Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TEKNIK PENGELOLAAN KESEHATAN ORGANISME AKUATIK

PENYAKIT INFEKSI VIRUS

Oleh :
Dinda Adinapradja
Faqih Zuhri
Lutfi Mukholifah
Alma Ninggolan
Nita Indra Purwaningsih
Galih Wijaya
Tuti Alawiyah
Dara Pricilia Haprizal
Arni Khurnia Suci
Andika Asdiatama
Roch Adi Wibowo

B0A013013
B0A0130
B0A013023
B0A013024
B0A013025
B0A013026
B0A013027
B0A013039
B0A013041
B0A013014
B0A0130

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PROGRAM STUDI D-III PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN DAN KELAUTAN
PURWOKERTO
2015

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi perairan budidaya yang cukup besar. Potensi ini meliputi
budidaya ikan di perairan tawar, payau dan laut. Selain itu, kebutuhan konsumsi ikan global
pun akan terus meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan makin
sadarnya konsumen untuk mengkonsumsi ikan.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi ikan global dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah
satunya adalah intensifikasi usaha perikanan. Akan tetapi, intensifikasi akuakultur di banyak
negara ini telah mendorong kejadian penyebaran berbagai penyakit dengan relatif cepat, dan
penyakit adalah salah satu dari faktor penghalang untuk dapat mendukung produksi
komoditas perikanan, terutama selama tahap pemeliharaan larva dan benih dari organisme
budidaya (Yukio, 2007).
Salah satu penyakit yang berbahaya dengan tingkat kematian tinggi dan penyebaran yang
luas adalah penyakit yang disebabkan virus. Virus mampu menyerang ikan air tawar, payau,
maupun ikan laut dalam berbagai stadia. Teknologi penanggulangan infeksi virus sejauh ini
masih sebatas pencegahan, yaitu dengan menjaga lingkungan agar tetap dalam kondisi yang
baik serta penggunaan benih yang berkualitas.
Virus adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dengan ukuran tubuh
antara 25-300 nanometer, sehingga hanya dapat dilihat menggunakan microskop elektron.
Virus tidak mempunyai perlengkapan metabolik sendiri dan tidak mampu membangkitkan
energi atau mensintesis protein, sehingga kebutuhan pakan untuk memperbanyak diri sangat
bergantung pada inangnya. Pada saat itulah virus menyebabkan kerusakan ataupun penyakit
pada inangnya (Pelczar dan Chan, 1988).
Menurut Pelczar dan Chain (1988), virus dapat menular ke inang lain melalui lingkungan
atau media lain dalam bentuk paket-paket gen berukuran mikro. Virus tersusun atas bahan
genetis berupa DNA atau RNA saja dan bukan kedua-duanya, yang terkemas dalam selubung
protein, sehingga bahan genetis tersebut terlindung ketika berada di luar inang sekaligus
sebagai media untuk masuk ke dalam sel inang yang baru.
Salah satu penyakit yang berbahaya dengan tingkat kematian tinggi dan penyebaran yang luas
adalah penyakit yang disebabkan virus. Virus mampu menyerang ikan air tawar, payau, maupun
ikan laut dalam berbagai stadia. Teknologi penanggulangan infeksi virus sejauh ini masih sebatas

pencegahan, yaitu dengan menjaga lingkungan agar tetap dalam kondisi yang baik serta
penggunaan benih yang berkualitas.

Penanggulangan terhadap meluasnya wabah penyakit akibat virus harus dilakukan oleh
tenaga yang benar-benar ahli dibidangnya, sehingga dibutuhkan sumberdaya manusisa yang
paham serta terampil. Untuk mengetahui jenis virus yang menyerang ikan budidaya, kita
dapat melakukan pengamatan dari gejala yang ditimbulkan secara visual, juga dapat dengan
melakukan identifikasi secara laboratoris.

