Anda di halaman 1dari 24

SEPATU MUNGIL

DRAMA SERI 6 EPISODE

Episode 1: Janji Yang Terucap


Episode 2: Termakan Rayuan
Episode 3: Janji Tak Terpenuhi
Episode 4: Kembali Terjerat
Episode 5: Datangnya Malapetaka
Episode 6: Arti Sebuah Pengorbanan
Disusun oleh Yung Darius
berdasarkan traktat yang diterbitkan oleh
CHICK PUBLICATIONS
untuk keperluan pelayanan pada
PD 10 MALAM
Gereja Kristus Ketapang
JAKARTA

EPISODE 1:

JANJI YANG TERUCAP


Adegan 1.
Sebuah ruang tamu yang amat sederhana, terdapat beberapa kursi dan meja yang tampak sudah usang. Sebuah
salib kayu yang sudah tua tergantung di dinding yang kusam. Di sudut, di atas sebuah lemari kecil yang
setengah reyot, terdapat lampu minyak. Seorang anak kecil sedang duduk bermain di lantai.
001. Ayah

: (Masuk dari kiri. Bertopi dan berpakaian agak lusuh) Yuanita, sedang apa kau di situ?

002. Yuanita

: Oh, papa. Papa sudah mau berangkat ya? Lihat, pa. Gambar Yuan bagus tidak?

003. Ayah

: Oh, bagus, bagus sekali. Kamu memang berbakat melukis anakku. Di mana kamu melihat
pemandangan seindah ini?

004. Yuanita

: Di samping rumah Pak Predo. Aku pernah bermain-main di sana bersama Maria.
Pemandangannya indah sekali. Ingin rasanya aku mempunyai rumah dengan halaman yang
luas dan indah seperti itu, papa.

005. Ayah

: Rumah Pak Predo? Hati-hati Yuan, kabarnya Pak Pedro sangat galak, lagi pula ia
memelihara banyak anjing-anjing penjaga, nanti kalian digigit anjing-anjing itu.

006. Yuanita

: Tidak, papa, kalau siang hari, anjing-anjing itu dikurung. Lagi pula kami tidak sampai
masuk ke halaman rumahnya.

007. Ayah

: Yah, hati-hati saja, jangan sampai kalian celaka, sebaiknya sih bermain di tempat lain saja,
kan masih banyak tempat bermain yang lain

008. Yuanita

: Habis, di situ pemandangannya indaaaaahh.. sekali

009. Ayah

: Yuanita, kalau papa kaya nanti akan papa beli tanah itu untukmu

010. Yuanita

: Tidak, papa aku tidak bermimpi seindah itu aku cuma aku cuma

011. Ayah

: Ada apa Yuan, mengapa tiba-tiba kau nampak sedih?

012. Yuanita

: Papa, kalau boleh aku meminta aku ingin sekali

013. Ibu

: (Masuk membawa secangkir teh dan sepotong roti) Yuan, kau mulai lagi mengganggu
papamu. Nanti papamu terlambat lagi masuk kerja.

014. Ayah

: Tidak apa, Magda. Biarkan Yuanita menyampaikan keinginannya. Aku masih punya cukup
waktu...

015. Ibu

: Iya, minggu yang lalu kau sudah terlambah dua kali. Kalau sering-sering terlambat, bisabisa kau dikeluarkan nanti. Lalu, kau mau kerja apa...lalu...

016. Ayah

: Sudah, sudah, biarkan Yuan bicara...

017. Ibu

: Ah, kau memang selalu memanjakannya!

018. Ayah

: Bukankah Yuanita anak kita satu-satunya, sudah sepantasnya kan aku memanjakannya.

019. Ibu

: Iya, iya, papa maunya selalu menang sendiri...

020. Ayah

: Bukan begitu...

021. Yuanita

: Sudah, papa, mama, jangan bertengkar lagi...

022. Ayah

: Tidak, Yuan, kami tidak bertengkar kami hanya berdiskusi. Ayo, coba katakan apa
permintaanmu tadi...

023. Yuanita

: Kalau papa punya uang, Yuan hanya ingin sepatu mungil...

024. Ayah

: Sepatu mungil...?

025. Ibu

: Oh ya, Yuan memang perlu sepatu. Ia selalu mengeluh kakinya kedinginan...

026. Yuanita

: Iya, papa. Kakiku selalu kedinginan. Kalau saja aku punya sepatu..

027. Ayah

: Tentu, tentu saja, anakku. Kau pasti memilikinya. Setelah gajian, akan segera papa belikan
sepasang sepatu mungil untukmu.

028. Yuanita

: Terima kasih, papa...

029. Ibu

: Jangan mudah berjanji, untuk makan saja sudah susah, dari mana uang lebih untuk
membeli sepatu?

030. Ayah

: Magda, kau tenang saja. Berdoalah, Tuhan pasti mendengar doa kita... Sekarang aku mau
berangkat dulu...

031. Ibu

: Dimakan dulu sarapannya...

032. Ayah

: Biar untuk Yuan saja! Yuanita, kau baik-baik di rumah ya, ingat jangan main jauh-jauh
dan jangan lupa membantu mama...

033. Yuanita

: Iya, papa, dadaaag...

034. Ayah

: Daaagg...

035. Ibu

: Hati-hati di jalan...

Ayah keluar ke kanan. Ibu membimbing Yuanita.


036. Yuanita

: Mama, Yuan makan rotinya ya...

037. Ibu

: Ya, setelah itu bereskan peralatan gambarmu, jangan berantakan seperti itu. Mama mau
mencuci pakaian dulu...

038. Yuanita

: Iya, ma.

Ibu keluar ke kiri. Yuanita memakan roti sambil menggambar. Musik terdengar sendu. Cahaya redup per-

lahan-lahan. Black out.


Adegan 2.
Di ruangan yang sama seperti pada Adegan 1, cahaya menyala agak redup. Yuanita nampak masih
menggambar di lantai. Terdengar ketukan perlahan di pintu. Yuanita melihat ke pintu, lalu meneruskan
gambar. Suara ketukan terdengar lagi, agak keras. Yuanita bangun dan menghampiri pintu.
039. Yuanita

: (Membuka pintu) Oh, tante... silakan masuk...

040. Hanna

: (Melangkah masuk) Mamamu ada, Yuan?

041. Yuanita

: Ada. Duduk dulu, tante. Yuan panggilkan mama. (Berlari keluar).

Sebentar kemudian Ibu masuk diikuti Yuanita.


042. Ibu

: Hanna... pagi-pagi sudah sampai ke sini.. ada apa? (Kepada Yuanita) Ayo, Yuan bereskan
peralatan gambarmu dan bawa ke dalam!

043. Yuanita

: Ya, ma. (Membereskan peralatan gambarnya dan membawa ke luar).

044. Ibu

: Bagaimana, Hanna. Ada apa, kok tidak biasa-biasanya?

045. Hanna

: Ah, tidak, cuma kebetulan lewat saja. Lagipula sudah lama tidak ketemu kakak.

