Secara umum struktur perekonomian Aceh dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda jauh.
Komponen Konsumsi rumah tangga mendominasi dengan kontribusi berkisar 40%.
Kemudian berturut-turut diikuti komponen konsumsi pemerintah, komponen ekspor,
komponen PMTB dan yang terakhir komponen impor. Dominasi komponen konsumsi rumah
tangga pada struktur perekonomian menunjukkan kondisi perekonomian yang rapuh.
Dominasi komponen konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan jumlah penduduk.
Artinya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu daerah, maka akan
berdampak pada kenaikan komponen konsumsi rumah tangga. Di Aceh sendiri masih
dibayangi oleh kegiatan ekonomi warung kopi. Tidak bisa dipungkiri bahwa warung kopi
cukup besar sumbangannya dalam perekonomian Aceh. Jika suatu saat budaya duduk di
warung kopi ini hilang, maka bisa dipastikan perekonomian Aceh akan mengalami
goncangan yang cukup besar.
Di samping itu, suatu daerah memiliki titik jenuh penyediaan pangan dan papan bagi
penduduknya, sehingga pemerintah terpaksa mengimpornya. Kebijakan ini diambil akibat
dari kelebihan jumlah penduduk yang membuat Aceh suatu saat tidak mampu menyediakan
pangan dari hasil buminya sendiri. Seperti kita ketahui, impor hanya akan berdampak pada
berkurangnya uang beredar yang ada di Aceh. Ini tentunya berpengaruh pula pada aktivitas
ekonomi di Aceh yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa yang
akan datang.
Kebutuhan akan pelabuhan ekspor impor yang representatif di Aceh sangat mendesak,
keberadaan pelabuhan tersebut dapat mendorong pertumbuhan ekonomi provinsi ini
sekaligus mengurangi ketergantungan dari Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara.
Aceh dalam pengimporan masih bergantung dengan provinsi medan tepatnya pelabuhan
belawan, pengimporan ini seperti komoditas misalnya kakao, kopi, atsiri, arang tempurung,
kopra dan lainnya ditampung oleh pengusaha dari Medan dengan harga murah, karena
pengaruh biaya transportasi. Aceh memiliki banyak komoditas andalan yang selama ini
menjadi bahan baku ekspor ke luar negeri.
Berdasarkan data yang tercatat di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, sejak Januari
hingga Maret 2013 ekspor kopi arabica sebanyak 2,852 ton dan kopi luwak 100 kilogram.
Dua komoditas tersebut selama ini diekspor melalui Pelabuhan Belawan. Belum lagi dari
sektor industri non migas seperti bijih besi dan ammoniak, Untuk perikanan ada lobster, ikan
tuna dan ikan kakap merah yang selama ini juga dieskpor melalui Medan.
selama ini dengan komoditas dari Aceh dieskpor melalui Medan, Aceh kehilangan pendapat
asli daerah sekitar Rp. 250 juta per bulan atau Rp. 3 miliar pertahun. Menurut saya,
Keuntungan yang seharusnya dapat di gunakan oleh aceh sendiri malah di pergunakan untuk
provinsi lain karna kita masih bergantung pada provinsi lain. Di aceh sendiri kita mempunyai
pelabuhan sendiri seperti Malahayati dan Krung Geukuh yang bisa digunakan ekspor impor
di aceh, jika pelabuhan ini resmi di gunakan maka aceh tidak perlu lagi bergantungan impor
dengan provinsi lain sehingga kebutuhan barang di aceh ini dapat di kontrol dengan mudah
serta harga dan biayanya dapat diminimalisir.
Seandainya jika pelabuhan lebih di optimalkan, maka pengusaha luar langsung masuk ke
Aceh dan mampu membeli dengan harga relatif lebih baik, karena ekspor dilakukan dari
Aceh, tidak tertutup kemungkinan akan lahirnya pengusaha-pengusaha lokal yang akan
membeli hasil pertanian dan perkebunan milik masyarakat. Dari setiap permasalahan yang
ada, solusi yang dapat kita simpulkan harapan dari setiap komponen masyarakat Aceh untuk
kepemimpinan pemerintah Aceh kedepan harus lebih mengoptimalkan dalam bidang
ekonomi dan SDM kedepan.
Penulis merupakan Ketua Senat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Malikussaleh
Lhokseumawe.