Anda di halaman 1dari 76

BAB I

LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang Masalah
Anestesi umum merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible) yang mengcakup trias
anestesi yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Campuran obat-obat anestesi
inhalasi berupa gas atau cairan yang diluapkan bersama oksigen masuk mengikuti
aliran udara pnspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami defusi
dari aveoli ke kepilar paru sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas (Mangku &
Senaphati, 2010).
Riwayat tindakan anestesi yang pernah dijalani oleh pasien dapat menjadi sumber
informasi bagi petugas anestesi, pengkajian yang cermat diharapkan mampu
mengurangi resiko yang akan memperburuk keadaan pasien. Pengkajian kebiasaan
merokok perlu dilanjutkan untuk mengetahui seberapa sering pasien merokok, dan
sebaiknya kebiasaan yang dapat merusuk sistem pernafasan ini dihentikan beberapa
minggu sebelum tindakan anestesi dilakukan untuk mengurangi produksi mukus.
Menurut Report on Global Tobacco Epidemic WHO tahun 2008, jumlah perokok
di dunia mencapai 1,3 milyar orang. China menduduki peringkat pertama negara
dengan perokok terbesar di dunia sebanyak 30%, diikuti dengan India 11,2%,
Indonesia berada di peringkat ketiga sebanyak 4,8%, kemudian Rusia dan Amerika
masingmasing dengan prosentase 4,8% dan 4,5%. Report on the Global Tobacco
Epidemic WHO tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi perilaku merokok orang
dewasa per hari yang diambil selama tahun 2011, China menunjukkan jumlah perokok
sebanyak 23%, India 12% dan Indonesia 29%. Prosentase tertinggi angka perokok
ditunjukkan oleh negara Kiribati yang masuk dalam kawasan Pasifik Barat sebanyak
50%. Hal ini tentu mengkhawatirkan berbagai pihak. Riset Kesehatan Dasar Nasional

(RISKESDAS, 2010) menyebutkan bahwa rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap
tiap hari oleh lebih dari separuh (52,3%) perokok di Indonesia adalah 1-10 batang dan
sekitar 20% sebanyak 11-20 batang perhari. Prevalensi berikutnya yang merokok ratarata 21-30 batang perhari dan lebih dari 30 batang perhari masing-masing sebanyak
4,7% dan 2,1%. Penduduk yang merokok 1-10 batang per hari paling tinggi dijumpai
di Maluku (69,4%), disusul oleh Nusa Tenggara Timur (68,7%), Bali (67,8%), DI
Yogyakarta (66,3%), dan Jawa Tengah (62,7%). Jumlah perokok penduduk Indonesia
usia 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dan cenderung meningkat dari
34,2% pada tahun 2007 menjadi 36,3% pada tahun 2013. Adapun prosentase 64,9%
untuk laki-laki dan 2,1% untuk perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013
(RISKESDAS, 2013). Jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey
termasuk Susenas, telah mencapai lebih dari 30%. Hasil 2 survey Dinas Kesehatan
Provinsi DIY tahun 2006 dan 2008 memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga
di DIY tidak bebas asap rokok (Dinkes DIY, 2012).
Pada seorang perokok, asap tembakau yang dihirup menimbulkan peradangan
kronik saluran nafas dan jumlah sel radang meningkat dua hingga empat kali. Asap
rokok dapat secara langsung merusak jaringan paru-paru, menimbulkan efek
sitotoksik pada makrofag di dalam paru dan merusak banyak sillia sehingga
menganggu suatu proses pembersihan paru dan saluran nafas, perubahan epitel
saluran nafas dan penyempitan saluran nafas. Kadar imunoglobulin E (IgE) juga dapat
meningkat 4-5 kali lebih tinggi pada perokok dan jumlah sel goblet yang ada pada
saluran nafas mengalami mataplasia, keadaan seperti ini akibat asap rokok yang
terinhalasi

dan

mengakibatkan

terkumpulnya

lendir

di

saluran

nafas

(Dermawan,2010).
Fenomena yang terjadi dilapangan pada pasien perokok yang dilakukan tindakan
anestesi umum inhalasi sering terjadi hipersekresi mukus, berkaitan dengan tidak

berfungsinya reflek fisiologis tubuh mengakibatkan akumulasi pada saluran


pernafasan. Penumpukan sekret pada jalan nafas ini menyebabkan obstruksi jalan
nafas baik parsial maupun total. Sumbatan jalan nafas yang terjadi tentunya
berhubungan terhadap asupan oksigen ke dalam tubuh pasien, sehingga kondisi
seperti ini sering menunjukan tanda-tanda penurunan saturasi. Aspirasi bisa sj terjadi
apabila tidak segera dilakukan intervensi pembersihan jalan nafas. Selain itu,
mekanisme perthanan tubuh seperti spasme laring dapat terjadi apabila terdapat benda
asing semisal sekret pada jalan nafas, tentunya kondisi ini bisa memperburuk kondisi
pasien yang berakibat menurunya mutu pelayanan suatu rumah sakit. Intervensi yang
selama ini dilakukan dengan melakukan suction pada saluran pernafasan pasien,
namun tindakan yang bertujuan membersihkan jalan nafas pasien ini tidak mungkin
selalu dilakukan pada kondisi posisi pasien yang sulit atau area pembedahan wajah
karena dapat menganggu jalannya tindakan operasi.