046. Ibu

: Iya, ya, rasanya sudah lama sekali tidak bertemu dengan kamu, Hanna. Bagaimana dengan
suami dan anak-anakmu?

047. Hanna

: Eeemm... mereka... (Tampak ragu) mereka baik-baik saja...

048. Ibu

: Oh ya, suamimu masih suka berlayar?

049. Hanna

: Ya, ya, masih.. masih, kak.

050. Ibu

: Lho, kamu kelihatan pucat dan agak gelisah? Kenapa, Hanna? Apa kamu sakit?

051. Hanna

: Tidak, kak... tidak... saya tidak apa-apa... saya...

052. Ibu

: Kalau ada yang memnyusahkan hatimu, katakan saja pada kakak. Bukankah sejak kecil,
kamu sudah kakak anggap seperti adik kandung sendiri...

053. Hanna

: (Mulai menangis) Saya tidak tahu harus berkata apa...

054. Ibu

: Katakan saja, kalau-kalau kakak bisa membantu.

055. Hanna

: Suamiku, Harry... (Terhenti oleh isakan).

056. Ibu

: Kenapa suamimu? Ada apa dengan Harry? Ayo, bicaralah...

057. Hanna

: Sudah enam bulan ia pergi berlayar, tapi sampai sekarang tak ada kabar beritanya,
malahan... malahan...

058. Ibu

: Malahan kenapa....? Kalau bicara yang jelas, dong. Jangan putus-putus begitu, kakak jadi
ikut bingung!

059. Hanna

: Iya... malahan menurut kabar yang saya dengar, Harry sebenarnya tidak pergi berlayar,
tapi... tapi... (Menangis terisak-isak).

060. Ibu

: Tapi, kenapa?!

061. Hanna

: Ia punya pacar lagi, ia tinggal di rumah pacarnya! (Tangisnya meledak).

062. Ibu

: (Kaget) Astaga...! Hanna! Hati-hati bicaramu! Ngawur saja!

063. Hanna

: Saya sudah berusaha untuk tidak percaya, tapi kabar tersebut semakin santer...

064. Ibu

: Sudah, sudah, tenangkan pikiranmu, jangan mudah terpengaruh berita-berita yang belum
tentu kebenarannya. Banyak-banyaklah berdoa dan berserah kepada Tuhan. Sebab hanya
Tuhanlah tempat yang tepat bagi kita untuk mengadu. Sekarang, pulanglah, pasti anakanakmu sedang menunggumu.

065. Hanna

: Tapi, Noni...

066. Ibu

: Ada apa dengan si bungsu Noni?

067. Hanna

: Sudah tiga hari ia demam, panasnya tidak mau turun-turun...

068. Ibu

: Sudah kamu bawa ke dokter?

069. Hanna

: Belum...

070. Ibu

: Kenapa? Sebaiknya cepat-cepat kamu bawa ke dokter sebelum sakitnya bertambah parah.
Kan sekarang sedang musim demam berdarah.

071. Hanna

: Saya.. saya sudah tidak punya uang...

072. Ibu

: Ya, Tuhan. Lalu, bagaimana jadinya ini?

073. Hanna

: Tolonglah, kak. Pinjami dulu seratus ribu...

074. Ibu

: Seratus ribu? Aduh, Hanna, darimana kakak punya uang sebanyak itu?

075. Hanna

: Tolonglah kak, untuk membawa Noni ke dokter...

076. Ibu

: (Berpikir keras) Sebentar.. (Keluar. Sebentar kemudian, masuk kembali membawa sebuah
amplop lusuh) Ini, hanya ada beberapa ribu, yang sebenarnya kakak kumpulkan untuk
membeli sepatu dan pakaian Yuanita. Kau pakai saja dulu.

077. Hanna

: Terima kasih, kak...

078. Ibu

: Nah, cepat-cepatlah pulang. Pasti Noni sangat membutuhkanmu...

079. Hanna

: Iya... permisi, kak...

080. Ibu

: Hati-hati...

Hanna keluar. Ibu menutup pintu, berbalik dan menarik napas panjang, lalu berjalan keluar. Sementara cahaya
redup perlahan-lahan. Musik mengalun sendu. Black Out.

EPISODE 2:

TERMAKAN RAYUAN
Adegan 1.
Sore hari. Kedai minum. Di tengah kanan ada meja makan persegi dengan beberapa kursi kayu. Di belakang
ada rak dengan botol-botol minuman. Di kiri panggung terdapat penjual sepatu., dengan pajangan beberapa
pasang sepatu, dengan seorang tukang sepatu yang sedang mengerjakan sepatu. Dekat meja makan, dua orang
lelaki sedang duduk minum-minum. Tak lama kemudian Ayah muncul di kanan panggung sambil
menghitung-hitung uang.
001. Ayah

: (Berbicara pada diri sendiri) Sekarang aku dapat membeli sepatu untuk anakku...
(Memandang ke arah tukang sepatu).

002. Pria 1

: Hei, coba lihat, siapa yang datang.... (Setengah berbisik kepada temannya).

003. Pria 2

: Ooh, bukankah itu Robert? Aku dengar, tempat kerjanya baru saja membagi-bagikan
bonus. Ayo, kita dekati dia dan kita ambil dari padanya. Bagaimana?

004. Pria 1

: Aha, satu ide yang bagus tentu saja! (Berpaling ke Ayah) Hai! Robert! Mau ke mana
tergesa-gesa? Hari masih siang!

005. Ayah

: (Sedikit terkejut, cepat-cepat memasukkan uangnya ke saku) Oh, kalian ada di sini?
Sedang apa kalian?

006. Pria 1

: Seperti yang kamu lihat. Minum-minum sedikit, menghangatkan badan di udara yang
dingin seperti ini.

007. Pria 2

: Ayolah, mampir sebentar, minum-minum sedikit bersama kami.

008. Ayah

: Maaf, lain kali saja. Sekarang aku sedang terburu-buru, mau membeli sepatu untuk anakku
Yuanita.

009. Pria 1

: Aah, ini kan masih siang. Minum-minum dulu sebentar. Kamu bisa membeli sepatunya
nanti. Bukankah begitu Denny? (Ke arah pria yang satu).

010. Pria 2

: Ya, ya, kukira tepat sekali kata-katamu itu, Alfred! Ayolah, Robert, jangan kau sia-siakan
kesempatan baik ini. Sudah lama kan kita tidak minum bersama. Kapan lagi ada
kesempatan sebaik ini?

011. Ayah

: (Setelah berpikir sejenak) Baiklah kalau begitu. Tapi, jangan lama-lama. Aku kuatir toko
sepatunya sudah tutup.

012. Pria 1

: Jangan kuatir, sebentar saja, kami juga masih harus menyelesaikan beberapa perkerjaan.
Bukankah begitu Denny?

013. Pria 2

: Ya, ya!

Ayah melangkah masuk dan duduk di kursi yang masih kosong.

