Pengertian
Hipersensitifitas atau alergi dapat didefinisikan sebagai setiap reaksi imunologi yang
menghasilkan kerusakan jaringan dalam individu.
Menurut Van Pirquet ( 1906 ) Hipersensitifitas atau alergi adalah suatu keadaan yang
disebabkan oleh reaksi imunologik spesifik yang ditimbulkan oleh alergen sehingga terjadi
gejala gejala patologis.
Jenis jenis Reaksi Hipersensitifitas :
Reaksi Hipersensitifitas tipe I ( reaksi atopik atau anafilatik )
Ini merupakan reaksi alergi yang diperantarai oleh antibodi IgE. Pada reaksi tipe I,
antigen terikat ke antibodi IgE. Kompleks IgE Antigen menyebabkan degranulasi sel mast
dan pelepasan histamin, serta mediator peradangan lainnya. Mediator ini menyebabkan
vasodilatasi perifer dan pembengkakan ruang interstisium. Gejala gejala bersifat spesifik
bergantung pada dimana respon alergi tersebut berlangsung. Pengikatan antigen di saluran
hidung menyebabkan
sementara pengikatan antigen disaluran cerna mungkin menimbulkan diare atau muntah.
Suatu reaksi hipersnsitivitas tipe I yang parah adalah reaksi anafilaktik. Anafilaktik
melibatkan respon cepat IgE. Sel mast setelah perjalanan ke suatu antigen dimana individu
sangat peka terhadapnya. Dapat terjadi dilatasi seluruh sistem pembuluh akibat histamin
sehingga tekanan darah kolaps. Penurunan hebat tekanan darah selama reaksi anafilaktik
disebut syok anafilaktik. Karena histamin adalah konstriktor kuat bagi otot polos bronkiolus,
maka anafilaksisjuga merupakan penutupan saluran napas. Anafilaksis sebagai respon
terhadap obat misalnya penisilin atau sebagi respon terhadap sengatan lebah dan bersifat fatal
pada orang yang sangat peka.
Reaksi Hipersensitifitas tipe II ( reaksi sitotoksik atau sitolitik )
Hal ini terjadi sewaktu antibodi IgG atau IgM menyerang antigen antigen jaringan.
Reaksi tipe II terjadi akibat hilangnya toleransi diri dan dianggap suatu reaksi autoimun, sel
sel sasaran biasanya dihancurkan. Pada reaksi tipe II, pengikatan antibodi antigen
menyebabkan pengaktifan komplemen, degranulasi sel mast, oedema, kerusakan jaringan,
dan lisis sel. Reaksi tipe II menyebabkan fagositosis sel sel penjamu oleh makrofag.
Contoh contoh penyakit autoimun tipe II :
Penyakit grave dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap kelenjar tiroid.
Anemia hemolitik autoimun dimana antibodi dibentuk terhadap sel darah merah.
Reaksi tranfusi yang melibatkan pembentukan antibodi terhadap sel darah kotor.
Purpura trombositopenik autoimun dimana terjadi pembentukan antibodi terhadap
trombosit.
Reaksi Hipersensitifitas tipe III ( reaksi Arthus atau komplek toksik )
Terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap di pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi disini biasanya jenis IgG.
Antibodi tidak ditunjukan kepada jaringan tersebut tetapi terperangkap di dalam jaringan
kapilernya. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen yang kemudian melepaskan
macrophage chemotaktik factor. Macrophage yang dikerahkan ke tempat tersebut akan
merusak jaringan sekitar tempat tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai
memfagositosis sel sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim enzim sel serta
penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten ( malaria ), bahan
yang terhirup ( spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi ) atau dari jaringan
sendiri ( penyakit autoimun ) infeksi tersebut disertai dengan antigen dalam jumlah yang
berlebihan tetapi tidak disertai dengan respon antibodi yang efektif.
Pembentukan kompleks imun dalam pembuluh darah menjadikan antigen ( Ag ) dan
antibodi ( Ab ) bersatu membentuk komplek imun mengaktifkan komplemen ( C ) dan
melepas C3a dan C5a yang merangsang leukosit basofil dan trombosit untuk melepas
berbagai mediator antara lain histamin yang menimbulkan pengerutan sel endotil sehingga
permeabilitas vaskuler meninggi.