II. ISI

2.1 Penyakit Infeksi Virus


1. Penyakit Lymfosistis (Lymphocyctis)
Penyakit sering ditemukan pada ikan hias terutama dari jenis siklid. Pada
prinsipnya penyakit ini hanya mempengaruhi penampilan dari ikan tersebut menjadi
tidak indah lagi. Virus ini tidak menimbulkan kematian yang tinggi bagi ikan yang
terinfeksi. Gejala klinisnya mudah dikenali yaitu dengan adanya bintil berwarna keputihputihan baik pada kulit maupun pangkal sirip. Penanggulangan bagi penyakit ini sulit
untuk dilakukan dan juga tidak ada obat yang bisa digunakan untuk mengobati penyakit
ini. Namun demikian penyakit ini sangat jarang terdapat di Indonesia.
2. Penyakit bunga kol (Papilomatosis)
Seperti halnya penyakit Lymfosistis, penyakit bunga kol ini juga penyakit yang
hanya dapat mengakibatkan pada penurunan mutu atau penampilan dari ikan hias
tersebut. Penyakit ini biasanya lebih sering terjadi pada ikan hias jenis sidat. Ikan lily
juga pernah ditemukan terinfeksi oleh penyakit tersebut. Gejala klinis yang
ditimbulkannya meliputi adanya bangunan seperti bunga kol pada mulut ikan hias
tersebut. Penyakit tersebut sangat sukar untuk ditanggulangi terutrama denga cara
pengobatan. Salah satu usaha penanggulangan yang bisa dilakukan adalah dengan cara
pencegahan, yaitu antara lain memelihara kebersihan air, kolam/bak serta penerapan pola
budidaya yang sempurna.
3. Penyakit busuk insang (Koi Herpes Virus /KHV).
Pada ikan hias jenis Koi penyakit akibat infeksi virus yang terkenal adalah penyakit
Koi Herpes Virus . Penyakit ini telah merugikan produksi ikan hias koi di seluruh
dunia. Di Indonesia penyakit ini telah mewabah pada tahun 2002 dan mengakibatkan
kerugian yang tidak sedikit. Selain itu penyakit tersebut juga dapat menginfeksi ikan
konsumsi dari jenis ikan mas. Penyakit akibat virus yang sangat menular ini telah
menyebabkan kerugian finansial pada industri budidaya ikan mas dan koi. Sejak
terjangkit pertama kali di Blitar, Jawa Timur, penyakit ini telah menyebar ke hampir
semua daerah di Indonesia. Virus ini mengakibatkan kematian massal, yaitu kematian
mencapai 80-95 % populasi sehingga berdampak pada kerugian ekonomi dan sosial.
Kerugian secara materi akibat penyakit ini mencapai 15 milyar rupiah dalam tiga bulan
pertama sejak kejadian penyakit ditemukan, yaitu bulan Maret sampai September 2002
(Sunarto, 2005).
Gejala klinis yang ditimbulkan meliputi:

Ikan menunjukkan gejala yang makin melemah


Memisahkan diri dari kelompok
Produksi lendir berlebih, tapi kemudian lendir ikan menjadi berkurang sehingga

ikan akan terasa kesat kalau diraba.


Warna ikan menjadi lebih pucat.

Gejala spesifiknya adalah ditujukkan dengan insang yang membusuk. Oleh karena itu
penyakit ini terkenal dengan penyakit busuk insang. Seperti halnya kedua jenis penyakit virus
diatas, penyakit inipun tidak mudah untuk ditanggulangi. Pola pencegahan seperti pada
penyakit-penyakit tersebut diatas merupakan tindakan yang hanya dapat dilaksanakan. Kalau
kita temukan penyakit ini sebiknya harus segera dimusnahkan dengan cara dikubur atau
dibakar (Afrianto & Liviawaty, 1992 dalam Purwoko, 2004).
Beberapa jenis virus diketahui dapat menyerang ikan-ikan budidaya dan menimbulkan
permasalahan yang serius. Jenis-jenis penyakit tersebut meliputi Channel Catfish Virus
Disease (CCVD), Spring Viraemia of Carp (SVC), Infectious Pancreatic Necrosis (IPN),
Lymphocystis Disease (LD), Infectious Hematopoietic Necrosis (IHN), Viral Nervous
Necrosis (VNN) dan Koi Herpes.
4. Channel catfish virus diseases
Channel catfish virus disaese adalah infeksi yang akut dan haemorhagik oleh virus
Herpes. Penyakit ini dapat menimbulkan kematian yang tinggi, kadang-kadang mencapai
hampir 100 % pada Ictalurus punctatus yang muda. Inang alamiah yang diserang adalah
Channel catfish (Ictalurus punctatus) biasanya yang berumur kurang dari 4 bulan. Hasil
infeksi secara eksperimen menunjukkan virus ini dapat menyerang white catfish (I.
catus), blue catfish (I. furcatus), dan walking catfish (Clarias batrachus). Tanda-tanda
klinis/patologis serangan penyakit ini yang dapat diamati antara lain hilangnya
keseimbangan tubuh, bergerak berputar-putar dan tergantung vertikal, mata menonjol
(exophthalmus), perut mengembung atau distensi. Secara patologis/histopatologis terlihat
pula adanya petekiae (perdarahan) pada sirip dan di sekitar abdomen; perdarahan pada
ginjal, kulit dan organ dalam kulit dan organ dalam; insang terlihat pucat dan
haemorhagi; adanya kenaikan sel limfoid di dalam ginjal dan nekrosis di sekitar tubular
ginjal; nekrosis terdapat pula pada hati, limpa dan alat pencernaan; haemorhagi, edema
dan nekrosis mukosal dan pelepasan sel di dalam usus.
5. Spring Viraemia of Carp (SVC)
Spring viraema of Carp (SVC) merupakan penyakit/infeksi oleh virus yang bersifat
akut haemorhagis dan menular, yang menyerang golongan ikan Cyprinids dan lebih
spesifik pada Common carp, Cyprinus carpio. Penyakit ini biasanya timbul pada musim