014. Pria 1
015. Rodena

: Rodena!
: (Suara dari luar) Ya!?

016. Pria 1

: Minumnya tambah satu lagi!

017. Rodena

: Ya!

Tak lama kemudian muncul seorang perempuan membawa minuman.


018. Rodena

: Ini, Tuan, minumannya.

019. Pria 1

: Berikan pada Bapak ini.

020. Rodena

: Silakan diminum, Tuan. Kalau kurang, silakan tambah lagi.

021. Pria 1

: Terima kasih, Rodena dan ini tip untukmu.

022. Rodena

: Terima kasih. (Out).

023. Pria 2

: Ayo, Robert, silakan dicicipi minumannya. Sedap sekali rasanya di udara dingin-dingin
seperti ini.

024. Ayah

: Sebenarnya.... sudah agak lama aku tidak minum. Kesehatanku akhir-akhir ini kurang
baik. Dokter menganjurkan aku berhenti minum.

025. Pria 1

: Alaah... jangan terlalu percaya pada kata-kata dokter. Umumnya mereka cuma menakutinakuti saja.

026. Pria 2

: Betul, Robert. Contohnya, pamanku itu. Dokter bilang kalau ia tidak berhenti merokok,
umurnya hanya akan bertahan enam bulan saja, karena ada gejala tumor pada paruparunya. Pamanku tidak peduli. Eh, nyatanya sudah lewat enam tahun, pamanku itu masih
segar bugar. Malahan beberapa bulan yang lalu, dokter yang dulu menasehatinya itu, lebih
dulu dipanggil Tuhan. Ha, ha, ha....

027. Pria 1

: Ah, kau ini bisa saja, Denny. Dokter itu kan matinya bukan karena sakit, tapi jatuh dari
atap rumahnya waktu memperbaiki genteng yang bocor. Ayo, Robert, diminum saja, aku
jamin tidak akan membuat kau sakit, ha, ha, ha....

Setelah memandangi minuman tersebut beberapa saat, akhirnya Ayah meminumnya.


028. Pria 2

: Nah, begitu. Enak bukan? Tambah lagi ya!?

029. Ayah

: Ah, jangan, jangan. Ini saja sudah membuat jantungku berdebar-debar.

030. Pria 1

: Kamu ini bagaimana sih, Robert? Kalau jantung tidak berdebar-debar lagi, malah repot
jadinya.

031. Ayah

: Bukan begitu... maksudku...

032. Pria 1

: Aaah... sudah, sudah, kamu ini seperti anak remaja yang baru belajar minum saja!

033. Pria 2

: Hei, jangan sembarangan omong. Remaja-remaja sekarang sudah hebat-hebat! Malahan


kita yang tua-tua ini, sudah kalah sama mereka...

034. Pria 1
035. Pria 2

: Ah kamu... sok tua ah!


: Lho, lho, memang begitu kan kenyataannya...

036. Ayah

: Sudah, sudah, tidak usah bertengkar. Oke, aku minum segelas lagi, sesudah itu aku mau
pulang.

037. Pria 1

: Nah... begitu...., itu baru teman namanya....

Mereka melanjutkan minum. Suara musik hiruk pikuk. Cahaya redup perlahan-lahan. Black Out. Musik
berhenti.
Adegan 2.
Di ruangan yang sama seperti di adegan 1. Sunyi. Ayah berdiri agak terhuyung. Tukang sepatu sedang
membereskan dagangannya, lalu keluar.
038. Ayah

: Sudah, aku mau pulang dulu, aku sudah tidak kuat lagi....

039. Pria 2

: Lho, lho, kok buru-buru, hari belum lagi malam.

040. Ayah

: Tidak, aku harus membeli sepatu untuk anakku, aku harus segera pulang!

041. Pria 1

: Ah, sudahlah Robert, aku lihat peruntunganmu sedang bagus hari ini. Ayolah kita main
kartu sebentar.

042. Pria 2

: Ya, Robert. Saya kira... itu usulan yang bagus. Bukankah kau bisa melipatgandakan
uangmu. Dengan uang yang banyak, kau bisa menyuruh istrimu Magda membelikan sepatu
yang terbagus untuk anakmu.

043. Ayah

: Jangan, aku sudah berjanji pada Yuanita, akan segera pulang membawakan sepatu baru
untuknya.

044. Pria 1

: Saya kira, besok masih ada banyak waktu untuk membelikan anakmu sepatu. Bahkan
kalau kamu menang, kamu bisa membelikan selusin sepatu untuk anakmu.

045. Ayah

: Tidak.... aku sudah berjanji pada istriku, tidak akan pernah menyentuh kartu lagi.

046. Pria 1

: Sebentar saja!

047. Pria 2

: Sudahlah, Alfred, jangan terlalu mendesak orang. Mungkin saja Robert sudah lupa
bagaimana bermain kartu. Mungkin saja ia sudah menjadi suami dan ayah yang baik.

048. Pria 1

: Atau... sebenarnya ia takut menghadapi kita....

049. Ayah

: Apa?! Takut pada kalian?!

050. Pria 2

: Ya! Saya kira, itu alasan yang sebenarnya, bukan?!

051. Pria 1

: Ha, ha, ha, ha.... sungguh suatu berita yang bagus! Robert, si raja kartu, takut dengan
tikus-tikus kecil seperti kita ini! Ha, ha, ha...

052. Pria 2

: Bayangkan, Alfred, kalau berita ini tersebar ke mana-mana, bayangkan....

053. Ayah

: (Sambil terhuyung-huyung, mulai terpancing emosinya) Hei, jangan sembarang bicara


kalian! Siapa yang takut pada kalian, hah?!

054. Pria 1

: Kalau tidak takut, mengapa kamu menolak ajakan kami, hah?!

055. Ayah

: Sudah kukatakan, aku harus pulang, aku tidak punya waktu!

056. Pria 2

: Aaah!! Itu kan cuma alasanmu saja!

057. Pria 1

: Alasan yang sebenarnya, kau takut pada kami, iya kan!?

058. Pria 2

: Ayo, Robert, akui saja itu! Kau takut kan?!

059. Ayah

: Tidak! Aku tidak pernah takut pada kalian! Sekalipun ada seribu, akan kuhadapi! Dan
akan kubikin kalian bertekuk lutut di hadapanku!

060. Pria 1

: Buktikan kata-katamu itu, buktikan!

061. Ayah

: Ayo, kita bertaruh habis-habisan, akan kubuktikan, aku tidak takut pada kalian. Dan kalian
akan rasakan akibatnya nanti!

062. Pria 1

: Oke! Denny, siapkan kartu-kartunya!

063. Pria 2

: Tenang saja, Alfred, aku telah mempersiapkannya dengan baik. Ayo, kita mulai!

Mereka mulai bermain kartu. Musik gegap gempita. Cahaya redup perlahan-lahan. Black out.

