Terapi Farmakologi


Pemilihan obat awal tergantung dari derajat keparahan penyakit yang
dihubungkan dengan indikasi kuat untuk obat yang dipillih
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI), Angiotensin II
Receptor Blockers (ARBs), Calcium Channel Blockers (CCBs), dan
Diuretic Tiazid merupakan pilihan lini pertama untuk penyakit ini.

17

2. - Blocker digunakan untuk mengobati indikasi lain atau sebagai terapi


kombinasi dengan obat antihipertensi lini pertama untuk pasien tanpa
indikasi parah (Tabel 10-2)
Pada umumnya pasien dengan hipertensi stage 1 di beri pengobatan
awal menggunakan obat-obat antihipertensi lini pertama atau
menggunakan terapi kombinasi ( Gambar 10-1). direkomendasikan
untuk pasien hipertensi stgae 2, sebaiknya menggunakan obat first-line
ke dua,

18

19

Sumber : Dipiro, 2008.


1. Diuretik
Diuretik menurunkan BP dengan menyebabkan diuresis. Penurunan
volume plasma dan stroke volume berhubungan dengan diuresis
menurunkan cardiac output dan BP. Awal penurunan curah jantung
menyebabkan peningkatan penggantian dalam resistensi pembuluh darah
perifer. Dengan terapi kronis, volume cairan ekstraseluler dan volume
plasma kembali ke tingkat pretreatment, dan resistensi pembuluh darah
perifer turun di bawah dasar. Mengurangi resistensi pembuluh darah
-

perifer bertanggung jawab atas efek hipotensi jangka panjang.


Diuretik Thiazide adalah obat golongan diuretik yang disukai untuk
sebagian besar pasien hipertensi., dengan cara memobilisasi natrium dan
air dari dinding arteri, yang dapat berkontribusi untuk penurunan resistensi

pembuluh darah perifer dan menurunkan BP.


Diuretik Loop lebih poten untuk menginduksi diuresis tetapi tidak cocok
antihipertensi yang ideal kecuali bantuan dari edema juga diperlukan.
Loop lebih sering dipilih daripada tiazid pada pasien dengan CKD saat

GFR kurang dari 30 mL / min / 1.73 m


Diuretik Hemat Kalium meruapakan antihipertensi lemah bila digunakan
sendiri dan memberikan minimal efek tambahanf bila dikombinasikan
dengan diuretik thiazide atau diuretik Loop. Biasanya di kombinasi dengan
diuretik lain untuk mencegah pengeluran kalium.

20

Antagonis Aldosteron (Spironolakton Dan Eplerenone) juga diuretik


hemat kalium

tetapi obat inii lebih poten dengan aksi onset lambat

(sampai 6 minggu dengan spironolactone).


Ketika diuretik yang dikombinasikan dengan obat antihipertensi lainnya,
efek hipotensi biasanya diamati karena mekanisme independen action.
Selanjutnya, banyak obat antihipertensi nondiuretic menginduksi natrium

dan waterretention, yang menghalangi penggunaan diuretik bersamaan.


Efek samping dari tiazid termasuk hipokalemia, hipomagnesemia,
hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperglikemia, dislipidemia, dan disfungsi
seksual. diuretik loop kurang berpengaruh pada serum lipid dan glukosa,

tapi hipokalemia dan hipokalsemia dapat terjadi.


Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat mengakibatkan aritmia jantung,
terutama pasien rawat inap menerima digoxin, pasien dengan hipertrofi
LV, dan orang-orang dengan penyakit iskemik. Terapi dosis rendah
(misalnya, 25 mg hydrochlorothiazide atau 12,5 mg chlorthalidone sehari)

menyebabkan gangguan elektrolit.


diuretik hemat kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, terutama pada
pasien dengan CKD atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan
obat bersamaan dengan ACEinhibitor, ARB, direct renin inhibitor, atau
suplemen kalium. Eplerenon telah menurunkan risiko hiperkalemia dan
kontraindikasi pada pasien dengan fungsi impairerenal atau diabetes tipe 2
dengan proteinuria. Spironolactone dapat menyebabkan ginekomastia
hingga 10% dari pasien; efek ini jarang terjadi dengan eplerenone.

2. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)


Merupakan pilihan lini pertama atau dapat digunakan sebagai obat kedua
pada sebagian besar pasien. Mekanisme kerjanya menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II, merupakan vasokonstriksi yang
poten dan menstimulasi sekresi aldosteron. ACE inhibitor juga memblok
degradasi bradikinin dan merangsang sintesis zat vasodilatasi lain
termasuk prostaglandin E2 dan prostaksiklin. Pemberian dosis diawali
dengan dosis rendah (setengah dari dosis normal) diikuti dengan
pemberian dosis lambat. Hipotensi akut dapat terjadi pada awal terapi,

