Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Peristiwa ini berlangsung dengan latar belakang dorongan pemerintah Orde Baru waktu
itu agar semua organisasi masyarakat menggunakan asas tunggal Pancasila . Penyebab
dari peristiwa ini adalah tindakan perampasan brosur yang mengkritik pemerintah di
salah satu mesjid di kawasan Tanjung Priok dan penyerangan oleh massa kepada aparat.
Dalam menangani kasus Tanjung Priok 1984 tidak semudah seperti menangani kasus
pelanggaran biasanya, karena kasus Tanjung Priok ini termasuk ke dalam kasus
pelanggaran HAM berat. Seperti yang tertera dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999 Bab IX tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia pasal 104[18], yakni:
(1) Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan
Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk dengan undangundang dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun
(3) Sebelum terbentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), maka kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diadili oleh pengadilan yang berwenang
Adapun penanganan terhadap kasus Tanjung Priok ini, secara rinci dapat kami
sampaikan melalui tabel di bawah ini[21]:
Tanggal
Kegiatan
27 Agustus 1999
3 Mei 2000
Juni 2000
11 Juli 2000
14 Oktober 2000
24 Januari-19
Februari 2001
Juli 2002
14 September
2003
tersangka
Pembacaan dakwaan terhadap Sutrisno Mascung CS di
Pengadilan HAM Jakarta Pusat. Komandan regu III daroi
Yon Arhanudse beserta 11 anak buahnya tersebut didakwa
melakukan pelanggaran HAM yang berat meliputi
pembunuhan, percobaan pembunuhan dan penganiayaan
23 September
2003
30 September
2003
23 Oktober 2003
31 Maret 2004
30 April 2004
3 Juli 2004
8 Juli 2004
9 Juli 2004
10 Agustus 2004
12 Agustus 2004
29 September
2005
13 Januari 2006
28 Februari 2006
6 Maret 2006
Kasus Tanjung Priok 1984 ini termasuk ke dalam kasus pelanggaran HAM yang
bersifat berat. Dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 pasal 7 disebutkan
bahwa[27], pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
1.
Kejahatan Genosida
2.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Namun kelemahan dari pasal ini adalah tidak adanya ketentuan tentang penyiksaan
(torture) yang diatur secara mandiri. Sesuai dengan ketentuan hukum internasional,
penyiksaan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran berat HAM sekalipun hal itu tidak
merupakan bagian dari serangan yang meluas dan sistematik terhadap penduduk
sipil[28].
Adapun dalam laporannya Tim Tindak Lanjut Hasil KP3T menyatakan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Tanjung Priok antara
lain[29], berupa:
1.
Pembunuhan kilat (summary killing).
Tindakan pembunuhan kilat (summary killing) ini terjadi depan Mapolres Jakarta Utara
akibat penggunaan kekerasan yang berlebihan yang dilakukan oleh satu regu dibawah
pimpinan Sutrisno Mascung dkk. Para anggota pasukan ini masing-masing membawa
peluru tajam 5-10. Akibat tindakan ini telah mengakibatkan 24 orang tewas, 54 luka
berat dan ringan.
2.
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (unlawful arrest and detention).
Penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dilakukan aparat TNI setelah terjadinya
peristiwa Tanjung Priok yang dilakukan terhadap orang-orang yang dicurigai
mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Semua korban berjumlah 160
orang yang ditangkap tidak sesuai prosedur dan tanpa surat perintah. Para korban
ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan Militer
Cimanggis.
3.
Penyiksaan (torture)
Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Mapomdam Guntur dan Rumah Tahanan
Militer Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat.
4. Penghilangan orang secara paksa (enforced or involuntary disappearance)
Kasus dimas
1. Kasus pembunuhan para senior atas mahasiswa yunior kembali
Ia tinggalkan keluarga tercinta. Pergi ke tempat yang jauh. Kota pelabuhan Tanjung Priuk
untuk menggapai cita-citanya menjadi anak laut. Anak yang dengan gagah berani mau arungi
laut, harapan dan masa depannya. Ia menjadi taruna di STIP.
Semuanya kandas. Dimas tewas. Dihabisi dengan keji oleh para bajingan berkedok
senioritas. Bajingan pengecut yang hanya berani pada junior, main keroyokan lag. Sungguh
menjijikkan.
Atas nama pendisiplinan dan pembinaan, para senior bajingan itu membantai dengan keji
anak baik dari seberang lautan itu. Pecahnya pembuluh darah otak dan cedera di banyak
bagian tubuh adalah tanda tak terbantahkan bahwa Dimas dibantai dengan keji dan biadab.
Mestinya polisi tidak sekadar memberi pasal dengan hukuman ringan, hanya 9 tahun penjara.
