Responsi Rinitis Alergi
Responsi Rinitis Alergi
PENDAHULUAN
Rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.1
Rinitis alergi terdapat pada lebih kurang 40 juta penduduk
amerika. Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih
sering terjadi terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas. Struktur
hidung luar dibedakan atas tiga bagian meliputi kubah tulang yang tidak dapat
digerakkan, kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan lobulus hidung
yang mudah digerakkan. Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah meliputi pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum
nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares
anterior).4 Hidung luar sangat bervariasi dalam hal ukuran dan bentuknya
terutama karena perbedaan pada tulang-tulang rawan hidung.5
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os
nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal. Kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang
kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor
dan tepi anterior kartilago septum.4,5
hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan
dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4 Nares posterior berbentuk oval
dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian
bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial,
lateral, inferior dan superior.4,8
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang meliputi lamina perpendikularis os etmoid,
vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang
rawan meliputi kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum
dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian
tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.4,5
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian
dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina
pterigoideus medial. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, lebih kecil lagi adalah konka superior dan yang paling kecil
adalah konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka inferior
merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid,
sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Terdapat tiga meatus yaitu, meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior merupakan yang terbesar diantara ketiga meatus. Meatus
inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis yang
terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.4,5
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
3
etmoid anterior. Meatus media merupakan celah yang lebih luas dibandingkan
dengan meatus superior. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya
menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang
dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan
sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan
hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk
tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di
atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh
salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid
anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di
posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang
duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.4,5
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan
korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno etmoidal, tempat bermuaranya sinus
sfenoid. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.4,5
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh
prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum. Dinding superior
atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os
sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribriformis yang
memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini memiliki
lubang sebagai tempat masuknya serabut- serabut saraf olfaktorius yang berasal
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum
nasi dan permukaan kranial konka superior. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid.4,5
Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
4
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah
apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di
dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak
hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga
hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus
tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan
melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi
sejumlah mukus yang dihasilkan oleh sel-sel goblet.4,8
sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke
infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka
media.4,5,8
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis
anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga
hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna, diantaranya adalah
ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri
labialis superior, dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach.
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga
sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-anak.4
Vena-vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena
oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak
mempunyai katup sehingga merupakan predisposisi untuk mudahnya penyebaran
infeksi sampai ke intrakranial.4
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang
berasal dari nervus oftalmikus (N V1). Rongga hidung bagian lainnya sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla melalui ganglion
sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga
memberikan persarafan otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima
serabut saraf sensoris dari nervus maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari
nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas ujung
posterior konka media.4 Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari
nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina.
Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan
parasimpatis pada kavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam
rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau.
6
Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus atau silia olfaktoria di ujungnya
dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.8 Fungsi
penghidu atau pembau ini berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.4
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis Alergika secara klinis
didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen
melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.1
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu: Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
biasa terjadi pada musim- musim tertentu , allergen penyebabnya spesifik yaitu
serbuk dan spora jamur, dan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) gejala pada
penyakit ini timbul intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan
terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan sering pada anak- anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain seperti urtikaria, ganguaan pencernaan.1
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma 2001 yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi: intermiten (kadang-kadang) bila gejala <4
hari tiap minggu atau <4 minggu, dan persisten (menetap) bila gejala >4 hari tiap
minggu atau >4 minggu. Sementara itu, klasifikasi menurut berat ringannya
penyakit, dibedakan menjadi: gejala ringan bila gejala rinitis tidak ditemukan
gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja,
dan hal-hal lain yang menganggu dan sedang-berat bila terdapat satu atau lebih
dari gangguan tersebut diatas. 1
2.4 Etiologi dan Patofisiologi Rinitis Alergi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan
dengan alergen spesifik tersebut. Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas
alergen inhalan, alergen ingestan, alergen injektan dan alergen kontaktan. Alergen
inhalan merupakan alergen yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa,
serpihan epitel kulit binatang misalnya kucing dan anjing, rerumputan (Bermuda
grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria). Alergen ingestan yang masuk ke
9
saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang,
kepiting dan kacang-kacangan. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan
atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah. Alergen kontaktan, yang
masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik,
perhiasan. Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi
gejala asma bronkial dan rinitis alergi.1,2
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.1
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th
0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.1
Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13.