21

terutama pada pasien dengan dengan sodium yang kurang akibat


eksaserbasi, bersamaan dengan vasodilator atau diuretik.
ACEI inhibitor menurunkan aldosteron dan meningkatkan konsentrasi
serum potasium.Hiperkalemia terjadi pada pasien dengan CKD atau yang
menggunakan suplemen kalium, diuretik hemat kalium, ARB atau direct
renin inhibitor. Gagal ginjal akut adalah efek samping yang jarang, namun
dapat meningkatkan faktor resiko pada pasien dengan penyakit ginjal.
GFR menurun pada pasien yang menggunakan ACE inhibitor karena
penghambatan angiotensin II terjadi vasokonstriksi pada arteriol eferen.
konsentrasi serum kreatinin sering meningkat, namun kenaikannya
sedrehana (misalnya, meningkat <1 mg / dL [88 umol / L]) tidak menjamin
perubahan pengobatan. Menghentikan terapi atau mengurangi dosis jika
kenaikan lebih besar terjadi. Batuk kering persisten terjadi hingga 20%
dari pasien dan dianggap karena penghambatan bradikinin. ACE inhibitor
(serta ARB dan direct renin inhibitor) kontraindikasi terhadap kehamilan.
3. Angiotensin II Reseptor Blockers
Angiotensin II dihasilkan melalui jalur renin-angiotensin ( melibatkan
ACE). Inhibitor ACE memblokir hanya pada jalur renin-angiotensin,
sedangkan ARB antagonis angiotensin II dihasilkan melalui jalur yang
sama. ARB langsung memblokir reseptor angiotensin II tipe 1 yang
memediasi efek angiotensin II. Tidak seperti ACEI, ARB tidak memblok
bradikinan sehingga efek samping batuk kering dikurangi. ARB memiliki
efek samping rendah diantaranya menyebabkan ginjal insufisiensi,
hiperkalemia, dan hipotensi ortostatik. ARB n kontraindikasi pada
kehamilan.
4. Beta-Blocker
- beta-blocker merupakan obat lini pertama yang sesuai untuk menangni
terapi hipertensi (EKG, pasca-MI [infark miokard], penyakit arteri
koroner).

Mekanisme hiotensi mungkin melibatkan penurunan curah

jantung melalui kronotropik negatif dan efek ionotropik di hati dan


menghambat pelepasan renin dari ginjal.

22

Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif


pada dosis rendah dan mengikat reseptor 1 lebih kuat daripada 2
reseptor. Akibatnya, menyebabkan bronkospasme dan vasokonstriksi dan
lebih aman daripada -blocker nonselektif pada pasien asma, penyakit

paru obstruktif kronik (PPOK), diabetes, dan penyakit arteri perifer (PAD).
Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas
simpatomimetik intrinsik (ISA) atau aktivitas agonis -reseptor parsial.
Ketika nada simpatik rendah, seperti di beristirahat negara, -reseptor
yang sebagian dirangsang, sehingga denyut jantung, cardiac output, dan
aliran darah perifer tidak berkurang ketika reseptor diblokir. Secara
teoritis, ini obat mungkin memiliki keunggulan pada pasien dengan HF
atau sinus bradikardia. Namun, tidak mengurangi kejadian CV serta
lainnya -blocker dan dapat meningkatkan risiko setelah MI atau di orangorang dengan risiko penyakit koroner tinggi. Dengan demikian, obat

dengan ISA jarang diperlukan.


Atenolol dan nadolol memiliki t1/2 yang panjang dan diekskresikan
melalui ginjal; dosis mungkin perlu dikurangi pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Meskipun t1/2 -bloker lebih pendek, pemberian sehari

sekali masih efektif.


Efek samping miokard termasuk bradikardi, kelainan konduksi AV, dan
HF akut. Mekanismenya memblokir reseptor di otot polos arteriol dapat
menyebabkan ekstremitas dingin dan memperburuk PAD atau Raynaud

fenomena karena terjadinya penurunan aliran darah perifer.


Penghentian mendadak terapi -blocker dapat menghasilkan angina tidak
stabil, MI, atau bahkan kematian pada pasien dengan penyakit koroner.
Pada pasien tanpa penyakit jantung, tiba-tiba penghentian -blocker
mungkin berhubungan dengan takikardia, berkeringat, dan malaise umum
di samping peningkatan BP. Untuk alasan ini, dosis harus selalu dinaikkan
secara bertahap selama 1 sampai 2 minggu sebelum penghentian.

5. Calsium Channel Blocker


calcium channel blockers (CCBs) menyebabkan relaksasi jantung dan otot
halus denganmemblokir saluran kalsium tegangan-sensitif, sehingga

23

mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke dalam sel. Hal ini


menyebabkan vasodilatasi dan penurunan yang sesuai di BP. Antagonis
calcium channel Dihydropyridine dapat menyebabkan aktivasi refleks
simpatis (kecuali amlodipine dan felodipine) memilikiefek

inotropik

negatif. Contoh obat golongan ini yaitu:


Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat atrioventrikular

(AV) konduksi nodal, dan menghasilkan efek inotropik negatif.


Diltiazem menurunkan konduksi AV dan detak jantung

tingkat lebih rendah dari verapamil.


Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan kelainan konduksi jantung

ke

seperti bradikardia, AV blok, dan HF. Keduanya dapat menyebabkan


anoreksia, mual, edema perifer, danhipotensi. Verapamil menyebabkan
-

sembelit pada ~ 7% pasien.


Dihydropyridines menyebabkan peningkatan refleks baroreseptor denyut
jantung karena efek vasodilatasi perifer kuat. Dihydropyridines tidak
menurunkan

nodus

AV

konduksi dan tidak efektif untuk mengobati takiaritmia supraventrikuler.


Nifedipine short-acting mungkin jarang meningkatkan frekuensi,
intensitas, dan durasi angina yang berhubungan dengan hipotensi akut.
Efek ini dapat dihindarkan dengan menggunakan formulasi lepas lambat
dari nifedipine atau dihydropyridines lainnya. Sisi lain Efek dari
dihydropyridines adalah pusing, flushing, sakit kepala, hiperplasia gingiva,
dan edema perifer.

6. Penghambat Reseptor 1
Mekanisme kerjanya dengan cara menghambat ketokolamin pada sel otot
-

polos vaskuler perifer sehingga menyebabkan vasodilatasi.


Prazosin, terazosin, dan doxazosin merupakan reseptor -bloker selektif
yang menghambat serapan katekolamin dalam sel otot polos pembuluh

darah perifer, yang mengakibatkan vasodilatasi.