Ada unsur kesengajaan dan perencanaan di situ. Para senior bajingan itu memang sengaja
mau membantai. Bahwa Dimas dan kawan-kawan dibawa ke suatu tempat, bahwa ditemukan
sejumlah obat yang disediakan untuk menyadarkan orang yang pingsan adalah indikator kuat
tindakan biadab ini direncanakan. Ini penganiayaan yang sangat disengaja.
Peristiwa tragis ini menjadi semakin memuakkan dan menjijikkan karena pihak STIP sama
sekali merasa tidak bertanggungjawab karena kejadian berada jauh dari STIP. Ini sungguh
pernyataan yang ngawur dan tak berempati.
Pertanyaannya adalah mengapa senior bisa berbuat seenaknya pada junior? Mengapa di
lembaga pendidikan tinggi lain tidak terjadi hal seperti itu? Itu artinya memang ada yang keliru
di sekolah tinggi itu.
Keberanian para senior mengambil tindakan sampai menewaskan juniornya pastilah berakar
pada tradisi yang memang sudah terbentuk. Minimal ada pembiaran di situ. Karena itu harus
ada penyidikan mendalam terhadap STIP. Sama dengan kasus kekerasan seksual di JIS.
Penyidikan jangan berhenti pada pelaku langsung. Mengapa para oknum itu berani
melakukan kekerasan, dan itu dilakukan berulang-ulang, baru ketahuan setelah ada korban,
mengindikasikan ada kesalahn fatal dalam tatakelola. Artinya para pimpinan lembaga
bersangkutan harus bertanggung jawab dan dihukum.
Masyarakat juga harus diberitahu bahwa hanya orang gila yang percaya bahwa pendidikan
akan menghasilkan lulusan yang baik menggunakan kekerasan. Hanya orang-orang sakit
jiwa yang mendidik dengan kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan yang
lebih akut.
Dunia kerja tidak membutuhkan para lulusan yang dididik dengan kekerasan, apapun bidang
pekerjaannya. Kebugaran tubuh, disiplin tinggi, dan keuletan yang dibutuhkan manusia untuk
hidup layak dan sukses tidak bisa dibiasakan dengan kekerasan. Semuanya bisa
ditumbuhkembangkan dengan sikap tegas, keteladanan dan konsistensi. Sikap tegas sangat
berbeda dengan kekerasan. Sikap tegas adalah kesetiaan pada aturan dan secara konsisten
melaksanakannya. Sedangkan kekerasan adalah cara-cara para bajingan yang bermoral
rendah dan pengecut untuk bertahan hidup. Mosok sekolah tinggi membiarkan cara-cara
orang bermoral rendah digunakan, apanya yang tinggi?
Percayalah, tewasnya Dimas adalah puncak gunung es kekerasan yang dipraktikkan para
senior bajingan. Diduga keras pasti ada banyak luka tubuh dan luka jiwa akibat kekerasan
yang selama ini berjalan. Oleh karena itu penyidikan mendalam harus dilakukan terhadap
STIP.
Bukan hanya para orang tua taruna yang berhak meminta diadakannya penyidikan
mendalam. Kita semua, anggota masyarakat berhak memintanya karena STIP adalah
institusi negara. Dibiayai dari uang pajak kita semua.
Kita tak akan lupa bagaimana siklus kekerasan berulang balik di STPDN. Berkali-kali
mahasiswa tewas karena ulah para bajingan berkedok senior, karena sikap tidak tegas
Pemerintah. Kita tidak mau kejadian seperti itu terjadi di semua lembaga pendidikan,
khususnya di STIP.
Kita tak akan pernah biarkan lembaga pendidikan melahirkan anak bangsa yang trauma dan
luka jiwanya karena pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun. Karena
kekerasan hanya akan melahirkan Hitler-hitler kecil. Orang-orang yang akan menularkan
kekerasan pada orang lain. Sebab kekerasan beranak pinak kekerasan. Pendidikan di
jalanan saja anti kekerasan, mosok di sekolah tinggi pake kekerasan.
Para orang tua dan pendidik perlu diingatkan kembali, bahwa dampak kekerasan sangat
buruk bagi anak manusia. Ia bisa tewas secara mengenaskan seperti Dimas. Pun bila si anak
selamat, ada luka dalam sistem otaknya, bisa disebut luka jiwa yang secara sadar atau tidak
akan memengaruhinya secara negatif dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan
sesama.
Penelitian di USA membuktikan semua pelaku kekerasan yang mendapat hukuman berat
adalah orang-orang yang pernah mengalami kekerasan dalam masa tumbuh kembangnya.
Itulah sebabnya dalam pendidikan militer pun ada aturan main yang ketat agar ketegasan
dan kedisiplinan tidak diplesetkan menjadi kekerasan. Karena makin disadari kekerasan
hanya melahirkan manusia dengan luka pada jiwa, yang bisa jadi terbawa sepanjang usia.