Anda di halaman 1dari 26

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Alergi

Pengertian
Hipersensitifitas atau alergi dapat didefinisikan sebagai setiap reaksi imunologi yang
menghasilkan kerusakan jaringan dalam individu.
Menurut Van Pirquet ( 1906 ) Hipersensitifitas atau alergi adalah suatu keadaan yang
disebabkan oleh reaksi imunologik spesifik yang ditimbulkan oleh alergen sehingga terjadi
gejala gejala patologis.
Jenis jenis Reaksi Hipersensitifitas :
Reaksi Hipersensitifitas tipe I ( reaksi atopik atau anafilatik )
Ini merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE. Pada reaksi tipe I,
antigen terikat ke antibodi IgE. Kompleks IgE Antigen menyebabkan degranulasi sel mast
dan pelepasan histamin, serta mediator peradangan lainnya. Mediator ini menyebabkan
vasodilatasi perifer dan pembengkakan ruang interstisium. Gejala gejala bersifat spesifik
bergantung pada dimana respon alergi tersebut berlangsung. Pengikatan antigen di saluran
hidung menyebabkan

rinitis alergi disertai kongesti hidung dan peradangan jaringan,

sementara pengikatan antigen disaluran cerna mungkin menimbulkan diare atau muntah.
Suatu reaksi hipersnsitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik. Anafilaktik
melibatkan respon cepat IgE. Sel mast setelah perjalanan ke suatu antigen dimana individu
sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin
sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah selama reaksi anafilaktik
disebut syok anafilaktik. Karena histamin adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus,
maka anafilaksisjuga merupakan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon

terhadap obat misalnya penisilin atau sebagi respon terhadap sengatan lebah dan bersifat fatal
pada orang yang sangat peka.
Reaksi Hipersensitifitas tipe II ( reaksi sitotoksik atau sitolitik )
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen antigen jaringan.
Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suatu reaksi autoimun, sel
sel sasaran biasanya dihancurkan. Pada reaksi tipe II, pengikatan antibodi antigen
menyebabkan pengaktifan komplemen, degranulasi sel mast, oedema, kerusakan jaringan,
dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel sel penjamu oleh makrofag.
Contoh contoh penyakit autoimun tipe II :
Penyakit grave dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap kelenjar tiroid.
Anemia hemolitik autoimun dimana antibodi dibentuk terhadap sel darah merah.
Reaksi tranfusi yang melibatkan pembentukan antibodi terhadap sel darah kotor.
Purpura trombositopenik autoimun dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap
trombosit.
Reaksi Hipersensitifitas tipe III ( reaksi Arthus atau komplek toksik )
Terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap di pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi disini biasanya jenis IgG.
Antibodi tidak ditunjukan kepada jaringan tersebut tetapi terperangkap di dalam jaringan
kapilernya. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan
macrophage chemotaktik factor. Macrophage yang dikerahkan ke tempat tersebut akan
merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim enzim sel serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten ( malaria ), bahan
yang terhirup ( spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi ) atau dari jaringan
sendiri ( penyakit autoimun ) infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam jumlah yang
berlebihan tetapi tidak disertai dengan respon antibodi yang efektif.
Pembentukan kompleks imun dalam pembuluh darah menjadikan antigen ( Ag ) dan
antibodi ( Ab ) bersatu membentuk komplek imun mengaktifkan komplemen ( C ) dan
melepas C3a dan C5a yang merangsang leukosit basofil dan trombosit untuk melepas
berbagai mediator antara lain histamin yang menimbulkan pengerutan sel endotil sehingga
permeabilitas vaskuler meninggi.
Dalam keadaan normal komplek imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear
terutama dalam hati, limpa, paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut ukuran
kompleks merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat
dimusnahkan dalam hati, kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan, oleh karena itu dapat lebih
lama ada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan sebab mengapa
komleks sulit dimusnahkan. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka
waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
mengendap di jaringan.
Contoh contoh reajsi hipersensitifitas tipe III :
Penyakit Serum dimana terbentuknya antibodi terhadap darah asing, seiring sebagai
respon terhadap penggunaan obat IV, kompleks antigen antibodi mengendap di sistem
pembuluh, sendi, ginjal, dan lain lain.
Glomerulonefritis dimana terbentuk kompleks antigen antibodi sebagai respon terhadap
suatu infeksi, sering oleh bakteri streptokokus dan mengendap di kapiler glomerolus ginjal.