Dosis pertama ditandai dengan hipotensi ortostatik disertai dengan
pusing atau pingsan, jantung berdebar, dan bahkan sinkop dapat terjadi
dalam 1 sampai 3 jam dari dosis pertama atau setelah peningkatan dosis.
Pasien harus mengambil dosis pertama (dan berikutnya dengan

24

peningkatan dosis) pada waktu tidur. Kadang-kadang, ortostatik pusing


-

berlanjut dengan administrasi kronis.


Retensi natrium dan air dapat terjadi; agen ini yang paling efektif bila
diberikan dengan diuretik untuk mempertahankan khasiat antihipertensi

dan meminimalkan edema.


Karena doxazosin (dan mungkin lainnya reseptor blocker) disediakan
sebagai obat alternatif seperti pria dengan benign prostatic hyperplasia.
Jika digunakan untuk menurunkan BP dalam situasi ini, mereka hanya
harus digunakan dalam kombinasi dengan lini pertama antihipertensi.

7. 2-Agonis sentral
- Clonidine, guanabenz, guanfacine, dan metildopa menurunkan tekanan
darah terutama dengan merangsang reseptor adrenergik di otak, yang
mengurangi aliran simpatis dari pusat vasomotor dan peningkatan irama
vagal. Stimulasi presinaptik a2 reseptor perifer dapat mengurangii irama
simpatik. Akibatnya, mungkin ada penurunan denyut jantung, curah
jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin plasma, dan refleks
baroreseptor. Efek samping lain termasuk depresi, hipotensi ortostatik,
pusing,

dan

efek

antikolinergik.

menyebabkan hipertensi kembali,


-

Penghentian

mendadak

dapat

peningkatan pelepasan norepinefrin

yang mengikuti penghentian presinaptik rangsangan a-reseptor.


Metildopa jarang menyebabkan hepatitis atau anemia hemolitik. Terapi
dihentikan jika terus-menerus terjadi peningkatan tes fungsi hati terjadi,
karena ini mungkin pemberita timbulnya fulminan, mengancam jiwa
hepatitis. anemia hemolitik Coombs positif jarang terjadi, dan 20% pasien
menunjukkan tes Coombs langsung positif tanpa anemia. Untuk alasanalasan ini, metildopa telah membatasi kegunaannya kecuali dalam
kehamilan.

8. Reserpin
- Reserpin menguruangi norepinefrin dari ujung saraf simpatis dan
memblok transportasi norepinefrin ke dalam bentuk granul. Ketika saraf

25

dirangsang, kurang dari jumlah yang biasa norepinefrin dilepaskan ke


sinaps. Hal ini akan mengurangi nada simpatik, penurunan resistensi
-

pembuluh darah perifer dan BP.


Reserpin memiliki waktu paruh yang panjang yang memungkinkan untuk
dosis sekali sehari, tapi mungkin diperlukan waktu 2 sampai 6 minggu

sebelum efek antihipertensi maksimal terlihat.


Reserpin dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan secara signifikan,

harus diberikan dengan diuretik (sebaiknya thiazide).


Penghambatan kuat reserpin dari hasil aktivitas simpatis sebagai aktivitaas
parasimpatis, yang bertanggung jawab untuk efek samping dari hidung

tersumbat, peningkatan asam lambungsekresi, diare, dan bradikardia.


Dosis yang dapat menyebabkan depresi dapat diminimalkan dengan
penggunaannya tidak melebihi 0,25 mg sehari.

9. Vasodilators
- Hydralazine dan minoxidil menyebabkan arteriol langsung relaksasi otot
polos. Kompensator y aktivasi baroreceptor refleks menyebabkan
peningkatan aliran simpatis dari pusat vasomotor, peningkatan denyut
jantung, curah jantung, dan renin rilis. Akibatnya, efektivitas hipotensi
vasodilator langsung berkurang dari waktu ke waktu kecuali pasien juga
-

mengambil inhibitor simpatik dan diuretik.


Pasien yang menggunakan obat ini untuk terapi hipertensi jangka panjang
harus menggunakan pertama menerima baik diuretik dan -blocker.
diuretik meminimalkan efek samping natrium dan tampungan air.
vasodilator langsung dapat memicu angina pada pasien dengan penyakit
arteri koroner kecuali mekanisme refleks baroreseptor benar-benar
diblokir dengan -blocker. CCBs Nondihydropyridine dapat digunakan
sebagai alternatif untuk beta-blocker pada pasien dengan kontraindikasi

untuk beta-blocker.
Hydralazine dapat menyebabkan, sindrom seperti lupus reversibel terkait
dosis, yang lebih umum di asetilator lambat. Reaksi seperti lupus biasanya
dapat dihindari dengan menggunakan total dosis harian kurang dari 200
mg.

26

Minoxidil adalah vasodilator lebih poten dari hydralazine, dan kenaikan


kompensasi denyut jantung, curah jantung, pelepasan renin, dan retensi
natrium yang lebih parah. Retensi natrium dan air dapat memicu HF
kongestif. minoxidil juga menyebabkan hipertrikosis reversibel pada
wajah, lengan, punggung, dan dada.

10. Renin Inhibitor


- Aliskiren bekerja dengan memblok Raas pada keadaan aktivasi, sehingga
mengurangi plasma aktivitas renin dan BP. pengurangan BP sebanding
dengan ACE inhibitor, ARB, atau CCB. Aliskiren digunakan untuk
monoterapi atau kombinasi dengan agen lainnya. Ini tidak boleh
digunakan dalam kombinasi dengan inhibitor ACE atau ARB karena risiko
yang lebih tinggi dari efek samping tanpa pengurangan tambahan dalam
-

peristiwa CV.
Banyak efek samping terlihat penggunaan aliskien dengan inhibitor ACE

dan ARB. Hal ini kontraindikasi pada kehamilan.