B. Rumusan Masalah
1

Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik rumusan masalah yaitu


Apakah ada perbandingan efektifitas jalan nafas antara pasien perokok dan pasien
bukan perokok pada pasien dengan general anestesi di IBS XXXX.?
C. Tujuan Penelitian
1. Umum
Diketahui efektifitas jalan nafas antara pasien perokok dan pasien bukan perokok
pada pasien dengan general anestesi di IBS XXXX.?
2. Khusus
a. Diketahui gambaran karakteristik pasien yang dilakukan tindakan anestesi
umum
b. Diketahui pasien dengan riwayat merokok dan tidak merokok
c. Diketahui efektifitas jalan nafas terhadap pasien perokok dan bukan perokok
anestesi umum.
D. Ruang Lingkup
Penelitian ini dilaksanakan di ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD. Margono
bulan 2016. Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan keperawatan anestesi
guna mengetahui efektifitas jalan nafas antara pasien perokok dan bukan perokok
pada pasien dengan tindakan general anestesi

E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pemikiran dan informasi
tentang efektifitas jalan nafas antara pasien perokok dan pasien bukan perokok
pada saat dilakukan tindakan general anestesi
2. Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan dan suatu prosedur
tetap berkaitan penanganan pasien yang mempuyai riwayat merokok, sehingga
dapat diantisipasi resiko yang mungkin terjadi saat dilakukan tindakan general
anestesi
b. Perawat

Sebagai bahan pertimbagan perawat anestesi untuk mempersiapkan pasien


dengan riwayat merokok yang akan menjalani tindakan general anestesi.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan pertimbangan bagi pengembangan penelitian selanjutnya
mengenai intervensi khusus pre anestesi pada pasien yang mempunyai riwayat
merokok
d. Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi bahwa merokok dapat merusak sistem pernafasan
dan mempengaruhi mekanisme pertahanan tubuh terhadap penyakit.

F.

Keaslian Penelitian
1. Ketut (2011), perbedaan waktu pulih sadar pada pasien perokok dan bukan
perokok dengan pasien umum inhalasi di IBS RSUD.UDATA PALU. Tujuan
penelitian ini adalah membadingkan waktu pulih sadar post anestesi antara
pasien perokok dan tidak dengan pasien umum inhalasi. Jenis penelitian
observasional dengan kriteria ASA I dan II. Perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah jenis variabel dimana peneliti mengobservasi kejadian
hipersekresi mukus intra anestesi sedangan peniliti yang sedang dilakukan
yaitu mengobservasi keefektifa jalan nafas pada pasien anestesi umum.
2. Riyadi 2010, Perbedaan keefektifan jalan nafas post anestesi umum inhalasi
halotan pada pasien perokok dan bukan perokok di RSKW. SIAGA MEDIKA
BANYUMAS. Terdapat persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan
menggunakan metode observasi. perbedaan dengan penelitian yang akan
dilakukan yaitu pada variabel, sampel, dan tempat penelitian. Variabel
dependen yang dalam penelitian ini adalah keefektifan jalan nafas, dan
variable independennya adalah perokok dan bukan perokok
3. Supriadi (2012), Hubungan Riwayat Merokok dengan Efektifitas Jalan Nafas
pada Pasien Post Operatif Anestesi Umum Menggunakan Inhalasi Sevofluran

di RSUP. Dr. Sardjito. Teradapat persamaan dengan penelitian yang akan


dilakukan yaitu metode observasional atau non-eksperimental. Perbedaannya
terletak pada variabel independen, penelitian yang pernah dilakukan yaitu
riwayat merokok sedangkan variabel independen yang akan penulis lakukan
adalah perokok dan bukan perokok. Jumlah sample penelitian sebelumnya
yaitu 45 pasien dan penelitian yang akan dilakukan sejumlah.....pasien.
4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Anatomi yang berhubungan fungsi pernapasan
a. Sangkar tulang rusuk (Rib Cage) & Otot Pernapasan
Sangkar Tulang rusuk berisi dua paru-paru, masing-masing dikelilingi
pleura

sendiri.

Puncak

rongga

dada

kecil,untuk

masuknya

tenggorok,kerongkongan, dan pembuluh darah,sedangkan bagian dasar


dibentuk sekat rongga dada/ diafragma.Kontraksi sekat rongga dada
dengan otot paru-paru yang menyebabkan dasar rongga dada turun 1.5-7
cm dan paru-paru untuk mengembang. Pergerakan Diaphragmatic normal
meliputi 75% tentang perubahan di dalam volume dada. Otot paru-paru
juga meningkatkan volume dada (paru-paru mengembang) dengan tulang
rusuk.Masing-Masing tulang rusuk (kecuali yang terakhir dua) artikulasi
posterior dengan tulang belakang mengarah ke bawah angulated seperti di
depan tulang dada. Pergerakan Tulang rusuk keluar dan menaik
memperluas dada.
Selama bernafas normal, sekat rongga dada mengembang lebih sedikit,
otot antara tulang-tulang iga yang eksternal adalah untuk inspirasi; expirasi
umumnya pasif. Dengan naiknya sternocleidomastoid, sisi tak sama, dan
otot pectoralis dapat direkrut inspirasi. Sternocleidomastoids membantu
mengangkat sangkar tulang rusuk, sedangkan otot sisi tak sama mencegah