Lupus Eritematosus Sistemik dimana terbentuk kompleks antigen antibodi terhadap


kolagen dan DNA sel dan mengendap di berbagai tempat di seluruh tubuh.

Reaksi Hipersensitifitas tipe IV ( reaksi seluler atau hipersensitifitas tipe lambat )


Reaksi tipe IV yang juga disebut reaksi hipersensitifitas lambat, timbul lebih dari 24
jam setelah tubuh terpapar oleh antigen. Reaksi terjadi karena respon sel T yang sudah
disensitasi bereaksi spesifik dengan suatu antigen tertentu sehingga menimbulkan reaksi
makrofag. Serta membentuk indurasi jaringan pada daerah tempat antigen tersebut. Reaksi ini
sama sekali tidak memerlukan antibodi seperti pada ketiga tipe terdahulu, bahkan tidak
memerlukan aktivasi komplemen.
Oleh karena itu itu reaksi ini timbulnya agak lambat, sekitar 24 48 jam, maka secara
klinis reaksi dikenal dengan istilah hipersensitifitas tipe lambat. Ada dua macam mekanisme
yang turut berperan di dalam terbentuknya hipersensitifitas tipe lambat lambat ini, yakni
mekanisme aferen dan eferen. Mekanisme aferen merupakan mekanisme spesifik dan timbul
pada waktu sensitized lymphocyte cells dengan resptor yang spesifik ; bereaksi dengan
antigen tertentu sehingga sel tersebut mengeluarkan mediator limfokin. Kemudian zat
tersebut akan bekerja secara non spesifik pada mekanisme aferen dan mempengaruhi limfosit,
makrofag, monosit.
Contoh contoh reaksi hipersensitifitas tipe IV :
Tiroiditis autoimun dimana terbentuknya sel T terhadap jaringan, tiroid, penolakan tandur
dan tumor.
Reaksi alergi tipe lambat, misal alergi terhadap poison IVX.
Uji kulit tuberkulin, mengisyaratkan adanya imunitas selular terhadap hasil tuberkulosis.

2.

Faktor Predisposisi dan Presispitasi.


Pada kasus kelainan asthma diduga disebabkan karena hipersensitifitas dari cabang

cabang bronchus. Pada individu individu yang rentan, lapisan dari cabang cabang
bronchiale tersebut akan menjadi lebih sensitive. Kerentaan dari suatu individu kemungkinan
diturunkan secara genetik. Munculnya kerentaan ini disebabkan oleh adanya perubahan
terhadap atau rangsangan yang berlebihan dengan faktor faktor lingkungan, seperti
pemaparan dengan bahan alergen atau iritan (Antony Crokett, 1997 : 9).
Pencetus atau rangsangan yang sering menimbulkan serangan asthma perlu diketahui
dan sedapat mungkin dihindari.
Faktor faktor tersebut adalah :
a.

Faktor Ekstrinsik : reaksi antigen-antibody;karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk,


bulu-bulu binatang, spora jamur, dan tepung sari rerumputan)Alergen utama : debu rumah,
spora jamur, dan tepung sari rerumputan.

b. Faktor intrinsik : para influenza virus, pneumonia, mycoplasmal.


c.

Kemudian dari faktor fisik : cuaca dingin, perubahan temperatur.

d. Iritan : kimia.
e.

Polusi udara : CO, asap rokok, parfum, bau bauan, dan polutan.

f.

Infeksi saluran nafas oleh virus.

g. Lingkungan kerja.
h. Obat obatan.
i.

Emosional : takut, cemas, dan tegang. (Kernen Baratawidjaja 1990 ; 27).

j.

Aktifitas yang berlebihan juga dapat menjadi factor pencetus.