Penggunaan aliskiren hanya sebagai terapi alternatif karena kurangnya
studi jangka panjang mengevaluasi pengurangan acara CV dan biaya yang
signifikan dibandingkan dengan obat generik yang lain.
Golongan obat antihipertensi lain ( blocker, direct renin inhibitor, 2

agonis central, antagonis adrenergik perifer, dan vasodilator arteri langsung)


alternatif ini digunakan untuk pasien yang telah menggunakan obat hipertensi
lini pertama (Tabel 10-3) (Dipiro, 2008).

27

Pemilihan obat hipertensi - rekomendasi NICE dan British Hypertension


Society (2006).

28

Sumber : Russell dkk, Pathology and therapeutics For Pharmacist A Basis


for Clinical Pharmacy Practice Third Edition, hal,234 University of
London : Pharmaceutical Press.
Pertimbangan khusus
-

Kehamilan
Obat kerja sentral mempunyai profil SSP yang buruk. Namun, metildopa
digunakan pada kehamilan, karena data keamanannnya sedangkan beta
blocker digunakan pada

trimester ketiga. Labetolol intravena hanya

digunakan pada keadaan krisis hipertensi. Sediaan nifedipin lepas lambat


-

juga dapat digunakan tetapi tidak dilisensi.


Etnik
Diuretik tiazid dan CCB dihidropiridin lebih efektif daripada betablocker
untuk psien AfroKaribia. ACEi dan AIIRA meningkatkan resiko stroke
pada pasien golongan etnik tersebut sehingga tidak dianjurkan sebagai

terapi lini pertama.


Lanjut usia
Pedoman NICE yang baru mengemukakan bahwa diuretik tiazid atau CCB
dihidropiridin merupakan terapi lini pertama untuk pasien lanjut usia.
Namun, harus diperhatikan fungsi ginjal selama terapi dengan tiazid
karena pasien lanjut usia lebih beresiko mengalami gangguan ginjal.
Pasien yang lebih dari 80 tahun dapat diberi terapi seperti pasien usia > 55

tahun.
Diabetes
Pasien diabetes memerlukan kombinasi antihipertensi untuk dapat
mencapai target tekanan darah optimal. ACEi merupaka terapi awal
pilihan karena dapat mencegah progresi ikroalbumiuria ke nefropati.
Pasien dengan nefropati diabet harus mendapat ACEi atau AIIRA untuk
meminimalkan resiko kerusakan ginjal yang lebih lanjut, bahkan jika

tekanan darahnya normal.


Penyakit ginjal
ACEi dapat menurunkan atau menghilangkan filtrasi glomerular dan
menyebabkan kegagalan ginjal progresif berat. Oleh karena itu
dikoktraindikasikan pada pasien stenosis arteri ginjal bilateral. Namun,

29

ACEi tidak memberikan efek samping pada fungsi ginjal pada pasien
dengan stenosis arteri ginjal unilateral. CCB dihidropiridin dapat
ditambahkan jika diperlukan penurunan tekana darah lebih jauh,
-

sedangkan diuretik tiazid tidak efektif.


Hipertensi sistolik
Hipertensi sistolik saja (isolated systolic hypertension, ISH) didefinisikan
sebagai SBP lebih dari 160 mmHg dengan DBP kurang dari 90 mmHg.
Pasien dengan ISH mendapat terapi yang sama sepeti pasien dengan
peningkatan SBP dan DBP karena ISH juga beresiko komplikasi yang
sama. CCB dihidropiridin digunakan sebagai terapi untuk ISH pada pasien
lanjut usia, terutama jika diuretik tiazid dikontraindikasikan.

Hipertensi cepat (accelerated hypertension)

Accelerated hypertension atau hipertensi yang sangat berat, didefinisikan


sebagai DBP lebih dari 140 mmHg, memerlukan tindakan medis segera. Beta
blocker seperti atenolol atau labetolol atau CCB dihidropiridin diindikasikan
untuk kondisi ini. DBP harus diturunkan menjadi 100110 mmHg selama 24
jam pertama. Tekanan darah harus diturunkan lagi selama 23 hari berikutnya
menggunakan kombinasi diuretik, vasodilator dan ACEi, jika diperlukan. Jika
terapi intravena diperlukan maka yang dianjurkan adalah sodium nitroprusid
atau gliseril trinitrat.
1.8 Evaluasi Hasil Terapi dan Monitoring
Menentukan adanya masalah yang berkaitan dengan obat (DRP) (Depkes, 2006):
Adanya obat-obat tanpa indikasi
Adanya kondisi medis tetapi tidak ada obat yang diresepkan
Pilihan obat tidak cocok untuk kondisi medis tertentu. Pilihan obat
antihipertensi harus disesuaikan apakah hipertensi tanpa komplikasi atau
ada indikasi khusus
Dosis, bentuk sediaan, jadwal minum obat, rute pemberian atau metoda
pemberian kurang cocok. Diuretik 1x/hari harus diminum pagi hari. Obat

30

antihipertensi dan jadwal minum obat harus mempertimbangkan sirkadian


ritme. Obat yang dipilih haruslah mempunyai efikasi disaat
tekanan darah tinggi di pagi hari untuk mencegah kejadian kardiovaskular.
Duplikasi terapeutik dan polifarmasi. Pasien dengan hipertensi sering
berobat ke beberapa poli seperti poli ginjal dan poli kardio. Kedua poli
sering meresepkan obat yang sama dengan dosis yang sama atau berbeda
atau dengan nama paten yang berbeda, atau satu golongan, atau obat
antihipertensi dari golongan yang berbeda. Intervensi perlu dilakukan untuk
mencegah reaksi hipotensi.
Pasien alergi dengan obat yang diresepkan. Harus dilihat apakah pasien
dapat metoleransi reaksi efek samping atau obat harus diganti. Misalnya
batuk yang disebabkan oleh pemberian ACEI atau edema perifer dengan
antagonis kalsium golongan dihidropiridin
Adanya interaksi: obat-obat, obat-penyakit,

obat-nutrien,

obat-tes

laboratorium yang potensial dan aktual dan bermakna secara klinis.