penggantian tulang rusuk bagian atas selama inspirasi.Otot pectoralis dapat


membantu mengembangkan dada ketika lengan ditempatkan pada suatu
tempat yang ditetapkan.Expirasi normal pasif pada posisi terlentang tetapi
menjadi aktif pada posisi tegak lurus dan dengan usaha ditingkatkan.
Pernafasan yang keluar dimudahkan dengan otot termasuk otot abdominal
(rectus abdominis internal dan eksternal oblique dan transversus) dan
barangkali yang internal intercostals-aiding membuat gerakan turun tulang
rusuk.
Walaupun tidak selalu otot paru-paru, beberapa otot rongga
tenggorokan penting memelihara patency jalan nafas (lihat Bab 5).
Aktivitas Tonic dan refleks inspiratory di dalam genioglossus menyimpan
lidah dari dinding posterior rongga tenggorokan. Aktivitas Tonic di dalam
levator palati, tensor palati, palatopharyngeus, dan palatoglossus mencegah
langit-langit lunak jatuh ke bagian belakang posterior kerongkongan pada
posisi yang terlentang.
b. Tracheobronchial Tree
Humidification dan penyaringan inspirasi udara adalah fungsi jalan
nafas bagian atas ( hidung, mulut, dan kerongkongan). Fungsi
tracheobronchial tree adalah untuk mengalirkan udara gas ke dan dari
alveoli. Dichotomous divisi ( masing-masing cabang yang membagi ke
dalam dua cabang bronkus lebih kecil), mulai dengan batang ten.ggorok
dan berakhir dengan kantung alveolar, diperkirakan untuk melibatkan 23
divisi, atau generasi ( Gambar 22-1). Dengan generasi masing-masing,
banyaknya jaringan jalan nafas kira-kira digandakan. Masing-Masing
kantung alveolar, pada rata-rata, 17 alveoli. Suatu yang diperkirakan 300
juta alveoli menyediakan suatu selaput maha besar ( 50-100 m2) untuk
perlukaran gas rata-rata orang dewasa.

Gambar 22-1. Dichotomous divisi jalan nafas ( Yang direproduksi, dengan


ijin, dari Guyton ARUS BOLAK-BALIK: Buku teks [dari;ttg] Ilmu faal
Medis, 7Th Ed. W.B. Saun-Ders, 1986.)

Dengan masing-masing divisi berurutan, mucosa] epithelium membuat


struktur jaringan jalan pernafasan secara berangsur-angsur berubah.
Mucosa membuat suatu transisi berangsur-angsur dari columnar ciliated ke
cuboidal dan akhirnya ke flat alveolar epithelium. Pertukaran gas dapat
terjadi hanya ke seberang flat epithelium , yang mulai nampak pada paruparu

bronchioles

(generasi

17-19).

Dinding

ja]an

udara

secara

cartilaginous support berangsur-angsur hilang (di bronchioles) dan


kemudian otot lembut nya. Hilangnya cartilaginous support karena patency
dari jaringan jalan nafas lebih kecil untuk menjadi dependent atas daya
tarik radial oleh hentakan balik yang elastis melingkupi jaringan; sebagai
kesimpulan, garis tengah jalan udara menjadi dependent atas total volume
paru-paru (lihat di bawah)
1

Cilia pada columnar dan cuboidal epithelium secara normal membuat


suatu beat yang synchronized Seperti lendir yang diproduksi oleh ]apisan
kelenjar yang yang keluar dari jalan udara (berbagai macam sisa atau
bakteri) bergerak naik ke ke arah mulut .
c. Alveoli
Ukuran alveolar adalah suatu fungsi gaya berat dan volume paru-paru .
Rata-Rata diameter dari suatu gelembung paru-paru adalah 0.05-0.33 mm.
Di posisi tegak lurus alveoli paling besar adalah di puncak/apex paru-paru,
sedangkan yang paling kecil di dasar. Dengan inspirasi, ukuran alveolar
berkurang.
Masing-Masing gelembung paru-paru adalah dekat dengan suatu
jaringan kapiler paru-paru. Dinding dari tiap gelembung paru-paru tidak
teratur (Gambar 22-2). Pada sisi yang tipis, di mana pertukaran gas terjadi,
epithelium alveolar dan endothelium kapiler dipisahkan hanya oleh selaput
sel dan dasar membran ; pada sisi yang tebal,dimana cairan dan larutan
dapat terjadi pertukaran ruang interstitial paru-paru yang memisahkan
epithelium alveolar dari kapiler endothelium.Ruang Interstitial paru-paru
berisi sebagian besar elastin, collagen, dan barangkali serabut syaraf.
Pertukaran Gas terjadi pada sisi yang tipis pada selaput alveolocapillary ,
berkurang dari 0.4 um . Sisi yang tebal (1-2 um) menyediakan untuk
gelembung paru-paru.
Gambar 22 2. Interstitial yang berkenaan dengan paru-paru
[Ruang;Spasi], dengan suatu tengah lewat kapiler antara kedua alveoli; Yang
kapiler disatukan ke dalam yang tipis ( gas-exchanging) sisi gelembung paru-paru
pada sisi kanan. Interstitial [Ruang;Spasi] disatukan ke dalam sisi yang tebal
gelembung paru-paru pada sisi kiri. ( Gambar/Ditarik kembali dan reproduksi,
dengan ijin, dari Nunn JF: Ilmu faal Yang diterapkan, 4Th Ed. Butterworth,
1993.) penting bagi kelainan penyakit. Pentingnya sirkulasi bronchial mencampur
pembuluh darah vena yang normal adalah dibahas di bawah.

