LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang Masalah
Anestesi umum merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible) yang mengcakup trias
anestesi yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi otot. Campuran obat-obat anestesi
inhalasi berupa gas atau cairan yang diluapkan bersama oksigen masuk mengikuti
aliran udara pnspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami defusi
dari aveoli ke kepilar paru sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas (Mangku &
Senaphati, 2010).
Riwayat tindakan anestesi yang pernah dijalani oleh pasien dapat menjadi sumber
informasi bagi petugas anestesi, pengkajian yang cermat diharapkan mampu
mengurangi resiko yang akan memperburuk keadaan pasien. Pengkajian kebiasaan
merokok perlu dilanjutkan untuk mengetahui seberapa sering pasien merokok, dan
sebaiknya kebiasaan yang dapat merusuk sistem pernafasan ini dihentikan beberapa
minggu sebelum tindakan anestesi dilakukan untuk mengurangi produksi mukus.
Menurut Report on Global Tobacco Epidemic WHO tahun 2008, jumlah perokok
di dunia mencapai 1,3 milyar orang. China menduduki peringkat pertama negara
dengan perokok terbesar di dunia sebanyak 30%, diikuti dengan India 11,2%,
Indonesia berada di peringkat ketiga sebanyak 4,8%, kemudian Rusia dan Amerika
masingmasing dengan prosentase 4,8% dan 4,5%. Report on the Global Tobacco
Epidemic WHO tahun 2013 menyebutkan bahwa prevalensi perilaku merokok orang
dewasa per hari yang diambil selama tahun 2011, China menunjukkan jumlah perokok
sebanyak 23%, India 12% dan Indonesia 29%. Prosentase tertinggi angka perokok
ditunjukkan oleh negara Kiribati yang masuk dalam kawasan Pasifik Barat sebanyak
50%. Hal ini tentu mengkhawatirkan berbagai pihak. Riset Kesehatan Dasar Nasional
(RISKESDAS, 2010) menyebutkan bahwa rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap
tiap hari oleh lebih dari separuh (52,3%) perokok di Indonesia adalah 1-10 batang dan
sekitar 20% sebanyak 11-20 batang perhari. Prevalensi berikutnya yang merokok ratarata 21-30 batang perhari dan lebih dari 30 batang perhari masing-masing sebanyak
4,7% dan 2,1%. Penduduk yang merokok 1-10 batang per hari paling tinggi dijumpai
di Maluku (69,4%), disusul oleh Nusa Tenggara Timur (68,7%), Bali (67,8%), DI
Yogyakarta (66,3%), dan Jawa Tengah (62,7%). Jumlah perokok penduduk Indonesia
usia 15 tahun keatas masih belum terjadi penurunan dan cenderung meningkat dari
34,2% pada tahun 2007 menjadi 36,3% pada tahun 2013. Adapun prosentase 64,9%
untuk laki-laki dan 2,1% untuk perempuan masih menghisap rokok pada tahun 2013
(RISKESDAS, 2013). Jumlah perokok di Yogyakarta pada hasil berbagai survey
termasuk Susenas, telah mencapai lebih dari 30%. Hasil 2 survey Dinas Kesehatan
Provinsi DIY tahun 2006 dan 2008 memperlihatkan bahwa antara 56% rumah tangga
di DIY tidak bebas asap rokok (Dinkes DIY, 2012).
Pada seorang perokok, asap tembakau yang dihirup menimbulkan peradangan
kronik saluran nafas dan jumlah sel radang meningkat dua hingga empat kali. Asap
rokok dapat secara langsung merusak jaringan paru-paru, menimbulkan efek
sitotoksik pada makrofag di dalam paru dan merusak banyak sillia sehingga
menganggu suatu proses pembersihan paru dan saluran nafas, perubahan epitel
saluran nafas dan penyempitan saluran nafas. Kadar imunoglobulin E (IgE) juga dapat
meningkat 4-5 kali lebih tinggi pada perokok dan jumlah sel goblet yang ada pada
saluran nafas mengalami mataplasia, keadaan seperti ini akibat asap rokok yang
terinhalasi
dan
mengakibatkan
terkumpulnya
lendir
di
saluran
nafas
(Dermawan,2010).
Fenomena yang terjadi dilapangan pada pasien perokok yang dilakukan tindakan
anestesi umum inhalasi sering terjadi hipersekresi mukus, berkaitan dengan tidak
B. Rumusan Masalah
1
E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan pemikiran dan informasi
tentang efektifitas jalan nafas antara pasien perokok dan pasien bukan perokok
pada saat dilakukan tindakan general anestesi
2. Praktis
a. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan dan suatu prosedur
tetap berkaitan penanganan pasien yang mempuyai riwayat merokok, sehingga
dapat diantisipasi resiko yang mungkin terjadi saat dilakukan tindakan general
anestesi
b. Perawat
F.
