Anda di halaman 1dari 3

OLEH : RAHMAT RIZKI

Secara umum struktur perekonomian Aceh dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda jauh.
Komponen Konsumsi rumah tangga mendominasi dengan kontribusi berkisar 40%.
Kemudian berturut-turut diikuti komponen konsumsi pemerintah, komponen ekspor,
komponen PMTB dan yang terakhir komponen impor. Dominasi komponen konsumsi rumah
tangga pada struktur perekonomian menunjukkan kondisi perekonomian yang rapuh.
Dominasi komponen konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan jumlah penduduk.
Artinya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu daerah, maka akan
berdampak pada kenaikan komponen konsumsi rumah tangga. Di Aceh sendiri masih
dibayangi oleh kegiatan ekonomi warung kopi. Tidak bisa dipungkiri bahwa warung kopi
cukup besar sumbangannya dalam perekonomian Aceh. Jika suatu saat budaya duduk di
warung kopi ini hilang, maka bisa dipastikan perekonomian Aceh akan mengalami
goncangan yang cukup besar.
Di samping itu, suatu daerah memiliki titik jenuh penyediaan pangan dan papan bagi
penduduknya, sehingga pemerintah terpaksa mengimpornya. Kebijakan ini diambil akibat
dari kelebihan jumlah penduduk yang membuat Aceh suatu saat tidak mampu menyediakan
pangan dari hasil buminya sendiri. Seperti kita ketahui, impor hanya akan berdampak pada
berkurangnya uang beredar yang ada di Aceh. Ini tentunya berpengaruh pula pada aktivitas
ekonomi di Aceh yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa yang
akan datang.

Penyumbang terbesar kedua perekonomian Aceh adalah komponen konsumsi pemerintah.


Suatu perekonomian juga dikatakan tidak sehat jika komponen konsumsi pemerintah terlalu
besar persentasenya. Saat ini posisi komponen konsumsi pemerintah sebesar 24 persen dari
total perekonomian Aceh. Sebagai tambahan informasi, konsumsi pemerintah didapatkan dari
belanja pegawai (upah dan gaji), belanja social dan belanja barang dan jasa.
Keadaan ini mengingatkan kita pada masalah belanja pegawai kebanyakan pemerintah
kabupaten/kota di Indonesia yang hampir mencapai separoh dari APBK, bahkan lebih. Maka
jika diasumsikan belanja pegawai Pemerintah Aceh mencapai separoh dari APBA, bisa kita
simpulkan bahwa minimal 12% atau lebih, perekonomian Aceh dikuasai oleh pegawai
pemerintah (PNS).
Sektor Industri Aceh
Pemerintah aceh harus melaksanakan program yang produktif seperti pembangunan industri,
dana APBA jangan hanya di gunakan untuk pembangunan jalan, karna banyak wilayah di
aceh jalannya memang layak untuk di pakai jika hanya jalan yang di perbaiki setiap tahunnya
ekonomi aceh lambat untuk berkembang atau memadai. Hanya dalam jangka waktu 2-5 bulan
jalan yang sudah di perbaiki akan rusak kembali logikanya tidak ada keuntungan dalam hal
itu, akan tetapi jika dana itu di lakukan pembangunan yang bersifat produktif mungkin akan
memperoleh keuntungan setiap tahunya dan bisa di gunakan bagi seluruh rakyat aceh.
Aceh banyak mempunyai SDA yang melimpah, di dalam Al-Quran saja Allah SWT telah
menyeru manusia ke dalam darussalam, di dunia ini hanya ada 2 Darussalam yaitu Nanggroe
Aceh Darussalam (sekarang Aceh-red) dan Brunei Darussalam, yang mana dilimpahkan
kekayaan alam yang melimpah kepada 2 nama ini. Aceh mempunyai SDA di berbagai sektor
seperti perkebunan, perikanan, pertanian, pertambangan, semua sumberdaya itu jika di kuasai
pengelolaannya pasti aceh akan lebih berkembang ekonominya.
Menurut hemat penulis, permasalahan yang terjadi di Aceh saat ini cukup rumit ada dalam
berbagai bidang seperti ketergantungan impor, politik tidak produktif, rendahnya nilai tambah
produk dalam Aceh dan sistem pemerintahan amburadul.
Semua permasalahan di atas faktor-faktor yang mehambat ekonomi di Aceh, jika pemerintah
mampu menghadapi semua permasalahan itu Aceh akan mempunyai masa depan yang
gemilang, solusinya gerakkan pembangunan ekonomi berbasis keunggulan daerah, pemilu
yang murah, tanpa ada biaya yang bengkak, penguasaan pengelola SDA, kemandirian
tekhnologi, pendidikan berkualitas, rehabilitasi dan rekontruksi sejarah Aceh dan tembak mati
para koruptor.
Masalah yang paling khusus adalah moral harga mati untuk Aceh di era global sekarang
masalahnya UANG, dia yang telah merusak moral setiap penjabat-penjabat di aceh bisa di
beli, kebebasan individu harus di batasi untuk menjaga kebebasan bersama.
Ketergantungan Impor