Pasien kurang mengerti terapi obat
Pasien gagal mematuhi regimen obat
Evaluasi tekanan darah selama 2-4 minggu setelah memulai atau membuat
perubahan pada terapinya. Periksa tekanan darah 3-6 bulan, dan periksa secara
sering dan rutin pada pasien dengan riwayat ketidakpatuhan, kerusakan organ
progresif, atau muncul gejala dari efek obat yang tidak diinginkan. Melihat
riwayat sakit dada pasien, palipitasi, dispnea, pusing, ortopnea, sakit kepala,
penglihatan

terganggu,

hilang

keseimbangan

untuk

menilai

munculnya

komplikasi. Memonitor perubahan funduscopic pada pemeriksaan mata, hipertropi


LV pada ECG, proteinuria dan perubahan fungsi ginjal secara berkala. Memonitor
efek obat yang tidak diinginkan selama 2-4 minggu setelah memulai obat baru
atau meningkatkan dosisnya, lalu setiap 6-12 bulan apabila kondisi pasien
membaik. Untuk pasien yang menggunakan antagonis aldosteron, maka harus
mengukur konsentrasi kalium dan fungsi ginjal dalam 3 hari, kemudian 1 minggu
setelah inisiasi untuk mengetahui efek hiperkalemia potensial. Dan menilai
kepatuhan pasien dengan regimen obat secara teratur (Dipiro, 2015).

31

Untuk mengukur efektivitas terapi, hal-hal berikut harus di monitor (Depkes,


2006):
a.
b.
c.
d.

tekanan darah
kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
interaksi obat dan efek samping
kepatuhan (adherence)

a. Monitoring tekanan darah


Memonitor tekanan darah di klinik tetap merupakan standar untuk
pengobatan hipertensi. Respon terhadap tekanan darah harus di evaluasi 2
sampai 4 minggu setelah terapi dimulai atau setelah adanya perubahan terapi.
Pada kebanyakan pasien target tekanan darah < 140/90 mmHg, dan pada pasien
diabetes dan pasien dengan gagal ginjal kronik < 130/80 mmHg.
b. Monitoring kerusakan target organ: jantung, ginjal, mata, otak
Pasien hipertensi harus di monitor secara berkala untuk melihat tandatanda dan gejala adanya penyakit target organ yang berlanjut. Sejarah sakit
dada (atau tightness), palpitasi, pusing, dyspnea, orthopnea, sakit kepala,
penglihatan tiba-tiba berubah, lemah sebelah, bicara terbata-bata, dan hilang
keseimbangan harus diamati dengan seksama untuk menilai kemungkinan
komplikasi kardiovaskular dan serebrovaskular. Parameter klinis lainnya yang
harus di monitor untuk menilai penyakit target organ termasuk perubahan
funduskopik, regresi LVH pada elektrokardiogram atau ekokardiogram,
proteinuria, dan perubahan fungsi ginjal. Tes laboratorium harus diulangi setiap
6 sampai 12 bulan pada pasien yang stabil
c. Monitoring interaksi obat dan efek samping obat
Untuk melihat toksisitas dari terapi, efek samping dan interaksi obat
harus di nilai secara teratur. Efek samping bisanya muncul 2 sampai 4 minggu
setelah memulai obat baru atau setelah menaikkan dosis. Kejadian efek
samping mungkin memerlukan penurunan dosis atau substitusi dengan obat
antihipertensi yang lain. Monitoring yang intensif diperlukan bila terlihat ada
interaksi obat; misalnya apabila pasien mendapat diuretik tiazid atau loop dan
pasien juga mendapat digoksin; yakinkan pasien juga dapat supplemen kalium

32

atau ada obat-obat lain menahan kalium dan yakinkan kadar kalium diperiksa
secara berkala.
d. Monitoring kepatuhan/Medication Adherence dan konseling ke pasien
Diperlukan usaha yang cukup besar untuk meningkatkan kepatuhan
pasien terhadap terapi obat demi mencapai target tekanan darah yang
dinginkan. Paling sedikit 50 % pasien yang diresepkan obat antihipertensi tidak
meminumnya sesuai dengan yang di rekomendasikan.30 Satu studi
menyatakan kalau pasien yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali
lebih besar kemungkinan terkena stroke. Kurangnya adherence mungkin
disengaja atau tidak disengaja. Strategi yang paling efektif adalah dengan
kombinasi beberapa strategi seperti edukasi, modifikasi sikap, dan sistem yang
mendukung.
Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan hipertensi
(Depkes, 2006):

Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan


Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri
Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)
Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol
Pentingnya kontrol teratur
Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan menyembuhkannya
Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan
Efek samping obat dan penanganannya
Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan tekanan

darah
Pentingnya peran terapi nonfarmakologi
Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang mengandung
ginseng, nasal decongestan, dll)

