Anda di halaman 1dari 34

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini dengan baik dan benar,
serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai Tonsilo
Faringitis Kronis eksaserbasi akut dengan Rhinitis Alergi Persisten Ringan.
Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.Oleh
karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun saya.Kritik konstruktif dari pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, 10September2014

Apriliya

BAB I
1

PENDAHULUAN

Latar belakang
Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang disebabkan proses
inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat paparan alergen pada mukosa
hidung. Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan 1,2 hidung yang jernih
dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel, secara spontan atau dengan
pengobatan. Prevalensi terjadinya asma meningkat pada pasien yang menderita rinitis
alergi.Pasien rinitis alergi memiliki faktor risiko 3 kali lebih besar untuk berkembang menjadi
asma dibandingkan dengan orang yang sehat.
Tonsilitis kronis merupakan kondisi di mana terjadi pembesaran tonsil disertai dengan
serangan infeksi yang berulang-ulan.Tonsillitis merupakan salah satu penyakit yang paling
umum ditemukan pada masa anak-anak. Angka kejadian tertinggi terutama antara anak-anak
dalam kelompok usia antara 5 sampai 10 tahun yang mana radang tersebut merupakan infeksi
dari berbagai jenis bakteri. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang terjadi di tenggorokan
terutama terjadi pada kelompok usia muda.
Faringitis kadang juga disebut sebagai radang tenggorok.Faringitis-Viral (Faringitis
karena Virus) adalah peradangan pharynx (bagian tenggorokan antara amandel dan pangkal
tenggorokan) yang disebabkan oleh virus.Selain virus, bakteri juga dapat menyebabkan
perdadangan.Namun yang paling umum penyebab peradangan adalah virus.Ketika di
tenggorokan tidak ditemukan bakteri penyebab gejala, kemungkinan besar faringitis disebabkan
virus.Peradangan ini mengkibatkan sakit tenggorokan. Faringitis dapat terjadi sebagai bagian
dari infeksi virus yang juga melibatkan sistem organ lain, seperti paru-paru atau usus.
Insidensinya meningkat dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap
berlanjut sepanjang akhir masa anak-anak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan
faringitis jarang terjadi, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I.

Anatomi dan Fisiologi Hidung


a. Anatomi hidung
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tentang anatomi
hidung.Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum terjadi
perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau kelainan.1
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari pembentukan anatomi
sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses. Pertama, embrional bagian kepala berkembang
membentuk dua bagian rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral
hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka
(turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang disebut sebagai sinus. 1
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu , perkembangan embrional
anatomi hidung mulai terbentuk dengan terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang
terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah frontonasal
nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan, mendukung pembentukan olfaktori.
Bagian medial dan lateral akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal
dari pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis teenage mesoderm yang
berasal dari daerah maksilaris.1
Ketika kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai terebentuk,
yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih sederhana. Usia
kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka
(turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah terbentuk sinus maksilaris yang
diawali oleh invaginasi meatus media.Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus
unsinatus dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus
emilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel
etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis
posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada usia kehamilan tiga
puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas
proporsi konka. Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak
3

anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang spesifik. Yang pertama berkembang
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. 1
Anatomi hidung luar
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol
pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian :
yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago
yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah
digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip) 4), ala nasi,5)
kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung
(os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis
lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago
septum. 1
Anatomi hidung dalam
Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah
anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi
dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior.
Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah
antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.1

Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam


Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum
(kuadrilateral) , premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os
vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.
Kavum nasi
Kavum nasi terdiri dari:
Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum.
Atap hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid.Sebagian besar atap hidung
dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari
5

permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan
kranial konka superior.
Dinding Lateral

Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os


lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara konka inferior
dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang
didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan
konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang
tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum.
Meatus superior
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan
massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di
sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas
belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat
bermuaranya sinus sfenoid.
Meatus media
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas
dibandingkan dengan meatus superior.Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan
bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal
sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang
menghubungkan

meatus

medius

dengan

infundibulum

yang

dinamakan

hiatus

semilunaris.Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk


seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus.Di atas infundibulum ada penonjolan
hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid.Ostium sinus frontal, antrum
maksila, dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum.Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
6

posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus nasofrontal
mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.1
Meatus Inferior
Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus
nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.
Nares
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum.Tiap nares posterior bagian
bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas
oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus
maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di
antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa
nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.1
Perdarahan hidung
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat perdarahan dari a. ethmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung
a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian
depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.1
Pada

bagian

depan

septum

terdapat

anastomosis

dari

cabang-cabang

a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus
Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan
arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.1

Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui
ganglion sfenopalatinum.Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima
serabut-serabut sensoris.dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis
mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius.Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.1
b. Fisiologi hidung
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara
(air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang
berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala,
proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. 1,2
II. Anatomi faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong yang besar di
bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum
vertebra.Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke
depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di
bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14cm; bagian ini merupakan

bagian dinding faring yang terpanjang.Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.1.2
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) Unsur-unsur
faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.1.2
Faring terdiri atas :
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum
mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur
penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang
disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius
spinal saraf cranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum
dan muara tuba Eustachius. 1.2
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah
vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,
tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.1.2
Laringofaring (Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal.Struktur pertama
yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua cengkungan yang
dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada
tiap sisi. Valekula disebut juga kantong pil (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadang
kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi
epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang
kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
9

epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya.Epiglotis berfungsi juga untuk
melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju
ke sinus piriformis dan ke esophagus.1

Gambar : anatomi faring


Fungsi faring
Fungsi faring yang utama adalah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara
dan artikulasi.
Fungsi menelan : terdapat 3 fase dalam fungsi menelan yaitu fase oral,fase faaringeal
dan fase esofagal. Fase oral bolus makanan dari mulut menuju ke faring.Gerakan disini disengaja
(voluntary). Fase faringeal yaitu pada transport bolus makanan melalui faring, gerakan disini
tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal disini gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu
bolus makanan bergerak secara peristaltic di esophagus menuju lambung.
Fungsi faring dalam proses berbicara: pada saat bebicara dan menelan terjadi gerakan
terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini antara lain pendekatan antara palatum
mola kea rah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan
mula-mula n. salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m. elevator veli palatine bersamasama m. konstriktor faring superior.Pada gerakan penutupan nasofaring, m. levator palatine
menarik palatum mole keatas belakang hamper mengenai dinding posterior faring.1

10

III. Anatomi Dan Fisiologi Tonsil


Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer
merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina,
tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual. 2
A) Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior
(otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi
seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
a. Lateral muskulus konstriktor faring superior
b. Anterior muskulus palatoglosus
c. Posterior muskulus palatofaringeus
d. Superior palatum mole
e. Inferior tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi
atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang
kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik
difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal.2
Fosa Tonsil

11

Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus,
batasposterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008). Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini,
pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal. 2
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden;
2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan
cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara
kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri
faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil,
vena lidah dan pleksus faringeal.2
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus,
selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40%
dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular,
mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan
12

organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.2
B) Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang
sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu
segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun
mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan
adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.1
C) Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di
garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papilla sirkumvalasi. 1

TonsiloFaringitis
Tonsilitis
Tonsilitis adalah suatu peradangan pada tonsil. Patogenesis tonsilitis episode tunggal
masih belum jelas. Diperkirakan akibat obstruksi kripta tonsil, sehingga mengakibatkan terjadi
multiplikasi bakteri patogen yang dalam jumlah kecil didapatkan dalam kripta tonsil yang
normal. Pendapat lain patogenesis terjadinya infeksi pada tonsil berhubungan erat dengan lokasi
maupun fungsi tonsil sebagai pertahanan tubuh terdepan. Antigen baik inhalan maupun ingestan
dengan mudah masuk ke dalam tonsil terjadi perlawanan tubuh dan kemudian terbentuk fokus
infeksi.3