semi (Spring) dan menyebabkan kematian pada semua umur. Common carp merupakan
inang yang utama dan virus dapat menyerang ikan dewasa dan muda. Dilaporkan pula
bahwa virus pernah pula diisolasi dari golongan Cyprinids yang lain. Silver carp,
Bighead carp (Aristichthys nobilis), dan Crucian 22 carp (Carassius auratus). Secara
eksperimental Pike Fry (Esox lucius) dan larvanya, fry dari carp, Grass carp
(Ctenocephalon idella) dan Guppies (Lebistes reticulata). Tanda-tanda klinis dan
patologis serangan SVC antara lain meliputi ikan berkumpul di bagian outflow, warna
ikan menjadi gelap, perdarahan/ petekiae haemorhagi, mata menonjol (exophthalmus),
abdominal dropsy, biasanya dijumpai pula peritonitis fibrinosa dan ctarrhal atau enteritis
yang nekrotik. Sedangkan Swimbladder Inflammation (SBI) yang virusnya identik
dengan virus SVC, dapat memperlihatkan gejala klinis/patologis yaitu kehilangan berat
badan dan keseimbangan, warna kulit menjadi gelap/berubah, degenerasi/perdarahan
pada dinding gelembung udara (swimbladder).
6. Infectious Pancreatic Necrosis (IPN)
Infectious Pancreatic Necrosis (IPN) merupakan penyakit viral yang akut dan
sangat menular, terutama menyerang golongan ikan Salmonis. Terhadap ikan muda yang
sembuh (survivors) dapat tahan terhadap penyakit tetapi dapat menjadi pembawa infeksi
(carrier) seumur hidup. IPN telah dilaporkan sebagai penyakit endemik di daerah/lokasi
perikanan trout sekurang-kurangnya di sepuluh negara Eropa termasuk Skandinavia dan
Inggris Raya, demikian juga di Amerika Utara dan Jepang. IPN dapat menyerang
macam-macam inang yang cukup banyak baik asal air tawar atau air laut dan
kemungkinan Shellfish laut. Virus IPN pertama kali dilaporkan di Perancis tahun 1965.
Demikian juga di Denmark, virus IPN telah diidentifikasi secara virologik pada tahun
1968. Penyakit oleh IPN pada spesies non Salmonid telah pula diketahui dan virusnya
telah pula diisolasi dari bermacam-macam spesies non Salmonid dan isolasi virusnya
pertama kali dilaporkan oleh Sonstegar dkk. pada tahun 1972 yang berasal dari ikan
Yearling White Suckers (Catastomus comersoni) di Canada. Di Jerman virus diisolasi
dari grayling (Thymallus thymallus), barbel ( Barbus barbus), Pike (Esox lucius) dan
Carp (Cyprinus carpio). Di Irlandia Utara, virus IPN diisolasi dari Goldfish (Carassius
auratus), Discuss Fish (Symphysodon discus) dan Bream (Abramis brama). Di Inggris
(England) diisolasi dari Carp (Cyprinus carpio) dan Crucian carp (Carassius auratus).
Demikian pula di Jepang isolasi virus IPN diperoleh dari European eels (Anguilla
anguilla) dan Japanese eels (Anguilla japonica) dan dinamakan Eels Virus European
(EVE). Penularan IPN dapat terjadi secara vertikal, dengan virus berada dalam telur, atau

