Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN KEGIATAN

PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR


DEMAM BERDARAH
PUSKESMAS KELING 1 JEPARA

Pembimbing :
dr. Cosmas Gedsa Pramantya

Disusun oleh :
dr. Taufiq Iqbal Maulana
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER INTERNSHIP
PUSKESMAS KELING 1
JEPARA
PERIODE 01 JUNI 2015 31 MEI 2016
1

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN
PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR
DEMAM BERDARAH
PUSKESMAS KELING 1 JEPARA
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Surat Tanda Selesai
Internship

Disahkan Oleh:

Dokter Pendamping

dr. Cosmas G.P


NIP: 19791120 200604 1008

Penyusun

dr. Taufiq Iqbal Maulana


Dokter Internship

BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor
nyamuk yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Infeksi virus dengue dapat asimptomatik atau dapat menunjukkan
demam yang tidak diketahui sebabnya, demam dengue atau demam berdarah
dengue dengan perembesan plasma yang dapat mengakibatkan syok hipovolemik
(Dengue Shock Syndrome). (1) Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan
di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (Dengue Shock Syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai renjatan/syok. (2)
Demam dengue merupakan salah satu penyakit virus yang butuh
penanganan segera pada manusia yang dapat mempengaruhi mortalitas dan
morbiditas. Penyakit ini merupakan endemik di seluruh wilayah kecuali Eropa. (1)
Selama 20 tahun belakangan ini, terjadi peningkatan kasus demam dengue
maupun demam berdarah dengue secara global. Penderitanya banyak ditemukan
di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis. (1)
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia tenggara, Pasifik barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. (2)
Walaupun DD dan DBD disebabkan

oleh virus yang sama, tapi

mekanisme patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis.


Perbedaan utama adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan
kebocoran plasma yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue
hal ini tidak terjadi. (3) Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat,
hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat
kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk

menyebabkan kematian karena infeksi virus, kematian yang terjadi lebih


disebabkan oleh gangguan metabolik. (4)
Demam Berdarah merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Angka kesakitan dan kematian Demam Berdarah di Indonesia dalam
kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukan trend menurun. Namun demikian
kemungkinan besar penyakit ini meningkat bahkan hingga mewabah apabila tidak
dilakukan penanganan yang memadai. Penanggulangan Demam berdarah
dilakukan secara komprehensif dengan upaya promotif, preventif, dan kuratif
terutama di Puskesmas dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian. Untuk mencapai hasil yang optimal diperlukan integrasi dengan
program lainnya.
Tingginya angka kasus Demam Berdarah dari kabupaten Jepara khususnya
dari wilayah kerja puskesmas Keling 1 ke daerah yang tercatat sebagai daerah
endemis Demam Berdarah merupakan dasar kebijakan pemeberian pengobatan
pencegahan Demam Berdarah kepada seluruh warga cakupan puskesmas keling 1
dalam kurun waktu beberapa tahun ini masih diupayakan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue (dengue fever) dan demam berdarah dengue (dengue
haemorrhagic fever) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai
lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. (2)
2.2 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan
ukuran 50 nm dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal
empat serotipe yaitu DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4. Infeksi salah satu
serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap serotipe tersebut tetapi tidak
terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua akan memberikan dampak
yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody
dependent enhancement (ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama
memperberat infeksi serotipe kedua. (5)
Demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang
menjadi vektor utama serta Aedes albopictus yang menjadi vektor pendamping.
Kedua spesies nyamuk itu ditemukan di seluruh wilayah Indonesia, hidup optimal
pada ketinggian di atas 1000 di atas permukaan laut, tapi dari beberapa laporan
dapat ditemukan pada daerah dengan ketinggian sampai dengan 1.500 meter,
bahkan di India dilaporkan dapat ditemukan pada ketinggian 2.121 meter serta di
Kolombia pada ketinggian 2.200 meter. Nyamuk Aedes berasal dari Brazil dan
Ethiopia, stadium dewasa berukuran lebih kecil bila dibandingkan dengan ratarata nyamuk lainnya. (6)
Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies
lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor
sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes
aegypty. (7) Nyamuk Aedes aegypti mempunyai dua subspesies yaitu Aedes
5