EPISODE 3:

JANJI TAK TERPENUHI


Adegan 1.
Rumah Yuanita. Malam hari. Cahaya redup (lampu minyak). Ibu sedang duduk menambal baju Yuanita
yang robek. Yuanita sedang menggambar, sebentar-sebentar ia terkantuk. Sesekali terdengar bunyi serangga
malam dan lolongan anjing di kejauhan.
001. Yuanita

: Mama, kok papa belum pulang..?

002. Ibu

: Entahlah, Yuan, mungkin masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan papamu. Kalau
kamu sudah ngantuk, pergilah tidur, Yuan.

003. Yuanita

: Sebentar lagi, mama...

004. Ibu

: Yuanita, jangan terlalu memaksakan diri, nanti kamu sakit. Ini sudah larut malam, biar
mama saja yang menunggu papamu pulang...

005. Yuanita

: Tapi, Yuan mau selesaikan gambarnya, ma...

006. Ibu

: Mau menyelesaikan gambar, apa mau menunggu papamu pulang?

007. Yuanita

: Dua-duanya... (Mendekati Ibu, memperlihatkan gambarnya) Nih, coba lihat, ma. Bagus
tidak?

008. Ibu

: Uh, tentu saja bagus, anak Mama.... Kalau besar nanti, kau mau jadi pelukis?

009. Yuanita

: Iya..., ma. Kan jadi pelukis, banyak uangnya, ma...

010. Ibu

: Kalau uangnya banyak, terus mau apa...?

011. Yuanita

: Mau... mau... mau apa ya....? Eeee... mau beli... sepatu, yang banyak!

012. Ibu

: Sepatu? Kok sepatu....

013. Yuanita

: Iya.. supaya kaki Yuan..., tidak kedinginan lagi.

014. Ibu

: Oh! Terus..., mama dibelikan tidak?

015. Yuanita

: Tentu dong ma.

016. Ibu

: Papa?!

017. Yuanita

: Papa juga....

018. Ibu

: Nah, kalau begitu, supaya Yuan cepat besar dan cepat jadi pelukis ternama, harus istirahat
yang cukup, jadi... sekarang Yuan tidur ya...!

019. Yuanita

: Sebentar lagi, ma... sebentar...saja...

10

Terdengar bunyi lonceng 12 kali di kejauhan.


020. Ibu

: Nah, sudah tengah malam, Yuan. Ayo, pergilah tidur...

021. Yuanita

: Tapi... Yuan ingin lihat sepatunya...

022. Ibu

: Besok saja, Yuan, lagipula mungkin papamu sibuk hari ini dan belum sempat
membelinya....

023. Yuanita

: Tapi papa sudah janji.

024. Ibu

: Iya, mungkin tidak hari ini membelinya. Ayo, cuci kakimu yang bersih, terus tidur.
Jangan lupa berdoa. Supaya besok, sepatu barumu sudah menanti...

025. Yuanita

: Ah, mama... (Sambil berjalan keluar).

Cahaya redup perlahan. Black out.


Adegan 2.
Suasana yang sama dengan adegan 1. Ibu masih menambal pakaian yang robek. Terdengar lonceng
berdentang 1 kali di kejauhan. Lalu terdengar ketukan di pintu.
026. Ayah

: (Perlahan) Magda... Magda...

027. Ibu

: (Menghampiri pintu, menempelkan Ya.. kaukah itu Robert?

028. Ayah

: Ya...

029. Ibu

: Mengapa malam sekali..?

030. Ayah

: Nanti... aku ceritakan... buka dulu pintunya...

Ibu membuka pintu. Ayah masuk dengan terhuyung-huyung.


031. Ibu

: Robert...! Apa yang terjadi denganmu?!

032. Ayah

: Magda... aku... aku...

033. Ibu

: Ro...bert! Kau mabuk?! Kau minum lagi!? Kau...

034. Ayah

: Magda... aku... maafkan aku...

035. Ibu

: Kenapa kau lakukan itu, Robert, kenapa?! Bukankah dokter Anton sudah bilang, kamu
tidak boleh minum lagi....! Tidak boleh minum lagi! Kalau kamu lakukan juga, jantungmu
bisa berhenti mendadak! Apa kau menginginkan itu terjadi, Robert?!

036. Ayah

: Magda... dengarkan dulu penjelasanku... jangan terus berbicara seperti itu...

037. Ibu

: Apa lagi yang mau dijelaskan, Robert? Kau sudah berjanji akan berhenti minum dan akan
mulai menabung untuk anak kita Yuanita, sekarang kau...

038. Ayah

: Ini semua bukan atas kehendakku, Magda. Aku telah dijebak, ditipu, dan dirampas...

11

039. Ibu

: Dijebak, ditipu, dirampas! Apa maksudmu?! Apakah kau kira aku akan mempercayai
begitu saja semua alasanmu itu?!

040. Ayah

: Itu semua terserah padamu, Magda. Apa yang ingin aku katakan adalah benar! Setelah
mengambil gaji, aku bergegas mau membeli sepatu untuk Yuanita..., sebelum sampai ke
penjual sepatu, aku bertemu Denny dan Alfred yang mengajukku minum...

041. Ibu

: Lalu , kau menerimanya tanpa menolak...

042. Ayah

: Aku sudah berusaha menolak, tapi mereka terus memaksa sampai aku tak kuasa menolak
lagi.

043. Ibu

: Lalu, di mana sepatu untuk Yuanita...

044. Ayah

: Aku belum membelinya...

045. Ibu

: Mengapa?

046. Ayah

: Uang sudah habis...

047. Ibu

: Habis..!? Habis bagaimana, maksudmu?

048. Ayah

: Setelah minum, mereka juga memaksaku main kartu dan aku...

049. Ibu

: Aduuuh, Robert....! Kenapa sampai begini jadinya! Lalu kita mau makan apa besok? Dari
mana kita punya uang untuk membeli makanan?!

050. Ayah

: Aku tidak tahu, Magda, aku tidak tahu, aku mau tidur sekarang. Tinggalkan aku sendiri...
tinggalkan aku sendiri, Magda...

Ibu mundur beberapa langkah, berbalik dan keluar sambil terisak. Ayah duduk terhenyak di bangku sambil
memegangi kepalanya. Beberapa saat kemudian Yuanita muncul dengan setengah mengantuk.
051. Yuanita

: Mama... ada apa ribut-ribut....?

052. Ayah

: Oh, Yuan... mengapa kamu belum tidur...?

053. Yuanita

: Papa... papa sudah pulang? Yuan terbangun karena suara ribut-ribut...

054. Ayah

: Oh! Tidak ada apa-apa, anakku. Ayo, pergi tidur lagi saja!

055. Yuanita

: Papa.. apakah papa membawakan sepatu mungil untukku...?

056. Ayah

: Aduh, kepalaku... (Memegangi kepalanya).

057. Yuanita

: Mana papa... mana sepatu untukku?

058. Ayah

: Sudah, Yuanita! Pergi sana! Jangan ganggu aku, kepalaku pusing, aku sakit...