Epithelium paru-paru berisi sedikitnya dua jenis sel. ,Jenis I


pneumocytes yang flat dari simpangan yang sempit (1-nm) dengan satu
sama lain. Simpangan yang sempit adalah penting mencegah lintasan dari
molekul aktip oncotically besar seperti albumin ke dalam gelembung paruparu. Jenis II pneumocytes, yang lebih banyak dari jenis pneumocytes I
(karena kurang dari 10% dari alveolar space), adalah sel yang mengandung
cytoplasmic (lamellar bodies). Pemasukan ini berisi surfactant, suatu unsur
penting bagi mekanika paru-paru normal (lihat di bawah). Tidak sama
dengan jenis I sel, jenis II pneumocytes adalah membagi sel dan dapat

menghasilkan jenis I pneumocytes jika pada akhirnya rusak dan bersifat


kebal pada keracunan 02.
Jenis lain sel dalam jaringan jalan nafas yang lebih rendah meliputi
rongga alveolar paru-paru macrophages, sel mast, lymphocytes, dan
APUD (amino precursor uptake and decarboxylation) sel. Neutrophils juga
ada di perokok dan pasien dengan acute lung injury
d. Sirkulasi Paru-Paru & Limphatics
Paru-Paru disediakan dengan dua sirkulasi; paru-paru dan bronchial.
Sirkulasi bronchial dari jantung kiri dan berhubungan dengan metabolisme
tracheobronchial tree hingga menuju ke tingkatan yang berhubungan
dengan paru-paru bronchioles. Di bawah tingkatan itu, jaringan paru-paru
merupakan suatu kombinasi gas yang rongga alveolar dan sirkulasi paruparu.
Sirkulasi paru-paru secara normal menerima total pengeluaran jantung
kanan melalui artery pulmonary, dimana membagi kanan dan kiri
bercabang untuk penyediaan dalam paru-paru . Darah Deoxygenated lewat
sampai pulmonary kapiler,di mana jika 02 diambil dan C02 dilepaskankan.
Darah yang oxygenated kemudian adalah kembali ke jantung yang kiri
dengan empat pembuluh darah vena paru-paru (dua dari paru-paru).
Walaupun mengalir sepanjang sirkulasi paru-paru systemic adalah
sama,bagian bawah vaskuler paru-paru yang lebih rendah; mengakibatkan
tekanan vaskuler paru-paru one-sixth sama besar seperti peredaran yang
systemic; sebagai hasilnya, kedua-duanya pembuluh darah arteri dan vena
paru-paru secara normal mempunyai dinding dengau otot sedikit lembut.
Ada hubungan antara bronchial dan sirkulasi paru-paru.Arteriovenous
pulmonalis langsung menghubungi bypass pulmonary, secara normal tidak
penting tetapi bisa menjadi penting di dalam suatu patologis yang tertentu.

Pentingnya sirkulasi bronchial dalam mendukung campuran pembuluh


darah normal dibahas di bawah.
e. Kapiler paru-paru
Kapiler paru-paru bersatu ke dalam dinding alveoli. Rata-Rata garis
tengah kapiler ini (sekitar 10 um) tidak cukup untuk lintasan dari butirbutir darah merah. Sebab masirg-masing gelembung paru-paru lebih dari
satu jaringan kapiler, darah boleh menerobos beberapa alveoli sebelum
mencapai pembuluh darah paru-paru. Sebab secara relatif tekanan rendah
sirkulasi paru-paru, jumlah darah yang mengalir melalui suatu jaringan
kapiler diberi gravitasi dan ukuran alveoli. Alveoli besar mempunyai suatu
area cross-sectional kapiler lebih kecil dan meningkqtkan ke aliran darah.
Posisi tegak lurus membuat kapiler apikal mempunyai arus lebih rendah,
sedangkan kapiler fundamental mempunyai arus lebih tinggi.
Endothelium kapiler paru-paru mempunyai simpangan

relatif

besar,luas 5 nm, membuat lintasan dari molekul besar seperti albumin.