Dalam keadaan normal komplek imun dimusnahkan oleh sel fagosit mononuklear
terutama dalam hati, limpa, paru tanpa bantuan komplemen. Dalam proses tersebut ukuran
kompleks merupakan faktor penting. Pada umumnya kompleks yang besar, mudah dan cepat
dimusnahkan dalam hati, kompleks kecil sulit untuk dimusnahkan, oleh karena itu dapat lebih
lama ada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit merupakan sebab mengapa
komleks sulit dimusnahkan. Kompleks imun yang ada dalam sirkulasi meskipun untuk jangka
waktu lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun
mengendap di jaringan.
Contoh contoh reajsi hipersensitifitas tipe III :
Penyakit Serum dimana terbentuknya antibodi terhadap darah asing, seiring sebagai
respon terhadap penggunaan obat IV, kompleks antigen antibodi mengendap di sistem
pembuluh, sendi, ginjal, dan lain lain.
Glomerulonefritis dimana terbentuk kompleks antigen antibodi sebagai respon terhadap
suatu infeksi, sering oleh bakteri streptokokus dan mengendap di kapiler glomerolus ginjal.
2.
cabang bronchus. Pada individu individu yang rentan, lapisan dari cabang cabang
bronchiale tersebut akan menjadi lebih sensitive. Kerentaan dari suatu individu kemungkinan
diturunkan secara genetik. Munculnya kerentaan ini disebabkan oleh adanya perubahan
terhadap atau rangsangan yang berlebihan dengan faktor faktor lingkungan, seperti
pemaparan dengan bahan alergen atau iritan (Antony Crokett, 1997 : 9).
Pencetus atau rangsangan yang sering menimbulkan serangan asthma perlu diketahui
dan sedapat mungkin dihindari.
Faktor faktor tersebut adalah :
a.
d. Iritan : kimia.
e.
Polusi udara : CO, asap rokok, parfum, bau bauan, dan polutan.
f.
g. Lingkungan kerja.
h. Obat obatan.
i.
j.
a.
Asthma alergik
Asthma gabungan
Merupakan bentuk asthma yang paling umum.
Berdasarkan tingkat kegawatan asthma, maka asthma dapat dibagi atas tiga tingkat.
a.
Asthma Bronchiale
Yaitu suatu bronkospasme atau penyempitan bronchus yang sifatnya reversibel dengan latar
belakang alergik.
b. Status Asthmatikus
Yaitu asthma dengan intensitas serangan yang tinggi dan tidak memberikan reaksi dengan
obat obatan yang konvensional.
c.
Astmatic Emergenci
Yaitu asthma yang dapat menyebabkan kematian.
(Tabrani Rob 1998 ; 575)
Sampai saat ini patofisiologi maupun etiologi asthma belum diketahui secara pasti.
Berbagai teori tentang patofisiologi telah diajukan, tapi yang paling disepakati banyak ahli
adalah yang berdasarkan gangguan saraf autonom dan system imun.
Beberapa individu dengan asthma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibody yang dihasilkan imunoglobulin (IgE) kemudian menyerang sel
sel mastosit dalam paru. Perjalanan ulang terhadap antigen dengan antibody, menyebabkan
pelepasan produk sel sel mastosit (disebut mediator) seperti histamin bradikinin dan
prostaglandin. Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru paru mempengaruhi otot polos
dan kelenjar jalan nafas, menyebabkan broncospasme, pembengkakan membran mukosa dan
pembentukan mucus yang banyak.
Sistem syaraf otonom mempersarafi paru. Tonus otobronchiale diatur oleh impuls
saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asthma idiopatik atau non alergi, ketika ujung
saraf pada jalan nafas dirangsang factor seperti : infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan
polutan, jumlah asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkotriksi juga merangsang
pembentukan mediator kimiawi. Individu dengan asthma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor dan adrenergik dari system saraf simpatis terletak dalam
bronchi. Ketika reseptor adrenergik dirangsang, terjadi bronchokontriksi, bronchodilasi
terjadi jika reseptor adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adrenosin monofosfat
(CAMP). Stimulasi reseptor mengakibatkan penurunan CAMP yang mempengaruhi pada
peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel sel motosit bronkoskontriksi.