13

Peradangan akut pada saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus seperti adenovirus,
virus Epstein Barr, influenza, para influenza, herpes simpleks, virus papiloma. Peradangan oleh
virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri.3
Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat
peradangan virus sebelumnya. Tonsilitis akut yang disebabkan oleh bakteri ini disebut
peradangan lokal primer.Setelah terjadi serangan tonsilitis akut ini tonsil akan benar-benar
sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Penyembuhan yang tidak
sempurna akan menyebabkan peradangan ringan pada tonsil. Apabila keadaan ini menetap atau
berulang, bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang
kronis.Infeksi pada tonsil dapat terjadi akut, kronis dan tonsilitis akut berulang.Bakteri atau virus
memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Amandel atau tonsil berperan sebagai filter,
menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk
antibody terhadap infeksi yang akan datang akan tetapi kadang-kadang amandel sudah kelelahan
menahan infeksi atau virus. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi
leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak
kuning yang disebut detritus. 3
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis
akut dengan detritus disebut tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu
maka terjadi tonsillitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan
hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga berhenti
makan. Tonsilitis dapat menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah
bening melemah didalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh
tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien
mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak
menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam. Bila bercak melebar, lebih besar lagi
sehingga terbentuk membrane semu (Pseudomembran), sedangkan pada tonsillitis kronik terjadi
karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada
proses penyembuhan, jaringan limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut
sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini

14

meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar
fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.3
Tonsilitis kronis
Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau
subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau degenerasi
fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang relatif kecil
akibat pembentukan sikatrik yang kronis.2,3
Brodsky menjelaskan durasi maupun beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan.
Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat
menetap. Tonsillitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk kepada adanya pembesaran tonsil
sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang.
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan peningkatan stasis
debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga
memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil
akan mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya
bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda.
Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap
tonsil.

Gambar : tonsillitis viral dan tonsillitis bakterial


Gejala klinis tonsilitis kronis didahului gejala tonsilitis akut seperti nyeri tenggorok yang
tidak hilang sempurna. Halitosis akibat debris yang tertahan di dalam kripta tonsil, yang
15

kemudian dapat menjadi sumber infeksi berikutnya. Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan
terjadinya obstruksi sehingga timbul gangguan menelan, obstruksi sleep apnue dan gangguan
suara. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil yang membesar dalam berbagai ukuran,
dengan pembuluh darah yang dilatasi pada permukaan tonsil, arsitektur kripta yang rusak seperti
sikatrik, eksudat pada kripta tonsil dan sikatrik pada pilar.2,3

Penatalaksanaan tonsilitis kronik


a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi konservatif tidak
berhasil.
Pemeriksaan penunjang
a. Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteriyang ada dalam tubuh pasien
dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung
jenisnya, serta laju endap darah. Persiapan pemeriksaan yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1) Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2) Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3) Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit, dan sebagainya.
b. Kultur
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
c. Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan obat kumur
yang mengandung desinfektan. 4
FARINGITIS

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40%),
bakteri (5-40%), alergi, trauma toksin dan lain-lain.Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring
dan yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerunefritis akut
16

karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibody. Bakteri ini
banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3
tahun. Penularan infeksi melalui secret hidung dan ludah.2
Faringitis kronis
Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis atrofi. Faktor
predidposisi proses radang kronik difaring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh
rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain
penyebab terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernafas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat. 2
a. Faringitis kronik hiperplastik
pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi.Pada pemeriksaan
tampak mukosa dinding posterior tidak rata, bergranular.Gejala pasien mula-mula tenggorok
kering dan gatal dan akhirnya batuk dan bereak.Terapi local dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan nitrs argenti atau dengan listrik. Pengobatan simptomatik
diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan diberikan obat batuk antitusif dan
ekspektoran.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi. Pada rhinitis atrofi udara
pernafasan tidak diatur suhu dan kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta
infeksi pada faring. Gejala dan tanda pasien mengeluh tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau.Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lender yang kental dan bila
diangkat tampak mukosa faring kering.Terapi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan
untuk faringitis kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.1
RHINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.