059. Yuanita

: Papa, katanya aku dapat mempercayaimu. Papa bohong! Tuhan tak ingin pembohong
masuk surga, papa...!

060. Ayah

: Diamlah, Yuanita! Pergi dari sini!

12

061. Yuanita

: Aku mencintaimu, papa. Tuhan Yesus mencintaimu juga....

Yuanita berbalik dan berlari keluar. Ayah terdiam sambil memegangi kepalanya. Sesaat sunyi, hanya
terdengar lolongan anjing yang menyayat hati di kejauhan.
062. Yuanita

: (Hanya suara) Oh Tuhan, buatlah papaku berhenti berbohong, supaya dia dapat masuk
surga kelak....

063. Ibu

: (Hanya suara) Bapa di surga, bagaimanapun caraMu, aku berdoa agar suamiku
diselamatkan. Dalam nama Tuhan Yesus.

064. Ibu &


Yuanita

: Amin.

Ayah tertidur tertelungkup di meja. Cahaya redup perlahan-lahan. Black out. Ayah keluar.

13

EPISODE 4:

KEMBALI TERJERAT
Adegan 1.
Pentas seperti pada Episode 2 (Kedai minum dan penjual sepatu). Sore hari. Musik terdengar agak
riuh. Pria 1 (Alfred) sedang duduk memainkan gelas minuman. Sebentar kemudian, datang Pria 2
(Denny).
001. Pria 1

: Hai, Denny! Dari mana saja kau, sudah seminggu tak nampak batang hidungnya!?

002. Pria 2

: Sssst...! Aku habis berkeliling, melihat-lihat suasana, sambil mencari-cari, barangkali saja
ada proyek menarik yang bisa digarap!

003. Pria 1

: Lagakmu, Denny... lagakmu itu, ha, ha, ha....

004. Pria 2

: Lho... memangnya ada apa dengan lagakku, Alfred?

005. Pria 1

: Sudah seperti konglomerat sungguhan! Bikin perutku sakit dan ingin muntah saja! Oek...
oek... phui...!

006. Pria 2

: Hei, kau pikir aku main-main, Alfred. Aku sedang bicara sungguhan!

007. Pria 1

: Nah, nah, betul kan. Makin tak tahan saja aku melihat tingkahmu itu. Sudahlah, Denny,
hentikan leluconmu itu, sebelum aku benar-benar muntah....

008. Pria 2

: Ya sudah, kalau begitu. Terserah kau sajalah, mau ikut apa tidak!

009. Pria 1

: Oke, oke, aku menyerah... katakan ada apa sebenarnya. Jangan merengut seperti itu! Aku
cuma main-main saja!

010. Pria 2

: Huh, kalau tahu akan dipermainkan seperti itu, lebih baik aku tidak membicarakannya
denganmu!

011. Pria 1

: Sorry, sorry, friend. Jangan marah lagi! Ayo, coba ceritakan hasil temuanmu, setelah
keliling seharian. Tapi sebelumnya, kau mau minum apa, aku yang traktir deh....

012. Pria 2

: Seperti yang biasa saja!

013. Pria 1

: Nah, begitu dong. Rodena....!

014. Rodena

: (Memunculkan kepalanya) Ya, tuan...

015. Pria 1

: Bawakan ke mari, segelas minuman terbaik untuk tuan Denny!

016. Rodena

: Baik, Tuan! (Sebentar kemudian, muncul membawa segelas minuman untuk Pria 2) Ini,
minumannya, silakan tuan....

Rodena out.
017. Pria 1

: Oke, sekarang ceritakanlah mengenai proyekmu itu....

14

018. Pria 2

: Begini, kau masih ingat dengan Robert?

019. Pria 1

: Robert? Ha, ha, ha.... kau ini sedang mimpi atau mau meledek aku, hah!?

020. Pria 2

: Aku bicara serius!

021. Pria 1

: Robert itu kan baru seminggu yang lalu minum-minum bersama kita di sini dan
membagi-bagi rejeki dengan kita.

022. Pria 2

: Naaah...., itulah persoalannya.....

023. Pria 1

: Persoalan apa maksudmu?

024. Pria 2

: Pertama, ia baru saja menerima gaji mingguannya....

025. Pria 1

: Oh ya!? Wah, asyik dong.... kapan kita ambil lagi darinya?

026. Pria 2

: Kau tenang saja. Aku dengar, ia sedang mencari-carimu....

027. Pria 1

: Hah!? Apakah ia mau membalas dendam padaku!? Begitukah, Denny!?

028. Pria 2

: Ha, ha, ha.... lihat tampangmu, Alfred, lihat tampangmu itu. Sungguh menggelikan,
seperti anak kecil yang ketahuan mencuri mangga di rumah Pedro, ha, ha, ha.....

029. Pria 1

: Sudah, Denny. Jangan bercanda!

030. Pria 2

: Ha, ha, ha....

031. Pria 1

: Denny... aku serius, Denny... Apa yang dikatakan Robert tentang aku....

032. Pria 2

: Ha, ha, ha.....

033. Pria 1

: Denny! (Menghampiri dan mengguncang-guncang Denny) Kau sudah gila ya!?

Pria 2 (Denny) terus tertawa-tawa. Cahaya redup perlahan-lahan. Musik hingar-bingar. Black out.
Adegan 2.
Denny masih tertawa-tawa, sementara Alfred tampak penasaran. Tiba-tiba muncul Robert.
034. Ayah

: Aha, akhirnya kutemukan juga kau di sini, Alfred!

035. Pria 1

: Oh, Robert, mau apa kau, mencari-cari aku?

036. Ayah

: Ah, tidak, bukankah kita ini teman, apa salahnya kalau aku selalu ingat padamu.

037. Pria 2

: Sorry, sebaiknya aku pergi dulu, masih ada sedikit urusan yang harus kuselesaikan.

038. Ayah

: Tidak, Denny. Kau tetap di sini. Aku ingin mentraktir kalian minum.

039. Pria 1

: Oh, aku... aku....

040. Ayah

: Ada apa denganmu, Alfred? Mengapa kau tampak pucat? Apakah kau sakit?

15

041. Pria 1

: Oh, tidak, tidak... aku cuma sedikit heran, mengapa kau tiba-tiba sangat baik padaku?
Apakah... apakah...

042. Ayah

: Jangan punya prasangka yang tidak-tidak. Aku lagi kepingin menraktir kalian saja, begitu.
Apa kalian tidak mau?

043. Pria 1

: Oh, boleh, boleh saja... tapi... jangan lama-lama, aku, aku....

044. Ayah

: Jangan kuatir.... aku tahu, kalian orang-orang sibuk...


Hei, Pak! Tambah lagi minumannya, tiga botol!

045. P.Kedai

: Ya...., tuan! (Sebentar kemudian, masuk membawa beberapa botol minuman).


Ini cukup, tuan?

046. Ayah

: Ya, ya, untuk sementara cukup. Kalau kurang, aku akan minta lagi.