Stimulasi reseptor mengakibatkan peningkatan CAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimia dan menyebabkan bronkodilasi.
(Burner & Suddar 2007 ; 911)
5 . Penatalaksanaan
d. Pengobatan
Pengobatan ada 2 yaitu : dengan cara farmakologi dan non farmakologi.
Pengobatan asthma dengan farmakologi ada 4 yaitu :
1.
2.
Anti Kalinergik sebagai bronkodilasan yang menghambat jalan nafas pasca ganglionik
sehingga mengurangi bronkokontriksi.
3.
sesak nafas.
A. Pengkajian
Riwayat asthma atau alergi dan seranga asthma yang lalu, alergi dan masalah pernafasan.
Kaji pengetahuan anak dan orang tua tentang penyakit dan pengobatan .
Fase akut ; tanda tanda vital, pernafasan, retraksi dada, penggunaan otot otot asesoris
pernafasan, cuping hidung, pulse oximetri.
Kaji status neurology, perubahan kesadaran, meningkatnya fatigue, perubahan tingkah laku.
B. Diagnosa Keperawatan
Masalah yang muncul antara lain :
a.
Gangguan pertukaran gas, tidak efektif bersihan jalan nafas, dan tidak efektif pola nafas
berhubungan dengan bronkospasme, edema mukosal dan meningkatnya secret.
e.
f.
C. Perencanaan
a.
Anak tidak menunjukan gangguan keseimbangan asam basa yang ditandai dengan saturasi
oksigen lebih kurang 95 %.
b.
Anak tidak tampak fatigue yang ditandai dengan tidak iritabel, dapat berpartisipasi dan
aktivitas yang sesuai dengan kondisi.
c.
Kecemasan menurun yang ditandai dengan anak tenang dan dapat mengekspresikan
perasaanya, begitu juga orang tua merasa tenang dan berpartisipasi dalam perawatan anak.
d. Status hidrasi adekuat yang ditandai dengan turgor kulit elastis, membran mukosa lembab,
intake cairan sesuai dengan usia dan berat badan, out-put urine lebih dari 2 ml /kg per jam.
e.
Orang tua mendemonstrasikan koping yang tepat yang ditandai dengan mengekspresikan
perasaan dan perhatian serta memberikan aktivitas yang sesuai usia atau kondisi dan
perkembangan psikososial pada anak.
f.
Orang tua secara verbal memahami proses penyakit dan pengobatan dan mengikuti regimen
terapi yang diberikan.
D. Implementasi
a.
c.
Setelah fase akut, ajarkan anak dan orang tua untuk minum 3 8 elas (7502000 ml),
tergantung usia dan berat badan.
d. Mengkaji proses koping keluarga.
Berikan kesempatan pada orang tua untuk ekspresi perasaan.
Kaji mekanisme koping sebelumnya pada waktu stress.
Jelaskan prosedur dan pengobatan yang diberikan.
Informasikan pada orang tua tentang kondisi anak.
Identifikasi sumber-sumber psikososial keluarga dan finansial.
e.
DAFTAR PUSTAKA
a.
Crockett, Anthony 1997 ; Penanganan Asthma Dalam Perawatan Primer, alih bahasa Erlan,
editor Sandi Qlintang, Hipokrates, Jakarta.
b. Soeparman 1990 ; Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Pustaka FKUI, Jakarta.
c.
Carpenito L. Jual 1990 Buku Saku, Dokumen Keperawatan Edisi 8, Edisi Bahasa Indonesia,
Monica Ester EGC, Jakarta.
Pada kasus ITP biasanya tidak diketahui penyebabnya ( idiopatik ) tetapi dapat terlihat
bersamaan dengan penyakit lain, misalnya leukimia, limfositik kronis, penyakit hodgin,
anemia haenolitik otoimun.
3. Patofisiologi
Sensitasi trombosit dengan otoantibodi ( IgG ) mengakibatkan penarikan diri dari sirkulasi
oleh sel sistem retikulo endotelial. Trombosit yang sedikit disensitasasi terutama dirusak
dalam limpa tetapi trombosit yang disenitasi berat atau trombosit yang dibungkus komplemen
sebagaimana IgG dirusak diseluruh sistem retikulo endotelial terutama dalam hati.