aegypti queenslandensis dan Aedes aegypti formosus. Subspesies pertama hidup


bebas di Afrika, sedangkan subspesies kedua hidup di daerah tropis yang dikenal
efektif menularkan virus DBD. Subspesies kedua lebih berbahaya dibandingkan
subspesies pertama. (6)
2.3 Epidemiologi
Pada tahun 1950an, hanya sembilan negara yang dilaporkan merupakan
endemi infeksi dengue, saat ini endemi dengue dilaporkan terjadi di 112 negara di
seluruh dunia. World Health Organization (WHO) memperkirakan lebih dari 2,5
milyar penduduk berisiko menderita infeksi dengue. Setiap tahunnya dilaporkan
terjadi 100 juta kasus demam dengue dan setengah juta kasus demam berdarah
dengue terjadi di seluruh dunia dan 90% penderita demam berdarah dengue ini
adalah anak-anak dibawah usia 15 tahun. (5)
Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama
di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian
lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang
terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di
rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun; diperkirakan 2,5
miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis
DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk
setempat. (4)
Tingkat mortalitas di sebagian besar negara di Asia Tenggara mengalami
penurunan dan saat ini berada dibawah 1%, walaupun di beberapa negara masih
diatas 4% akibat penanganan yang terlambat. (5)
2.4 Patogenesis
Patogenesis DBD masih belum jelas betul. Berdasarkan berbagai data
epidemiologi dianut 2 hipotesis yang sering dijadikan rujukan untuk
menerangkannya. Kedua teori tersebut adalah the secondary heterotypic antibody
dependent enchancement of a dengue virus infection yang lebih banyak dianut,
dan gabungan efek jumlah virus, virulensi virus, dan respons imun inang. Virus

dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel target yaitu
makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon immune non-spesifik dan
spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya. Aktivitas komplemen pada infeksi
virus dengue diketahui meningkat seperti C3a dan C5a mediator-mediator ini
menyebabkan terjadinya kenaikan permeabilitas kapiler celah endotel melebar
lagi. Akibat kejadian ini maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke
extravaskuler dan menyebabkan terjadinya tanda kebocoran plasma seperti
hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites, penebalan dinding vesica
fellea dan syok hipovolemik. Kenaikan permeabilitas kapiler ini berimbas pada
terjadinya hemokonsentrasi, tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya
merupakan salah satu patofisiologi yang terjadi pada DBD. (8)
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah: a).
Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE); b). Limfosit T baik T-helper (CD4) dan Tsitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun selular terhadap virus dengue.
Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). Monosit
dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi.
Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan
sekresi sitokin oleh makrofag; d). Selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks
imun menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a. (2)
Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak
dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang
berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral
maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti
komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada
infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar
antibodi yang telah ada jadi meningkat. (5)

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1).


Supresi sumsum tulang, 2). Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (kurang dari 5 hari)
menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan
nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk
megakariopoiesis.

Kadar

trombopoietin

dalam

darah

pada

saat

terjadi

trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya


stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan
trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g,
terdapatnya antibodi virus dengue, konsumsi trombosit selama proses koagulopati
dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme
gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petanda degranulasi trombosit. (2)
2.5 Gambaran Klinis
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase
kritis dan fase pemulihan. (8)
a.

Fase febris

Biasanya demam mendadak tinggi 2 7 hari, disertai muka kemerahan, eritema


kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa kasus
ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan
muntah. Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie,
perdarahan mukosa, walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam
dan perdarahan gastrointestinal.
b.

Fase kritis

Biasanya terjadi pada hari 3 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh
disertai kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang
biasanya berlangsung selama 24 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului

oleh lekopeni progresif disertai penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat
terjadi syok.
c.

Fase pemulihan

Bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian cairan dari ekstravaskuler ke
intravaskuler secara perlahan pada 48 72 jam setelahnya. Keadaan umum
penderita membaik, nafsu makan pulih kembali, hemodinamik stabil dan dieresis
membaik.

Gambar 1. Fase Klinis DBD


Dengue Berat
Dengue berat harus dicurigai bila pada penderita dengue ditemukan: (8)
1. Bukti kebocoran plasma seperti hematokrit yang tinggi atau meningkat
secara progresif, adanya efusi pleura atau asites, gangguan sirkulasi atau
syok (takhikardi, ekstremitas yang dingin, waktu pengisian kapiler
(capillary refill time) > 3 detik, nadi lemah atau tidak terdeteksi, tekanan
nadi yang menyempit atau pada syok lanjut tidak terukurnya tekanan
darah)
2. Adanya perdarahan yang signifikan
3. Gangguan kesadaran
4. Gangguan gastrointestinal berat (muntah berkelanjutan, nyeri abdomen
yang hebat atau bertambah, ikterik)

5. Gangguan

organ

berat

(gagal

hati

akut,

gagal

ginjal

akut,

ensefalopati/ensefalitis, kardiomiopati dan manifestasi tak lazim lainnya.