Asthma sering dicirikan sebai alergi, idiopatik / non alergi atau gabungan.

a.

Asthma alergik

Adalah asthma yang disebabkan oleh alergen.


b. Asthma idiopatik
Adalah asthma yang tidak berhubungan dengan alergen spesifik misal latihan, emosi.
c.

Asthma gabungan
Merupakan bentuk asthma yang paling umum.
Berdasarkan tingkat kegawatan asthma, maka asthma dapat dibagi atas tiga tingkat.

a.

Asthma Bronchiale
Yaitu suatu bronkospasme atau penyempitan bronchus yang sifatnya reversibel dengan latar
belakang alergik.

b. Status Asthmatikus
Yaitu asthma dengan intensitas serangan yang tinggi dan tidak memberikan reaksi dengan
obat obatan yang konvensional.
c.

Astmatic Emergenci
Yaitu asthma yang dapat menyebabkan kematian.
(Tabrani Rob 1998 ; 575)

3 . Tanda dan Gejala


Gambaran klinis asthma adalah serangan episodik batuk mengi dan sesak nafas. Pada
awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada. Asthma yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai mengi dikenal dengan istilah Cough Variant Asthma. Pada asthma
alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alergik seperti asap dan lain
lain.
(Heru Sundara 1996 ; 23).
4 . Patofisiologi

Sampai saat ini patofisiologi maupun etiologi asthma belum diketahui secara pasti.
Berbagai teori tentang patofisiologi telah diajukan, tapi yang paling disepakati banyak ahli
adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan system imun.
Beberapa individu dengan asthma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan imunoglobulin (IgE) kemudian menyerang sel
sel mastosit dalam paru. Perjalanan ulang terhadap antigen dengan antibody, menyebabkan
pelepasan produk sel sel mastosit (disebut mediator) seperti histamin bradikinin dan
prostaglandin. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan broncospasme, pembengkakan membran mukosa dan
pembentukan mucus yang banyak.
Sistem syaraf otonom mempersarafi paru. Tonus otobronchiale diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asthma idiopatik atau non alergi, ketika ujung
saraf pada jalan nafas dirangsang factor seperti : infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan
polutan, jumlah asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkotriksi juga merangsang
pembentukan mediator kimiawi. Individu dengan asthma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor dan adrenergik dari system saraf simpatis terletak dalam
bronchi. Ketika reseptor adrenergik dirangsang, terjadi bronchokontriksi, bronchodilasi
terjadi jika reseptor adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adrenosin monofosfat
(CAMP). Stimulasi reseptor mengakibatkan penurunan CAMP yang mempengaruhi pada
peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel sel motosit bronkoskontriksi.
Stimulasi reseptor mengakibatkan peningkatan CAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimia dan menyebabkan bronkodilasi.
(Burner & Suddar 2007 ; 911)
5 . Penatalaksanaan

Prinsip utama asthma adalah :


a.

Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segera.

b. Mengenal dan menghindari factor factor yang dapat mencetuskan asthma.


c.

Memberikan penerangan kepada penderita atau keluarga mengenai penyakit asthma.

d. Pengobatan
Pengobatan ada 2 yaitu : dengan cara farmakologi dan non farmakologi.
Pengobatan asthma dengan farmakologi ada 4 yaitu :
1.

Teofilin, sebagai bronkodilator dengan sedikit efek rangsangan pusat.

2.

Anti Kalinergik sebagai bronkodilasan yang menghambat jalan nafas pasca ganglionik
sehingga mengurangi bronkokontriksi.

3.

Disodium Karamoglikat dan Sodium Nedokromil, anti inflamasi sebagai pencegahan.

Pengobatan dengan non farmakologi melalui inhalasi uap.


Inhalasi Uap
Pengertian Inhalasi Uap
Adalah menghirup uap dengan atau tanpa obat.
Indikasi Inhalasi Uap yaitu :
- Klien dengan batuk berdahak.
nafas.
Manfaat Inhalasi Uap
- Dahak menjadi encer.

sesak nafas.
A. Pengkajian

Riwayat asthma atau alergi dan seranga asthma yang lalu, alergi dan masalah pernafasan.

Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit dan pengobatan .

Fase akut ; tanda tanda vital, pernafasan, retraksi dada, penggunaan otot otot asesoris
pernafasan, cuping hidung, pulse oximetri.

Suara nafas ; wheezing, menurunya suara nafas.

Kaji status neurology, perubahan kesadaran, meningkatnya fatigue, perubahan tingkah laku.

Riwayat psikososial ; factor pencetus ; stress, kebiasaan dan rutinitas, perawatan


sebelumnya,

B. Diagnosa Keperawatan
Masalah yang muncul antara lain :
a.

Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas
berhubungan dengan bronkospasme, edema mukosal dan meningkatnya secret.

b. Fatigue berhubungan dengan hypoksia dan meningkatnya usaha nafas.


c.
d.

Kecemasan berhubungan dengan hospitalisasi dan distress pernafasan.


Risiko kurangya volume cairan berhubungan dengan meningkatnya pernafasan dan
menurunya intake cairan.

e.

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kondisi kronik.

f.

Kurangya pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan pengobatan.

C. Perencanaan
a.

Anak tidak menunjukan gangguan keseimbangan asam basa yang ditandai dengan saturasi
oksigen lebih kurang 95 %.

b.

Anak tidak tampak fatigue yang ditandai dengan tidak iritabel, dapat berpartisipasi dan
aktivitas yang sesuai dengan kondisi.

c.

Kecemasan menurun yang ditandai dengan anak tenang dan dapat mengekspresikan
perasaanya, begitu juga orang tua merasa tenang dan berpartisipasi dalam perawatan anak.

d. Status hidrasi adekuat yang ditandai dengan turgor kulit elastis, membran mukosa lembab,
intake cairan sesuai dengan usia dan berat badan, out-put urine lebih dari 2 ml /kg per jam.

e.

Orang tua mendemonstrasikan koping yang tepat yang ditandai dengan mengekspresikan
perasaan dan perhatian serta memberikan aktivitas yang sesuai usia atau kondisi dan
perkembangan psikososial pada anak.

f.

Orang tua secara verbal memahami proses penyakit dan pengobatan dan mengikuti regimen
terapi yang diberikan.

D. Implementasi
a.

Mempertahankan pertukaran gas yang adekuat dan pembersihan jalan nafas.


Pertahankan kepatenan jalan nafas; pertahankan support ventilasi bila diperlukan.
Kaji fungsi pernafasan; auskultasi bunyi nafas, kaji kulit setiap 15 menit sampai 4 jam.
Berikan oksigen sesuai program dan pantau pulse oximetri dan batasi (penyapihan) atau
tanpa alat bantu bila kondisi telah membaik.
Kaji kenyamanan posisi tidur anak.
Monitor efek samping pemberian pengobatan; monitor serum darah; theophyline dan catat
kemudian laporkan ke dokter. Normalnya 10 20 ug/ml pada semua usia.
Berikan cairan yang adekuat per oral atau parenteral.
Pemberian terapi pernafasan; nebulizer, fisioterapi dada bila indikasi, ajarkan batuk dan nafas
dalam efektif setelah pengobatan dan pengisapan secret (suction).
Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan pada anak untuk menurunkan kecemasan.
Berikan terapi bermain sesuai usia.
20j 5slmult1jclitabMemberikan istirahat yang cukup, mencegah
hypoksia, dan mengurang kerja berat pernafasan.
Kaji tanda dan gejala hypoksia; kegelisahan, fatigue, iritabel, tachycardia, tachypnea.
Hindari seringya melakukan intervensi yang tidak penting yang dapat membuat anak lelah,
berikan istirahat yang cukup.

Instruksikan pada orang tua untuk tetap berada didekat anak.


Berikan kenyamanan fisik; support dengan bantal dan pengaturan posisi.
Berikan oksigen humidifikasi sesuai program.
Berikan nebulizer; kemudian pantau bunyi nafas, dan usaha nafas setelah terapi.
Setelah krisis, ajarkan untuk aktivitas yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan untuk meningkatkan ventilasi, dan memperluas perkembangan psikososial.
b.