Pathways
Kompleks Antigen
Antibodi
Aktivitas Komplemen
Agregasi Platelet
Aktivasi faktor
Hageman
Faktor Kemotaktik
Pembentukan
Anafiltoksin
Pembentukan
Mikrotrombi
Agregasi
Iskemia
Neutrofil
Fagositosis Kompleks
Pelepasan
Aktivasi kinin
Vasoaktimin
Pelepasan enzim
Vasodilatasi dan
edema
Bebas
Nekrosis
4. Manifestasi Klinik
ITP banyak terjadi pada masa kanak kanak, tersering dipresipitasi oleh infeksi virus
dan biasanya dapat sembuh sendiri. Sebaliknya, pada orang dewasa biasanya menjadi kronik
dan jarang mengikuti suatu infeksi virus.
Pasien secara umum tampak baik dan tidak demam. Keluhan yang dapat ditemukan
adalah peradangan mukosa kulit. Peradangan yang paling umum adalah epistasis, peradangan
mulut, menarogia, purpura dan patakie.
Pada pemeriksaan fisik terlihat pasien dalam keadaan baik dan tidak terdapat
penemuan abnormal lain, selain yang berhubungan dengan perdarahan.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombosit ( 10.000 / ml ). Hitung jenis lain
normal, kecuali kadang kadang dapat terjadi anemia ringan yang disebabkan oleh
perdarahan atau berhubungan dengan hemoliss.
Pemeriksaan morfologi sel darah normal, kecuali trombosit yang membesar
( megakariosit ). Megakariosit ini merupakan trombosit yang dihasilkan sebagai respon
terhadap distruksi trombosit.
Pada pemeriksaan sumsum tulang terlihat normal dengan jumlah megakariosit normal
atau meningkat. Tes koagulasi terlihat mendekati normal. Meskipun tes resbut sangat sensitif
( 95% ) namun sangat tidak spesifik dan 50% dari semua pasien dengan trombositopenia dari
berbagai sebab dapat mempunyai peningkatan IgG trombosit.
6. Penatalaksanaan Medis
a.
Beberapa pasien ITP mengalami remisi spontan dan sebagian besar akan memerlukan
pengobatan pengobatan inisial dengan prednison 1 2 mg/kg BB. Prednison bekerja
pertama kali dengan menurunkan afinitas makrofag dari limpa untuk coated trombosit. Dosis
tinggi prednison dapat juga menurunkan ikatan antibodi pada permukaan trombosit dan terapi
jangka panjang menurunkan antibodi. Dosis pemeliharaan prednison ditujukan untuk tetap
mempertahankan trombosit yang stabil. Resiko perdarahan kecil dengan trombosit > 50.000 /
ml.
b.
Splenektomi merupakan terapi definitif bagi pasien ITP dewasa. Slienektomi dapat tetap
aman meskipun trombosit < 10.000 / ml. Sekitar 80% dari pasien splenektomi akan
mengalami remisi baik parsial atau sempurna.
c.
d. Pada pasien yang gagal, baik terapi prednison atau splenektomi, dapat digunakan danazol 600
mg/hari yang telah berespon terhadap 50% kasus.
e.
f.
Tranfusi trombosit, jarang diberikan pada pengobatan ITP. Tranfusi hanya diberikan pada
kasus kasus perdarahan berat yang mengancam jiwa untuk mempertahankan kemantapan
hemostatik.
B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
Obsevasi / temuan :
Perdarahan mukosa dan kulit
Perdarahan mulut
Patekia
Epistaksis
Menurogia
Hematuria
Muntah berwarna hitam kopi atau hematemesis
Perdarahan gusi
Ekstremitas nyeri
Riwayat keluarga perdarahan.
2. Diagnosa Keperawatan
Dx. Keperawatan 1 :
Perubahan perlindungan yang berhubungan dengan abnormal profil darah
( trombositopenia ).
Dx. Keperawatan 2 :
Perubahan membran mukosa oral berhubungan dengan cedera fisik dibuktikan oleh bula yang
berisi darah.
