PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
hukum
syara',
yakni
ketetapan
Allah
yang
igtidha
(tuntutan
perintah
dan
larangan),
takhyir
B. Rumusan masalah
1.
2.
3.
4.
C. Tujuan pembahasan
1.
2.
3.
4.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian hukum syara
Hukum syara merupakan kata majemuk yang berasal dari
bahasa arab ; (al-hukmasy-syari) yang terdiri dari dua kata
yaitu, hokum dan syara. Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
kata hokum didefinisikan, peraturan yang dibuat oleh penguasa
atau adat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat
(Negara). Sedangkan pengertian syara secara singkat yaitu
hukum islam.
Adapun dalam bahasa arab kata al-hukm secara etimologi
berarti mencegah, memutuskan, menetapkan, dan
menyelesaikan. Sedangkan kata as-syara secara etimologi
berarti, jalan menuju aliran air, atau jalan yang mesti dilalui, atau
aliran air sungai pada mulanya istilah syara menunjuk
pengertian ad-din agama. Dalam makna totalitasnya. Al-quran
menggunakan kata syara atau syariah untuk menunjuk
pengertian :jalan yang terang dan nyata untuk mengantarkan
manusia kepada keselamatan dan kesuksesan di dunia dan
akhirat.
Menurut terminology ushulfiqh, yang dimaksud hukum ialah :
kalam Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf,
baik dalam bentuk iqtidha (tuntunan), atau takhyir (pilihan) dan
atau dalam bentuk wadhi (ketentuan yang ditetapkan).1
1Abd.rahman dahlan, ushul fiqh,2010, sinar grafika, jakarta, hal 33
Artinya : janganlah berkata uff kepada orang tua dan
jangan pula meghardiknya( berkatakasar)
23 )
Firman alloh swt :
Artinya : bila kamu melaksanakan hutang piutang hingga
suatu waktu tertentu, maka hendaklah kamu menulisnya
( Qs. Al- baqarah : 282 )
Firman alloh ini dialihkan dari pengertian wajib oleh firman
alloh yang lain dari ahir ayat :
Artinya : bilakamu dipanggil untuk melakukan shalat
jumaah maka bersegerahlah untuk mengingat alloh dan
tinggalkan jual beli ( Qs. Al jumuah: 9 ).
Tentu ini sama dengan ucapan jangan melakukan jual
beli dan telak dialihkan dari pengertian haram. Larangan
itua dalah karna suatu hal di luar konteks yang dilarang. Para
ulama menamakan hukum ini karahah, demikian pula sifat
perbuatan yang merupakan pengaruh khitab itu.
5. Takhyir Yaitu perbuatan yang diperhatikan oleh alloh ( asysyari ) untuk memilih antara melakukan atau tidak. Mereka
menamakan khitab ini ibahah ( mubah ) dab demikian pula
sifat perbuatan itu.
Ulama hanafiyah membagi tuntutan melakukan
perbuatan secara pasti( bukan larangan ) menjadi dua
macam ,sesuai dengan periwayatan khitab itu yaitu :
Apa bila riwayat itu mengandung keyakinan( seperti
tawatur ) maka tuntutan hal itu adalah fardhu., dan apabila
mengandung zhann ( praduga ) seperti khabar ahad maka
tuntutan itu dalah wajib. Andai saja perbedaan ini hanya
dalam soal penamaan saja, niscaya kita anggap sebagai
perbedaan lafadz saja, sebagaimana yang dinamakan ibn
subki dalam jamujawami, akan tetapi imam hanafiyah
mensistematisir hukum itu dalam persoalan- persoalan fiqh.3
C. Hukum wadhi
3Syaikh muhammad al-khudairi biek, ushul fiqh, 2007, pustaka
amani,jakarta, hal 60-65
a. Sabab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
yang lain berarti yang dapat menyampaikan kepada sesuatu
tujuan. Sedangkan menurut istilah adalah satu sifat yang
dijadikan syari sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini
menunjukan bahwa sabab sama dengan illat, walaupun
sebenarnya ada perbedaan antara sabab dengan illat
tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hukum wadhi (dalam
hal ini adalah sabab) dengan hukum taklif, sekalipun
keberadaan hukum wadhi itu tidak menyentuh esensi hukum
4 Abd.rahman dahlan, ushul fiqh,2010, sinar grafika, jakarta hal 67
10
11
12
13
14
15
16
17
18
( 9: ).
(Diharamkan bagimu ini). Jika bentu tuntutan itu sendiri
menunjukan tuntutan yang tidak pasti, maka disebut
makruh, seperti:
19
5. MUBAH
a. Pengertian mubah
Mubah secara bahasa artinya menjelaskan dan memberi
tahukan, melepaskan, dan mengizinkan. Dalam istilah
hukum mubah berarti sesuatu yang diberi kemungkinan
oleh pembuat hukum untuk memilih antara memperbuat
dan meninggalkan. ia boleh melakuakna atau tidak
Dalam hal ini seorang mukallaf boleh memperbuat atau
tidak. tidak berdosa orang yang memperbuat dan tidak
berdosa pula orang yang meninggalkan. umpamanya
makan.
b. Pembagian Mubah
Menurut al-syathibi mubah dibagi menjadi empat yaitu:
1. Mubah yang mengikuti suruhan untuk berbuat. Mubah
dalam bentk ini disebut mubah dalam bentuk bagian,
tetapi dituntut berbuat secara keseluruhan. contohnya
makan, kawin. Mubah dalam bentuk ini tidak boleh
ditinggalkan secara menyeluruh.
2. Mubah yang mengikuti tuntutan untuk meninggalkan.
Mubah bentuk ini disebut mubah secara juzi tetapi
dilarang secara keseluruhan contohnya bermain.
Perbuatan ini dalam waktu tertentu hukumnya mubah,
20
Daftar Pustaka
21
22