Sebagai hasilnya, interstitial cairan paru-paru secara relatif kaya akan
albumin. Sirkulasi macrophages dan neutrophils bisa menerobos
endothetium seperti simpangan epithelial alveolar yang lebih keeil dengan
relatif pelan.Macrophages paru-paru biasanya dilihat di interstitial dan di
dalam alveoli;untuk mencegah infeksi bakteri dan untuk mencari partikel
unsur asing.
f. Paru-paru mengandung getah bening
Saluran mengandung getah bening di dalam paru-paru mulai interstitial
dari septa besar. karena endothelial simpangan yang besar, getah bening
paru-paru mempunyai isi protein yang tinggi, dan total arus getah bening
paru-paru secara normal sebanyak seperti 20 mL/h.Pembuluh getah bening
besar mengalir menaik di sepanjang jaringan jalan nafas, membentuk
rantai tracheobronchial getah bening . Saluran getah bening dari paru-paru

keduanya sepanjang batang tenggorok . Cairan dari saluran paru-paru yang


kiri ke dalam saluran pipa yang berhubungan dengan dada, sedangkan
cairan dari kanan paru-paru mengalir ke saluran pipa getah bening kanan.
g. Innervation
Sekat rongga diafragma adalah innervated dengan saraf phrenic, dari
C3-CS akar Syaraf. Kelumpuhan Atau Blok Syaraf phrenic secara sepihak
mengurangi dari fungsi paru-paru (sekitar 25%). Walaupun kelumpuhan
syaraf phrenic dari dua belah pihak menghasilkan kelemahan , aktivitas
otot aksesori memberi ventilasi cukup beberapa pasien. Otot antara tulangtulang iga adalah innervated oleh akar syaraf yang berhubungan dengan
dada masing-masing. Cervical yang injuri di atas C5 tidak cocok untuk
ventilasi secara spontan sebab kedua-duanya yang phrenic dan saraf antara
tulang-tulang iga afektif.
Saraf vagus menyediakan
tracheobronchial

tree.

innervation

Kedua-duanya

berhubungan

innervation

bronchial

dengan
yang

autonomic parasympathetic dan simpatik memperlancar otot dan kelenjar


yang ada. Vagal Aktivitas menengahi bronchoconstriction dan peningkatan
bronchial pengeluaran melalui sel yang peka rangsangan muscarinic.
Aktivitas simpatik (T1-T4) menengahi bronchodilation dan juga
mengurangi pengeluaran melalui (2-receptors.1-adrenergic rangsangan
sel yang mengurangi pengeluaran menyebabkan bronchoconstriction.
Suatu nonadrenergic,system bronchodilator noncholinergic adalah ;
vasoactive usus peptide berhubungan dengan neurotransmitter. Persediaan
Syaraf pangkal tenggorokan ditinjau Bab 5.
Kedua-duanya sel dan yang peka rangsangan adrenergic di
vasculature paru-paru tetapi sistem simpatik yang normal mempunyai
sedikit efek pada vaskuler paru-paru, 1 aktivitas karena penyempitan; 2-

Activitas menengahi pelebaran.Aktivitas Vasodilatory Parasympathetic


nampak seperti ditengahi melalui pelepasan dari oksida nitrat. (Morgan,
2015)
1. Rokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm
(bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi
daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibedakan menjadi beberapa
jenis diantaranya (Nazira, 2010):
a. Rokok berdasarkan bahan pembungkus rokok
1) Klobot, yaitu rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun Jagung
Kawung, yaitu rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren
2) Sigaret, yaitu rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas
3) Cerutu, yaitu rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun
tembakau
b. Rokok berdasarkan bahan baku atau isi rokok
1) Rokok Putih, yaitu rokok dengan bahan bakunya hanya daun tembakau
yang berisi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu
2) Rokok Kretek, yaitu rokok yang bahan bakunya berupa daun tembakau
dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek dan rasa
tertentu
3) Rokok Klembak, yaitu rokok dengan bahan bakunya berupa daun
tembakau,

cengkeh

dan

kemenyan

yang

diberi

saus

untuk

mendapatkan rasa dan efek tertentu


c. Rokok berdasarkan proses pembuatannya
1) Sigaret Kretek Tangan (SKT), yaitu rokok yang proses pembuatannya
dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan
atau alat bantu sederhana
2) Sigaret Kretek Mesin (SKM), yaitu rokok yang proses pembuatannya
menggunakan mesin.
Ada dua jenis yaitu;
a) Sigaret Kretek Mesin Full Flavor dan
b) Sigaret Kretek Mesin Light Mild

d. Rokok berdasarkan penggunaan filter pada rokok


1) Rokok Filter, rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus
2) Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak
terdapat gabus Ada beberapa tipe perokok berdasarkan jumlah rokok
yang dihisap (Farhan, 2008):
a) Perokok Ringan: Merokok sekitar 10 batang per hari dengan
selang waktu merokok 60 menit setelah bangun tidur.
b) Perokok Sedang: Merokok 11-20 batang perhari dengan selang
waktu merokok 30-60 menit setelah bangun tidur.
c) Perokok Berat: Merokok 21-30 batang per hari dengan selang
waktu merokok 6-30 menit setelah bangun tidur.
d) Perokok Sangat Berat: Merokok lebih dari 31 batang per hari
dengan selang waktu merokok dibawah 5 menit setelah bangun
tidur.
2. Sistem Mukosiliar pada Sistem Pernafasan Manusia
a. Histologi mukosa
Luas permukaan kavum nasi kurang lebih 150 cm2 dan total
volumenya sekitar 15 ml. Sebagian besar dilapisi oleh mukosa
respiratorius. Secara histologis, mukosa hidung terdiri dari palut lendir
(mucous blanket), epitel kolumnar berlapis semu bersilia, membrana
basalis, lamina propria yang terdiri dari lapisan subepitelial, lapisan
media dan lapisan kelenjar profunda (Dermawan, 2010)
b. Epitel Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel
skuamous kompleks pada vestibulum, epitel transisional terletak tepat
di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia
pada sebagian mukosa respiratorius. Epitel kolumnar sebagian besar
memiliki silia. Sel-sel bersilia ini memiliki banyak mitokondria yang
sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel. Mitokondria ini
merupakan sumber energi utama sel yang diperlukan untuk kerja silia.
Sel goblet merupakan kelenjar uniseluler yang menghasilkan mukus,

sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal
dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan
sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka
inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi
sebanyak 5700 sel/mm2. Silia merupakan struktur yang menonjol dari
permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan
bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel.
Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia
terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus
dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan
jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat
dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan
tiba-tiba ke salah satu arah (activestroke) dengan ujungnya menyentuh
lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini. Kemudian silia
bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan
tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3.
Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan
seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area
arahnya. Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu
sama lainnya.
c. Palut lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan
liat,

merupakan

bahan

yang

disekresikan

oleh

sel

goblet,

kelenjarseromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan yaitu

lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang
disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket.
Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang
ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superfisial

ini

berkesinambungan

merupakan
yang

gumpalan

menumpang

lendir
pada

yang

cairan

tidak

perisiliar

dibawahnya. Cairan perisiliar mengandung glikoprotein mukus, protein


serum, protein sekresi dengan berat molekul rendah.Lapisan ini sangat
berperanan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini, sedangkan denyutan silia terjadi di
dalam cairan ini
d. Membrana basalis Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran
rangkap dibawah epitel. Di bawah lapisan rangkap ini terdapat lapisan
yang lebih tebal yang terdiri dari atas kolagen dan fibril retikulin.
e. Lamina propria Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana
basalis. Lapisan ini dibagi atas empat bagian yaitu lapisan subepitelial
yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan media yang
banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina
propria ini terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi
dasar, kelenjar, pembuluh darah dan saraf. Silia lebih banyak dekat
ostium, gerakannya akan mengalirkan lendir ke arah hidung melalui
ostium masing-masing. Diantara semua sinus paranasal, maka sinus
maksila mempunyai kepadatan sel goblet yang paling tinggi.
f. Transportasi mukosiliar (clearance mukosiliar) Transportasi
mukosiliar hidung adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk
membersihkan dirinya dengan mengangkut partikelpartikel asing yang
terperangkap pada palut lendir ke arah nasofaring. Transportasi

mukosiliar terdiri dari dua sistem yang merupakan gabungan dari


lapisan mukosa dan epitel yang bekerja secara simultan. Sistem ini
tergantung dari gerakan aktif silia yang mendorong gumpalan mukus.
Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus
gumpalan mukus kemudian menggerakkannya ke arah posterior
bersama materi asing yang terperangkap didalamnya ke arah faring.
Cairan perisilia dibawahnya akan dialirkan ke arah posterior oleh
aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Transportasi mukosilia yang bergerak secara aktif ini sangat penting
untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna
maka materi yang terperangkap oleh palut lendir akan menembus
mukosa dan menimbulkan penyakit. Karena pergerakan silia lebih aktif
pada meatus media dan inferior maka gerakan mukus dalam hidung
umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus
dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan
silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari
ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat
mencapai ostium, dan pada daerah ostium silia tersebut berputar
dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit.
g. Faktor yang mempengaruhi transportasi mukosiliar Faktor yang
berperan terhadap transportasi mukosiliar yaitu : silia, mukus dan
interaksi antara silia dan mukus. Keadaan yang mempengaruhi
transportasi mukosiliar adalah faktor fisiologis atau fisik, polusi udara
dan rokok, kelainan kongenital, rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri,
obat-obat topikal, obat-obat sistemik,bahan pengawet dan tindakan
operasi.

3. Pengaruh Rokok terhadap Sistem Pernafasan


Meskipun semua orang mengetahui akan bahaya yang ditimbulkan
oleh rokok, perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya merupakan
perilaku yang masih ditolelir oleh masyarakat. Rokok mengandung lebih dari
3.800 bahan kimia, sebagian besar diantaranya beracun. Racun dalam asap
rokok yang dihisap oleh perokok aktif dan perokok pasif meliputi: Nikotin,
Tar, Arsenik, Benzen, Karbonmonoksida, Formalin, Hidrogen sianida,
Amoniak, Vinyl klorida (Muramoto, 2013). Dari sekian banyak dampak
negatif asap rokok, kerusakan pada saluran nafas relatif lebih sering dijumpai.
Menurut dr. Ahmad Hudoyo, SpP(KP), FCCP dari Rumah Sakit
Persahabatan dalam sebuah seminar (Pramudiarja, 2012), racun rokok bersifat
silio toksik. Sebatang rokok bisa mematikan sebatang rambut silia atau rambut
getar pada jalan nafas. Hal ini bisa menyebabkan batuk yang tak kunjung
sembuh dan produksi mukus atau dahak yang berlebihan. Merokok dapat
menyebabkan infeksi saluran nafas, menumbuhkan jaringan fibrosus yang
tidak normal pada cabang bronkhus, menghancurkan kantung udara paru-paru,
meningkatkan produksi mukus dan mengurangi pemindahannya dari saluran
nafas, serta menghambat pengangkutan oksigen oleh sel darah merah dari
paruparu ke organ tubuh lain. Produksi sputum pada orang dewasa normal
adalah sekitar 100 ml/hari, jika produksi berlebihan maka proses pembersihan
mungkin tidak efektif lagi sehingga sputum tertimbun pada jalan nafas
(Muttaqin, 2008). Produksi mukus ini diangkut dan dikeluarkan menuju faring
oleh gerakan rambut halus silia yang membatasi saluran pernafasan. Produksi
mukus berlebihan bisa disebabkan oleh gangguan fisik atau kimiawi, atau
infeksi pada membran mukosa. Pada seorang perokok, asap tembakau yang