Dx. Keperawatan 3 :
Nyeri berhubungan dengan agen fisik yang diakibatkan dari tekanan syaraf sekunder terhadap
perdarahan.
Dx. Keperawatan 4 :
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mendapat informasi yang akurat mengenai
proses penyakit, nutrisi, aktifitas dan pengobatan.
3.
Perencanaan ( NCP )
Dx. Keperawatan 1
Perubahan perlindungan yang berhubungan dengan abnormal profil darah ( trombositopenia )
b.
c.
b.
c.
f.
Berikan tranfusi darah trombosit bila dipesankan. Berikan trombosit yang cepat melalui
selang yang dianjurkan untuk mencegah destruksi
g.
h.
Hindari penggunaan antihistamin, fenofiozin, aspirin dan agen anti inflamasi non steroid
pada ITP
i.
j.
Dx. Keperawatan 2
Perubahan memran mukosa oral berhubungan cedera fisik dibuktikan oleh bula yang berisi
darah.
b.
c.
a.
b.
Berikan oral hygine hati hati sebelum dan sesudah makan tiap 2 4 jam
c.
Pertahankan diet yang disukai atau dipesan dengan menghindari penggunaan makanan yang
keras, garing atau sukar untuk dikunyah untuk mencegah trauma
d. Berikan cairan yang dipilih sampai 2500 ml setiap hari kecuali ada kontra indikasi
e.
f.
Dx. Keperawata 3
Nyeri berhubungan dengan agen fisik yangb diakibatkan dari tekanan syaraf sekunder
terhadap perdarahan.
Tujuan dan Kriteria Hasil
a.
b.
a.
Kaji nyeri meliputi : lokasi, durasi, intensitas faktor predisposisi setiap 6 jam.
b.
c.
d. Gunakan tindakan penghilang rasa nyeri melalui relaksasi, terapi musik, panduan imajinasi
dan sentuhan.
e.
Dx. Keperawatanh 4
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mendapat informasi yang akurat mengenai
proses penyakit, nurisi, akyivitas, pengobatan.
Pasien dan atau orang terdekat mengungkapkan pemahaman tentang perawatan dirumah dan
intruksi tindak lanjut.
b.
c.
Intervensi
a.
Proses penyakit
Bicarakan tanda dan gejala kekambuhan untuk dilaporkan pada dokter antara lain : sakit
kepala yang berkepanjangan, batuk dengan sputum berdarah, muntah darah segar atau hitam
kopi.
Ingatkan pasien untuk tidak mendonorkan darahnya.
Jelaskan perlunya pencegahan trauma dengan menghindari :
o Konstipasi melalui diet, cairan laksatve.
o Dengan hati hati memindahkan atau memegang benda yang mungkin dapat menyebabkan
perdarahan.
o Gunakn produk dan perawatan kulit yang non-abrasif.
b.
Nutrisi
Jelaskan pentingnya hygine oral yang teratur.
Jelaskan mempertahankan diet yang seimbang dan hidrasi adekuat.
Diskusikan tentang makanan yang harus dihindari untuk mencegah trauma.
c.
Obat obatan
Ajarkan tentang nama obat, dosis, waktu pemberian, tujuan dan efek samping.
Ajarkan cara membaca isi dari obat yang dijual bebas dan menghindari obat obat yang
mengandung asam asetil salisilat ( antihistamin, fenotiazin dan agen anti inflamasi non
steroid pada ITP ).
PENUTUP
Dari hasil makalah yang telah dibuat yentang askep pada pasien dengan ITP dapat
diambil kesimpulan.
A. Kesimpulan
1.
Proses keperawatan merupakan merupakan suatu sarana untuk membantu perawat guna
mencapai perawat yang berkualitas efektif dan efisien yang diharapkan dapat meningkatkan
mutu askep.
2.
dalam membuat makalah ini pada pasien dengan ITP menggunakn pola pengkajian
fungsional yang sengat membantu.
3.
4.
5.
Artikel Populer
PENGERTIAN Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam su...
Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
ekmal yusuf
Lihat profil lengkapku
Archives
2012 (271)
2011 (120)
Copyright 2012 Asuhan Keperawatan-Artikel Kesehatan Seo Elite by BLog BamZ | Blogger
Templates