PENDHULUAN
1.1 Latar Belakang
Resusitasi jantung paru adalah serangkaian usaha penyelamatan hidup pada
henti jantung.Walaupun pendekatan yang dilakukan dapat berbeda-beda,
tergantung penyelamat, korban dan keadaan sekitar, tantangan mendasar tetap ada,
yaitu bagaimana melakukan RJP yang lebih dini, lebih cepat dan lebih efektif.
Pengenalan akan adanya henti jantung dan tindakan segera yang harus dilakukan
menjadi prioritas dan dasar sebelum kita memberikan pertolongan.
Menurut American Heart Association, rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, kerena penderita yang
diberikan RJP, mempunyai kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup
kembali.
Bantuan hidup dasar boleh dilakukan oleh orang awam dan juga orang yang
terlatih dalam bidang kesehatan. Ini bermaksud bahwa RJP boleh dilakukan dan
dipelajari dokter, perawat, para medis dan juga orang awam. Dalam AHA (2015),
dikatakan bahwa penolong tidak terlatih hanya dapat memberikan kompresi saja
(Hands-Only), sedangkan untuk yang sudah terlatih dapat memberikan napas
buatan. CPR hanya dengan kompresi mudah dilakukn oleh penolong tidak terlatih
dan dapat dipandu secara lebih efektif oleh operator melalui telepon. Tingkat
kelangsungan hidup dari penderita serangan jantung terkait etiologi jantung baik
dengan hanya kompresi maupun dengan kompresi dan napas buatan adalah sama
bila diberikan dengan tepat dan segera sebelum penolong tiba. (AHA, 2015: 7)
1
BAB II
RESUSITASI JANTUNG PARU
2.1 Pengertian
Resusitasi
Jantung
Paru
(RJP)
merupakan
suatu
usaha
untuk
akibat berhentinya fungsi-fungsi tersebut pada orang yang tidak diharapkan mati
pada saat itu.(Simposium, In, Activities, Team, & Barat, 2013)
Resusistasi Jantung Paru adalah suatu teknik yang sangat berguna
untuk menyelamatkan nyawa dalam keadaan darurat, termasuk serangan
jantung atau hamper tenggelam, di mana napas seseorang atau detak jantung
telah berhenti. The American Heart Assosiation merekomendasikan bahwa
setiap orang atau tenaga medis harus memulai RJP dengan penekanan dada.
Walaupun, seseorang kekurang ilmu pengetahuan atau pengalaman apabila
melakukan penekanan dada pada seseorang henti napas atau henti dettak jantung
ia dapat menyelamatkan nyawa oran tersebut . Hal ini jauh lebih baik daripada
tidak melakukan apa-apa. RJP dapat tetap menjaga aliran oksigen yang
adekuat ke otak dan organ vital lainnya sampai ia dapat memulihkan
denyut jantung normal.Apabila, seseorang kekurangan oksigen dalam darah ia
akan menyebabkan kerusakan jaringan otak yang permenen dalam beberapa
menit. (Ganthikumar, 2016)
unit tempat penanganan pasca serangan jantung tersedia). Elemen struktur dan
proses yang diperlukan sebelum pemusatan dilakukan sangat berbeda di antara
kedua kondisi tersebut. Pasien yang mengalami OHCA mengandalkan masyarakat
untuk memberikan dukungan. Penolong tidak terlatih harus mengenali serangan,
meminta bantuan, dan memulai CPR, serta memberikan defibrilasi ( misalnya,
PAD/ public- access defibrilasi) hingga tim penyedia layanan medis darurat
( EMS/ emergency medical service) yang terlatih secara professional mengambil
ahli tanggung jawab, lalu memindahkan pasien ke unit gawat darurat dan/ atau
laboratorium jantung. Pada akhirnya, pasien di pindahkan pasien ke unit
perawatan kritis untuk perawatan lebih lanjut. Sebaliknya, pasien yang mengalami
HCA mengandalkan system pengawasan yang sesuai. ( AHA, 2015: 6)
2.3 Indikasi
2.3.1 Pasien dengan Henti Napas
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak hal,
misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan nafas oleh benda asing, sengatan listrik, tersambar petir, serangan
infrak jantung, tercekik (suffocation), trauma.
Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernafasan dari korban dan ini merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan
Bantuan Hidup Dasar. Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut dan
nadinya masih dapat mesirkulasi darah ke otak dan organ-organ vital lainnya.
Dengan memberikan bantuan resusitasi, ia dapat menjalankan sirkulasi lebih baik
dan mencegah kegagalan perfusi organ.(Ganthikumar, 2016)
tidak terdapat dilatasi pupil karena bereaksi terhadap rangsangan cahaya dan
pasien tidak sadar. Pengiriman oksigen ke otak tergantung pada curah jantung,
kadar hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap oksigen dan fungsi pernapasan.
Iskemia melebihi 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri
rusak menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.
(Ganthikumar, 2016)
2.4 Tanda- tanda RJP ( Resuistasi Jantung Paru) yang Efektif
Menurut Suharsono (2008) suatu resusitasi jantung paru yang berhasil dapat
dievaluasi dari:
2.4.1 Penolong merasakan denyut nadi karotis korban
2.4.2 Pupil korban bereaksi terhadap rangsangan cahaya
2.4.3 Kulit korban tidak pucat
2.4.4 Pasien mulai bernafas spontan
2.4.5 Nadi berdenyut spontan
2.5 Komplikasi RJP ( Resuistasi Jantung Paru)
Resusitasi jantung paru yang dilakukan dengan cara yang tidak tepat dapat
menimbulkan komplikasi yang berbahaya, antara lain:
2.5.1 Patah tulang Sternum (dada)
2.5.2 Patah tulang iga
2.5.3 Cedera organ dalam
2.5.4 Muntah
(Aehlert, 2007: 228)
2.6 Langkah langkah Resusitasi Jantung Paru
2.6.1
2.6.2
Penolong harus segera mengkaji dan menentukan apakah korban sadar atau
tidak. Penolong harus menepuk menggoyang bahu korban sambil bertanya dengan
jelas: hallo pak/ ibu apakah anda baik- baik saja? Jangan menggoyangkan korban
dengan kasar karena dapat mengakibatkan cedera. Juga hindari gerakan leher yang
tidak perlu pada kajian cedera kepala dan leher.
menghubungi 118 untuk memanggil ambulans. Jika ada orang lain disekitar
korban, minta orang tersebut untuk menelpon ambulans dan ketika menelpon
ambulans dan ketika menelpon memberitahukan hal hal berikut:
a. Lokasi korban
b. Nomor telpon yang anda pakai
c. Apa yang terjadi pada korban
d. Jumlah korban
7
permukaan yang datar, keras, dan stabil. Jika korban dalam posisi tengkurap atau
menyamping, maka balikan tubuhnya agar terlentang. Pastikan leher dan kepala
tersangga dengan baik dan bergerak bersamaan selama membalik pasien.
2.7 Fase fase RJP ( Resusitasi Jantung Paru) sesuai Algoritma AHA, 2010
2.7.1
2010
2.7.1.1 C ( Circulation)
Mengkaji nadi / tanda sirkulasi: ada tidaknya denyut jantung korban/ pasien
dapat ditentukan dengan meraba arteri karotis di daerah leher korban/ pasien,
dengan dua tiga jari tangan ( jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba
pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian kedua jari digeser ke
bagian sisi kanan atau kiri kira- kira 1- 2 cm raba dengan lembut selama 5- 10
9
Melakukan kompresi Dada: Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung,
selanjutnya dapat diberikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung luar,
dilakukan dengan teknik sebagai berikut:
10
11
kain ( fingers sweep), sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek
dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka
dengan teknik cross Finge, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari
telunjuk pada mulut korban.
12
Mulut ke mulut: penolong harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan
mulut penolong harus dapat menutup seluruhnya mulut korban dengan baik
agar tidak terjadi kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong
harus menutup lubang hidung korban/ pasien dengan ibu jari telunjuk untuk
mencegah udara keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan
pada kebanyakan orang dewasa adalah 7000- 1000 ml ( 10 ml/kg).
Mulut ke hidung: teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut
korban tidak memungkinkan.