1.9 Contoh Kasus DRP dan Solusinya


PEMBAHASAN KASUS

33

Ny. Siska 40 tahun, BB 60 kg, TB 155cm MRS sejak tadi malam karena dada
terasa nyeri, mual muntah, mengeluh pusing dan tidak bisa bangun, dypsnea,
leher terasa kaku,

muka merah. Setelah dilakukan pemeriksaan, dokter

mendiagnosa pasien mengalami hipertensi stage 2 dan sudah mengalami


komplikasi berupa gagal ginjal akut dan jantung koroner.
Riwayat penyakit : preeklamsi saat kehamilan pertama, Hipertensi sejak 3 tahun
yang lalu (tidak terkontrol ), DM tipe 2 sejak 4 tahun yang lalu.
Riwayat keluarga : ayah meninggal karena jantung koroner 10 tahun yang lalu,
ibu menderita DM tipe 2.
Gaya hidup : merokok dan minum alkohol saat muda dan berhenti setelah
menikah, suka makan makanan asin, sering stress karena pekerjaan dan mengurus
anak-anak.
Riwayat pengobatan : metildopa 750mg (2-4 dosis terbagi) saat preeklamsi,
thiazide 12,5mg 1dd1 + kaptopril 25mg 2dd1 untuk hipertensi (namun jarang
diminum karena px tidak tahan terhadap efek samping kedua obat tersebut),
metformin tab 500 mg.
Tanda klinis : BP 165/ 110 mmHg ; RR 24x/menit (n=20-24); Nadi 88x/menit
(n=70-85) ; pucat ; lemas, dypsnea, adanya edema di anyaman kapiler paru.
ECG : 2-5 mm ST segment elevation
Data Lab :
Data Lab
Na
K
Scr
BUN
GD2JPP
GDP
Troponin I
Troponin T
INR

Nilai pasien
150 mEq/L
5,0 mEq/L
Scr 2,0 mg/dL
27 mg/dL
250 mg/dL
160 mg/dl
4,2 ng/mL
3,2 g/L
1,0

Nilai Normal
135145 mEq/L
3.34.9 mEq/L
0.71.3 mg/dL
825 mg/dL
n<200 mg/dL
<126 mg/dL
<0,35 ng/mL
<0,20 g/L
<2,0

34

268x103/mm3
6%

Plt
CK-MB

150-450 x 103/mm3
<4-6%).

Penyelesaian:
1. Data Subjektif:
Ny. Siska 40 tahun, BB 60 kg, TB 155cm
Masuk Rumah Sakit sejak tadi malam karena dada terasa nyeri, mual
muntah, mengeluh pusing dan tidak bisa bangun, dypsnea, leher terasa

kaku, muka merah.


Dokter mendiagnosa pasien mengalami hipertensi stage 2 dan sudah

mengalami komplikasi berupa gagal ginjal akut dan jantung koroner.


Riwayat penyakit: preeklamsi saat kehamilan pertama, Hipertensi sejak

3 tahun yang lalu (tidak terkontrol), DM tipe 2 sejak 4 tahun yang lalu.
Riwayat keluarga: ayah meninggal karena jantung koroner 10 tahun

yang lalu, ibu menderita DM tipe 2.


Gaya hidup: merokok dan minum alkohol saat muda dan berhenti
setelah menikah,

suka makan makanan asin, sering stress karena

pekerjaan dan mengurus anak-anak.


Riwayat pengobatan: metildopa 750mg (2-4 dosis terbagi)
preeklamsi, thiazide 12,5mg

saat

1dd1 + kaptopril 25mg 2dd1 untuk

hipertensi (namun jarang diminum karena px tidak tahan terhadap efek


samping kedua obat tersebut), metformin tab 500 mg.
2. Data Objektif
Tanda klinis : BP 165/ 110 mmHg ; RR 24x/menit (n=20-24); Nadi
88x/menit (n=70-85) ; pucat ; lemas, dypsnea, adanya edema di anyaman
kapiler paru.
Data Lab:
Data Lab
Na
K
Scr
BUN
GD2JPP
GDP

Nilai pasien
150 mEq/L
5,0 mEq/L
Scr 2,0 mg/dL
27 mg/dL
250 mg/dL
160 mg/dl

Nilai Normal
135145 mEq/L
3.34.9 mEq/L
0.71.3 mg/dL
825 mg/dL
n<200 mg/dL
<126 mg/dL

35

Troponin I
Troponin T
INR
Plt
CK-MB

4,2 ng/mL
3,2 g/L
1,0
268x103/mm3
6%

<0,35 ng/mL
<0,20 g/L
<2,0
150-450 x 103/mm3
<4-6%).

Kaitan data lab dengan penyakit yang diderita pasien:


Troponin :
Troponin adalah kompleks tiga protein kontraktil yang mengatur interaksi
aktin dan myosin. Troponin I dan troponin T, memiliki subunit otot-spesifik
jantung. Troponin terdeteksi beberapa jam sampai 7 hari setelah timbulnya
gejala kerusakan miokard. Troponin I dianggap penanda lebih spesifik dari
kerusakan jantung dari troponin T. Cardiac troponin I mulai meningkat 2
sampai 6 jam setelah infark miokard (MI). Memiliki puncak biphasic:
Awalnya puncak pada 15 sampai 24 jam setelah MI dan kemudian
menunjukkan puncak lebih rendah setelah 60 sampai 80 jam. Troponin T
jantung meningkat 2 sampai 6 jam setelah MI dan tetap tinggi. Kedua
protein kembali ke kisaran referensi 7 hari setelah MI (Anne, 2006).
CK-MB
CK-MB merupakan isoenzim dari creatinin kinase (CK) yang berada di
jantung. Enzim ini berperan dalam penyimpanan energi intraseluler dan
pelepasan energi. Ketika terjadi cedera pada jaringan jantung, enzim ini
akan dilepaskan kedalam aliran darah. Pengukuran kadar serum CK-MB
dapat membantu menentukan luas, lokasi, dan waktu kerusakan jaringan.
CK-MB biasanya muncul pada 6-24 jam, dan hilang dalam 72 jam. CK-MB
berada dalam sitosol dan memfasilitasi pergerakan fosfat berenergi tinggi
ke dalam dan keluar dari mitokondria. Selanjutnya akan didistribusikan di
sejumlah jaringan bahkan di otot rangka. Karena memiliki durasi pendek,
CK-MB tidak dapat digunakan untuk diagnosis IMA (Infark Miokard Akut)
yang telat diagnosis, tetapi dapat digunakan untuk menunjukkan reinfark
kembali. CK-MB biasanya kembali normal dalam waktu 2-3 hari.
Peningkatan skor pada CK-MB mengindikasikan resiko angina pectoris