047. P.Kedai

: Baik, tuan, baik.... (Keluar).

048. Ayah

: Ayo, Alfred, Denny. Silakan minum sepuas-puasnya. Kalau kurang, silakan tambah lagi!

049. Pria 1

: Cukup, cukup, aku kira tidak perlu tambah lagi. Bukankah begitu, Denny?

050. Pria 2

: Ya, betul, Robert. Tadi, sebelum kau datang, kami sudah minum dua gelas....

051. Ayah

: Ah, tidak apa-apa. Biasanya kalian minum lebih dari itu! Mengapa tiba-tiba hari ini
kalian seperti orang yang belum pernah minum!?

052. Pria 2

: Bukan, begitu. Uang kami sudah habis. Kami kuatir tidak punya uang untuk membayar
minumnya.

053. Ayah

: Lho, kan tadi aku sudah bilang. Hari ini, aku ingin mentraktir kalian minum! Apa kau
tidak mendengarnya, Denny?

054. Pria 2

: O ya? Betulkah begitu, Alfred?

055. Pria 1

: Ya, ya, kalau tidak salah, tadi Robert mengatakan begitu....

056. Pria 2

: Waaah.... kalau begitu, terima kasih, Robert. Tapi..., sebaiknya aku pulang sekarang, tibatiba aku merasa kurang enak badan... aku mau ke dokter....

057. Ayah

: Alaaah.... sudahlah, bukankah kau pernah mengatakan, jangan terlalu percaya pada katakata dokter...

058. Pria 2

: Maksudku... maksudku...

059. Ayah

: Aaaah.... sudah, sudah, aku tidak mau mendengar alasan kalian lagi. Ayo, kita minum!

Dengan terpaksa Pria 1 dan Pria 2 menuruti permintaan Robert. Tapi sementara Robert minum, mereka
saling melempar pandangan, lalu tersenyum sinis. Secara diam-diam Pria 1 (Alfred) memasukkan sesuatu
ke dalam botol minuman dan memberikan ke Robert, tanpa disadari Robert.
060. Pria 1

: Ayo, Robert, sebagai tanda terima kasih dariku, terimalah satu gelas dariku....

061. Ayah

: Baik, Alfred, baik... aku terima pemberianmu itu.... (Menerima dan meminumnya).

16

062. Pria 1

: Supaya lebih seru, bagaimana kalau kita main-main sedikit, Robert?

063. Ayah

: Dengan senang hati, aku terima tawaranmu itu!

064. Pria 1

: Kau bagaimana, Denny? Mau ikutan?

065. Pria 2

: Aku, aku sudah tak punya uang....

066. Pria 1

: Gampanglah itu, nanti kupinjami dulu, oke?

067. Pria 2

: Bolehlah kalau begitu.

068. Ayah

: Bagaimana, sudah siap kalian?

069. Pria 1 & 2

: Oke, boss!

070. Ayah

: Oke, kita mulai!

Pria 2 (Denny) mengeluarkan kartu dan mereka mulai main. Musik terdengar riuh. Cahaya redup perlahanlahan. Black out. Sunyi beberapa saat.
Adegan 3.
Di tempat yang sama seperti adegan-adegan sebelumnya. Keadaan masih gelap. Terdengar suara tawa Pria 1
dan Pria 2.
071. Pria 1

: Ha, ha, ha.... kena dia, kita kerjai... ha, ha, ha.....

072. Pria 2

: Hebat, Alfred, hebat.... lumayan, cukup untuk bersantai seminggu... ha, ha...

073. Pria 1

: Ayo, Denny, cepat kita pergi sebelum dia sadar...

Pria 1 dan Pria 2 terus tertawa-tawa, suara mereka makin lama makin jauh. Cahaya menyala agak terang.
Robert tertelungkup di meja, seperti orang tak sadarkan diri. Pemilik kedai muncul menghampirinya.
074. P.Kedai

: Hei, tuan, semua orang sudah pergi. Kedai ini sudah mau ditutup. Silakan tuan keluar!
(Robert tetap diam) Wah, aku terpaksa harus mengeluarkanmu!

Pemilik Kedai menyeret Robert keluar dan melemparkannya ke jalan.


075. P.Kedai

: Dasar, gelandangan pemabuk!

076. Rodena

: Ada apa, Edo, sudah malam kok ribut-ribu! (Masuk)

077. P.Kedai

: Itu..! Dasar pemabuk!

078. Rodena

: Sudah, sudah, tidak usah marah-marah begitu, nanti darah tinggimu kambuh lagi...

Rodena menuntun suaminya keluar.


Robert jatuh tertelungkup di jalan. Diam. Cahaya redup perlahan-lahan. Black out.

17

EPISODE 5:

DATANGNYA MALAPETAKA
Adegan 1.
Rumah Yuanita. Pagi hari. Cahaya redup. Sesekali terdengar suara halilintar dan cahaya kilat menyambar.
001. Ibu

: Aduuuh, Robert, kenapa kauulangi lagi perbuatan terkutuk itu!? Kenapa, Robert...!?
Kenapa..!?

Ayah muncul dan duduk terhenyak di bangku sambil memegangi kepala dengan keduabelah tangannya. Ibu
muncul di belakangnya setengah menangis.
002. Ayah

: Sudahlah, Magda... jangan berteriak-teriak seperti itu, kepalaku sedang pusing...

003. Ibu

: Salahmu sendiri, Robert. Setiap kali kau berjanji tidak akan mengulanginya, tapi setiap
kali pula kau mengingkarinya... salahmu sendiri, Robert...

004. Ayah

: Iya, iya... semua memang salahku, aku mengakuinya, Magda... aku mengakuinya... tapi...

005. Ibu

: Tapi apa, Robert? Kau mau mencari alasan lagi. Kau mau bilang, kau ditipu, dirampas,
dipermainkan...

006. Ayah

: Nyatanya memang begitu, Magda..

007. Ibu

: Robert, sudah nyata-nyata kau judi, kau mabuk, uangmu habis... kau masih mau
menyalahkan orang lain...

008. Ayah

: Aku tidak menyangka, mereka tega-teganya meracuni aku...

009. Ibu

: Kau yang meracuni dirimu sendiri, Robert. Setelah kejadian yang terakhir, tidak
seharusnya kau menemui mereka lagi!

010. Ayah

: Tapi mereka telah menipuku, mengambil uangku, aku harus mengambil kembali dari
mereka...

011. Ibu

: Kenyataannya bagaimana, Robert? Kau membuat aku dan Yuanita tambah


sengsara...belum lagi sepatu yang kaujanjikan untuk Yuanita... kapan kau akan
menepatinya, Robert. Tidakkah kau kasihan melihat kakinya yang selalu kedinginan.
Apalagi musim dingin akan segera tiba, Robert....

012. Ayah

: Ampuni aku, Magda... aku memang suami dan ayah yang tak berguna...