Kebutuhan akan pelabuhan ekspor impor yang representatif di Aceh sangat mendesak,
keberadaan pelabuhan tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi provinsi ini
sekaligus mengurangi ketergantungan dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.
Aceh dalam pengimporan masih bergantung dengan provinsi medan tepatnya pelabuhan
belawan, pengimporan ini seperti komoditas misalnya kakao, kopi, atsiri, arang tempurung,
kopra dan lainnya ditampung oleh pengusaha dari Medan dengan harga murah, karena
pengaruh biaya transportasi. Aceh memiliki banyak komoditas andalan yang selama ini
menjadi bahan baku ekspor ke luar negeri.
Berdasarkan data yang tercatat di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, sejak Januari
hingga Maret 2013 ekspor kopi arabica sebanyak 2,852 ton dan kopi luwak 100 kilogram.
Dua komoditas tersebut selama ini diekspor melalui Pelabuhan Belawan. Belum lagi dari
sektor industri non migas seperti bijih besi dan ammoniak, Untuk perikanan ada lobster, ikan
tuna dan ikan kakap merah yang selama ini juga dieskpor melalui Medan.
selama ini dengan komoditas dari Aceh dieskpor melalui Medan, Aceh kehilangan pendapat
asli daerah sekitar Rp. 250 juta per bulan atau Rp. 3 miliar pertahun. Menurut saya,
Keuntungan yang seharusnya dapat di gunakan oleh aceh sendiri malah di pergunakan untuk
provinsi lain karna kita masih bergantung pada provinsi lain. Di aceh sendiri kita mempunyai
pelabuhan sendiri seperti Malahayati dan Krung Geukuh yang bisa digunakan ekspor impor
di aceh, jika pelabuhan ini resmi di gunakan maka aceh tidak perlu lagi bergantungan impor
dengan provinsi lain sehingga kebutuhan barang di aceh ini dapat di kontrol dengan mudah
serta harga dan biayanya dapat diminimalisir.
Seandainya jika pelabuhan lebih di optimalkan, maka pengusaha luar langsung masuk ke
Aceh dan mampu membeli dengan harga relatif lebih baik, karena ekspor dilakukan dari
Aceh, tidak tertutup kemungkinan akan lahirnya pengusaha-pengusaha lokal yang akan
membeli hasil pertanian dan perkebunan milik masyarakat. Dari setiap permasalahan yang
ada, solusi yang dapat kita simpulkan harapan dari setiap komponen masyarakat Aceh untuk
kepemimpinan pemerintah Aceh kedepan harus lebih mengoptimalkan dalam bidang
ekonomi dan SDM kedepan.
Penulis merupakan Ketua Senat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malikussaleh
Lhokseumawe.

Anda mungkin juga menyukai