2.6 Klasifikasi
Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yaitu : (3)
1. Silent dengue atau Undifferentiated fever
2. Demam dengue klasik
3. Demam berdarah Dengue ( Dengue Hemorrhagic fever)
4. Dengue Shock Syndrome (DSS).
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah : (7)
Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
tes torniquet yang positif atau mudah memar.
Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan
bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh rendah, kulit lembab dan
penderita gelisah.
Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa.
2.7 Diagnosis

10

Langkah

penegakkan

diagnosis

suatu

penyakit

seperti

anamnesis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang tetap berlaku pada penderita infeksi


dengue. Riwayat penyakit yang harus digali adalah saat mulai demam/sakit, tipe
demam, jumlah asupan per oral, adanya tanda bahaya, diare, kemungkinan adanya
gangguan kesadaran, output urin, juga adanya orang lain di lingkungan kerja,
rumah yang sakit serupa. Pemeriksaan fisik selain tanda vital, juga pastikan
kesadaran penderita, status hidrasi, status hemodinamik sehingga tanda-tanda
syok dapat dikenal lebih dini, adalah takipnea/pernafasan Kusmaul/efusi pleura,
apakah ada hepatomegali/asites/kelainan abdomen lainnya, cari adanya ruam atau
ptekie atau tanda perdarahan lainnya, bila tanda perdarahan spontan tidak
ditemukan maka lakukan uji torniket. Sensitivitas uji torniket ini sebesar 30 %
sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.
Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun
2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu panduan
WHO 1997.
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah:
1. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs),
2. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs), dan
3. Dengue berat (severe Dengue)
Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya :
Dengue probable :
1. Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
2. Demam disertai 2 dari hal berikut :
- Mual, muntah
- Ruam
- Sakit dan nyeri
- Uji torniket positif
- Leukopenia
- Adanya tanda bahaya
3. Tanda bahaya adalah
- Nyeri perut
- Muntah berkepanjangan
- Terdapat akumulasi cairan
- Perdarahan mukosa
- Letargi, lemah
- Pembesaran hati > 2 cm

11

Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang

cepat.
Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran
plasma tidak jelas)
Kriteria dengue berat :
1. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi
cairan dengan distress pernafasan.
2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan kesadaran,
gangguan jantung dan organ lain)
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan
pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan
perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran
plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Penurunan nilai trombosit yang
disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk
DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok
terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian
cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau
leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat
sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III.
PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. (9)
Diagnosis konfirmatif diperoleh melalui pemeriksaan laboratorium, yaitu
isolasi virus, deteksi antibodi dan deteksi antigen atau RNA virus. Imunoglobulin
M (Ig M) biasanya dapat terdeteksi dalam darah mulai hari ke-5 onset demam,
meningkat sampai minggu ke-3 kemudian kadarnya menurun. Ig M masih dapat
terdeteksi hingga hari ke-60 sampai hari ke-90. Pada infeksi primer, konsentrasi Ig

12

M lebih tinggi dibandingkan pada infeksi sekunder. Pada infeksi primer,


Imunoglobulin G (Ig G) dapat terdeteksi pada hari ke -14 dengan titer yang
rendah (<1:640), sementara pada infeksi sekunder Ig G sudah dapat terdeteksi
pada hari ke-2 dengan titer yang tinggi (> 1 :2560) dan dapat bertahan seumur
hidup. (10)
Akhir-akhir ini dikembangkan pemeriksaan Antigen protein NS-1 Dengue
(Ag NS-l) diharapkan memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan
pemeriksaan serologis lainnya karena antigen ini sudah dapat terdeteksi dalam
darah pada hari pertama onset demam. Selain itu pengerjaannya cukup mudah,
praktis dan tidak memerlukan waktu lama. Dengan adanya pemeriksaan Ag NS-l
yang spesifik terdapat pada virus dengue ini diharapkan diagnosis infeksi dengue
sudah dapat ditegakkan lebih dini. Penelitian Dussart dkk (2002) pada sampel
darah penderita infeksi dengue di Guyana menunjukkan Ag NS-l dapat terdeteksi
mulai hari ke-0 (onset demam) hingga hari ke-9 dalarn jumlah yang cukup tinggi.
Pada penelitian ini didapatkan sensitivitas deteksi Ag NS -l sebesar 88,7% dan 91
% sedangkan spesifisitas mencapai 100%, dibandingkan terhadap pemeriksaan
isolasi virus dan RT-PCR dengan kontrol sampel darah infeksi non-dengue20.
Penelitian lainnya di Singapura pemeriksaan NS1- antigen secara Elisa
memberikan sensitivitas sampai 93,3 %. (10)

13

Gambar 2. Kadar IgM dan IgG pada Demam Dengue

2.9 Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk demam dengue, prinsip yang
paling utama adalah terapi suportif. Terapi cairan secara oral merupakan tindakan
paling penting dalam penanganan kasus DBD. Jika asupan cairan secara oral tidak
adekuat, maka diperlukan tambahan secara intravena untuk memenuhi kebutuhan
cairan tubuh. (2)
Telah disusun protokol penatalaksanaan DBD untuk pasien dewasa oleh
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berdasarkan kriteria: (2)
1.
2.
3.