013. Ibu

: Aku selalu mengampunimu, Robert. Dan selalu berdoa, supaya Tuhan selalu
menyadarkanmu. Tapi sekarang, darimana kita mendapatkan uang untuk membeli
makanan...? Aku akan bekerja saja, supaya kita bisa makan...

014. Ayah

: Tidak! Tempatmu di rumah. Aku punya harga diri, akulah yang harus mencari uang!

Ayah berdiri dan berjalan ke pintu.

18

015. Ibu

: Kau mau ke mana, Robert?

016. Ayah
017. Ibu

: Ke tempat kerja...
: Ini kan hari Minggu, Robert! Masih mabukkah kau?

018. Ayah

: Tenanglah, Magda. Ada sedikit perkerjaan tambahan yang harus kuselesaikan. Mudahmudahan aku mendapatkan sedikit uang untuk membeli makanan.

Ayah keluar.
019. Ibu

: Ya, Tuhan, lindungilah Robert...

Ibu berjalan keluar. Cahaya redup perlahan-lahan. Musik terdengar sendu. Black out.
Adegan 2.
Rumah Yuanita. Cahaya redup. Sunyi. Terdengar suara ketukan di pintu.
020. Ibu

: (Dari dalam) Ya... Siapa..? (Masuk menghampiri pintu).

021. Sisca

: Saya... Sisca....

022. Ibu

: (Cepat-cepat membuka pintu) Oh, bu Sisca, mari masuk....

023. Sisca

: Maaf, pagi-pagi sudah mengganggu.

024. Ibu

: (Agak gugup) Tidak apa, tidak apa... silakan duduk, bu Sisca...

025. Sisca

: Tidak usah repot-repot, saya tidak akan lama kok, hanya ingin....

026. Ibu

: Saya mengerti maksud, bu Sisca, tapi maaf bu, kalau boleh saya minta diundur beberapa
hari lagi, saat ini kami sedang tidak punya uang...

027. Sisca

: Maksudmu?

030. Ibu

: Ya, kami memang sudah hampir sebulan terlambat membayar uang sewa rumah ini. Tapi
saya janji, bu, begitu kami punya uang, akan segera kami lunasi...

031. Sisca

: Lho, lho, kau bicara apa, Magda? Saya ke mari bukan untuk menagih. Soal itu, kau tidak
perlu kuatir. Selama ini kan saya tidak pernah mendesak kalian untuk membayar tepat
pada waktunya....

032. Ibu

: Oh, terima kasih, bu Sisca. Saya jadi bingung, kalau bukan soal uang sewa rumah, lalu soal
apa lagi, bu?

033. Sisca

: Tenanglah, Magda. Saya bermaksud mengundang kalian sekeluarga makan malam di


rumahku minggu depan.

034. Ibu

: Oooh... ada pesta rupanya, bu Sisca. Siapa yang ulang tahun?

035. Sisca

: Ah, cuma pesta kecil-kecilan saja untuk merayakan ulang tahun si bungsu Maria yang ke
tujuh belas...

19

036. Ibu

: Ooohh... begitu... baiklah bu, akan saya beritahu Robert, mudah-mudahan saja kami bisa
datang...

037. Sisca

: Nah... itu maksud kedatangan saya yang sebenarnya...

038. Ibu

: Terima kasih, bu Sisca, atas perhatian ibu untuk keluarga saya.

039. Sisca

: Baiklah kalau begitu, saya mau permisi dulu, masih mau ke tempat lain. Jangan lupa,
datang ya...

040. Ibu

: Iya...iya... mudah-mudahan...

041. Sisca

: Yuk... mari...

042. Ibu

: Ya...

Sisca keluar. Ibu menutup kembali pintu. Berjalan ke arah kiri, hendak keluar. Terhenti. Yuanita masuk
sambil mengaduh dan memegangi telapak kakinya yang berdarah.
043. Yuanita

: Aduh.. ma.. mama... kaki Yuan, ma... aduh... aduh...

044. Ibu

: Astaga, Yuan! Kenapa dengan kakimu itu...!?

045. Yuanita

: Aduh.. aduh... sakit, ma.. aduh...

046. Ibu

: (Memegang telapak kaki Yuanita dan melihatnya) Aduh, Yuan... kau tertusuk paku di
mana, anakku. Duh, pakunya sudah karatan lagi...

047. Yuanita

: Aduh, ma... sakit... sakit...

Ibu sibuk membersihkan luka Yuanita. Cahaya redup perlahan-lahan. Musik menyayat hati. Black out.
Adegan 3.
Rumah Yuanita. Malam hari. Suasana muram. Yuanita terbaring di kursi. Tubuhnya ditutupi selimut.
Kepalanya sedang dikompres oleh Ibu. Sebentar-sebentar terdengar Yuanita mengigau.
048. Yuanita

: Papa.... di mana sepatuku... papa...

049. Ibu

: Aduh, Yuan, kakimu bertambah parah...

050. Yuanita

: Sakit sekali, mama... dan rasanya panas... di mana papa?

051. Ibu

: Tenanglah, Yuan.. sebentar lagi papamu pulang...

052. Yuanita

: Aku ingin sepatu... papa... sepatu mungil....

053. Ibu

: Tenanglah, Yuan.. papamu pasti membawakan sepatu untukmu...

054. Yuanita

: Panas mama... panas... jangan tinggalkan, Yuan...

055. Ibu

: Mama selalu di sampingmu, anakku. Tidurlah, supaya cepat sembuh kakimu...

20

056. Yuanita

: Mama.. Yuan sayang sama mama... sayang sama papa...

057. Ibu

: Mama tahu, sayang... mama tahu... kamu memang anak yang baik... tidur ya...

058. Yuanita

: Mama... papa... mama... papa...

Yuanita terdiam. Ibu menangis perlahan.


059. Ibu

: (Berlutut) Oh, Tuhan.. di manakah Robert.. mengapa sudah selarut ini ia belum pulang
juga.. Tuhan.. jangan biarkan ia terbujuk lagi oleh teman-temannya, jangan biarkan ia
pergi lagi ke kedai minum... hentikanlah dia.. ya, Tuhan...

Cahaya redup perlahan-lahan. Musik menyayat hati. Black out. Cahaya kilat menyambar dan terdengar
suara halilintar di kejauhan. Terdengar suara-suara di kegelapan.
060. Suara 1

: Ini uang lemburmu, Robert. Sebaiknya kau cepat pulang, badai semakin buruk.

061. Pria 1

: Ah, Robert. Ayo, kita ke kedai minum untuk menghangatkan badan...

062. Ayah

: Malam ini, tidak! Aku harus membeli sepatu untuk anakku, Yuanita.

063. Pria 2

: Robert, malam ini begitu dingin, kita perlu kehangatan. Lagipula kita melewati kedai
minum itu. Satu gelas saja, Robert, biar aku yang bayar.

064. Pria 1

: Ayolah, Robert. Satu gelas saja!

065. Ayah

: Baiklah, satu gelas saja dan aku akan segera pulang.