horizontal, melalui air, urine, faeces, sekresi sexual atau melalui ikan mati/sakit yang 23
dikonsumsi oleh ikan lain. Umumnya ikan yang sembuh (survivors/carriers) dapat
menjadi non-clinical carriers atau pembawa penyakit, mungkin selama hidupnya dan
carrires tersebut juga bertindak sebagai reservoir virus untuk ikan-ikan lain yang
sebelumnya belum terinfeksi. Selain itu masa inkubasi IPN relatif pendek, antara 3 5
hari sebelum tanda klinis dan kematian terjadi. Faktor-faktor seperti umur inang, suhu
rendah dan spesies ikan dapat memperpanjang masa inkubasi. Pada kasus/wabah, tandatanda pertama adanya kematian mendadak dan biasanya yang terserang pertama kali
adalah ikan yang masih muda. Tanda klinis dapat bervariasi antara lain : warna ikan
menjadi gelap, bergerak berputar-putar, exophthalmus (mata menonjol), perut membesar
dan terdapat cairan visceral, perdarahan di daerah bawah perut/ventral termasuk di
daerah sirip, hati dan limpa pucat dan membesar, tak terdapat makanan dalam perut dan
usus biasanya mengandung eksudat mucoid yang kekuningan atau keputihan.
Lymphocystis disebabkan oleh virus yang dianggap paling tua dan virus yang paling
diketahui pada ikan, walaupun virus diisolasi dan ditumbuhkan pada pupukan jaringan
baru pada tahun 1966.
7. Haematopoietic Necrosis (IHN)
Haematopoietic Necrosis (IHN) merupakan suatu penyakit yang bersifat akut dan
sistemik. Penyakit ini menyerang Rainbow trout (Salmo,24 gairdneri), Chinook slmon
(Oncorrhynchus tshawytscha), Sockeye salmon (O.nerka). Target sel penyakit IHN ini
terutama organ penghasil darah yakni ginjal muka dan limpa. Tanda-tanda klinis penyakit
ini antara lain ikan yang terinfeksi terlihat lethargik, berkumpul di tepi kolam, berwarna
lebih gelap, anemia, exophthalmia, scoliosis, lordosis, pembengkakan abdomen,
perdarahan pangkal sirip pektoral dan sirip pelvic, perdarahan bawah kulit; ginjal, limpa
dan hati terlihat pucat, rongga perut berisi cairan dan usus kosong, perdarahan bintik
pada jaringan adipose usus.
8. Viral nervous necrosis (VNN)
Merupakan penyakit virus yang menginfeksi stadia larva dan juvenil ikan laut dan
merupakan penyakit yang berbahaya bagi usaha pembenihan ikan. Gejala yang tampak
pada ikan yang terinfeksi VNN berbeda-beda sesuai dengan stadia atau umur ikan. Umur
ikan di bawah 20 hari bila terinfeksi tidak menunjukkan gejala klinis kecuali nafsu
makan yang menurun. Ikan umur 20 40 hari menunjukkan tingkah laku berenang yang
abnormal yaitu ikan berenang di dekat permukaan air dan banyak yang mati di dasar bak.
Untuk ikan yang berumur 2 4 bulan, saat penempatan pada jaring apung ikan yang
terinfeksi tampak diam/tidur di dasar jaring. Sedangkan ikan umur 4 bulan ke atas terlihat

berenang mengambang di atas permukaan air disertai adanya pembesaran gelembung


renang (Koesharyani et al., 2001 dalam Suratmi, 2004). Di Indonesia kasus serangan
VNN pertama kali diidentifikasi pada hatchery kakap di Jawa Timur pada tahun 1997.
Kemudian pada tahun 1998 kasus kematian yang disebabkan oleh VNN ditemukan pada
budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dengan tingkat kematian mencapai
100 %. Virus ini umumnya menginfeksi stadia larva sampai juvenil dan menyerang
sistem organ syaraf mata dan otak yang ditandai dengan adanya vakuolasi, dengan gejala
yang cukup spesifik karena ikan menampakkan tingkah laku berenang yang tidak normal
dan umumnya ikan berdiam di dasar (Yuasa et al., 2001 dalam Suratmi, 2004).
9. TSV (Taura Syndrome Virus)
TSV

