Jurisdiksi PN Terhadap Forum Arbitrase
Jurisdiksi PN Terhadap Forum Arbitrase
Abstrak
Arbitrase menjadi forum pilihan yang dipercaya oleh para pelaku bisnis
untuk menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Akan tetapi sejauhmana
jurisdiksi pengadilan masih dominan terhadap arbitrase serta faktor apakah yang
mendorong para pihak sehingga memilih arbitrase dalam menyelesaikan sengketa.
Menggunakan metode penelitian kualitatif-naturalistik, pengumpulan data
dilakukan melalui observasi dan wawancara. Sedangkan analisis menggunakan
model interaktif yang dilakukan sejak data awal diperoleh dan terus berlangsung
sepanjang penelitian secara simultan. Hasil pengumpulan data diketahui bahwa
faktor pendorong utama para pelaku bisnis memilih arbitrase adalah karena
arbitrase dianggap memiliki perbedaan dengan pengadilan. Dalam arbitrase ada
kebebasan untuk menetapkan arbiter yang terdiri atas pakar-pakar yang ahli di
bidangnya untuk memeriksa dan memutus sengketa mereka. Oleh karena itu,
diharapkan melalui arbitrase penyelesaian sengketa lebih efektif dan efisien.
Namun dari hasil penelitian juga diketahui bahwa Undang-undang Nomor 30
Tahun 1999 ternyata masih sangat bias dan menetapkan keterlibatan jurisdiksi
pengadilan negeri terhadap proses arbitrase masih sangat kuat. Kesimpulannya
arbitrase di Indonesia belum merupakan lembaga yang mandiri serta belum sejajar
dengan pengadilan negeri.
Pendahuluan
Proses penyelesaian sengketa bisnis yang diupayakan pihak-pihak
melalui forum arbitrase, merupakan realita perubahan kecenderungan
manusia dalam masyarakat yang harus diterima. Apabila selama ini
mekanisme penyelesaian sengketa mengikuti pola yang terstruktur melalui
pengadilan negeri, maka pilihan forum arbitrase lebih mengedepankan
kebebasan para pihak dalam menetapkan bentuk lain dari proses yang
serupa, namun melalui mekanisme yang lebih sederhana dan diharapkan di
dalam mekanisme tersebut tidak terjadi distorsi pada penegakan hukum
sehingga hasilnya dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Penggunaan sistem peradilan modern sebagai sarana pendistribusi
keadilan terbukti menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang
menjadi faktor penyebab adalah karena peradilan modern sarat dengan
pada badan peradilan, namun forum arbitrase yang dipilih itu dianggap
dapat memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak
dalam menentukan penyelesaian sengketa bisnis mereka. Oleh karena itu,
model yang dipilih tersebut diharapkan lebih memberikan peluang untuk
mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan bermartabat.
Perumusan Masalah
Masalah yang hendak dicari jawabnya adalah: Pertama, sejauhmana
jurisdiksi pengadilan negeri terhadap forum arbitrase menurut Undangundang Nomor 30 Tahun 1999? Kedua, faktor-faktor apakah yang
mendorong pihak-pihak pelaku usaha melakukan pilihan forum arbitrase
untuk menyelesaikan sengketa bisnis?
Tujuan Penelitian
Pertama, mencari tahu tentang kewenangan apakah yang dimiliki
oleh pengadilan negeri terhadap forum arbitrase berdasarkan Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999. Kedua, menjelaskan tentang apakah keuntungan dan
kerugiannya dari melakukan pilihan forum arbitrase dalam proses
penyelesaian sengketa bisnis.
Tinjauan Pustaka
Telaah
kepustakaan
menunjukkan
bahwa
perkembangan
dan
Metode Penelitian
Menggunakan metode penelitian kualitiatif atau naturalistik dengan
teknik pengumpulan data melalui observasi serta wawancara dengan para
informan penelitian. Data yang berupa informasi yang diperoleh kemudian
dianalisis dengan model interaktif yang dilakukan sejak data awal penelitian
diperoleh dan terus berlangsung sampai dengan proses penelitan selesai
yang dilakukan secara simultan.