36

berat maupun iskemik reversibel. Kadarnya akan meningkat dalam waktu


4-8 jam setelah IMA dan nilai normal dari CK-mb ADALAH <16 IU
(Anne, 2006).
INR
Protrombin Time (PT) adalah tes koagulasi yang dilakukan untuk
mengukur

waktu

yang

dibutuhkan fibrin clot untuk terbentuk setelah jaringan tromboplastin


(faktor III). Protrombin adalah vitamin K-dependent protein yang
diproduksi di hati. Rumus International Normalized Ratio ( INR ) sebagai
berikut : INR = (patient PT result/normal patient average)(ISI) (Anne, 2006).
Serum Creatinine
kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatin. Sebagian besar
Creatine terdapat di otot rangka yang berperan dalam reaksi metabolisme.
Dalam proses ini, sejumlah kecil creatine ireversibel dikonversi menjadi
kreatinin, yang kemudian dialirkan ke ginjal dan diekskresikan. Jumlah
kreatinin yang dihasilkan sebanding dengan massa saat otot rangka dan
konstan, kecuali ada kerusakan otot akibat cedera atau penyakit otot
degeneratif. Nilai kreatinin menurun dengan bertambahnya usia karena
berkurangnya massa otot. Meskipun pengukuran kreatinin urin merupakan
indikator fungsi ginjal, uji bersihan kreatinin lebih tepat. Uji bersihan
kreatinin bertujuan mengukur sampel darah dan sampel urin untuk
menentukan tingkat ginjal dalam membersihkan kreatinin dari darah, secara
akurat mencerminkan laju filtrasi glomerulus (Anne, 2006)..
Blood Urea Nitrogen (BUN)
Urea adalah senyawa nitrogen nonprotein yang terbentuk di hati dari
amonia

sebagai

produk akhir metabolisme protein. Urea berdifusi bebas ke dalam cairan


ekstraseluler dan intraseluler dan akhirnya diekskresikan oleh ginjal.
Tingkat Blood Urea nitrogen (BUN) mencerminkan keseimbangan antara

37

produksi dan ekskresi urea. Nilai BUN dan kreatinin biasanya dievaluasi
bersama-sama. Nilai normal BUN/kreatinin adalah 15:1 untuk 24:1.
(misalnya, jika pasien memiliki BUN 15 mg / dL, kreatinin sekitar 0,6-1,0
mg / dL). Perhitungan BUN menggunakan rumus berikut untuk
memperkirakan osmolalitas serum [(2[Na+])+(glucose/18)+(BUN/2.8)]
(Anne, 2006).
3. Terapi
Terapi farmakologi pada pasien:
Managemen Terapi hipertensi yang disertai CKD dan DM:

Gambar 1 (DiPiro et al., 2015)


Jadi terapi hipertensi untuk pasien ini dilakukan penggantian
terapi karena pasien tidak meminum rutin obat sebelumnya yaitu
kombinasi thiazide dan captopril karena efek sampingnya. Maka
direkomendasikan penggantian terapi dengan CCB (Calcium Channel
Blocker) atau antagonis kalsium

merupakan obat antihipertensi yang

sangat efektif untuk menurunkan tekanan darah pada pasien gagal ginjal

38

yang dianggap resisten terhadap obat antihipertensi lain. Antogonis


Kalsium terutama dihidropiridin meningkatkan ekskresi natrium dan air,
sebagian dengan menurunkan reabsorbsi natrium pada tubulus proksimal.
Mekanisme itu menguntungkan terutama pada pasien gagal ginjal karena
antogonis kalsium meretensi air dan garam (mengurangi edema). Pada
penelitian the United States Renal Data system Dialysis Morbidity and
Mortality Study Wave II (USRDS DMMS II), yang melibatkan 4065
pasien gagal ginjal terminal yang menjalani dialisis, ternyata penggunaan
antogonis kalsium menurunkan mortalitas yang dibandingkan dengan obat
antihipertensi lain (penghambat ACE, penyekat beta). Risiko kematian
yang lebih rendah pada penggunaan antogonis kalsium pada pasien gagal
ginjal tersebut dihubungkan dengan peran antogonis kalsium yaitu
menurunkan tekanan darah, mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri
dan memperbaiki kalsium intrasel yang menguntungkan pasien gagal
ginjal terminal (Aziza,2007). Dan menurut litetur lain golongan obat yang
dapat diperbolehkan untuk pasien yang memiliki indikasi lain jadi untuk
rekomendasi obatnya sudah sesuai.

Maka, sudah sesuai diberikan terapi golongan CCB yaitu :

Nifedipin dengan dosis 30 mg satu kali sehari dititrasi dosis 7-14


hari dengan dosis max 90 mg/hari digunakan setelelah makan.
Efek samping : pusing, keram otot, konstipasi, sakit kepala, mual
dan muntah

39

Managemen Terapi untuk DM:


Metformin dihentikan karena nilai Scr pasien tinggi (>1,4)
dimana penggunaan metformin harus dihentikan pada pasien dengan
nilai Scr >1,4. Jadi untuk terapi diabetes diganti dengan Tolbutamide
dosis rendah 0,5-1,5 mg/hari dalam dosis terbagi. Tolbutamide dapat
digunakan untuk pasien DM dengan gangguan ginjal (BPOM RI,
2008). Tolbutamide diminum 30 menit sebelum makan. Efek samping:
Hipoglikemi, hiponatremi, mual, muntah
Manajemen PJK Stemi:
Clopidogrel 75 mg 1 kali sehari dengan atau tanpa makanan
tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien lanjut usia atau
dengan kelainan fungsi ginjal (BPOM RI, 2008).
Efek samping Clopidogrel antara lain gangguan pencernaan,
Sakit perut, konstipasi atau diare.
Interaksi obat:
-

Nifedipin dengan Clopidogrel: Nifedipin dapat menurunkan level


Clopidogrel karena pengaruh metabolisme enzim CYP3A4 sehingga
perlu monitoring secara intensif.

