Education
Perkara mengajarkan tentang seksual ke anak itu memang menjadi momok lumayan besar, ya,
untuk orangtua. Sepertinya walaupun sudah beberapa kali ikut seminar tetaaap saja menundanunda proses pembelajaran itu. Dan tetap kaget ketika ditanya anak, walaupun udah tahu
jawabannya. Kalau masih bisa menghindar akan menghindar, deh.
Tapi setelah ikut workshop dengan Najelaa Shihab di Sekolah Cikal kemarin, saya lumayan
tercerah, kan, sih. Karena lebih mengerti tentang garis besarnya, lebih ada bayangan tentang
prosesnya dan semakin menyadari bahwa pendidikan seksual ini erat kaitannya dengan
parenting skill kita secara keseluruhan. Walaupun tetap, sih, belum mulai juga :D.
*g
ambar dari sini
Berikut beberapa poin yang ingin saya share di sini, ya.
1. Dulu vs Sekarang
Dorongan seks itu adalah sesuatu yang alamiah. Yang perlu kita ingat, dorongannya lebih tinggi
untuk anak-anak sekarang daripada zaman kita kecil dulu. Kalau dulu kita baru melihat adegan
ciuman ketika SMP atau SD akhir, sekarang anak kecil sudah terpapar hal-hal tersebut sejak
balita dengan banyaknya sinetron dan terhubungnya mereka dengan internet. Dan, sebenarnya di
sekitar kita banyak hal-hal yang sifatnya informasi seksualitas, tanpa kita sadari. Misalnya, ada
penyanyi dengan baju seksi di TV atau saat memgajak anak ke bioskop. Ya, sih, nontonnya film
anak kecil, tapi poster-poster di bioskop itu banyak sekali yang vulgar, lho. Menonton atau
membaca buku tentang princess juga bisa dibilang informasi seksual. Ada adegan Snow White
dicium oleh pangeran di sana dan lain sebagainya. Jadi, kalau sikap kita santai karena mikir anak
masih kecil, ya, itu salah, sih, karena kita adu cepat dengan sumber informasi yang lain.
2. Hilangkan rasa tabu
Yang merasa malu dan canggung itu kan kita sebagai orangtua. Anak, sih, biasa saja. Ketika
mereka menanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas, di pikiran mereka
sama seperti saat menanyakan hal lain. Pertanyaan Bagaimana adik dibuat?, untuk mereka
sama seperti Kenapa kentut itu bau?. Jadi ,santai saja!
3. Lengkapi diri dengan pengetahuan
Jadi, ya, Mommies, kalau ada yang suka bilang adik bayi lahir dari perut, itu salah, ya :p. Yang
benar, adik bayi keluar dari rahim, bukan perut. Kalau perut, sih, laki-laki juga punya. Jadi anak
harus tahu bahwa ada organ-organ tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Biasakan juga menyebut organ tubuh sesuai nama benarnya: penis dan vagina, supaya alat vital
tersebut tidak berkesan mainan. Karena kalau namanya diganti jadi pee pee, kan, jadi
terdengar lebih bercanda, yah. Terus, ketika mereka misalnya lapor ke gurunya kalo pee pee-nya
sakit juga gurunya bisa bingung nggak mengerti apa yang dimaksud. Ini penting juga kalau
misalnya ada yang melakukan kekerasan seksual dan dia melaporkan ke orang lain yang tidak
tahu kosa katanya, jadi orang tersebut cepat mengerti.
Terus .. pasti banyak, deh, yang anaknya senang lari-lari keluar dari kamar mandi tanpa pakai
baju dulu. Kita cenderung, Eh, ayo pakai baju dulu, dong, kan malu. Padahal, si anak tidak
merasa malu. Jadi yang mesti ditekankan adalah ada bagian-bagian tubuh yang tidak untuk
diperlihatkan.
Harus tahu juga misalnya, mimpi basah itu apa, sih? Sering ada kasus ketika anaknya mimpi
basah malah diinterogasi, Memang kamu membayangkan apa sebelum tidur? Di mimpinya
melakukan apa? Dengan siapa? Padahal, seringnya mereka juga tidak tahu mimpinya tentang
apa dan siapa.