Memberikan lingkungan yang tenang dan mengurangi kecemasan.


Ajarkan teknik relaksasi; latihan nafas, melibatkan penggunaan bibir dan perut, dan ajarkan
untuk berimajinasi.
Pertahankan lingkungan yang tenang; temani anak, dan berikan support.
Ajarkan untuk ekspresi perasaan secara verbal.
Berikan terapi bermain sesuai dengan kondisi.
Informasikan tentang perawatan, pengobatan dan kondisi anak.
Jelaskan semua prosedur yang akan dilakukan.

c.

Berikan hidrasi yang adekuat.


Monitor intake dan out put (pemasukan dan pengeluaran), mukosa membran, turgor kulit,
pengeluaran urine, ukur grafitasi urine atau berat jenis urine (nilai 1.003 1.030).
Monitor elektrolit.
Kaji warna sputum, konsistensi dan jumlah.
Pertahankan terapi parenteral bila indikasi, dan monitor kelebihan (overload) cairan.
Berikan intake cairan per oral bila toleran, hati hati minuman yang dapat meningkatkan
bronkospasme (air dingin).

Setelah fase akut, ajarkan anak dan orang tua untuk minum 3 8 elas (7502000 ml),
tergantung usia dan berat badan.
d. Mengkaji proses koping keluarga.
Berikan kesempatan pada orang tua untuk ekspresi perasaan.
Kaji mekanisme koping sebelumnya pada waktu stress.
Jelaskan prosedur dan pengobatan yang diberikan.
Informasikan pada orang tua tentang kondisi anak.
Identifikasi sumber-sumber psikososial keluarga dan finansial.
e.

Memberikan informasi tentang proses penyakit, perawatan dan pengobatan.


Kaji tingkat pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit, pengobatan, dan intervensi.
Bantu untuk mengidentifikasi faktor pencetus.
Jelaskan tentang emosi dan stress yang dapat menjadi factor pencetus.
Jelaskan pentingya pengobatan; dosis, efek samping, waktu pemberian dan pemeriksaan
darah.
Informasikan tanda dan gejala yang harus dilaporkan dan kontrol ulang.
Informasikan pentingnya program aktivitas dan latihan nafas.
Jelaskan pentingya terapi bermain sesuai usia.

DAFTAR PUSTAKA
a.

Crockett, Anthony 1997 ; Penanganan Asthma Dalam Perawatan Primer, alih bahasa Erlan,
editor Sandi Qlintang, Hipokrates, Jakarta.

b. Soeparman 1990 ; Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Pustaka FKUI, Jakarta.
c.

Carpenito L. Jual 1990 Buku Saku, Dokumen Keperawatan Edisi 8, Edisi Bahasa Indonesia,
Monica Ester EGC, Jakarta.

Pada kasus ITP biasanya tidak diketahui penyebabnya ( idiopatik ) tetapi dapat terlihat
bersamaan dengan penyakit lain, misalnya leukimia, limfositik kronis, penyakit hodgin,
anemia haenolitik otoimun.
3. Patofisiologi
Sensitasi trombosit dengan otoantibodi ( IgG ) mengakibatkan penarikan diri dari sirkulasi
oleh sel sistem retikulo endotelial. Trombosit yang sedikit disensitasasi terutama dirusak

dalam limpa tetapi trombosit yang disenitasi berat atau trombosit yang dibungkus komplemen
sebagaimana IgG dirusak diseluruh sistem retikulo endotelial terutama dalam hati.
Pathways
Kompleks Antigen