dihirup menimbulkan peradangan kronik dari saluran nafas dan jumlah sel
radang akan meningkat dua sampai empat kali.
Asap rokok dapat secara langsung

merusak

jaringan

paru,

menimbulkan efek sitotoksik pada makrofag di dalam paru dan mengganggu


atau merusak silia dalam paru sehingga mengganggu proses pembersihan
paru-paru dan saluran nafas, perubahan epitel saluran nafas dan penyempitan
saluran nafas. Kadar Imunoglobulin E (IgE) juga dapat meningkat 4-5 kali
lebih tinggi pada perokok dan jumlah sel goblet yang ada pada saluran nafas
mengalami metaplasia, keadaan seperti ini akibat asap rokok yang terinhalasi
dan mengakibatkan terkumpulnya lendir di saluran nafas (Dermawan, 2010).
Merokok juga dapat menyebabkan beberapa penyakit yang menimbulkan
reaksi hipersekresi mukus, iritasi kronik pada jalan nafas oleh asap tembakau.
Hilangnya atau menurunnya tingkat kesadaran (pada pasien koma atau
pengaruh anestesi), adanya jejaspada mukosilliar merupakan beberapa faktor
yang menghambat fungsi paru pada orang normal (Robbins, Cotran, & Kumar,
2010).
4. Anestesi Umum Inhalasi
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible) yang mencakup
trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Obat-obat anestesi
inhalasi adalah obat-obat anestesi yang berupa gas atau cairan mudah
menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Teknik anestesi umum
dibagi menjadi 3 yaitu; anestesi umum intravena, anestesi umum inhalasi dan
anestesi umum imbang (Mangku & Senaphati, 2010).
a. Anestesi umum intravena Merupakan suatu teknik anestesia umum yang
dilakukan dengan jalan menyuntikan obat anestesi parenteral langsung
ke dalam pembuluh darah vena dengan beberapa variasi diantaranya :
1. Anestesi intravena klasik

Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif


misalnya: diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Trias
anestesi yang tercapai adalah hipnotik dan anestetik.
2. Anestesi intravena total
Pemakaian kombinasi obat anestetik intravena yang berkhasiat
hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Trias
anestesi yang tercapai adalah hipnotik, analgetik dan ralaksasi otot.
3. Anestesi-analgetik neurolept
Pemakaian obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara intravena.
Trias anestesi yang tercapai adalah sedasi atau hipnotik ringan dan
analgetik ringan.
4. Anestesi umum inhalasi
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan
jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesi langsung
ke udara inspirasi. Adapun teknik anestesi umum inhalasi adalah sebagai
berikut:
a) Inhalasi sungkup muka Pemakaian salah satu kombinasi obat inhalasi
melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan. Trias anestesi
yang tercapai adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan.
b) Inhalasi sungkup laring Pemakaian salah satu kombinasi obat
anestesi melalui sungkup laring dengan pola nafas spontan. Trias
anestesi yang tercapai adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot
ringan.
c) Inhalasi pipa endotrakhea (PET) nafas spontan Pemakaian salah satu
kombinasi obat anestesi melalui pipa endotrakhea dan dengan pola
nafas spontan. Trias anestesi yang tercapai adalah hipnotik, analgetik
dan relaksasi otot ringan.

Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal adalah sebagai


berikut:
1) Mempermudah pemberian anesthesia
2) Mempertahankan jalan nafas agar

tetap

bebas

serta

mempertahankan kelancaran pernafasan


3) Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk)
4) Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial
5) Pemakaian ventilasi mekanis yang lama
6) Mengatasi obstruksi laring akut
5. Anestesi umum imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi
obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi
inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesik
regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang,
yaitu:
a. Efek hipnosis
b. Efek analgetik
c. Efek relaksasi
Dalam Trias anestesi umum dapat dicapai dengan menggunakan
obat yang berbeda secara terpisah. Tekhnik ini sesuai untuk besarnya
lokasi, lamanya dan posisi pembedahan yang memerlukan stadium
anestesi umum. Menurut Latief, Suryadi & Dachlan (2002) stadium
anestesi umum terdiri dari:
a. Stadium I (analgesia), dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih bisa
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).
b. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi), dimulai dari
hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernafasan
kembali teratur. Pada stadium ini pasien batuk, mual-muntah
dan henti nafas.
1

