5-51
PENDAHULUAN
Air minum merupakan salah satu kebutuhan vital bagi kehidupan. Kandungan air
pada badan manusia hidup adalah rata-rata 65% atau 47 liter per orang dewasa. Sekitar 2,5
liter air harus diganti dengan air yang baru, dan sejumlah air yang harus diganti tersebut 1,5
liter berasal dari air minum (Winarno, 1997). Dengan demikian kebutuhan air untuk tubuh
manusia merupakan hal yang pokok. Untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air
minum, dilakukan pengolahan dari sumber air, baik air permukaan maupun air tanah. Air
sungai merupakan air baku yang digunakan secara umum pada Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) di Indonesia. Pada proses pengolahan air minum berkaitan dengan
penurunan kekeruhan air baku untuk air minum. Kekeruhan dalam air tersebut disebabkan
oleh zat-zat tersuspensi dalam bentuk lumpur kasar, lumpur halus, dan koloid.
Air yang memenuhi standar kesehatan harus sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 492/MENKES/PER/IV/2010, yang mengatur tentang
syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum. Dengan demikian, perlu upaya penurunan
kekeruhan dan TSS (Total Suspended Solid), hal itu agar air minum yang dikonsumsi
memenuhi standar kesehatan. Pada umumnya, pengolahan air minum melewati proses
sedimentasi, koagulasi-flokulasi, filtrasi, dan disinfeksi (Baghvand, dkk., 2010).
Salah satu pengolahan yang dapat dilakukan adalah dengan koagulasi-flokulasi.
Koagulasi-flokulasi merupakan proses kimia yang dilakukan untuk menyisihkan kekeruhan
dan partikel koloid berukuran 1-200 milimikron. Koagulan yang dapat digunakan salah
satunya adalah tawas. Tawas, sebagai garam logam, akan bereaksi dengan alkalinitas di
dalam air untuk menghasilkan flok hidroksida logam tak larut yang akan menggabungkan
partikel koloid (Pisse, dkk., 2009). Selain itu, tawas sering digunakan karena murah, mudah
diperoleh, dan mudah pula dalam penyimpanan ataupun pengangkutan (Al-Zahrani, dkk.,
2004). Bahan baku yang dapat digunakan untuk membuat tawas adalah aluminium.
Aluminium dapat diperoleh dari tutup kaleng bekas minuman ringan. Tutup kaleng bekas
minuman ringan mengandung maksimum 90% aluminium, yang dapat digunakan sebagai
bahan utama dalam pembuatan koagulan.
Selain dapat mereduksi sampah tutup kaleng bekas, potensi daur ulang dari tutup
kaleng bekas sangat menjanjikan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan
pemanfaatan aluminium dari tutup kaleng bekas sebagai bahan baku pembuatan koagulan
tawas, yang selanjutnya akan digunakn untuk studi kinetika penyisihan TSS pada air baku
PDAM Tirtawening Kota Bandung. Hal diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk
mereduksi sampah tutup kaleng bekas, sekaligus memanfaatkannya sebagai bahan baku
koagulan dalam mengolah air baku untuk air minum.
METODOLOGI
Pada dasarnya pengolahan dengan koagulan ditujukan untuk menurunkan kekeruhan
dan Total Suspended Solid (TSS) dari air baku, untuk digunakan sebagai air minum dengan
syarat-syarat yang ditentukan. Koagulan yang digunakan adalah tawas hasil pemanfaatan
aluminium dari tutup kaleng bekas minuman ringan. Mekanisme pembentukan koagulan
tawas dari aluminium tutup kaleng bekas penting untuk ditelaah. Selanjutnya, akan dilakukan
studi kinetika pada pengolahan air baku PDAM menggunakan koagulan tawas berbahan baku
aluminium dari tutup kaleng bekas tersebut.
Karakterisasi Air Baku
Sampel merupakan air baku PDAM Tirtawening Kota Bandung sebelum dan setelah
proses pra-sedimentasi. Pada saat pengambilan sampel dicatat tanggal, waktu, dan lokasinya.
Karakterisasi air meliputi temperatur (SNI 06-6989.23-2005), pH (SNI 06-6989.11-2004),
turbiditas (SK SNI M-03-1989-F), konduktivitas (SNI 06-6989.1-2004), TDS (Total
5-52
Dissolved Solid) (SK SNI M-03-1989-F), dan TSS (Total Suspended Solid) (SNI 06-6989.32004).
