Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecacingan
Cacing yang ditularkan melalui perantaraan tanah adalah cacing yang
untuk menyelesaikan siklus hidupnya perlu hidup di tanah yang sesuai untuk
dapat berkembang menjadi bentuk infeksi bagi manusia. (Hadidjaja, 1990).
Infeksi oleh Cacing yang ditularkan melalui tanah ini sering disebut juga
sebagai Kecacingan saja.
Spesies yang sering menyebabkan infeksi pada manusia adalah cacing
yang termasuk dalam golongan nematoda usus. Nematoda usus tersebut yang
penularannya melalui tanah adalah cacing gelang ( Ascaris lumbricoides ),
cacing tambang ( Necator americanus dan Ancylostoma duodenale ), cacing
cambuk ( Trichuris trichiura ) dan Strongyloides stercoralis dan beberapa
spesies Trichostrongylus. Spesies lain yang termasuk golongan nematoda
usus namun penularannya tidak melalui tanah adalah Enterobius vermicularis
( cacing kremi ) dan Trichinella spiralis . (FKUI, 1998).
B. Soil Transmitted Helminths
Soil Transmitted Helminths adalah kelompok cacing yang penularannya
melalui perantaraan tanah dan dikenal dengan istilah nematoda usus.
Nematoda usus yang terkenal dan sering menyebabkan kecacingan pada
manusia adalah :

B.1. Ascaris Lumbricoides


1. Siklus Hidup
Hospes

definitifnya

adalah

manusia.

Penyakit

yang

disebabkannya adalah askariasis.Telur cacing ini menjadi telur yang


infektif ( telur matang berisi embrio ) setelah berada di tanah kurang
lebih 3 minggu. Bila Telur yang infektif tertelan manusia, menetas
menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus halus
menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh
darah sampai ke jantung menuju paru-paru. Larva di paru-paru
menembus dinding alveolus, masuk rongga alveolus dan naik ke
trakea. Dari trakea larva menuju faring dan menimbulkan iritasi.
Penderita akan batuk karena ada rangsangan larva. Larva di faring
tertelan dan terbawa ke esophagus, terakhir samapai diusus halus
dan menjadi dewasa. Mulai dari telur matang yang tertelan sampai
menjadi telur dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan.
(Jangkung Samidjo, 2000).
2. Aspek Klinis
Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat
dengan respon umum hospes, efek migrasi larva, efek mekanik
cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Selama larva mengalami siklus
dalam jumlah besar dapat menimbulkan pneumonitis. Bila larva
menembus jaringan dan masuk ke dalam alveoli maka dapat
mengakibatkan kerusakan epitel bronkus.

Apabila terjadi reinfeksi dan migrasi lartva ulang maka


jumlah larva yang sedikitpun dapat menimbulkan reaksi jaringan
yang hebat. Hal ini terjadi di dalam hati dan paru-paru disertai
infiltrasi eosinofil, makrofag dan sel-sel epitel. Keadaan ini disebut
Pneumonitis Ascaris. Selanjutnya, disertai reaksi alergi yang terdiri
dari batuk kering, sesak nafas, dan demam tinggi. Keadaan ini
disebut sindroma loeffler. (Jangkung Samidjo, 2000).
3. Diagnosis
Telur cacing dapat ditemukan dengan mudah pada sediaan
basah langsung atau sediaan basah dari sediment yang sudah
dikonsentrasikan.

Cacing

dewasa

dapat

ditemukan

dengan

pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya melalui mulut


karena muntah atau melalui anus bersama dengan tinja. (Jangkung
Samidjo, 2000).

4.

Epidemiologi
Cacing ini ditemukan kosmopolit, di Indonesia prevalensinya
tinggi, terutama pada anak. Frekuensinya antara 60 90 %. Tanah
liat, kelembaban tinggi dan suhu yang berkisar antara 25 -30 derajat
celcius merupakan hal-hal yang sangat baik untuk berkembangnya
telur Ascaris lumbricoides menjadi bentuk infektif. (FKUI, 1998).