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di
sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif.
Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.
Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi atau
pecahnya dinding sel mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin. Selain
10
11
In Vivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui.1 Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini
banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test).1 Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu 5 hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu
makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan.1
2.6 Penatalaksanaan Rinitis Alergi
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.1
2.6.1. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara per oral.1 Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan
antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine
generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak
(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah
azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus
sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak
14
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (nonsedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif
untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi
tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut
keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti
jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok
kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.1
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja
untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.1 Preparat kortikosteroid
dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan
triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari
eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen
(bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga
pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil
dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.1
Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel
efektor.1 Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.1
2.6.2. Operatif
15
16
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama
: NNS
Umur
: 44 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Suku
: Bali
Bangsa
: Indonesia
Agama
: Hindu
Tanggal Pemeriksaan
: 18 Mei 2016
3.2 Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama: Pilek
Pasien datang ke poliklinik THT BRSU Tabanan pada tanggal 18 Mei
2016 dengan keluhan pilek sejak 1 hari lalu. Pilek dikatakan awalnya muncul
sejak usia 17 tahun dan hilang timbul hingga sekarang. Pilek dikatakan muncul
apabila pasien terkena debu atau pada saat cuaca dingin, terutama pada saat pagi
hari. Keluhan ini dikatakan berlangsung setiap hari karena pasien setiap hari
bekerja dan terpapar debu.Pilek dikatakan keluar dengan sekret yang encer,
namun terkadang kental. Pasien mengatakan keluhannya menghilang apabila
meminum obat yang sudah ia rutin konsumsi dan memberat apabila terpapar debu
atau pada saat cuaca dingin. Pasien juga mengeluhkan bersin-bersin. Bersin-bersin
dikatakan muncul bersamaan dengan keluhan pileknya. Bersin-bersin dikatakan
lebih dari 5 kali dalam sekali bersin yang disertai keluar ingus yang encer dan
bening serta kadang-kadang sampai menyebabkan hidung pasien tersumbat pada
satu atau kedua lubang hidung. Pasien juga mengeluh gatal-gatal pada hidung dan
kedua matanya. Keluhan tersebut dirasakan hampir setiap hari terutama pada saat
pagi hari dan saat terkena debu. Pasien mengatakan keluhannya ini tidak sampai
17
mengganggu aktivitasnya baik saat dirumah maupun saat bekerja. Tidak ada
keluhan nyeri kepala dan daerah pipi, riwayat demam tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien mengatakan sudah menderita pilek dan bersin-bersin ini sejak usia
17 tahum dan dikatakan hilang timbul. Pasien juga rutin mengkonsumsi obatobatan seperti CTM, prednisone, dan pseudoefedrin apabila keluhannya muncul.
Pasien mengatakan tidak ada riwayat asma sebelumnya, namun hanya sempat
sesak dan dikatakan oleh dokter sesaknya disebabakan oleh pilek dan bersinbersin yang dideritanya.
Riwayat Alergi
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat ataupun pernah alergi terhadap
makanan maupun obat-obatan
Riwayat Keluarga
Dikatakan keponakan pasien mengalami gejala dan keluhan yang sama
dengan pasien yaitu pilek dan bersin-bersin. Riwayat atopi pada keluarga
disangkal oleh pasien.
Riwayat Sosial
Pasien sehari-hari bekerja sebagai pedagang di daerah Alas Kedaton dari
pagi hingga sore hari dan biasanya berangkat ke tempat berjualan menggunakan
sepeda motor. Pasien mengatakan tinggal di daerah padat pemukiman dan
halaman rumah pasien banyak terdapat debu yang sering menyebabkan
keluhannya muncul.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Kompos mentis
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
18
Nadi
: 80 x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Temperatur aksila
: 36,5 C
BB
: 53 Kg
Status General
Kepala
: Normocephali
Mata
THT
Leher
Thorak
: DBN
Abdomen
: DBN
Ekstremitas
: Hangat +/+
Status THT
Status Lokalis THT :
Telinga
Telinga
Daun telinga
Nyeri Tekan Tragus
Nyeri Tarik Aurikuler
Liang Telinga
Discharge
Membran Timpani
Kanan
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Ada
Intak
Kiri
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Lapang
Tidak ada
Intak
Tumor
Mastoid
Tes Pendengaran
Tidak ada
Normal
Normal
Tidak ada
Normal
Normal
Kanan
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Tidak ada
Pucat
Tidak ada
kongesti
Normal
Tidak dievaluasi
Kiri
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Tidak ada
Pucat
Tidak ada
kongesti
Normal
Tidak dievaluasi
Hidung
Hidung
Hidung Luar
Kavum Nasi
Septum
Discharge
Mukosa
Tumor
Konka
Sinus
Koana
19
Tenggorok
Mukosa faring
Tonsil
Dinding belakang faring
Dispneu
Sianosis
Suara
Stridor
Merah muda
T1/T1
Merah muda
Tidak ada
Tidak ada
Normal
Tidak ada
3.4 Resume
Pasien Perempua 44 tahun, suku Bali, agama Hindy dan bekerja sebagai
pedagang mengeluh pilek dan bersin-bersin sejak usia 17 tahun dan hilang timbul.