Pengambilan Tutup Kaleng Bekas
Tutup kaleng bekas yang digunakan adalah tutup kaleng bekas minuman ringan.
Tutup kaleng bekas didapatkan dari pengumpul yang berada di Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) Taman Sari. Pengambilan sampel pada tutup kaleng bekas dilakukan secara
acak, kemudian dianalisis kandungan aluminiumnya. Prosedur yang sama diulang kembali
dengan mengambil sejumlah tutup kaleng bekas yang lain dengan berat yang sama. Penelitian
dilakukan sebanyak tiga kali untuk melihat kandungan aluminium rata-rata setiap gram tutup
kaleng bekas.
Pembuatan Koagulan Tawas
Tutup kaleng bekas yang sudah dibersihkan dan digunting menjadi bagian yang kecil
ditimbang sebanyak 8 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 mL, kemudian
ditambahkan KOH 3,56 M sebanyak 100 mL dan dipanaskan dengan api kecil. Proses
pemanasan dihentikan sampai gelembung-gelembung gas hilang. Larutan tersebut
selanjutnya, disaring dan didinginkan, kemudian ditambahkan H2SO4 6 M secara perlahan
sebanyak 100 mL sambil diaduk. Setelah itu, disaring dan larutan didinginkan di dalam es.
Kristal tawas yang terbentuk dipisahkan dengan corong Buchner, kemudian dicuci dengan
etanol 50% sebanyak 50 mL. Endapan dikeringkan, setelah kering, selanjutnya ditimbang
hingga memiliki berat yang konstan, Manurung dan Ayuningtyas (2010).
Jar Test
Kondisi optimum ditentukan dengan hasil penurunan kekeruhan dan TSS. Variasi
yang dilakukan adalah dosis tawas yakni 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 mg/L, serta pH yaitu 3, 5,
7, 9, dan 11. Sebanyak 500 ml air baku dengan kekeruhan tertentu ditambah koagulan dengan
dosis tertentu dan pH tertentu, kemudian diputar pada kecepatan 200 rpm selama 2 menit
kemudian diperlambat sebesar 60 rpm selama 15 menit. Pengambilan sampel dilakukan
setelah diendapkan selama 1 jam. Sampel diambil dari ketinggian sekitar 3 cm dari
permukaan. Selanjutnya diukur kekeruhan akhir, konduktivitas, TSS, dan TDS sampel.
SMMWE 2710
Potensial Zeta
Pengukuran potensial zeta dilakukan dengan alat The Delsa Nano C yang
menggunakan Photon Correlation Spectroscopy (PCS). PCS digunakan untuk menentukan
ukuran partikel melalui pengukuran laju fluktuasi intensitas sinar laser yang dihamburkan
oleh partikel pada saat sinar laser melalui fluida. Sedangkan, Electrophoretic Light Scattering
(ELS) digunakan untuk menganalisis pergerakan electrophoretic partikel bermuatan,
sehingga potensial zeta dapat ditentukan.
5-53
Tabel 1. Karakteristik Air PDAM Tirtawening Bandung Sebelum dan Setelah PraSedimentasi.
Parameter
Warna
Suhu (oC)
pH
Konduktivitas (s/cm)
DO (mg/L)
Kekeruhan (NTU)
TDS (mg/L)
TSS (mg/L)
Sebelum Pra-Sedimentasi
Coklat Tua (Diatas 25 Pt-Co)
20,47
7,28
110,33
5,93
77,37
312
228
Setelah Pra-Sedimentasi
Coklat Muda (Diatas 25 Pt-Co)
20,90
6,99
100,57
5,89
58,60
118
110
Baku Mutu*
6,5 8,5
5
500
-
Berdasarkan hasil karakterisasi air baku, apabila dibandingkan dengan parameter yang
ada dalam baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
492/MENKES/PER/IV/2010, kekeruhan air baku merupakan parameter yang belum
terpenuhi. Koagulasi dan flokulasi diperlukan untuk menyisihkan koloid pada air baku
setelah pra-sedimentasi agar dapat memenuhi baku mutu. Analisa lumpur dilakukan dengan
mengendapkan lumpur secara gravitasi. Penentuan kadar lumpur kasar sangat penting dalam
menganalisa air. Gambar 1 menunjukkan hasil analisa lumpur air baku.