Terapi non farmakologi pada pasien:


Perubahan lifestyle termasuk penurunan berat badan, olahraga dan
dietary adjustment kemungkinan dapat mencegah dan mengontrol
hipertensi. Berikut adalah tabel rekomendasi terapi non farmakologi pada
px hipertensi (Califf et al., 2007).

40

41

Mengurangi asupan garam sehingga tidak melebihi 2-4 gram natrium atau
6 gram garam. Hal

ini dapat menurunkan tekanan darah sekitar 2-8

mmHg
Mengurangi stress karena pekerjaan dan mengurus anak-anak.
Batasi konsumsi alkohol dua gelas per hari untuk pria atau satu gelas per

hari untuk wanita


Diet : Menerapkan diet DASH; makan empat atau lima porsi buah-buahan,
empat atau lima porsi sayuran, dan enam untuk delapan porsi biji-bijian
setiap hari; meningkat asupan kalsium (1.250 mg per hari), magnesium
(500 mg setiap hari), dan kalium (4700 mg per hari); membatasi asupan
kolesterol hingga 150 mg setiap hari dan lemak jenuh 6 persen dari kalori

harian.
Melakukan aktivitas fisik 30 sampai 45 menit intensitas sedang aktivitas

yang paling hari dalam seminggu.


Berhenti merokok untuk meningkatkan kesehatan jantung.
Berat badan : Menurunkan berat badan, jika perlu, untuk menjaga

kesehatan (misalnya, indeks massa tubuh 19 sampai 25 kg/m2).


Edukasi ke Pasien
Beberapa topik penting untuk edukasi ke pasien tentang penanganan

hipertensi:
Pasien mengetahui target nilai tekanan darah yang dinginkan
Pasien mengetahui nilai tekanan darahnya sendiri
Sadar kalau tekanan darah tinggi sering tanpa gejala (asimptomatik)
Konsekuensi yang serius dari tekanan darah yang tidak terkontrol
Pentingnya kontrol teratur
Peranan obat dalam mengontrol tekanan darah, bukan menyembuhkannya
Pentingnya obat untuk mencegah outcome klinis yang tidak diinginkan
Efek samping obat dan penanganannya

42

Kombinasi terapi obat dan non-obat dalam mencapai pengontrolan tekanan

darah
Pentingnya peran terapi nonfarmakologi

Obat-obat bebas yang harus dihindari (seperti obat-obat yang mengandung


ginseng, nasal decongestan, dll).

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara
luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arterikoroner,
gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal.
Tujuan keseluruhan dari pengobatan hipertensi adalah untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas dengan mengurangi penyebab hipertensi secara tepat.

43

Nilai BP <140/90 untuk sebagian besar pasien, dan <130/80 untuk pasien dengan
diabetes melitus, penyakit ginjal kronis yang signifikan, penyakit arteri koroner
yang dikenal (infark miokard (MI), angina), penyakit pembuluh darah
aterosklerosis bukan koroner (stroke iskemia, serangan iskemia sementara,
penyakit arteri perifer (PAD), aneurisma aorta abdominal).
Pilihan Terapi Farmakologi untuk hipertensi antara lain:
1. Diuretik
2. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
3. Angiotensin II Reseptor Blockers
4. Beta-Blocker
5. Calsium Channel Blocker
6. Penghambat Reseptor 1
7. 2-Agonis sentral
8. Reserpin
9. Vasodilators
10. Renin Inhibitor

DAFTAR PUSTAKA

Anne, Todd R., and Lynette. 2006. Daviss Comprehensive Handbook of


Laboratory and Diagnostic Tests with Nursing Implications, 2nd
edition. Philadelphia : F. A. Davis Compay.
Aziza,lucky. 2007. Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi.
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/ Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta . Maj Kedokt
Indon, Volum: 57, Nomor: 8.
BPOM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia 2008. Jakarta : BPOM.
Bruner dan Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8 vol.2.
Jakarta: EGC.
Califf, R.M., Prystowsky, E.N., Thomas, J.D., Thompson, P.D. 2007. Textbook of
Cardiovascular Medicine , 3rd Edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.

44

Depkes. 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina


Farmasi Komunitas dan Klinik. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan. Bakti Husada. Jakarta
Dipiro JT, Wells BG, DiPiro CV, Schwinghammer TL. 2015. Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach, Ninth Edition. The McGraw-Hill Companies.
Dipiro, Joseph T. Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L.
M. 2008. Pharmacotherapy- A Pathophysiologic Approach, 7th edition.
United States: McGraw-Hill Companies. page: 87
Marie, A., et al. 2008. Pharmacotherapy : Principles & Practice. USA : McGraw
Hill Company
Prodjosudjadi, W. 2000. Hipertensi : Mekanisme Dan Penatalaksanaannya.
Majalah Berkala Neurosains Volume 1 No 3
Purtie.2012.Diagnosis
Hipertensi.
Avaiable
http://www.purtierplacenta.com/diagnosis-hipertensi/

online

at

Russell R., J., and Norman D., H., 2008, Pathology and therapeutics For
Pharmacist A Basis for Clinical Pharmacy Practice Third Edition,
Hal.234, University of London : Pharmaceutical Press.
Sustrani, Lanny. 2004. Hipertensi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

45

Anda mungkin juga menyukai