13
Setelah napas dan nadi korban ada, bila tidak ada kontraindikasi untk
mencegah kemungkinan jalan napas tersumbat oleh lidah, leher, atau muntah
berikan posisi recovery pada korban dengan langkah sebagai berikut:
a.
Letakkan tangan kanan korban yang dekat dengan anda dalam posisi lengan lurus
dan telapak tangan menghadap ke atas kearah paha korban.
b.
Letakkan lengan yang jauh dari anda menyilang diatas dada korban dan letakkan
punggung tangannya menyentuh pipinya.
c.
Dengan menggunakan tangan anda yang lain, tekuk lutut korban yang jauh dari
anda sampai membentuk sudut 90 0
d.
e.
Lanjutkan untuk memonitor denyut nadi korban, tanda sirkulasi dan pernapasan
tiap 2 menit hingga bantuan datang.
Recovery Position
2.7.2
14
Fase kedua merupakan fase yang dilakukan setelah tunjangan hidup dasar
berhasil diberikan. Fase ini terdiri atas:
a.
b.
2.7.3
15
2.9 Bantuan Hidup Dasar Dewasa dan kualitas CPR Penolong Tidak Terlatih
Berikut adalah masalah utama dan perubahan besar dalam rekomendasi
pembaharuan pedoman 2015 untuk CPR orang dewasa oleh penolong tidak
terlatih:
2.9.1
2.9.2
2.9.3
2.9.4
2.9.5
2.9.6
16
2.9.7
recoil
dada
sepenuhnya
setelah
setiap
kompresi,
2.9.9
17
18
2.11.7 Untuk mendukung recoil penuh dinding dada setelah setiap kompresi,
penolong harus menjaga posisi agar tidak tertumpu di atas dada di antara
kompresi.
2.11.8 kriteria untuk meminimalkan gangguan diklarifikasi dengan sasaran fraksi
kompresi dada setinggi mungkin dengan target mimimum 60 %
2.11.9 penggunaan teknik ventilasi pasif dapat dianggap sebagai bagian dari paket
perawtaan untuk korban OHCA.
2.11.10Untuk pasien yang sedang menjalani CPR dan memiliki saluran udara
lanjutan yang dipasang, laju ventilasi yang disederhanakan disarankan 1
napas buatan setiap 6 detik ( 10 napas buatan per menit ). ( AHA, 2015: 8)
2.11
menunjikkan reaksi, akan lebih praktis bagi HCP untuk melanjutkan dengan
menilai pernapasan dan denyut secara bersamaan sebelum benar benar
mengaktifkan system tanggapan darurat. ( AHA, 2015: 10)
2.11.1 Penekanan pada Kompresi Dada.
Melakukan kompresi dada dan menyediakan ventilasi untuk semua pasien
dewasa yang mengalami serangan jantung adalah tindakan yang perlu dilakukan
HC, baik yang disebabkan maupun tidak disebabkan oleh jantung. ( AHA,
2015:10)
2.11.2 Kejut Atau CPR Terlebih Dahulu.
19
Untuk pasien dewasa yang mengalami serangan jantung dan terlihat jatuh
saat AED dapat segera tersedia, penting bahwa defibrillator dignakan secara
mungkin. ( AHA, 2015:11)
2.11.3 Kecepatan Kompresi Dada: 100 hingga 120 /min
Pada orang dewasa yang menjadi korban serangan jantung, penolong perlu
melakukan kompresi dada pada kecepatan 100 hingga 120 /min. ( AHA, 2015:11)
2.11.4 Kedalaman Kompresi Dada
Sewaktu melakukan CPR secara manual, penolong harus melakukan
kompresi dada hingga kedalaman minimal 2 inci (5 cm) untuk dewasa rata-rata,
dengan tetap menghindari kedalaman kompresi dada yang berlebihan (lebih dari
2,4 inci [6 cm].(AHA, 2015: 7)
2.11.4 Rekoil Dada
Penting bagi penolong untuk tidak bertumpu di atas dada di antara kompresi
untuk mendukung recoil penuh dinding dada pada pasien dewasa saat mengalami
serangan jantung.