0.35
Volume (mL)
0.3
Air Baku Sebelum
Pra-sedimentasi
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90
Waktu (Menit)
produksi apabila kondisinya menunjang. Selain itu, perbedaan massa tawas pun dapat terjadi
karena kondisi lingkungan reaksi yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi keberjalanan
reaksi yang ada. Tawas dari aluminium tutup kaleng bekas batch 1, 2, dan 3 tidak
mengandung timbal dan arsen, begitupun dengan tawas komersial, sehingga aman untuk
digunakan. Hasil analisis tawas berbahan baku aluminium dari tutup kaleng bekas
ditunjukkan oleh Tabel 3.
Tabel 3. Karakterisasi Tawas Berbahan Baku Aluminium dari Tutup Kaleng Bekas.
Tawas
Senyawa Kimia
Batch 1
Batch 2
Batch 3
Komersial
KAl(SO4)2.12H2O
KAl(SO4)2.11H2O
KAl(SO4)2.10H2O
KAl(SO4)2.12H2O
Kadar
Aluminium (%)
9,80
9,89
10,01
3,36
Kadar
Kalium (%)
2,50
2,12
1,98
2,88
Kadar
Sulfat (%)
42,46
45,27
47,35
48,52
Kadar
Air (%)
45,24
42,72
40,66
45,24
Tawas Batch 1
2,87
Tawas Komersial
18,6
Konduktivitas (s/cm)
109,7
102,5
TDS (mg/L)
96,9
86
TSS (mg/L)
58,8
83,33
Pada tawas batch 1, kekeruhan dan TSS air dapat disisihkan secara signifikan
dibandingkan tawas komersial. Selanjutnya, dosis optimum untuk tawas batch 2 adalah 30
mg/L. Tabel 5 menunjukkan hasil pengolahan air menggunakan tawas batch 1 dan tawas
komersial pada dosis 30 mg/L.
Tabel 5. Perbandingan Tawas Batch 2 dan Tawas Komersial.
Parameter
Kekeruhan (NTU)
Tawas Batch 2
8,33
Tawas Komersial
18,1
Konduktivitas (s/cm)
135,3
131,9
TDS (mg/L)
67,6
65,9
TSS (mg/L)
82,33
83,5
Pada tawas batch 2, kekeruhan dan TSS air juga dapat disisihkan secara signifikan
dibandingkan tawas komersial, namun masih belum memenuhi baku mutu. Kemudian, dosis
optimum untuk batch 3 yang diperoleh adalah 30 mg/L. Tabel 6 menunjukkan hasil
pengolahan air menggunakan tawas batch 1 dan tawas komersial pada dosis 40 mg/L.
5-56
Tawas Batch 3
4,04
Tawas Komersial
18,1
Konduktivitas (s/cm)
135,3
131,9
TDS (mg/L)
67,6
65,9
TSS (mg/L)
57,84
83,5
Pada tawas batch 3, kekeruhan dan TSS air juga dapat disisihkan secara signifikan
dibandingkan tawas komersial. Selanjutnya, untuk tawas komersial memiliki dosis optimum
50 mg/L. Tawas batch 3 memiliki kemampuan menyisihkan kekeruhan dan TSS lebih baik
karena tawas batch 3 memiliki kadar aluminium yang lebih tinggi dibandingkan tawas
lainnya. Pada proses koagulasi, aluminium dalam bentuk Al3+ berperan sangat penting
(Poulin, dkk, 2008).
Kemampuan penyisihan juga dipengaruhi oleh kadar hidrat. Semakin besar kadar
hidratnya maka komposisi atom lain akan berkurang, sehingga semakin besar kadar hidrat
akan mengurangi komposisi ion aluminium, yang merupakan ion aktif yang berperan dalam
penyisihan partikel koloid di dalam air. Penelitian ini juga menguji kadar kalium dan
aluminium setelah menggunakan tawas dari tutup kaleng bekas. Aluminium dapat
mengganggu sistem syaraf manusia (Sielichi, dkk., 2010). Kadar aluminium pada air yang
telah diolah dengan menggunakan tutup kaleng bekas masih memenuhi baku mutu.