B.2 Cacing tambang ( Ancylostoma duodenale dan Necator americanus )


1.

Siklus Hidup
Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Penyakit yang
disebabkannya adalah nekatoriasis dan ankilostomiasis. Telur yang
berisi embrio keluar bersama tinja penderita,di dalam tanah dalam
waktu 2 hari telur menetas menjadi larva rabditiform yang tidak
infektif, tapi sesudah mengadakan pergantian dua kali maka larva
akan berubah menjadi filariform yang infektif, kemudian masuk
tubuh hospes dengan menembus kulit sehat yang tidak tertutup,
kemudian masuk kepembuluh darah atau limfe, kemudian ke
sirkulasi vena, jantung kanan, kapiler paru, alveoli bronki, trakea,
dan faring, esophagus ke usus halus dan berkembang menjadi
dewasa. (Soedarto, 1991).

2.

Aspek Klinis
Gejala-gejala penyakit cacing tambang mulai dengan
timbulnya gatal tanah, terjadi pada saat larva filariform menembus
kulit. (Staff Pengajar FKUI,1998). Cacing dewasa yang menghisap
darah penderita akan menimbulkan anemia hipokrom mikrositer,
akibat anemia maka penderita akan mengalami ganguan perut,
penurunan keasaman asam lambung , sembelit dan steatore.
Penderita tampak pucat, perut buncit, rambut kering, dan mudah
lepas. (Soedarto, 1991)

3.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam
tinja.Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk
membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale dapat dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara
Harada- Mori.( FKUI, 1998)

4.

Epidemiologi
Cacing tambang ditemukan kosmopolit, di Indonesia insiden
tertinggi ditemukan pada pekerja perkebunan yang langsung
berhubungan dengan tanah, mendapat infeksi lebih dari 70 %. Tanah
yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur ( pasir,
humus ) dengan suhu optimum untuk Necator americanus 28 32
derajat celcius, sedangkan untuk Ancylostoma duodenale 23 25
derajat celcius. Pada umumnya Ancylostoma duodenale lebih kuat.
(FKUI, 1998)

B.3 Cacing cambuk ( Trichuris trichiura )


1. Siklus Hidup
Hospes definitif cacing ini adalah manusia dan penyakit yang
disebabkan adalah trikuriasis. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari
hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3
6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang
lembab dan tempat yang teduh. Cara infeksi langsung bila secara
kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui

dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi


dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke dalam
kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru.
Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing
dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.( FKUI, 1998 )
2. Aspek Klinis
Penderita terutama anak dengan gejala infeksi yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala nyata seperti diare yang sering
diselingi sindrom disentri, anemia, berat badan menurun dan
kadang-kadang disertai prolaptus rectum.( FKUI, 1998).
3.

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tinja untuk
menemukan telur cacing.( FKUI, 1998).

4. Epidemiologi
Cacing ini ditemukan kosmopolit, Frekuensi di Indonesia
tinggi berkisar antara 30 90 % di daerah pedesaan. Telur tumbuh
dengan baik di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu
optimum kira-kira 30 derajat celcius. Cacing ini ditemukan di semua
daerah yang memiliki sanitasi yang mendukung pertumbuhannya.(
FKUI, 1998

B.4 Strongyloides stercoralis


1. Siklus hidup
Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Penyakit yang
disebabkannya adalah strongylodiasis. Pertama, di dalam usus, larva

rabditiform berubah menjadi larva filariform. Kemudian menembus


mukosa usus dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kedua, larva
rabditiform keluar dari hospes definitif bersama tinja, ditanah larva
berubah menjadi larva filariform yang infektif, lalumenembus
dinding kulit, migrasi paru, kemudian cacing dewasa di dalam usus
halus ( siklus langsung ). Ketiga, larva rabditiform keluar bersama
tinja penderita, di tanah tumbuh menjadi dewasa yang hidup bebas,
kemudian melahirkan larva rabditiform, lalu tumbuh menjadi larva
filariform yang infektif untuk hospes, kemudian mengalami migrasi
paru dan akan menjadi dewasa di dalam usus. (soedarto, 1991).
2. Aspek Klinis
Bila larva filariform dalam jumlah banyak menembus kulit,
akan terjadi creeping eruption yang disertai dengan rasa gatal yang
hebat. Pada strongilodiasis ada kemungkinan terjadi autoinfeksi dan
hyperinfeksi. Pada infeksi yang ringan pada umumnya tidak
menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit
didaerah epigastrum tengah dan tidak menjalar. (FKUI,1998)
3.