H. Adi Andojo Soetjipto, Etika Profesi; dalam Varia Peradilan, Tahun VIII, Nomor
95, Agustus 1993, h. 134 141.
10
dalam
Ibid., h. 4.
Adi Sulistiyono, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi
Dalam Rangka Pendayagunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak
Kekayaan Intelektual; (Disertasi). Semarang:PDIH Undip, 2002 , h. 116.
11
12
yang harus dijadikan alasan. Tampaknya hal itu terjadi semata-mata karena
pemahaman yang bersifat umum saja terhadap kondisi hukum dan peradilan
di Indonesia, kemudian para pengusaha asing itu kurang setuju dan selalu
merasa khawatir jika persoalan hukumnya yang timbul dari kontrak
bersangkutan akan diputus oleh hakim di Indonesia. Dalam kondisi yang
demikian, kemudian mereka lebih menyukai untuk memilih mekanisme
penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase di luar negeri daripada harus
beracara melalui pengadilan di Indonesia.
Lain lagi yang dikemukakan seorang lawyer pengusaha asing
sebagai informan. Menurutnya, setelah transaksi bisnis antar pihak-pihak
pengusaha nasional dan asing terjadi, dirinya sebagai lawyer mempunyai
kewajiban untuk menyampaikan segala sesuatu secara rinci dan benar,
termasuk hal-hal yang berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa
melalui pengadilan di Indonesia. Terutama bagi pihak asing, yang
bersangkutan harus memahami betul seluk beluk berperkara di pengadilan.
Oleh karena proses di pengadilan rangkaiannya panjang serta berjenjang.
Selesai pada tingkat pengadilan negeri, masih dimungkinkan upaya hukum
banding, kasasi, dan/atau kalau mungkin peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung. Rangkaian proses tersebut memerlukan waktu yang sangat lama,
sehingga dapat dipastikan untuk memperoleh keadilan melalui lembaga
pengadilan juga memerlukan waktu yang sangat lama. Apalagi jika pihak-
13
untuk
dipahami,
biasanya
pihak
asing
kemudian
menyampaikan alasan bahwa dia tidak mungkin membuang waktu berlamalama hanya untuk urusan penyelesaian pertikaian. Tujuan utama yang
bersangkutan adalah berbisnis serta mencari untung, sama sekali tidak untuk
bersengketa. Seandainya pun sengketa itu terpaksa terjadi di tengah
perjalanan bisnis dia, tentu saja tidak boleh menjadi penghambat aktivitas
bisnis, karena siapa pun yang berbisnis termasuk dirinya sama sekali tidak
menghendaki terjadinya kerugian.
Berdasarkan informasi di muka, dapat dimengerti apabila kalangan
dunia usaha selalu menuntut segala sesuatu urusan diselesaikan dengan
9
14
sengketa
yang
tidak
menyebabkan
terganggunya
aktivitas
bisnis
10
Maka tidak heran apabila arbitrase kemudian menjadi salah satu pilihan para
pelaku bisnis untuk menyelesaikan dan memutusi sengketa yang terjadi di
antara mereka.
Namun demikian, prosedur arbitrase yang sederhana bukan satusatunya alasan pihak-pihak dalam memilih arbitrase. Masih ada unsur lain
yang juga menjadi bahan pertimbangan mereka dalam melakukan pilihan.
Di antara pertimbangan tersebut dapat disebutkan umpamanya: Dalam
menangani sengketa-sengketa perdata pada umumnya, termasuk sengketa
komersial, selama ini banyak pihak merasakan betapa lembaga pengadilan
dianggap terlalu sarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam
10
berarti: satu instansi enam bulan), maka itu sudah dapat dikatakan sangat cepat.
Ditambah lagi dengan sejumlah tunggakan (kongesti) perkara-perkara yang
menyebabkan penyelesaian perkara di pengadilan semakin lamban.