066. Pria 1

: Robert, kau dapat mempercayai kami. Kami sahabat sejatimu. Mari kita pergi.

Seberkas cahaya kilat menyambar, menerangi ruangan rumah, ibu masih berlutut berdoa.
067. Ibu

: Ya, Tuhan.. bawalah Robert pulang... kami membutuhkannya... hentikanlah kakinya


melangkah ke tempat yang salah... ya, Tuhan...

Seberkas cahaya kilat menyambar lagi, lalu terdengar suara halilintar yang sangat keras dan menakutkan.
Lalu gelap. Terdengar suara hiruk pikuk.
068. Suara 1

: Lihat! Kedai minum itu tersambar petir!

069. Suara 2

: Dan kedai itu terbakar! Mengerikan!

070. Suara 3

: Luar biasa! Pastilah tempat itu telah dikutuk Tuhan!

Suasana gelap. Terdengar suara hujan badai.


071. Ayah

: Ya, Tuhan... tanganMu jualah yang telah menghentikanku...


Aku ingin sepatu mungil itu untuk anakku...

072. P.Sepatu

: Ia pasti akan menyenangi sepatu ini. Bentuknya bagus.

Seberkas cahaya kilat menyambar menerangi ruangan. Ibu masih berlutut dan berdoa. Suara badai semakin
hebat.

21

EPISODE 6:

ARTI SEBUAH PENGORBANAN


Adegan 1.
Rumah Yuanita. Pagi hari. Suasana suram. Cahaya redup. Ibu sedang terisak. Dokter sedang menutupi
tubuh Yuanita dengan selimut.
001. Ibu

: Bagaimana keadaannya, dokter?

002. Dokter

: Mengapa begini terlambat. Anak ibu terkena tetanus...

003. Ibu

: Maksud dokter?

004. Dokter

: Maaf. Saya menyesal tidak dapat memberikan pertolongan apa-apa.

005. Ibu

: Apa maksud kata-kata dokter? Apakah Yuanita...

006. Dokter

: Kuatkanlah hati ibu. Tuhan mengasihi anak ibu lebih dari siapapun...

007. Ibu

: Dokter... tolong katakan apa yang terjadi?

008. Dokter

: Anak ibu telah dipanggil Tuhan...

009. Ibu

: Apa...?!

010. Dokter

: Sekali lagi, tabahkanlah hati ibu... Anak ibu telah bahagia di sisi Tuhan...

011. Ibu

: Oh, Yuanita, anakku... tidak... jangan pergi nak, jangan tinggalkan mama sendirian...

012. Dokter

: Tenang, bu, tenanglah... di mana saya bisa menghubungi suami ibu untuk memberitahukan
hal ini?

013. Ibu

: Tidak tahu...

014. Dokter

: Lho, kok tidak tahu...?

015. Ibu

: Ia pergi sejak kemarin pagi dan sampai sekarang belum kembali...

016. Dokter

: Oh, pasti dia terhalang sungai yang meluap tadi malam dan ia tidak bisa menyeberang
karena jembatan hanyut. Kita terpaksa menunggu. Tenangkan hati ibu, berserahlah pada
Tuhan...

017. Ibu

: Yuanita... Yuanita, anakku... mengapa begini cepat kau pergi...

Suasana amat suram. Ibu terus terisak-isak. Tiba-tiba terdengar suara dari luar.
018. Ayah

: Yuanita..! Yuanita..!

019. Dokter

: Oh, mungkin itu suami ibu pulang...

22

020. Ayah

: (Membuka pintu dan masuk) Yuanita! Lihat, papa membawakan sepatu untukmu...
(Terdiam melihat pemandangan di depannya) Yuan... Apa yang terjadi, Magda?!

021. Ibu

: Yuanita... Yuanita...

022. Ayah

: (Kepada dokter) Ibu.. ini siapa? Apa yang terjadi dengan anak saya Yuanita?

023. Dokter

: Saya dokter. Saya harap bapak bisa tenang dan tabahkanlah hati bapak...

024. Ayah

: Cepat katakan, apa yang terjadi dengan anak saya?!

025. Dokter

: Anak bapak telah dipanggil Tuhan..

026. Ayah

: Apa?! Ibu jangan main-main!

027. Dokter

: Betul. Anak bapak telah meninggal karena tetanus.

028. Ayah

: Betulkah itu, Magda. Betulkah?!

029. Ibu

: Robert... Yuanita telah pergi meninggalkan kita... uuhh...

030. Ayah

: (Jatuh berlutut) Tidak..! Oh, tidak... anakku tidak boleh mati... Yuanita... bagaimana ini
bisa terjadi...?

031. Dokter

: Anak bapak tertusuk paku yang mengandung tetanus dan terlambat diobati...

032. Ayah

: Oh, Yuanita... maafkan papa, seandainya papa membelikan sepatu untukmu... oh,
Yuanita... sekarang kamu telah pergi untuk selamanya... papa tidak akan pernah melihatmu
lagi... oooh, anakku...

033. Dokter

: Bapak, anak bapak memang telah pergi, dia tidak dapat kembali lagi kepadamu, tetapi
bapak dapat melihat dan bertemu dengannya suatu hari kelak di... surga.

034. Ayah

: Bagaimana mungkin... bagaimana mungkin, aku dapat bertemu dia lagi?

035. Dokter

: Allah telah memberikan putraNya Yesus Kristus mati di kayu salib untuk menebus dosa
manusia, dosa saya dan juga dosa bapak. Karena itulah Yesus mencurahkan darah suciNya
untuk bapak. Sekarang, saya akan menghubungi Bapak Pendeta. Permisi..

Dokter keluar.
036. Ayah

: (Menghampiri ibu) Magda...

037. Ibu

: Robert...

Cahaya redup perlahan-lahan. Musik menyayat hati. Black out.


Adegan 2.
Rumah Yuanita. Ayah duduk termenung memandangi foto Yuanita. Sepasang sepatu mungil tergantung di
dekat foto Yuanita.

23

038. Ayah

: Oh, Tuhan... ampuni aku. Aku penjudi, pembohong, dan pemabuk... ampunilah kejahatankejahatanku... anakku Yuanita telah menjadi korban karena perbuatanku. Tuhan Yesus,
masuklah dalam hatiku dan jadilah Juruselamatku, supaya ketika aku mati kelak, aku dapat
berjumpa dengan Engkau dan Yuanita di surga. Terima kasih, Tuhan Yesus. Amin.

039. Narasi

: Yuanita telah mati. Ya, ia telah mati. Namun kematiannya tidak sia-sia. Kematiannya
telah mendatangkan keselamatan bagi ayahnya yang dikasihinya. Sama seperti Kristus
yang telah mati demi menyelamatkan kita dari maut. Yah, karena begitu besar kasih Allah
akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap
orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal.

SELESAI.
Jakarta, 28 April 1997 Pk. 16:55
Yung Darius.

24

Anda mungkin juga menyukai