17

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.2
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.1

Gambar : Patofisiologi alergi (rinitis, eczema, asma) paparan alergen pertama dan selanjutnya
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)yang akan
18

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL 5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor
IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama
histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin
D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage
Colony Stimulating Factor) dan lain-lain.Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).2
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1m(ICAM1).2
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini
saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL
ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit,netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung.
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic
Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asaprokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 2
19

Gambaran histologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus.Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan.Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal.Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.2
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,coklat,
ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masukmelalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri
dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2.Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas
seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini,
reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
20

memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.2

Klasifikasi rinitis alergi


Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1.Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepungsari dan spora jamur.Gejala klinik yang tapak ialah
pada hidung dan mata (mata merah gatal disertai lakrimasi).
2.Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Penyebab paling sering ialah alergi inhalan, terutama pada orang dewasa dan allergen
ingestan.Alergi inhalan utama ialah alergi dalam rumah dan alergi luar rumah. Allergen ingestan
sering merupakan penyebab pada anak-anak dan disertai dengan gejala lain, isalnya urtikaria,
gangguan pencernaan.
berdasarkan rekomendasi dari WHO IniativeARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1.Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2.Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1.Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
21

bersantai, berolahraga,belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.


2.Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa.Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.Gejala rinitis alergi yang
khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakr imasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan
keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien Perlu ditanyakan pola gejala
(hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena
faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap
pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan,
hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat, dan mata merah serta
berair maka dinyatakan positif. 2
2.Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu
bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung.Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic creaseyaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah.Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan
(allergic salute).Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat
atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak.Perlu juga dilihat adanya
kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.Selain itu,
dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti
sinusitis dan otitis media.2
3. Pemeriksaan Penunjang
22

a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE
total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno
Sorbent Test)atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan
pelengkap.Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 2
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau
intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan.Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya.Pada diet eliminasi, jenis makanan
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
denganmeniadakan suatu jenis makanan.2
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada
reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai
inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi
dengan dekongestan secara peroral.Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
23

antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif).Antihistamin generasi-1 bersifat


lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik.Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
tropikal.Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk
menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai

adalah

kortikosteroid

tropikal

(beklometosa,

budesonid,

flusolid,

flutikason,

mometasonfuroat dan triamsinolon).Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida,


bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel
efektor.2
b. Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat.
c. Imunoterapi
- Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan
hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan .
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis:
inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil
dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal

24

BAB III
STATUS PASIEN
KEPANITERAN KLINIK
ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA 2014
Nama

: APRILIYA

Tanda

Tangan
Nim
: 11.2012.269
Dr. Pembimbing/Penguji
: dr. Riza, Rizaldi. Sp.THT-KL
___________________________________________________________________________

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. D
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Jakarta
Status
: Menikah

Umur
Pendidikan
Agama

: 32 tahun
: S1 Akuntansi
: Islam

ANAMNESIS
Autoanamnesis Sabtu 09 September 2014, pukul 10.00 WIB di Klinik THT
Keluhan utama
Keluhan Tambahan

: nyeri tenggorokan
: batuk berdahak berwarna putih kental, pilek, mual, sulit menelan,

makan dan minum.


Riwayat penyakit sekarang:
Tiga bulan SMRS, pasien mengeluh batuk berdahak berwarna putih kental, pilek disertai
demam.Bersin-bersin jika pasien terkena udara dingin dan debu.Keluhan tersebut dirasakan
sering kambuhan.Kadang-kadang mengeluh pusing, ada mual tidak ada muntah.
Dua bulan SMRS, pasien mengeluh batuk-pileknya semakin bertambah masih disertai
demam.Pasien mengatakan bahwa nyeri tenggorokkan dan nyeri saat menelan pada waktu
makan dan minum, suara sengau.Dan kadang terdapat lendir yang sulit keluar dari
tenggorokkan.Ada mual namun tidak ada muntah.Hidung tersumbat dan keluar ingus encer
25