Antibodi
Aktivitas Komplemen

Agregasi Platelet

Aktivasi faktor
Hageman

Faktor Kemotaktik

Pembentukan

Anafiltoksin

Pembentukan

Mikrotrombi

Agregasi

Iskemia

Neutrofil

Fagositosis Kompleks

Pelepasan

Aktivasi kinin

Vasoaktimin

Pelepasan enzim

Vasodilatasi dan

Lisosomal dan radikal

edema

Bebas

Nekrosis

4. Manifestasi Klinik
ITP banyak terjadi pada masa kanak kanak, tersering dipresipitasi oleh infeksi virus
dan biasanya dapat sembuh sendiri. Sebaliknya, pada orang dewasa biasanya menjadi kronik
dan jarang mengikuti suatu infeksi virus.
Pasien secara umum tampak baik dan tidak demam. Keluhan yang dapat ditemukan
adalah peradangan mukosa kulit. Peradangan yang paling umum adalah epistasis, peradangan
mulut, menarogia, purpura dan patakie.
Pada pemeriksaan fisik terlihat pasien dalam keadaan baik dan tidak terdapat
penemuan abnormal lain, selain yang berhubungan dengan perdarahan.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombosit ( 10.000 / ml ). Hitung jenis lain
normal, kecuali kadang kadang dapat terjadi anemia ringan yang disebabkan oleh
perdarahan atau berhubungan dengan hemoliss.
Pemeriksaan morfologi sel darah normal, kecuali trombosit yang membesar
( megakariosit ). Megakariosit ini merupakan trombosit yang dihasilkan sebagai respon
terhadap distruksi trombosit.
Pada pemeriksaan sumsum tulang terlihat normal dengan jumlah megakariosit normal
atau meningkat. Tes koagulasi terlihat mendekati normal. Meskipun tes resbut sangat sensitif

( 95% ) namun sangat tidak spesifik dan 50% dari semua pasien dengan trombositopenia dari
berbagai sebab dapat mempunyai peningkatan IgG trombosit.

6. Penatalaksanaan Medis
a.

Beberapa pasien ITP mengalami remisi spontan dan sebagian besar akan memerlukan
pengobatan pengobatan inisial dengan prednison 1 2 mg/kg BB. Prednison bekerja
pertama kali dengan menurunkan afinitas makrofag dari limpa untuk coated trombosit. Dosis
tinggi prednison dapat juga menurunkan ikatan antibodi pada permukaan trombosit dan terapi
jangka panjang menurunkan antibodi. Dosis pemeliharaan prednison ditujukan untuk tetap
mempertahankan trombosit yang stabil. Resiko perdarahan kecil dengan trombosit > 50.000 /
ml.

b.

Splenektomi merupakan terapi definitif bagi pasien ITP dewasa. Slienektomi dapat tetap
aman meskipun trombosit < 10.000 / ml. Sekitar 80% dari pasien splenektomi akan
mengalami remisi baik parsial atau sempurna.

c.

Imunoglobulin dosis tinggi IV ( 400 mg/kg BB ) selama 3 5 hari, mempunyai efektifitas


tinggi ( 90% ) dalam meningkatkan hitung trombosit dengan cepat, yaitu 1 5 hari. Namun
pengobatan ini sangat mahal dan efeknya berakhir hanya 1 2 minggu. Terapi imunoglobulin
harus diberikan pada situsi gawat darurat seperti persiapan operasi pada pasien dengan
trombositopenia berat.

d. Pada pasien yang gagal, baik terapi prednison atau splenektomi, dapat digunakan danazol 600
mg/hari yang telah berespon terhadap 50% kasus.
e.

Imunosupresif seperti vinkristin, infus vinsbiatin, azatioprin dan sikloposfamid dapat


digunakan pada kasus kasus refrakter.

f.

Tranfusi trombosit, jarang diberikan pada pengobatan ITP. Tranfusi hanya diberikan pada
kasus kasus perdarahan berat yang mengancam jiwa untuk mempertahankan kemantapan
hemostatik.

B. Konsep Keperawatan

1. Pengkajian
Obsevasi / temuan :
Perdarahan mukosa dan kulit
Perdarahan mulut
Patekia
Epistaksis
Menurogia
Hematuria
Muntah berwarna hitam kopi atau hematemesis
Perdarahan gusi
Ekstremitas nyeri
Riwayat keluarga perdarahan.

2. Diagnosa Keperawatan
Dx. Keperawatan 1 :
Perubahan perlindungan yang berhubungan dengan abnormal profil darah
( trombositopenia ).
Dx. Keperawatan 2 :

Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan cedera fisik dibuktikan oleh bula yang
berisi darah.