4. No is a complete answer!
Ini yang jleb sekali untuk saya karena benar-benar baru kepikiran. Menurut Mbak Elaa, kita
harus menghargai kemampuan anak untuk bilang tidak. Jadi, ketika anak lagi tidak mau berbagi
mainannya, ya, biarkan saja. Atau mungkin hal-hal lain. Nggak perlu ketika anak bilang tidak
lantas dibujuk sedemikian rupa supaya berubah pikiran. Kemampuan bilang tidak ini adalah
latihan untuk mereka di kemudian hari, bahwa akan ada banyak momen di mana mereka harus
berkata tidak. Misalnya, ketika diajak mencoba narkoba oleh teman-temannya, diajak melakukan
hubungan seksual dan sebagainya. Mereka, kan, tidak perlu merasa memberi alasan panjang
lebar pada teman-temannya ketika mereka menolak. A firm NO is enough, no justification
needed.
5. Hati-hati dengan apa yang diucapkan sehari-hari.
Seringnya tanpa kita sadari, kita sudah mengeluarkan kata-kata yang bisa dikategorikan
informasi seksual. Misalnya, anak perempuan kita memakai tanktop dan terucaplah, Ih, seksi
banget, siih, bajunya, tanpa maksud apa-apa.
Atau terkadang kita juga suka bercanda mengatakan Memang pacar kamu di sekolah siapa?
Jangan sampai mereka mengasosiasikan pacar dengan cinta. Nanti, dikit-dikit cinta, kan, repot.
Untuk anak yang sudah di Sekolah Dasar, akan lebih bisa diberi pengertian kalo cinta itu seperti
ayah-ibu, cinta itu butuh waktu, komitmen dan usaha, berbeda dengan hanya; tertarik.
Sering juga kan kita mendengar kucing ribut dan orang-orang di sekitar berkomentar Kucing
kawin, tuuh, kucing kawin. Nah, itu sebenarnya, kan, sumber informasi seksual juga.
6. Hindarkan ancaman dan sogokan
Sama seperti kita harus menghormati ucapan tidak dari anak. Ancaman dan sogokan itu hanya
solusi short term yang tidak memberikan efek bagus di kemudian hari. Bayangkan, kalau anak
kita gampang disogok, bukan nggak mungkin nanti dia terjerumus karena sogokan yang dia
terima, kan? Atau anak sudah merasa kerdil dengan ancaman orangtua, jadi ketika diancam
temannya atau orang dewasa lain juga langsung mengkeret dan tidak berani melawan.
Pemahaman bahwa orang dewasa pasti benar, juga harus dijauhkan, ya, Mommies karena kita
pun tahu bahwa orang dewasa itu nggak selalu benar .
7. Selalu dalam konteks pernikahan
Jadi, ketika kita sedang membahas tentang hubungan seksual, selalu tekankan bahwa ini hanya
terjadi dalam pernikahan. Kaitkan juga dengan norma agama. Tapi, nilai-nilai agama juga tidak
cukup untuk membuat mereka memutuskan untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum
menikah. Jadi, tetap harus dibekali dengan bahayanya seks di luar pernikahan, penyakit-penyakit
yang dapat timbul karenanya dan lain sebagainya.
8. Hati-hati dengan dunia virtual
Anonimitas di dunia virtual dapat membuat seseorang bersikap jauh berbeda dengan
kesehariannya. Jangankan untuk anak, yang dewasa pun begitu. Sering, kan, kita mengalami
bertemu orang yang di Twitter cerewet, ternyata begitu bertemu muka, malah pendiam sekali.
Sebaiknya, anak jangan dibekali dengan smartphone terlalu dini. Umumnya, anak di bawah 11
tahun itu masih belum siap untuk menggunakan smartphone. Memang sih mereka jago
mengoperasikannya, tapi itu cuma jago motoriknya. Bukan berarti mental dan emosinya sudah
siap untuk terpapar oleh derasnya informasi dari smartphone.