Penentuan pH Optimum
pH adalah parameter yang penting dalam pengolahan air. pH akan mempengaruhi
korosivitas air, efisiensi klorinasi, dan rasa. Hasil efisiensi penurunan kekeruhan dan
penyisihan TSS menunjukkan bahwa pengolahan air dengan menggunakan tawas batch 1, 2,
dan 3 memiliki pH optimum 7. Pada pH 5, pengolahan air menggunakan tawas batch 1, 2,
dan 3 masih dapat dilakukan. Pada pH 3, 9, dan 11 hasil penyisihan fluktuatif dan tidak
konsisten. Hal ini karena pada pH 3, 9 dan 11 keadaan air terlalu asam ataupun basa,
sehingga akan mempengaruhi kinerja tawas. Oleh karena itu, kinerja tawas yang efektif
dalam mengolah air berada pada rentang 5-7
Pengaruh Kekeruhan Awal terhadap Efisiensi Penurunan Kekeruhan
Pada dasarnya kekeruhan awal akan mempengaruhi efisiensi penurunan kekeruhan.
Kekeruhan awal berkaitan dengan koloid di dalam air yang harus diolah dengan koagulasi.
Kekeruhan pada musim kemarau pada air baku PDAM Tirtawening Bandung adalah 46,33
NTU, sedangkan pada musim hujan 88 NTU (Ariesta, 2011). Oleh karena itu, pada penelitian
ini dilakukan variasi kekeruhan awal yakni 50 dan 100 NTU. Tawas batch 3 merupakan
tawas yang dapat menurunkan kekeruhan lebih baik. Selanjutnya, semakin tinggi kekeruhan
awal, maka semakin besar pula efisiensi penurunan kekeruhan. Jumlah partikel koloid di
dalam air yang banyak, maka akan menyebabkan kekeruhan menjadi tinggi. Partikel koloid
akan berikatan dengan koagulan (Pisse, dkk., 2009). Apabila partikel koloid semakin banyak
maka akan semakin banyak pula ikatan antara koloid dan koagulan. Ikatan antara koloid dan
koagulan akan mendukung pembentukan flok yang banyak pula, sehingga kekeruhan dapat
diturunkan. Kekeruhan yang rendah akan menyebabkan kontak antar partikel semakin lemah,
sehingga pada kondisi ini penurunan kekeruhan akan lebih kecil.
Analisa Potensial Zeta
Potensial zeta merupakan muatan listrik yang ada dalam emulsi cair atau dispersi
yang bersifat koloid. Partikel koloid di air, khususnya air di alam, dalam hal ini air sungai
5-57
yang dijadikan air baku PDAM, secara umum bermuatan negatif (Peternelj, 2009). Potensial
zeta negatif menandakan kestabilan dari partikel koloid yang ada. Hal ini juga ditunjukkan
dari hasil pengukuran potensial zeta sebesar -12,57 mV. Penambahan elektrolit kationik atau
polielektrolit, seperti tawas akan mendukung terjadinya pembentukan flok. Muatan positif
yang berasal dari tawas akan menetralkan muatan negatif dari partikel koloid. Pembentukan
flok akan terjadi ketika potensial zeta mendekati nol. Pada penelitian ini, tawas batch 3
digunakan untuk mengolah air dengan menggunakan dosis 30 mg/L. Hasil analisis potensial
zeta menunjukkan bahwa besar potensial zeta larutan tersebut adalah -0,06 mV. Hal itu
mengindikasikan partikel koloid mampu didestabilasi, sehingga flok terbentuk. Selain itum
hal ini juga mengindikasikan bahwa tawas dari tutup kaleng bekas merupakan elektrolit
kationik, yang mampu mendestabilkan partikel kolid melalui mekanisme penetralan muatan,
sehingga pembentukan flok terjadi dan partikel koloid nantinya dapat disisihkan.
Analisa Flok
Air baku yang memiliki kekeruhan maka mengandung zat padat terlarut ataupun
koloid bermuatan listrik. Muatan tersebut menyebabkan terbentuknya lapisan ganda listrik.
Penambahan koagulan tawas ke dalam air baku akan menyebabkan terbentuknya senyawa
multi positif hidrokso yang dapat dengan cepat diserap pada permukaan partikel koloid.
Pengadukan akan meningkatkan tumbukan, dan partikel koloid terdestabilisasi dan
selanjutnya akan terbentuk flok. Flok menggumpal dan semakin lama semakin besar
kemudian mudah mengendap. Air baku pada dasarnya memiliki kekeruhan dan padatan
terlarut yang terkandung di dalamnya. Gambar 2 menunjukkan proses pembentukan flok
mulai dari terbentuk hingga diendapkan di dalam air.