Keaslian Penelitian
1. Ketut (2011), perbedaan waktu pulih sadar pada pasien perokok dan bukan
perokok dengan pasien umum inhalasi di IBS RSUD.UDATA PALU. Tujuan
penelitian ini adalah membadingkan waktu pulih sadar post anestesi antara
pasien perokok dan tidak dengan pasien umum inhalasi. Jenis penelitian
observasional dengan kriteria ASA I dan II. Perbedaan dengan penelitian yang
dilakukan adalah jenis variabel dimana peneliti mengobservasi kejadian
hipersekresi mukus intra anestesi sedangan peniliti yang sedang dilakukan
yaitu mengobservasi keefektifa jalan nafas pada pasien anestesi umum.
2. Riyadi 2010, Perbedaan keefektifan jalan nafas post anestesi umum inhalasi
halotan pada pasien perokok dan bukan perokok di RSKW. SIAGA MEDIKA
BANYUMAS. Terdapat persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan
menggunakan metode observasi. perbedaan dengan penelitian yang akan
dilakukan yaitu pada variabel, sampel, dan tempat penelitian. Variabel
dependen yang dalam penelitian ini adalah keefektifan jalan nafas, dan
variable independennya adalah perokok dan bukan perokok
3. Supriadi (2012), Hubungan Riwayat Merokok dengan Efektifitas Jalan Nafas
pada Pasien Post Operatif Anestesi Umum Menggunakan Inhalasi Sevofluran
sendiri.
Puncak
rongga
dada
kecil,untuk
masuknya
bronchioles
(generasi
17-19).
Dinding
ja]an
udara
secara
relatif
tree.
innervation
Kedua-duanya
berhubungan
innervation
bronchial
dengan
yang
cengkeh
dan
kemenyan
yang
diberi
saus
untuk
sedangkan sel basal merupakan sel primitif yang merupakan sel bakal
dari epitel dan sel goblet. Sel goblet atau kelenjar mukus merupakan
sel tunggal, menghasilkan protein polisakarida yang membentuk lendir
dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet tertinggi di daerah konka
inferior sebanyak 11.000 sel/mm2 dan terendah di septum nasi
sebanyak 5700 sel/mm2. Silia merupakan struktur yang menonjol dari
permukaan sel. Bentuknya panjang, dibungkus oleh membran sel dan
bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 200 buah pada tiap sel.
Panjangnya antara 2-6 m dengan diameter 0,3 m. Struktur silia
terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
sembilan pasang mikrotubulus luar. Masing-masing mikrotubulus
dihubungkan satu sama lain oleh bahan elastis yang disebut neksin dan
jari-jari radial. Tiap silia tertanam pada badan basal yang letaknya tepat
dibawah permukaan sel. Pola gerakan silia yaitu gerakan cepat dan
tiba-tiba ke salah satu arah (activestroke) dengan ujungnya menyentuh
lapisan mukoid sehingga menggerakan lapisan ini. Kemudian silia
bergerak kembali lebih lambat dengan ujung tidak mencapai lapisan
tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya kira-kira 1 : 3.
Dengan demikian gerakan silia seolah-olah menyerupai ayunan tangan
seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi
berurutan seperti efek domino (metachronical waves) pada satu area
arahnya. Gerak silia terjadi karena mikrotubulus saling meluncur satu
sama lainnya.
c. Palut lendir Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan
liat,
merupakan
bahan
yang
disekresikan
oleh
sel
goblet,
lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang
disebut lapisan perisiliar. Lapisan ini lebih tipis dan kurang lengket.
Kedua adalah lapisan superfisial yang lebih kental (gel layer) yang
ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan
superfisial
ini
berkesinambungan
merupakan
yang
gumpalan
menumpang
lendir
pada
yang
cairan
tidak
perisiliar
dihirup menimbulkan peradangan kronik dari saluran nafas dan jumlah sel
radang akan meningkat dua sampai empat kali.
Asap rokok dapat secara langsung
merusak
jaringan
paru,
tetap
bebas
serta
c. Stadium
III
(pembedahan),
dimulai
dengan
teraturnya
sistemik
: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
kehidupannya
: pasien penyakit bedah yang disertai dengan
penyakit sistemik berat yang sudah tidak mungkin
ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24
jam pasien akan Meninggal. Apabila tindakan
pembedahannya
dilakukan
secara
darurat,
membantu
memahami
penggunaan
obat
anestesi
inhalasi;
kelarutan