Dx. Keperawatan 3 :
Nyeri berhubungan dengan agen fisik yang diakibatkan dari tekanan syaraf sekunder terhadap
perdarahan.
Dx. Keperawatan 4 :
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mendapat informasi yang akurat mengenai
proses penyakit, nutrisi, aktifitas dan pengobatan.
3.

Perencanaan ( NCP )
Dx. Keperawatan 1
Perubahan perlindungan yang berhubungan dengan abnormal profil darah ( trombositopenia )

Tujuan dan Kriteria Hasil


a.

TTV pasien stabil

b.

Tidak ada bukti perdarahan

c.

Pemeriksaan urin dan feses menunjukan perdarahan ( - )

d. Sistem pernafasan dan neurologi tidak menunjukan perdarahan


Intervensi
a.

Pertahankan tirah baring bila terjadi perdarahan

b.

Periksa urin dan feses terhadap perdarahan setiap hari

c.

Kaji status neurologis setiap 2 4 jam

d. Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas


e.

Hindari trauma untuk menghindari perdarahan

f.

Berikan tranfusi darah trombosit bila dipesankan. Berikan trombosit yang cepat melalui
selang yang dianjurkan untuk mencegah destruksi

g.

Berikan terapi kortikosteroid dan terapi imunosupresif sesuai pesanan

h.

Hindari penggunaan antihistamin, fenofiozin, aspirin dan agen anti inflamasi non steroid
pada ITP

i.

Pantau pemeriksaan laboratorium

j.

Periksa TTV meliputi TD, S, N setiap 1 jam

Dx. Keperawatan 2
Perubahan memran mukosa oral berhubungan cedera fisik dibuktikan oleh bula yang berisi
darah.

Tujuan dan Kriteria Hasil


a.

Tidak terdapat bula di rongga mulut

b.

Pasien mendapatkan diet cairan seimbang

c.

Berat badan stabil


Intervensi

a.

Kaji integritas membran mukosa tiap 4 jam

b.

Berikan oral hygine hati hati sebelum dan sesudah makan tiap 2 4 jam

c.

Pertahankan diet yang disukai atau dipesan dengan menghindari penggunaan makanan yang
keras, garing atau sukar untuk dikunyah untuk mencegah trauma

d. Berikan cairan yang dipilih sampai 2500 ml setiap hari kecuali ada kontra indikasi
e.

Ukur masukan dan haluaran tiap 8 jam

f.

Timbang pasen tiap haridengan pakaian dan timbangan yang sama

Dx. Keperawata 3
Nyeri berhubungan dengan agen fisik yangb diakibatkan dari tekanan syaraf sekunder
terhadap perdarahan.
Tujuan dan Kriteria Hasil
a.

Pasien dapat menangani aktivitas tanpa atau dengan tidak nyaman.

b.

Wajah dan postur tetap rileks.


Intervensi

a.

Kaji nyeri meliputi : lokasi, durasi, intensitas faktor predisposisi setiap 6 jam.

b.

Baringkan pasien untuk memberikan rasa nyaman dengan menggunakan bantal.

c.

Siapkan tempat tidur yang dapat diatur untuk mencegah konstriksi.

d. Gunakan tindakan penghilang rasa nyeri melalui relaksasi, terapi musik, panduan imajinasi
dan sentuhan.
e.

Pantau aktivitas analgesik bila diberikan.

Dx. Keperawatanh 4
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mendapat informasi yang akurat mengenai
proses penyakit, nurisi, akyivitas, pengobatan.

Tujuan dan Kriteria Hasil


a.

Pasien dan atau orang terdekat mengungkapkan pemahaman tentang perawatan dirumah dan
intruksi tindak lanjut.

b.

Mendemonstrasikan metode untuk mendeteksi adanya perdarahan termasuk pemeriksaan


urin dan feses.

c.

Dapat mendemonstrasikan oral hygine dan tindakan perawatan kulit.

Intervensi
a.