merupakan

virus

yang

menyerang

atau

menginfeksi

udang

vannamei (Litopenaeus vannamei) dan rostris (L. stylirostris) yang keduanya telah
diintroduksi di Indonesia. Serangan TSV pada umumnya terjadi pada umur 14-40 hari
setelah penebaran di tambak, dengan tingkat kematian dapat mencapai 95%. Awalnya,
penyakit TSV dikenal sebagai penyakit udang juwana ukuran 0,05-5 g/ekor pada udang
vanname (Widayanti, 2005). Widayanti (2005) menambahkan, apabila penyakit terjadi
pada umur 30 hari pertama, berarti infeksi berasal dari induk atau genetik (vertikal), jika
lebih dari 60 hari berarti infeksi berasal dari kondisi lingkungan (horizontal). Udang
vaname dewasa dapat terinfeksi TSV, namun tingkat mortalitasnya relatif rendah. Infeksi
TSV ada 2 (dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut inilah udang akan
mengalami kematian massal. Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV,
akan mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dan tumbuh relatif
normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV yang dapat ditularkan
ke udang lain yang sehat. Pada infeksi berat (acute) sering mengakibatkan kematian
massal, udang yang mengalami kematian didominasi oleh udang yang sedang atau baru
selesai proses pergantian kulit (moulting), saluran pencernaan kosong dan warna tubuh
kemerahan.Warna

merah

yang

lebih

tegas

dapat

dilihat

pada

ekor

kipas

(telson) (Widayanti, 2005). Sedangkan, udang yang selamat dari fase akut, umumnya
akan mampu hidup dan tumbuh normal dengan tanda bercak hitam (melanisasi) yang
tidak beraturan di bawah lapisan kutikula. Langkah utama pengendalian penyakit TSV
harus

dimulai

dari

upaya

mencegah

masuknya

patogen

ke

dalam

sistem

budidaya. Masuknya patogen ini dapat berasal dari induk, benur, air, carrier, pakan,
pelaku budidaya dan seluruh komponen produksi udang (Widayanti, 2005). Surfianti dkk

(2010) menyebutkan, media pembawa TSV (carrier dan vector) yaitu udang vaname yang
mengalami infeksi kronis, biota akuatik, hewan dan tumbuhan lain yang membawa TSV
harus dimusnahkan. Peralatan dan personal yang dapat membawa dan menyebarkan
TSV harus dilakukan desinfeksi. Tindakan yang lebih tepat lagi yaitu dengan
menerapkan biosecurity, sehingga kemungkinan besar udang terinfeksi virus akan
berkurang bahkan tiada sama sekali.
10. Iridovirus
Iridovirus adalah virus hewan yang menginfeksi invertebrata dan vertebrata
poikilotermik, seperti ikan, insekta, amfibi, dan reptil (Williams, 1996). Iridovirus
merupakan virus DNA untai ganda berbentuk simetri ikosahedral, tidak semuanya
beramplop, dan mempunyai diameter 120-300 (Tidona et al., 1998). Virion iridovirus
terdiri dari tiga domain konsentris yaitu protein capsid di bagian luar, membran lipid
yang mengandung subunit protein di bagian tengah, dan core yang tersusun dari
kompleks DNA-protein. Virus ini memiliki 25-75 protein struktural dengan kisaran berat
molekul 12.000-150.000 kDa. Secara umum protein capsid iridovirus berukuran sekitar
50 kDa dan merupakan komponen struktural utama yang jumlahnya mencapai 45% dari
protein virion total. Ukuran genom iridovirus bervariasi antara 105-212 kbp).
Iridovirus mempunyai strategi replikasi yang melibatkan stadium nuklear dan
sitoplasmik, menghasilkan genom komplit dengan duplikasi beberapa gen di ujungnya
(terminal redundancy) dan ujung tersebut berbeda diantara partikel virus yang dihasilkan
(cyclic permutation). Gen penyandi protein capsid dari beberapa iridovirus vertebrata dan
invertebrata telah disekuensing dan coding region nya mempunyai banyak kemiripan.
Ikan yang terinfeksi iridovirus nampak lemah, nafsu makan menurun, mengalami
anemia yang berat, bercak merah (ptechiae) pada insang, pembengkakan limpa, dan
ginjal. Menurut Tidona et al. (1998), kerapu malabar yang terinfeksi iridovirus
menunjukkan gejala warna insang dan tubuh pucat, hilangnya keseimbangan sehingga
ikan diam di dasar jaring apung dan biasanya akan mati dalam waktu satu hari setelah
gejala muncul.