berwarna jernih, kadang-kadang terasa pusing.Pasien mengatakan sebelumnya pernah


berobat ke poliklinik THT RS Tarakan, dan diberi obat rhinofed.Namun belum ada
perbaikan.
Satu bulan SMRS, pasien mengatakan batuk pileknya berkurang, namun masih nyeri
tenggorokkan dan nyeri pada waktu menelan.sulit untuk makan dan minum, suara bertambah
sengau. Hidung tersumbat dan kadang hidung mata terdapat keluar air mata, dan keluar ingus
encer berwarna jernih.Kadang-kadang pasien merasakan demam dan pusing. Ada mual
namun tidak muntah. Pasien mengatakan bahwa dirinya memiliki maag.Kemudian pasien
kembali berobat ke poliklinik THT RSUD Tarakan, namun belum ada perbaikan.
Satu minggu SMRS, pasien mengeluh nyeri tenggorokkan bertambah hebat.Keluhan
nyeri tenggorokkan ini disertai nyeri menelan pada saat makan dan minum sehingga nafsu
makan berkurang.Pasien juga mengatakan kadang-kadang batuk kering serta ada rasa gatal
dan seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokkan. Menurut suami pasien, pasien tidur
mendengkur. Keluhan ini sering dirasakan pasien berulang kali dan sering kambuhan.Pasien
mengatakan sulit untuk mengeluarkan lendir dan nafasnya berbau.Selain itu juga, pasien
mengatakan suaranya bertambah sengau, dan susah untuk bernafas.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat alergi, riwayat hipertensi dan diabetes dalam keluarga disangkal.
Riwayat sosial ekonomi:
Cukup
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Kesadaran
Status gizi
Nadi
Tekanan darah
Suhu
Pernafasan

: tampak sakit sedang


: kompos mentis
: baik
: 84 x/menit
: 110/80 mmHg
: 36.7 0C
: 22 x/menit

Kepala dan Leher

26

Kepala
Wajah
Leher anterior
Leher posterior

: Normosefali
: Simetris
: KGB tidak teraba membesar
: KGB tidak teraba membesar

PEMERIKSAAN OBYEKTIF/ FISIK


TELINGA
KANAN

KIRI

Bentuk daun telinga

Normotia

Normotia

Kelainan congenital

Mikrotia

(-),

fistula

Mikrotia

(-),

fistula

preaurikular (-), bats ear

preaurikular (-), bats ear

Radang, tumor

(-).
Tidak ada

(-).
Tidak ada

Nyeri tekan tragus

Tidak Ada

Tidak ada

Penarikan daun telinga

Tidak Ada

Tidak ada

Kelainan

Abses (-), hiperemis (-),

Abses (-), hiperemis (-),

retroaurikuler

nyeri tekan (-), benjolan

nyeri tekan (-), benjolan

Region Mastoid

(-)
Abses (-), nyeri tekan (-)

(-)
Abses (-), nyeri tekan (-)

Liang telinga

Tidak lapang, furunkel (-),

Tidak lapang, furunkel (-),

jaringan

jaringan

pre,

Membran timpani

infra,

granulasi

(-),

granulasi

(-),

serumen (+), sekret (-),

serumen (+), sekret (-),

darah (-), hiperemis (-),

darah (-), hiperemis (-),

edema (-).
utuh, refleks cahaya (+),

edema (-).
Utuh, refleks cahaya (+),

hiperemis (-), edema (-)

Hiperemis(-), edema (-)

TES PENALA
KANAN
Rinne
(+)
Weber
Tidak ada lateralisasi
Schwabach
Sama dengan pemeriksa
Penala yang dipakai
512 Hz
kesan :normal (tidak terdapat gangguan pendengaran)

KIRI
(+)
Tidak ada Lateralisasi
Sama dengan pemeriksa
512 Hz

27

HIDUNG
KANAN
Tampak bulu hidung

KIRI
Tampak bulu hidung

Sekret(+)

Sekret (+)

Furunkel (-)

Furunkel (-)

Krusta (-)
Lapang

Krusta(-)
Lapang

Sekret (+)

Sekret (+)

Hiperemis (-) massa (-)


Edema (+), warna livid

Hiperemis (-) massa (-)


Edema (+), warna livid

(+), mukosa hiperemis (-),

(+), mukosa hiperemis (-),

Konka medius

Sekret (+) encer


Tidak tampak

Sekret (+) encer


Tidak tampak

Meatus nasi medius

Sulit dinilai
Tidak tampak

Sulit dinilai
Tidak tampak

Sinus frontalis

Sulit dinilai
Tidak ada

Sulit dinilai
Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Vestibulum

Cavum nasi

Konka inferior

(nyeri

tekan

nyeri

ketuk)
Sinus maksilaris
(

nyeri

tekan

nyeri

ketuk)
Septum nasi

Simetris

tidak

ada

deviasi

Simetris

tidak

ada

deviasi

RHINOPHARYNX

Koana
Septum nasi posterior
Muara tuba eustachius
Tuba eustachius
Torus tubarius
Post nasal drip