Arbitration, is a method for settling controversies or disputes whereby an unofficial
third party hears and considers arguments and determines an equitable settlement.;
Lihat Peter J. Dorman (eds), Running Press Dictionary...Op. Cit., h. 19. Lihat pula,
Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary: Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern. (Sixth
Edition). St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990. Arbitrase yang di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa merupakan cara penyelesaian sengketa
di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian tertulis dari pihak
yang bersengketa.
Berdasarkan Penjelasan Umum dari UU No. 30 Th. 1999, Alternatif Penyelesaian
Sengketa (Alternative Dispute Resolution atau ADR) adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni
penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli. Oleh karena itu Arbitrase menurut UU tersebut bukan
15
11
dikuasai
sepenuhnya
oleh
pihak
yang
11
merupakan salah satu dari ADR, melainkan sebuah metode penyelesaian sengketa oleh
pihak ketiga di luar pengadilan umum.
A. Ahsin Thohari, Dari Law Enforcement ke Justice...Kompas, 3-7-2002...Op. Cit.,
Bdgk. Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakimandi
Indonesia. Jakarta: ELSAM, 1997, h. 54.
16
memiliki
titel
eksekutorial
pengadilan.
17
tanpa
keterlibatan
jurisdiksi
Rekomendasi
1. Apabila Pemerintah Indonesia memiliki kemauan politik untuk
menjadikan forum arbitrase sebagai salah satu forum tempat
menyelesaikan sengketa dagang, maka tidak ada pilihan lain kecuali
menetapkan arbitrase sejajar dengan pengadilan negeri. Hal itu dapat
dilakukan dengan jalan melakukan amandemen terhadap Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tersebut. Sejumlah pasal yang masih
terkesan mensubordinasikan arbitrase dari pengadilan negeri hendaknya
dicabut dan diganti dengan ketentuan yang memberikan status terhadap
arbitrase sehingga setara dengan pengadilan negeri.
2. Kepada forum arbitrase hendaknya diberikan sejumlah kelengkapan
lembaga
yang
memungkinkan
arbitrase
dapat
melaksanakan
18
DAFTAR PUSTAKA
ABDURRASYID, Priyatna, 2002, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska-BANI.
BLACK, Henry Campbell, Blacks Law Dictionary: Definitions of the
Terms and Phrases of American and English Jurisprudence
Ancient and Modern. (Sixth Edition). St. Paul Minn: West
Publishing Co., 1990.
DAWSON, John P., Peranan Hakim di Amerika Serikat; dalam Harold J.
Berman, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat.
Terjemahan Gregory Churchill. Jakarta: PT Tatanusa, 1996.
DORMAN, Peter J., 1976, Running Press Dictionary of Law. Philadelphia:
Running Press.
HARMAN, Benny K., 1997, Konfigurasi Politik & Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jakarta: ELSAM.
MUSADDAD, Hj. Ummu Salamah, Perspektif Etika Spiritual dan Moral
dalam Interaksi Sosial Kemanusiaan di Era Globalisasi; dalam
Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar FISIP-Unpas, Bandung, 5
April 2003.
RAHARDJO, Satjipto, Menjalankan Hukum dengan Kecerdasan
Spiritual; dalam Kompas, Senin, 30 Desember 2002.
SOETJIPTO, Adi Andojo, Etika Profesi; dalam Varia Peradilan, Tahun
VIII, Nomor 95, Agustus 1993
SULISTIYONO, Adi, Mengembangkan Paradigma Penyelesaian Sengketa
Non-Litigasi
Dalam
Rangka Pendayagunaan
Alternatif
Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual;
(Disertasi). Semarang:PDIH Undip, 2002.
THOHARI, A. Ahsin, Dari Law Enforcement ke JusticeKompas, 3-72002.
DOKUMEN:
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, 1989. Intermanual
Himpunan Putusan Mahkamah Agung tentang Arbitrase; Proyek
Yurisprudensi, Jakarta.
BADAN PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA PERADILAN
DAN HUKUM (JDB) Mahkamah Agung R.I., 1990. Yurisprudensi
Indonesia 3, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
19