Pilek dan bersin dikatakan muncul apabila pasien terkena debu atau pada saat
cuaca dingin disertai dengan sekret yang encer. Pasien juga mengeluh hidungnya
gatal dan sering tersumbat serta mengeluh gatal di daerah bawah mata. Keluhan
ini dikatakan tidak sampai mengganggu aktivitasnya. Pasien mengatakan rutin
konsumsi obat pada saat gejalanya muncul. Tidak ada keluhan nyeri kepala dan
daerah pipi, riwayat demam tidak ada. Riwayat penyakit alergi makanan dan
alergi obat disangkal pasien. Riwayat penyakit asma dan dermatitis disangkal.
Riwayat atopi pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit yang sama pada anggota
keluarga yang lain dikatakan keponakanya memiliki keluhan yang sama.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status present normal, status general
dalam batas normal dan pada status lokalis THT didapatkan telinga dalam batas
normal yaitu membran timpani kanan dan kiri intak, serumen (-), MAE lapang.
Tenggorokan dalam batas normal ditunjukkan dengan tonsil T1/T1 hiperemi (-),
permukaan rata. Sedangkan pada hidung ditemukan kavum nasi lapang, tidak ada
discharge, mukosa pucat, konka kongesti/kongesti.
3.5 Diagnosis Kerja
Rinitis Alergi Mild Persistent
3.6 Penatalaksanaan
1. Cetirizine 1 x 10 mg PO
2. Pseudoefedrin HCl 1 x 60 mg PO
20
3. Metil prednisolone 1 x 4 mg PO
4. KIE
Hindari kontak dengan alergen yang diduga sebagai penyebab, terutama
yang sering kontak adalah debu rumah dengan cara membersihkan rumah
secara teratur dengan masker misalnya kasur, mengganti seprai setiap
hari, membersihkan sofa dan merapikan tumpukan-tumpukan buku
maupun kertas. Penderita disarankan juga memakai jaket pada udara
dingin dan bila bepergian jauh.
Untuk meningkatkan daya tahan tubuh penderita disarankan untuk
berolahraga teratur, makan makanan bergizi dan istirahat yang cukup.
21
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien ini di diagnosa rinitis alergi karena dari anamnesa pasien mengeluh
pilek dan bersin-bersin lebih dari 5 kali pada saat serangan, keluar ingus banyak
bening, encer seperti air dan tidak berbau. Hidung tersumbat di kedua sisi dan
disertai gatal pada hidung. Keluhan akan muncul jika berada di udara yang
banyak debu. Keluhan yang dialami sangat menggangu pernafasan dan
kenyamanan pasien. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa
gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Bersin
ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL
sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore)
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang juga
dikeluhkan oleh pasien. Pasien sudah berobat ke dokter berulang kali.
Kejadiannya hilang timbul. Tidak ada riwayat atopi, tidak ada keluhan pada
telinga, ataupun pada faring sehingga dapat disimpulkan pasien tidak mengalami
komplikasi. Dari pemeriksaan fisik status general dalam batas normal. Pada
pemeriksaan THT ditemukan pada telinga kesan tenang, tenggorok kesan tenang.
Pada hidung kavum nasi lapang/lapang, discharge tidak ada pada saat
pemeriksaan, mukosa pucat, konka kongesti/kongesti. Temuan ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan bahwa ketika dilakukan rinoskopi anterior akan
tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret
encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi cetirizine 1x10 mg per oral.