: belum dapat dilakukan


: belum dapat dilakukan
: belum dapat dilakukan
: belum dapat dilakukan
: belum dapat dilakukan
: belum dapat dilakukan

PEMERIKSAAN TRANSILUMINASI

Sinus frontalis kanan

: belum dapat dilakukan


28

Sinus frontalis kiri


Sinus maxillaris kanan
Sinus maxillaris kiri

: belum dapat dilakukan


: belum dapat dilakukan
: belum dapat dilakukan

TENGGOROK
FARING

Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata, granul (+), post nasal drip (-), lendir (+)

berwarna jernih.
Arcus
: Hiperemis (+), simetris
Tonsil
: T3-T3 , hiperemis (-), kripta (+), detritus (-)
Uvula
: Bentuk normal, di garis median, hiperemis (-)

Hasil pemeriksaan faring

LARING

Epiglotis

: belum dapat dilakukan


29

Plica aryepiglotis
: belum dapat dilakukan
Arytenoids
: belum dapat dilakukan
Ventricular band
: belum dapat dilakukan
Pita suara
: belum dapat dilakukan
Rima glotis
: belum dapat dilakukan
Sinus piriformis
: belum dapat dilakukan
Kelenjar limfe submandibula dan cervical : tidak membesar, tidak ada nyeri tekan

RESUME
Ny. D, usia 32 tahun datang ke poliklinik THT RSUD Tarakan dengan keluhan nyeri
tenggorokkan. Keluhan nyeri tenggorokkan ini disertai nyeri menelan pada saat makan dan
minum sampai tidak nafsu makan.Pasien juga mengatakan kadang-kadang batuk kering serta ada
rasa gatal dan seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokkan. Keluhan ini sering dirasakan
pasien berulang kali dan sering kambuhan.Pasien mengatakan sulit untuk mengeluarkan lendir
dan nafasnya berbau. Selain itu juga, pasien mengatakan suaranya bertambah sengau, susah
untuk bernafas. menurut suami pasien, pasien tidur mendengkur. riwayat alergi dalam keluarga
disangkal.
Pasien juga sebelumnya mengeluh batuk pilek, bersin-bersin jika terkena udara dingin
dan debu, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal terasa gatal dan kadang terdapat keluar air
mata.Keadaan ini sering dirasakan pasien kambuhan.
Pada pemeriksaan didapatkan:Hidung :vestibulum nasi : terdapat bulu hidung dan sekret
berwarna jernih. Cavum nasi : lapang terdapat sekret berwarna jernih. Konka inferior : Edema
(+), warna livid (+), mukosa hiperemis (-), Sekret (+) encer berwarna jernih.
Faring :Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata, granul (+), post nasal drip (-), lendir (+)

berwarna jernih, Arcus: Hiperemis (+), simetris, Tonsil: T3-T3, hiperemis (-), kripta (+), detritus
(-)Uvula: Bentuk normal, di garis median, hiperemis (-).
DIAGNOSIS KERJA
Tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut
Anamnesa yang mendukung : pasien mengeluh nyeri tenggorokan serta nyeri waktu menelan
pada saat makan dan minum.nyeri tenggorokkan ini disertai nyeri menelan pada saat makan dan
minum sampai tidak nafsu makan.Pasien juga mengatakan kadang-kadang batuk kering serta ada
rasa gatal dan seperti ada yang mengganjal dalam tenggorokkan dan nafasnya berbau. Keluhan
30

ini sering dirasakan pasien berulang kali dan sering kambuhan.Pada pemeriksaan fisik tonsil
tampak membesar kripta melebar, Pembesaran tonsil dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi
sehingga timbul gangguan menelan,dan gangguan suara.
Rhinitis alergi persisten ringan
Anamnesis yang mendukung :Pasien juga mengeluh batuk-pilek, bersin-bersin jika terkena udara
dingin dan debu, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal terasa gatal dan kadang terdapat
keluar air mata. Keadaan ini sering dirasakan pasien kambuhan namun tidak mengganggu
aktivitas dan pekerjaan. Pada pemeriksaan didapatkan:Hidung :vestibulum nasi : terdapat bulu
hidung dan sekret berwarna jernih. Cavum nasi : lapang terdapat sekret berwarna jernih. Konka
inferior :Edema (+), warna livid (+), mukosa hiperemis (-), Sekret (+) encer berwarna
jernih.