c. Stadium

III

(pembedahan),

dimulai

dengan

teraturnya

pernafasan sampai pernafasan spontan hilang. Stadium III


dibagi menjadi 4 plana, yaitu:
1) Plana 1 yaitu pernafasan teratur, spontan, dada dan perut
seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut
kehendak, pupil miosis, reflek cahaya ada, lakrimasi
meningkat, reflek faring dan muntah tidak ada dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai
menurun).
2) Plana 2 yaitu pernafasan teratur, spontan, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak,
terfikasasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai
menurun, relaksasi otot sedang dan refleks laring hilang
sehingga dapat dikerjakan intubasi.
3) Plana 3 yaitu pernafasan teratur oleh perut karena otot
intercostal mulai paralis, lakrimalis tidak ada, pupil
midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum tidak
ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot
semakin menurun).
4) Plana 4 yaitu pernafasan tidak teratur oleh perut karena otot
intercostal paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang, reflek sfingter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
d. Stadium IV (paralisis medula oblongata).
Dimulai dengan paralisis diafragma sampai henti jantung atau
meninggal.

Evaluasi pra anestesi dan reanimasi adalah langkah


awal dari rangkaian tindakan anestesi yang dilakukan
terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan
operatif. Dengan mengevaluasi praanestesi maka American
Society of Anesthesiologist (ASA) menyusun 5 klasifikasi
status fisik pasien yaitu (Mangku & Senaphati, 2010).
ASA I
: pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit
ASA II

sistemik
: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit

sistemik ringan sampai sedang


ASA III : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang disebabkan karena berbagai
penyebab tetapi tidak mengancam nyawa
ASA IV : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam
ASA V

kehidupannya
: pasien penyakit bedah yang disertai dengan
penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin
ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24
jam pasien akan Meninggal. Apabila tindakan
pembedahannya

dilakukan

secara

darurat,

dicantumkan tanda E (emergency) dibelakang


angka.
Obat anestesi inhalasi merupakan hidrokarbon terhalogenasi dengan titik
didih yang relatif rendah sehingga mudah menguap. Begitu berada dalam paru
dan kemudian didistribusikan melalui sirkulasi sistemik ke otak dan jaringan
lain. Tekanan partial obat ini di otak yang menimbulkan efek anestetik, dan ini
erat kaitannya dengan tekanan partial di alveolar. Terdapat dua konsep untuk

membantu

memahami

penggunaan

obat

anestesi

inhalasi;

kelarutan

dankonsentrasi alveolar minimum (Gwinnutt, 2012).


a. Kelarutan
Obat anestesi inhalasi yang relatif tidak larut (misalnya sevoflurane,
desflurane) berdifusi secara lambat dari alveoli ke dalam darah pulmonal.
Karena sedikit obat anestesi inhalasi dihilangkan dari alveoli, takanan
partialnya meningkat dengan cepat diikuti peningkatan dengan cepat pada
otak dan darah, dan anestesi diinduksi cepat. Sebaliknya suatu obat
anestesi inhalasi yang larut (misalnya halotan) berdifusi dengan cepat dari
alveoli ke dalam darah pulmonal, membatasi kecepatan peningkatan
tekanan partial otak dan alveolar. Akibatnya induksi akan terjadi lebih
lambat. Pemulihan anestesi mengikuti prinsip yang sama dalam arah
sebaliknya. Adapun faktor lain yang mempengaruhi kecepaan peningkatan
konsentrasi alveolar meliputi:
1) Konsentrasi inspirasi yang tinggi; terbatas secara klinis oleh derajat
iritasi yang disebabkan oleh uap
2) Ventilasi alveolar; ini paling jelas pada obat-obatan dengan kelarutan
yang tinggi. Karena jumlah besar dihilangkan dari alveoli, peningkatan
ventilasi memastikan penggantian yang lebih cepat.
3) Curah jantung; apabila dalam keadaan tinggi, menyebabkan aliran
darah pulmoner yang lebih besar, meningkatkan ambilan, dan dengan
demikian menurunkan tekanan partial alveolar. Apabila rendah, terjadi
sebaliknya dan konsentrasi alveolar meningkat lebih cepat.
b. Konsentrasi alveolar minimum
Efek-efek obat anestesi inhalasi inhalasi bersifat aditif; oleh karena itu,
sering kali diberikan dua nilai ketika diberikan bersama presentase
nitrogen oksida (yang juga mempunyai MAC sendiri) yang disebutkan,
yang tentunya akan lebih rendah (Gwinnutt,2012).

Tabel 2.1. Nilai MAC untuk Anestesi Inhalasi


Sevoflurane
(%)
Desflurane
(%)
Isofluran
e (%)
Halotan
(%)
Enfluran
e (%)
O2
100% 2,2 6,0 1,3 0,75 1,6
N2O
70% 1,2 2,8 0,6 0,3 0,6
Tindakan anestesi umum inhalasi melibatkan berbagai macam
gas atau cairan yang diuapkan. Berikut beberapa macam gas dan
cairan yang berkaitan dengan anestesi inhalasi :
a. Gas Nitrous Oxide (N2O)
Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2 minimal
25%. Gas ini bersifat anestesi lemah, tetapi analgetiknya sangat
kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan
sendirian tetapi dikombinasikan dengan salah satu cairan anestesi
lain seperti halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah

N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,

Anda mungkin juga menyukai