Cetirizine merupakan antihistamin generasi 2 yang bersifat lipofobik sehingga
sulit menembus sawar darah otak. Antihistamin ini bersifat selektif mengikat
reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan
efek pada SSP minimal (non-sedatif). Cetirizine memiliki onset satu sampai tiga
jam dan memiliki durasi kerja yang panjang yaitu lebih dari 24 jam. Cetirizine
diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi
gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Selain itu, karena
22
23
BAB V
SIMPULAN
Rinitis alergi merupakan proses inflamasi mukosa hidung dengan
sekumpulan gejala terdiri dari bersin, hidung tersumbat, gatal pada hidung, dan
keluar cairan dari hidung. Penyakit ini timbul pada semua golongan umur, tetapi
frekuensi terbanyak yaitu anak-anak dan dewasa muda.
Penyebab rinitis alergi adalah semua zat yang berperan sebagai alergen
pada seorang individu. Zat-zat yang menimbulkan alergi pada seorang penderita
belum tentu menimbulkan alergi pada orang lain. Selain itu, macam alergen dapat
merangsang lebih dari satu macam organ.
Mekanisme terjadinya rinitis alergi merupakan reaksi antigen antibodi
pada kontak kedua menyebabkan terjadinya degranulasi sel mediator, yang
berakibat terlepasnya zat-zat mediator terutama histamin. Hal ini menimbulkan
gejala klinik. Ada dua macam rinitis alergi yaitu rinitis alergi musiman dan rinitis
alergi sepanjang tahun. Gejala kedua rinitis ini hamper sama, hanya berbeda
dalam sifat berlangsungnya.
Diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yaitu pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak mukosa edema,basah, berwarna pucat, atau livid
disertai adanya sekret yang encer dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
sitologi hidung, hitung eosinofil, Ig E total Ig E spesifik dengan RAST atau
ELISA serta pemeriksaan in vivo dengan uji kulit.
Penatalaksanaan rinitis alergi secara garis besar terdiri dari tiga cara yaitu
menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi dan medikamentosa.
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. 2012. Rinitis Alergi. Dalam
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. Hal 106-111.
2. Small P, Kim H. 2011. Allergic Rhinitis. Asthma and clinical immunology,
7 (Suppl 1):53.
3. Ethical Diggest-Semijurnal Farmasi dan Kedokteran. Diagnosis Rinitis
Alergika. Diunduh dari: http://physalin.blogspot.com . Akses: 20 Mei
2015.
4. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. 2012. Sumbatan Hidung.
Dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI. Hal 96-100.
5. Moore KL, Agur AMR. 2012. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates.
6. Anatomi hidung luar. Diunduh dari: http://4.bp.blogspot.com/1w3cfzhalfy/vliwv57nnzi/aaaaaaaaaes/i_as5ydylg8/s1600/hidung
%2B1.jpg. Akses: 21 Mei 2015.
7. Anatomi hidung dalam. Diunduh
dari:
http://3.bp.blogspot.com/-
xqrwoufa1dq/tyskowqwxji/aaaaaaaadgy/gkc7mrsdazu/s1600/New+Picture
+%285%29.png. Akses: 21 Mei 2015.
8. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of
Itching and Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology,
University Hospital Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009;
139 (3-4). p 35-40.
9. Anatomi sinus paranasal.
Diunduh
dari:
http://ausfp.com/wp-
dari:
https://sandurezu.files.wordpress.com/2014/07/071914_0253_rinosinusit3.
jpg%3Fw%3D1024. Akses: 21 Mei 2015.
11. Anatomi Perdarahan Hidung. Diunduh dari: http://1.bp.blogspot.com/2d3og1jqecw/ticyawptori/aaaaaaaaaci/ehchtcqdqwi/s320/AnatomiPembuluh-Darah-Septum-Hidung.jpg. Akses: 21 Mei 2015.
12. Anatomi
Persarafan
Hidung.
Diunduh
dari:
http://biologimediacentre.com/wp25
content/uploads/2011/03/olfactory_nerve-to-brain.jpg. Akses:
2015.
13. Mekanisme
Imunologik
pada
Rinitis
Alergi.
21
Diunduh
Mei
dari:
http://1.bp.blogspot.com/8azm1qvyduy/udz8r41zf6i/aaaaaaaaaei/4ngifulm
b_i/s1600/Picture1.jpg. Akses: 21 Mei 2015.
26