PROGNOSIS
Dubia Ad bonam

PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
Untuk Tonsilofaringitis eksasrbasi akut dapat diberikan:
- Antibiotik diberikan bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A streptococcus B
hemolitikus. Penicillin G benzatin 50.000 mg/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50
mg/kgBB dosis dibagi 3 kali sehari selama 10 hari dan pada orang dewasa 3x 500 mg selama 610 hari atau eritromicin 4 x 500 mg/hari. Kortikosteroid deksamethason 8-16 mg IM, 1x. Pada
anak 0.08-0.3 mg/kgBB IM 1x.
- Obat kumur atau tablet isap untuk hygiene mulut

- Obat batuk antitusif atau ekspektoran atau mukolitik

31

Untuk Rhinitis Alergi Persisten Ringan, dapat diberikan:


-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada
reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai
sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason,
mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik
permukaan sel efektor.
Non medika mentosa
Pada pasien ini direncanakan untuk operasi Tonsilektomi :
Indikasi tonsilektomi
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology- Head and Neck Surgery( AAO-HNS)
tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :
1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas,disfagia berat,gangguan
tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase, kecuali jika
dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi
2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan pengobatan medik
yang adekuat
b)

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan medik

c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.1.3
32

ANJURAN DAN EDUKASI


-

Istirahat dan minum yang cukup


menjaga kesehatan agar tidak terkena penyakit ISPA
kurangi makanan yang mengandung banyak lemak dan minum dingin.
Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas
jika keluhan tidak ada perbaikan rencana operasi tonsilektomi atas indikasi

PEMBAHASAN

Berdasarkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, sementara
ditegakkan diagnosis kerja tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut ec rhinitis alergi
persisten.Hasil anamnesis yang mendukung adalah berupa pasien mengeluh nyeri tenggorokkan
disertai nyeri menelan pada saat makan dan minum sampai tidak nafsu makan.Pasien juga
mengatakan kadang-kadang batuk kering serta ada rasa gatal dan seperti ada yang mengganjal
dalam tenggorokkan.Keluhan ini sering dirasakan pasien berulang kali dan sering
kambuhan.Pasien mengatakan sulit untuk mengeluarkan lendir dan nafasnya berbau. Selain itu
juga, pasien mengatakan suaranya bertambah sengau, tidur terganggu dan susah untuk
bernafas.riwayat alergi dalam keluarga disangkal. Pasien juga mengeluh batuk- pilek, bersinbersin jika terkena udara dingin dan debu, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal terasa gatal

33

dan kadang terdapat keluar air mata.Keadaan ini sering dikeluhkan pasien setiap hari namun
tidak mengganggu aktivitas dan pekerjaan.
Pada pemeriksaan didapatkan:Hidung :vestibulum nasi : terdapat bulu hidung dan sekret
berwarna jernih. Cavum nasi : lapang terdapat sekret berwarna jernih. Konka inferior : Edema
(+), warna livid (+), mukosa hiperemis (-), Sekret (+) encer berwarna jernih.
Faring :Dinding faring : Hiperemis (-), mukosa rata, granul (+), post nasal drip (-), lendir (+)

berwarna jernih, Arcus: Hiperemis (+), simetris, Tonsil: T3-T3, hiperemis (-), kripta (+), detritus
(-) Uvula: Bentuk normal, di garis median, hiperemis (-).
Rencana pengobatan pada pasien ini adalah untuk tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut akibat
kuman grup A streptococcus B hemolitikus. Penicillin G benzatin amoksisilin eritromicin dan
kortikosteroid, Obat kumur atau tablet isap untuk hygiene mulut, Obat batuk antitusif atau
ekspektoran atau mukolitik, Sedangkan untuk rhinitis alergi dapat diberikan antihistamin H1 oral
/ topical atau dengan decongestan oral dan kortikosteroid topical atau (Na kromoglikat).

Daftar pustaka

1. Adam, Boies, Highler. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2012.
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Ratna RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.
3. Tonsillitis

kronik.

diunduh

tanggal

10

september

2014.

kunsantori.wordpress.com/kedokteran/tht/infeksi/tonsilitis-kronis/.

34

Anda mungkin juga menyukai