Proses penyakit
Bicarakan tanda dan gejala kekambuhan untuk dilaporkan pada dokter antara lain : sakit
kepala yang berkepanjangan, batuk dengan sputum berdarah, muntah darah segar atau hitam
kopi.
Ingatkan pasien untuk tidak mendonorkan darahnya.
Jelaskan perlunya pencegahan trauma dengan menghindari :
o Konstipasi melalui diet, cairan laksatve.
o Dengan hati hati memindahkan atau memegang benda yang mungkin dapat menyebabkan
perdarahan.
o Gunakn produk dan perawatan kulit yang non-abrasif.

b.

Nutrisi
Jelaskan pentingnya hygine oral yang teratur.
Jelaskan mempertahankan diet yang seimbang dan hidrasi adekuat.
Diskusikan tentang makanan yang harus dihindari untuk mencegah trauma.

c.

Obat obatan
Ajarkan tentang nama obat, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping.
Ajarkan cara membaca isi dari obat yang dijual bebas dan menghindari obat obat yang
mengandung asam asetil salisilat ( antihistamin, fenotiazin dan agen anti inflamasi non
steroid pada ITP ).

PENUTUP

Dari hasil makalah yang telah dibuat yentang askep pada pasien dengan ITP dapat
diambil kesimpulan.
A. Kesimpulan

1.

Proses keperawatan merupakan merupakan suatu sarana untuk membantu perawat guna
mencapai perawat yang berkualitas efektif dan efisien yang diharapkan dapat meningkatkan
mutu askep.

2.

dalam membuat makalah ini pada pasien dengan ITP menggunakn pola pengkajian
fungsional yang sengat membantu.

3.

ITP merupakan salah satu penyakit gangguan imunologi.

4.

ITP dapat menyebabkan perdarahan dibagian tubuh tertentu.

5.

ITP tergolong dalam hipersensitifitas tipe ke II.


Pada ITP kronik

Publish By ekmal yusuf on Kategory : KMB


0 komentar:
Poskan Komentar
Newer Post Older Post

Artikel Populer

LAPORAN PENDAHULUAN FIBROADENOMA MAMMAE


PENGERTIAN 1.
Fibroadenoma adalah suatu tumor jinak yang merupakan
pertumbuhan yang meliputi kelenjar dan stroma jaringan ikat. ...

Laporan Pendahuluan dan Asuhan keperawatan Hernia


A. PENGERTIAN Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga
melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan...

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan H E P A T O M A


I.
PENGERTIAN
Hepatoma sinonim = Kanker Hati Primer, Karsinoma
Hepatoseluler adalah : proses keganassan pada hati. ...

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Alergi


Pengertian Hipersensitifitas atau alergi dapat didefinisikan sebagai setiap reaksi
imunologi yang menghasilkan kerusakan jaringan dalam ind...

Laporan Pendahuluan dan Asuhan keperawatan Hernia Scrotalis


A. PENGERTIAN Hernia merupakan protusi atau penonjolan isi suatu rongga
melalui defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkuta...

LAPORAN PENDAHULUAN SPACE OCCUPYING LESSION / SOL


A. Pengertian Tumor otak merupakan sebuah lesi yang terletak pada infrakranial
yang menempati ruang di dalam tengkorak (Smeltzer &...

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pasien dengan Osteomielitis atau


infeksi tulang
A. LATAR BELAKANG Osteomielitis atau infeksi tulang merupakan masalah
khusus dalam diagnosa dan terapi infeksi. Dalam 10 tahun ini minat...

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan HEMOFILIA


A.
KONSEP DASAR 1. Pengertian Hemofilia adalah kelainan koagulasi darah
bawaan yang paling sering dan serius, berhubungan dengan d...

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR FEMUR


I.
DEFENISI Rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan
oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi t...

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

PENGERTIAN Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam su...
Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

ekmal yusuf
Lihat profil lengkapku

Archives

2012 (271)

2011 (120)

Copyright 2012 Asuhan Keperawatan-Artikel Kesehatan Seo Elite by BLog BamZ | Blogger
Templates

Anda mungkin juga menyukai