11. Postulat River


Postulat River merupakan suatu diagnose yang digunakan untuk mengetahui virus
yang menyerang suatu organisme. Postulat ini pertama kali ditemukan oleh River.
Penemuan postulat River diawali adanya penemuan filtrat bebas bakteri oleh Iwanowsky.
Iwanowsky menemukan bahwa filtrat bebas bakteri (cairan yang telah disaring dengan
saringan bakteri) dari ekstrak tanaman tembakau yang terkena penyakit mozaik, ternyata
masih tetap dapat menimbulkan infeksi pada tanaman tembakau yang sehat. Dari
kenyataan ini kemudian diketahui adanya jasad hidup yang mempunyai ukuran jauh lebih
kecil dari bakteri (submikroskopik) karena dapat melalui saringan bakteri, yaitu dikenal
sebagai virus (Anonim, 2011).
Dalam Postulat River berbunyi bahwa agen virus harus ditemukan dalam cairan
tubuh sewaktu sakit atau dari sel yang menunjukkan lesio spesifik, diperoleh dari hewan
terinfeksi dapat menginfeksi hewan percobaan dalam bentuk antibodi terhadap virus
tertentu, dan yang diisolasi dari hewan percobaan harus dapat ditularkan ke hewan peka
lainnya (Anonim, 2011).
Untuk membuktikan penyakit yang disebabkan oleh virus, dapat digunakan postulat
River (1937), yaitu:

Virus harus berada di dalam sel inang.


Filtrat bahan yang terinfeksi tidak mengandung bakteri atau mikroba lain yang dapat

ditumbuhkan di dalam media buatan.


Filtrat dapat menimbulkan penyakit pada jasad yang peka.
Filtrat yang sama yang berasal dari hospes peka tersebut harus dapat menimbulkan
kembali penyakit yang sama.

2.2 Pengendalian penyakit ikan akibat virus


Hama dan penyakit yang dapat menyerang ikan budidaya dapat berasal dari jamur,
parasit, bakteri maupun virus. Hama dan penyakit ikan biasanya muncul dan menyerang ikan
budidaya apabila kondisi lingkungan perairan dimana ikan dibudidayakan berada pada
kondisi yang ekstrim seperti; perubahan temperature air yang sangat ekstrim, perubahan
struktur pH air yang ekstrim, perubahan tingkat kesadahan air yang ekstrim, perubahan
salinitas air yang esktrim dan berbagai perubahan parameter air lainnya yang sangat ekstrim
sehingga berpengaruh terhadap keseimbangan proses metabolisme pada tubuh ikan yang akan
menyebabkan menurunya daya tahan tubuh ikan dan akhirnya menjadi lemah, dan pada