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan berdasarkan indikasi


Praktis dalam pelaksanaan
Mempertimbangkan keefektivitasan biaya

Protokol 1
Penanganan pasien dewasa yang dicurigai DBD tanpa syok (2)

Gambar 3. Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

14

Protokol ini digunakan dalam memberikan pertolongan pertama pada


penderita DBD atau yang dicurigai DBD di Instalasi Gawat Darurat (IGD) serta
untuk memutuskan indikasi rawat. Seseorang yang dicurigai DBD dilakukan
pemeriksaan hemoglobin (Hb), hemotokrit (Ht), dan trombosit di IGD apabila:
1.

Hb, Ht, trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 dapat
dipulangkan atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya
untuk dilakukan pemeriksaan ulang, atau apabila keadaan penderita

2.
3.

memburuk segera kembali ke IGD


Hb, Ht normal, tetapi trombosi < 100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb, Ht meningkat, trombosit normal atau menurun dianjurkan untuk dirawat

Protokol 2
Pemberian cairan pada pasien dewasa yang dicurigai DBD di ruang rawat (2)

Gambar 4. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat


Pasien tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok, maka
dirawat dan diberikan cairan kristaloid dengan rumus:
1500 + [20 x (BB dalam kg 20)]
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht setiap 24 jam:

15

1.

Bila Hb, Ht meningkat 10% - 20% dan trombosit < 100.000, jumlah
pemberian cairan tetap sesuai rumus dan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan

2.

trombosit setiap 12 jam


Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000, jumlah pemberian
cairan sesuai protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3
Penatalaksanaan penderita DBD dengan peningkatan hematokrit > 20%

Gambar 5. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%


Peningkatan Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh telah mengalami defisit
cairan sebanyak 5%. Pada kadaan ini, diberikan cairan 6 7 ml/kg/jam dan pasien

16

dipantau selama 3 4 jam. Apabila terdapat perbaikan dengan tanda penurunan


Ht, penurunan frekuensi nadi, tekanan darah stabil, dan produksi urin meningkat,
maka cairan dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam serta lakukan pemantauan selama dua
jam. Apabila terdapat tanda-tanda perbaikan, maka pemberian cairan diturunkan
menjadi 3 ml/kg/jam. Bila selama pemantauan terus terjadi perbaikan, maka
pemberian cairan dapat dihentikan selama 24 48 jam kemudian. (2)
Apabila tidak terjadi perbaikan dengan tanda hematokrit dan nadi
meningkat, tekanan darah turun < 20 mmHg, dan urin menurun, selama
pemberian cairan awal, yaitu 6 7 ml/kg/jam, maka pemberian cairan harus
ditingkatkan menjadi 10 ml/kg/jam. Bila tampak perbaikan, maka cairan dapat
diturunkan sebanyak 5 ml/kg/jam, tetapi apabila semakin memburuk, cairan harus
ditingkatkan menjadi 15 ml/kg/jam. Apabila setelah dipantau selama dua jam
keadaan semakin memburuk dan didapatkan tanda tanda syok, maka pasien
segera diberikan tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok
teratasi, cairan dapat diberikan seperti terapi cairan awal. (2)
Protokol 4
Penatalaksaan perdarahan spontan pada penderita DBD dewasa (2)

Gambar 6. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada pasien DBD dewasa


17

Perdarahan spontan dan masif pada pasien dewasa ditandai dengan


perdarahan di hidung (epistaksis) yang tidak terkendali dengan tampon,
perdarahan saluran pencernaan (hematemesis, melena, hematoskezia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan 4 5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan tersebut tetap diberikan
tatalaksana pada DBD tanpa syok. Pantau tekanan darah, nadi, pernafasan, da
jumlah urin sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, trombosit, dan
hemostasis, serta dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap 4 6 jam.
Pemberian heparin apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda tanda
koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah sesuai
indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan pada defisiensi faktor pembekuan
darah (PT dan aPTT memanjang). Pocket Red Cell (PRC) diberikan pada Hb < 10
g/dl. Trombosit diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif
dengan jumlah trombosit < 100.000/mm3 dengan atau tanpa tanda KID.
Protokol 5
Penatalaksanaan sindrom syok dengue pada penderita dewasa (2)