( AHA, 2015:11)
Bayi
( usia kurang dari 1 tahun,
tidak termasuk bayi baru
lahir)
Keamanan
lokasi
Pengenalan
serangan
jantung
Periksa
adanya
reaksi napas terhenti
atau
tersenggal
( misalny napas tidak
normal)
ada
denyut
yang
Pengaktifan
system
tanggapan
darurat
mulai
CPR
secepatnya, gunakan
Rasio
kompresi
ventilasi
tanpa
saluran
udara
lanjutan
1 atau 2 penolong
mengambil AED
kembali ke anak atau
30: 2
30: 2
30: 2
Rasio
kompresi
ventilasi
tanpa
saluran
udara
lanjutan
Kompresi
berkelanjutan pada
kecepatan 100- 120
inci/ min
Berikan 1
napas buatan setiap 6
detik ( 10 napas
buatan/min)
100- 120 inci/min
Kecepatan
kompresi
15: 2
Kompresi
berkelanjutan pada
kecepatan 100- 120 inci/
min
Berikan 1 napas
buatan setiap 6 detik ( 10
napas buatan/min)
100- 120 inci/min
21
15: 2
Kompresi
berkelanjutan pada
kecepatan 100- 120 inci/
min
Berikan 1 napas
buatan setiap 6 detik ( 10
napas buatan/min)
100- 120 inci/min
Kedalaman
kompresi
Penempata
n tangan
Minimum 2 inci ( 5
cm)
2 tangan berada di
separuh
bagian
bawah tulang dada
( sternum)
Recoil dada
Lakukan
recoil
penuh dada setelah
setiap kali, jangan
bertumpu di atas
dada setelah setiap
kali kompresi.
Meminimal
kan
gangguan
Batasi gangguan
dalam kompresi
dada menjadi kurang
dari 10 detik
( AHA, 2015: )
2.12 Penyedia layanan kesehatan BLS Algoritma Serangan Jantung pada orang
dewasa
22
23
(AHA, 2015)
2.13 Trauma Resusitasi jantung paru
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax atau
dada yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax atau dada ataupun
isi dari cavum thorax (rongga dada) yang disebabkan oleh benda tajam atau benda
tumpul dan dapat menyebabkan keadaan sakit pada dada. (Handaya, 2011)
Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding
dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk
viscera (berbagai organ dalam besar didalam rongga dada. (Handaya, 2011)
Beberapa trauma yang dapat terjadi pada dinding dada
2.13.1
24
Komplikasi ini sering terjadi terutama pada orang tua. RJP tetap diteruskan
walaupun terasa ada fraktur iga. Posisi tangan yang salah saat melakukan
kompresi dada dapat menyebabkan fraktur iga. ( Adam, 2013)
2.13.2
Hemothorax
Contusio paru
Flail chest
Flail chest terjadi jika dua atau lebih iga yang berdekatan fraktur pada satu
tempat atau lebih sehingga mengakibatkan segmen iga melayang bebas. Sebagai
akibatnya, dinding dada kehilangan stabilitasnya dan mengakibatkan kerusakan
pernafasan dan kondisi gawat nafas. (Handaya, 2011)
2.13.5
Posisi tangan yang terlalu rendah akan menekan procesus xipoideus ke arah
hepar/limpa dan menyebabkan cedera pada hati dan limpa. (Adam.2013)
2.14 Spesifik Penolong Yang Dapat Memberikan RJP
2.14.1
25
Untuk orang awam yang tidak berpengalaman hanya kompresi dada yang
dilakukan.
2.14.2
kompresi dada untuk pasien yang SCA dan dapat memberikan ventilasi
dengan maka perbandingan 30 : 2. 5
2.14.3
2016)
2.15
26
BAB III
KESIMPULAN
27
Daftar Pustaka
28
Handaya, Adeodatus.Y. 2011. Diakses dari http://dokteryudabedah.com/traumatorax/ pada 12 September 2016 pukul 10.00 WIB
Adam, Muhamad.2013. Diakses
darihttps://www.scribd.com/doc/141917610/Pedoman-Baru-ResusitasiJantung-Paru-Bahasa-Indonesia-Update-AHA-2010 pada 12 September 2016
pukul 10.16 WIB
29