Diagnosis
Diagnosis pasti dengan menemukan larva rabditiform dalam
tinja segar, dalam biakan atau dalam aspirasi duodenum. (FKUI,1998)

10

4.

Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban yang tinggi dan sanitasi
yang kurang, sangat menguntungkan Cacing ini dalam siklus
hidupnya. Tanah yang gembur, berpasir dan humus sangat baik
untuk pertumbuhan larva cacing ini. Nematoda ini terutama terdapat
di daerah tropik dan subtropik, frekuensi di Jakarta pada tahun 1956
sekitar 10 15 %, tetapi sekarang jarang ditemukan. Sanitasi yang
baik dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi dapat
mencegah infeksi dari cacing tersebut. (FKUI,1998).

C. Perilaku Hidup Sehat


Perilaku hidup sehat dapat diartikan sebagai kebiasaan seseorang untuk
menjaga kesehatan dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Lingkungan
yang sehat meliputi sumber air yang bersih, pembuangan kotoran manusia
yang memenuhi standart kesehatan, keadaan perumahan yang sehat, dan
memiliki tempat pembuangan limbah

atau sampah rumah tangga.

Pengawasan terhadap pengolahan dan penyediaan makanan dan minuman


sangat penting untuk pemeliharaan kesehatan, dan juga mandi yang teratur,
membersihkan tangan, kaki, mematong kuku dan penggunaan alas kaki
sangat penting untuk diperhatikan untuk pemeliharaan kesehatan diri dan
keluarganya.(Maryati,sukarni, 1989).
D. Pekerja Pembuat Batu-Bata
Pekerja pembuat batu-bata berasal dari penduduk di daerah sekitar
tempat pembuatan batu-bata ( tobong ). Mereka sebagian besar mempunyai

11

pendidikan sekolah dasar, hanya beberapa dari mereka yang mempunyai


pendidikan

sekolah

menengah

pertama

dan

sekolah

menengah

atas.(Wawancara oleh penulis)


Para pekerja batu-bata datang ke lokasi pembuatan batu-bata jam 06.00,
kemudian yang mereka kerjakan adalah mencangkul tanah liat untuk
mengambil nya sebagai bahan utama pembuatan batu-bata kemudian tanah
liat tersebut direndam satu malam, setelah itu tanah liat mereka aduk-aduk
sampai halus dengan menggunakan kaki dan ada juga yang menggunakan
tangan,sebagian besar tanpa alas kaki dan sarung tangan dengan alasan untuk
mempermudah

mereka bekerja. Tanah liat yang sudah halus tersebut

kemudian mereka cetak dengan mempergunakan cetakan dan setelah itu hasil
cetakannya mereka keringkan di terik matahari sampai kering betul baru
kemudian dibakar di tungku pembakaran selama satu minggu, dan pembuatan
batu-bata selesai. Pekerja batu-bata beristirahat jam 12.00 dan selesai bekerja
jam 17.00. Hal tersebut rutin dilakukan setiap hari selama bertahuntahun.(Pengamatan langsung pembuatan batu-bata oleh penulis).
Selama aktifitasnya di tobong biasanya para pekerja pembuat batu-bata
sambil bekerja mereka merokok dan juga makan-makanan ringan,sebagian
ada yang mencuci tangan dahulu dan sebagian ada yang tidak mencuci
tangan dahulu. Hal tersebut sering mereka lakukan setiap hari selama
bertahun-tahun. Para pekerja pembuat batu-bata paling sedikit telah bekerja
selama tiga tahun.(Pengamatan langsung pembuatan batu-bata oleh penulis).

12

Anda mungkin juga menyukai