kondisi tersebut berbagai jenis penyakit dapat dengan mudah menyerang ikan yang sedang
budidayakan.
Kunci utama dalam pengendalian hama dan penyakit ikan adalah melalui penerapan
biosecurity yang menjadi salah satu bagian dari prinsip CBIB disamping aspek keamanan
pangan (food safety) dan ramah lingkungan (eviromental friendly). Keamanan biologi atau
lebih dikenal dengan Biosecurity merupakan upaya mencegah atau mengurangi peluang
masuknya penyakit ikan ke suatu sistem budidaya dan mencegah penyebaran dari satu tempat
ke tempat lain yang masih bebas. Namun demikian secara umum pada kenyataannya prinsip
biosecurity belum sepenuhnya diterapkan pada kegiatan budidaya ikan. Kondisi ini
berbanding terbalik jika dibandingkan pola manajemen budidaya ikan yang dilakukan di
negara asing yang teknologi budidaya ikannya sudah sangat maju seperti: Thailand, China
dan Jepang prinsip biosecurity menjadi pertimbangan utama sebagai penentu keberhasilan
budidaya ikan. Pembudidaya seringkali belum menyadari bahwa pengelolaan air bukan hanya
dilakukan pada air yang masuk, namun pengelolaan air buangan budidayapun yang sangat
penting untuk mencegah penyebaran hama dan penyakit ikan terhadap lokasi budidaya
disekitarnya. Mempertimbangkan fenomena di atas maka society awareness perlu
ditanamkan terhadap para pembudidaya ikan, sehingga ada komitmen dan tanggungjawab
bersama dalam upaya pencegahan terhadap kemungkinan masuknya hama dan penyakit serta
kemungkinan dampak penyebaran terhadap lingkungan budidaya disekitarnya.
Kegiatan penelitian tentang pengaruh pemberian tumbuhan obat sirih, daun jambu biji,
atau sambiloto dalam pencegahan dan pengobatan penyakit viral pada ikan belum banyak
dilakukan. Direkbusarakom et al. (1997) dalam penelitiannya tentang efektivitas pemberian
daun jambu biji terhadap virus udang, menemukan daun jambu biji kurang efektif untuk
mencegah virus yellow head pada udang. Pemanfaatan daun jambu biji untuk pengobatan
penyakit pada manusia sudah cukup meluas. Daun jambu biji tua diketahui mengandung
berbagai macam komponen yang berkhasiat mengatasi penyakit demam berdarah dengue
(DBD). Seperti diketahui, DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue.
Berkaitan dengan itu, dari hasil penelitian uji in vitro ekstrak daun jambu biji ditemukan
bahwa ekstrak tersebut terbukti dapat menghambat pertumbuhan virus dengue. Namun
demikian hal tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut dengan uji klinik untuk membuktikan
khasiat dengan evidence based yang lebih kuat agar dikemudian hari ekstrak daun jambu biji
dapat resmi digunakan sebagai obat anti virus dengue (Kompas, 2005). Efektivitas daun
jambu biji untuk pengendalian penyakit viral pada ikan perlu diteliti lebih jauh dan mendalam
dengan menggunakan berbagai jenis virus ikan, baik secara uji in vitro maupun in vivo.

Penanganan dan pengobatan pada penyakit ikan khususnya koi herpes virus dengan
sistem panas dapat dilakukan dengan mengeluarkan ikan dari kolam utama ke kolam isolasi
atau akuarium, air yang digunakan di tempat isolasi harus memiliki suhu sama dengan air
kolam asalikan. Kemudian secara perlahan-lahan air dipanaskan di dalam kolam isolasi
hingga 30C dan ikan dibiarkan di kolam isolasi selama 7 hari. Hindari pemberian makan
selama proses pengobatan karena akan membuat ikan stress. Setelah perlakuan panas 7 hari
selesai, secara perlahan-lahan dinginkan air hingga 27C dan setelah itu dapat dimulai
pengobatan dengan antibiotik.
III.PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Afrianto dan Liviawaty. 1992. Pengendalian hama dan penyakit ikan. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Pelczar, M,j. dan E,C,S, Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi II. Alih bahasa: R,S,
Hadioetomo, T, Imas, S.S, Tjitrosomo dan S. L. Angka. Penerbit Universitas Indonesia.
Jakarta.
Suratmi, B., Adjiri dan D.I. Paramita. 1996. Beberapa penelitian farmakologis sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) (Kumpulan abstrak). Warna Tumbuhan Obat Indonesia.
Vol. 3, No.1. Hal : 1-24; 33-34.
Surfianti, N.C. Prihartini, M. Fathoni, E.R. Ekoputn, Laminem, R.Wilis, E. Pujiastuti , Sokhib
dan A.D. Koswara. 2010. Deteksi Penyakit TSV (Taura Syndrome Virus) secara PCR
pada Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Berbagai Ekstraksi, Suhu dan
Waktu Penyimpanan. Balai Karantina Ikan Kelas I Juanda. Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Surabaya.
Widayanti. 2005. Deteksi Penyakit Taura Syndrome Virus Pada Udang Putih (Penaeus
vannamei)
dengan
Metode
Reverse
Transcriptase
Polymerase
Chain
Reaction.Perikanan. Vol. VII/I, pp. 40- 46.
Yukio, M., Leobert d. De la pea and Erlinda R. Cruz-lacierda, 2007. Susceptibility of Fish
Species Cultured in Mangrove, Southeast Asian Fisheries Development Center
(SEAFDEC) (Tigbauan 5021, Iloilo, Philippines).
Sunarto, A., Rukyani, A., Itami, I., 2005. Indonesian experience on the outbreak of koi
herpesvirus in koi and carp (Cyprinus carpio). Bulletin of Fisheries Research Agency,
Yokohama, Japan. 86:15-21.

Anda mungkin juga menyukai