18

Gambar 7. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa


Pertama kali yang harus dilakukan adalah syok harus segera diatasi dan
cairan intravaskular yang hilang segera diganti. Kematian pada sindrom syok
dengue (SSD) terjadi sepuluh kali lipat dibandingkan dengan DBD tanpa syok.
Kejadian ini terjadi akibat keterlambatan pasien mendapatkan pertolongan,
kurangnya keawaspadaan terhadap tanda tanda awal syok, dan penatalaksanaan
yang tidak adekuat. (2)
Adapula beberapa rencana penatalaksanaan komprehensif adalah :
a. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik (Parasetamol 3 x 500- 1000
mg).
b. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
c. Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah dengue, yaitu:

19

Gambar 8. Alur penanganan pasien dengan demam dengue/demam berdarah dengue

Selain itu pada pasien demam berdarah perlu juga dilakukan konseling dan
edukasi. Adapun beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam konseling dan
edukasi adalah : (2)
a. Prinsip konseling pada demam berdarah dengue adalah memberikan
pengertian kepada pasien dan keluarganya tentang perjalanan penyakit dan
tata laksananya, sehingga pasien dapat mengerti bahwa tidak ada
obat/medikamentosa untuk penanganan DBD, terapi hanya bersifat

20

suportif dan mencegah perburukan penyakit. Penyakit akan sembuh sesuai


dengan perjalanan alamiah penyakit.
b. Modifikasi gaya hidup
1. Melakukan kegiatan 3M menguras, mengubur, menutup.
2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makanan
bergizi dan melakukan olahraga secara rutin.
Pada beberapa kasus yang tidak dapat diterapi di pelayanan kesehatan
primer, seorang dokter dapat merujuk pasien dengan demam berdarah jika ada
beberapa kriteria berikut: (2)
a.

Terjadi perdarahan masif (hematemesis, melena).

b.

Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15 ml/kg/ jam kondisi


belum membaik.

c.

Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim, seperti kejang,
penurunan kesadaran, dan lainnya.

PERMASALAHAN
Dalam melaksanakan kebijakan pencegahan penyakit Demam Berdarah di
wilayah kerja puskesmas keeling 1 terdapat beberapa kendala yang diungkapkan
oleh pemegang program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), antara lain ;
1. Kurangnya

pengetahuan

tentang

Penyakit

Demam

Berdarah

dikarenakan pendidikan
2. Kurangnya kesadaran tentang kesehatan dan kebersihan lingkungan di
rumah mapun di lingkungan.
21

PELAKSANAAN KEGIATAN

Untuk menyikapi permasalahan pada program Pemberantasan Penyakit


Menular (P2M) di Puskesmas Keling 1 maka tercetuslah beberapa usulan kegiatan
yang diharapkan dapat diterapkan untuk terlaksananya program pencegahan
Demam Berdarah di Puskesmas Keling 1, antara lain :
1. Mengumpulkan seluruh kader Puskesmas Keling 1 untuk diberi
penjelasan mengenai program pencegahan penyakit Demam Berdarah
yang ada di Puskesmas Keling 1.

22

2. Memberikan penyuluhan mengenai penyakit Demam Berdarah dan


program pencegahannya.
3. Melakukan penyuluhan

tentang

kesehatan

lingkungan

untuk

menumbuhkan kesadaran tentang kebersihan lingkungan menekan


penyakit menular

BAB III
PEMBAHASAN

Keberhasilan dalam pelaksanaan usulan program P2M puskesmas


Keling 1 tentunya harus didukung dengan kerjasama yang baik antara
pemegang program, pelaksana program, dan sector terkait.

23

KESIMPULAN DAN SARAN

1.

KESIMPULAN
Permasalahan

pada

program

P2M

khususnya

pencegahan Demam Berdarah bagi masyarakat cakupan


puskesmas keling 1 dipecahkan dengan beberapa usulan
program kegiatan yang tersebut di atas.

2.

SARAN
Perlunya kerjasama yang baik dan berkesinambungan antara
pemegang program, pelaksana, para calon transmigran, dan pihak pihak
terkait.

24

DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Pusat Promosi Kesehatan,. 2011.


Panduan Bagi Petugas Kesehatan di Puskesmas

Panduan pencegahan penyakit Demam Berdarah, Departemen Kesehatan, 2009

25

Anda mungkin juga menyukai