5-58
Tawas Batch 3
Tawas Komersial
0,175
0,100
0,220
0,900
1,225
1,525
0,200
0,300
0,340
0,400
2,125
0,430
Berdasarkan Tabel 7 di atas, dapat dilihat bahwa ukuran flok terbesar adalah tawas
batch 3, selanjutnya tawas batch 2, dan tawas batch 1. Tawas komersial memiliki ukuran flok
terkecil. Pada proses koagulasi dengan menggunakan pengadukan cepat flok terbentuk dan
pada pengadukan lambat, flok yang kecil semakin lama semakin membesar. Flok tersebut
akan mengendap dan nantinya akan disisihkan.
Kecepatan Pengendapan
Proses flokulasi pada pengolahan air dilakukan untuk mempercepat penggabungan
flok yang telah terbentuk pada proses koagulasi. Partikel koloid yang telah didestabilkan akan
saling bertumbukan, melakukan tarik-menarik, kemudian membentuk flok yang semakin
lama semakin membesar dan mudah mengendap. Pada penelitian ini dilakukan penentuan
kecepatan pengendapan.
12
10
8
Tawas Batch
Batch 11
Tawas
Tawas
Tawas Batch
Batch 22
4
Tawas
Tawas Batch
Batch 33
Tawas
Tawas Komersial
Komersial
0
0
2.5
5-59
KESIMPULAN
Aluminium dari tutup kaleng bekas minuman ringan dapat dimanfaatkan sebagai
koagulan tawas untuk mengolah air baku PDAM. Kadar aluminium pada tutup kaleng bekas
minuman ringan adalah 43%, dimana berpotensi sebagai bahan koagulan tawas. Dari tiga
produksi tawas, setiap 8 gram tutup kaleng dapat menghasilkan 53,4074 gram
KAl(SO4)2.12H2O (tawas batch 1), 51,8033 gram KAl(SO4)2.11H2O, (tawas batch 2), dan
50,8847 gram KAl(SO4)2.10H2O (tawas batch 3). Tawas dengan kadar hidrat besar akan
menurunkan komposisi aluminium. Al3+ merupakan ion aktif yang dapat digunakan sebagai
bahan penetral muatan negatif partikel koloid. Semakin besar kadar hidrat, maka semakin
kecil komposisi aluminium, dan kemampuan tawas dalam menurunkan kekeruhan dan
menyisihkan TSS semakin berkurang.
pH air sangat berpengaruh pada kinerja tawas dari tutup kaleng bekas. pH optimum
koagulan dari tutup kaleng bekas adalah 7. Tawas batch 3 memiliki dosis optimum 30 mg/L
dan mampu menurunkan kekeruhan dan menyisihkan TSS secara optimum. Selain itu, tawas
batch 3 mampu membuat flok lebih besar sehingga mempercepat pengendapan flok yakni
1,049 cm/menit. Hasil pengolahan air baku menggunakan tawas dari tutup kaleng bekas
memenuhi baku mutu air minum. Tawas dari tutup kaleng bekas memiliki kemampuan
menurunkan kekeruhan dan TSS yang lebih baik dibandingkan tawas komersial.
Daftar Pustaka
Baghvand, A., Zan, A. D, Mehrdadi, N., dan Karbasi, A. 2010. Optimizing Coagulation Process for Low to
High Turbidity Waters Using Aluminium and Iron Salts. American Journal of Environmental Sciences.
Vol. 5, 442-448.
Li, L., Fan, M., Brown, R. C., Koziel, J. A., dan Van, L. J. 2009. Production of a New Wastewater Treatment
Coagulant from Fly Ash with Concomitant Flue Gas Scrubbing. Journal of Hazardous Material. Vol.
162, 1430-1437.
Manurung, M. dan Ayuningtyas, I. F. 2010. Kandungan Aluminium pada Kaleng Bekas dan Pemanfaatannya
dalam Pembuatan Tawas. Jurnal Kimia. Vol. 4, 180-186.
Pise, C. P., Gidde, M. R., dan Bhalerao, M. R. 2009. Study of Blended Coagulant Alum and Moringa oleifera for
Turbidity Removal. Journal of Environmental Research and Development. Vol. 2, 517-527.
Poulin, E., Blais, J. F., dan Mercier, G. 2008. Transformation of Red Mud From Aluminium Industry Into
Coagulant For Wastewater Treatment. Journal of Hydrometallurgy. Vol. 92, 16-25.
Sielichi, J. M., Kayem, G. J., dan Sandu, I. 2010. Effect of Water Treatment Residuals (Aluminium and Iron
Ions) on Human Health and Drinking Water Distribution Systems. International Journal of Conservation
Science. Vol 1, 175-182.
5-60