Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan bidang kesehatan menurut UndangUndang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis. Derajat kesehatan masyarakat
dapat dilihat dari berbagai indikator, yang meliputi indikator angka
harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi
masyarakat sehingga banyak program-program kesehatan yang dilakukan
pemerintah terutama pada penduduk usia rentan, seperti program Safe
Motherhood Initiative, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), program
Maternal and Neonatal Tetanus Elimination (MNTE), dan program
Pemberantasan Penyakit Menular. (Kemenkes RI Tahun 2011).
Usia anak Bawah Lima Tahun (Balita) merupakan usia yang
sangat menentukan perkembangan seorang anak di masa depan. Masa
lima tahun ini menetapkan dasar perkembangan emosional, sosial,
pertumbuhan fisik dan kesehatannya.Namun usia balita merupakan usia
yang rentan terhadap penyakit yang tidak jarang mengakibatkan

kematian. Sebagian besar penyebab kesakitan dan kematian tersebut


dikarenakan penyakit seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
diare, malaria, campak, dan malnutrisi. ISPA adalah infeksi saluran
pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dimana secara klinis
tanda dan gejala akut akibat infeksi terjadi di setiap bagian saluran
pernafasan tidak lebih dari 14 hari. ISPA merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia pada bayi dan anakanak terutama di negara-negara dengan pendapatan perkapita rendah
dan menengah. (http.www.peny.infeksi.com, tanggal akses 20 November
2015). Berdasarkan laporan World Health Organization WHO (2008),
ISPA merupakan penyebab utama kematian pada balita di dunia dengan
angka Proportional Mortality Rate (PMR) akibat ISPA pada balita yaitu
17%. Laporan WHO tahun 2013 di Myanmar PMR akibat ISPA pada balita
menunjukkan angka 19%.
Indonesia termasuk negara dengan pendapatan perkapita rendah
menengah, oleh karena itu penyakit ISPA masih merupakan masalah
utama kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil Riset Dasar (Riskesdas) di
Indonesia tahun 2007 menunjukkan prevalensi ISPA pada bayi sebesar
35,92% dan balita sebesar 42,53%. Episode penyakit ISPA pada balita di
Indonesia diperkirakan 3-6 kali per tahun, hal ini berarti seorang balita
rata-rata menderita ISPA sebanyak 3 sampai 6 kali setahun. ISPA juga
merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana
2

kesehatan yaitu sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di Puskesmas


dan 15% - 30% kunjungan berobat di bagian rawat jalan dan rawat inap
rumah sakit. Hasil yang tidak jauh berbeda juga pada Riskesdas tahun
2013 dengan karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi
pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%)sedangkan pada bayi (25,0%),
menurut jenis kelamin, tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan,
penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok penduduk dengan kuintil
indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah. (Riset Kesehatan
Dasar Indonesia Tahun 2013)
Kejadian ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara tahun 2012
sebanyak 5.055 kasus (23,11%), pada tahun 2013 yaitu 9.124 kasus atau
22,64%). Berdasarkan laporan (Sistim Terpadu) STP Puskesmas tahun
2012 terdapat 2 jenis penyakit menular
terbesar di Provinsi

yang menempati 10 penyakit

Sulawesi Tenggara, yaitu ISPA dengan peringkat

pertama 137.123 kasus disusul TBC Paru diperingkat ke lima 6.516.


(Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2014)
Data cakupan program P2 ISPA Kabupaten Bombana tiga tahun
berturut turut berfluktuatif yaitu tahun 2012 dengan jumlah balita 13.927
sebanyak 3460 kasus (24,84%), menurun pada tahun 2013 dengan
jumlah balita 13.923 menjadi 1760 kasus (12,64%) dan tahun 2014
dengan jumlah balita 14.203 meningkat lagi menjadi 3.799 kasus
(26,74%), data dari 10 penyakit terbesar di seluruh puskesmas
3

seKabupaten Bombana dengan jumlah 384.196 kasus atau (48,68%).


Sedangkan cakupan Januari sampai dengan Mei tahun 2015 dari jumlah
balita 14,607 mencapai 1.182 atau (8,09%) kasus. (Profil Kesehatan
Dinkes Bidang P2M tahun 2015).
Hasil evaluasi program tingkat Puskesmas Rumbia khusus
penyakit menular ISPA dari tahun 2012 dengan jumlah balita 1.072
sebanyak 166 kasus (15,48%), meningkat tajam pada tahun 2013 dengan
jumlah balita 1.094 menjadi 589 kasus (53,83%) dan tahun 2014 turun
menjadi 441 kasus (40,31%), serta dari 10 penyakit terbesar di
Puskesmas Rumbia ISPA masih menduduki peringkat pertama.
Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo (2010), faktor-faktor
yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan
seperti asap dapur, penggunaan anti nyamuk bakar, faktor perilaku seperti
kebiasaan merokok keluarga dalam rumah dan kepadatan hunian dalam
rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, Air Susu Ibu
(ASI) Ekslusif dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan faktor
keturunan.
Asap dapur dan faktor perilaku seperti kebiasaan merokok
keluarga dalam rumah sangat berpengaruh terhadap kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Atas (ISPA) karena semakin banyak penderita
gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok

(bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak


(Depkes RI, 2012).
Hasil observasi awal di wilayah kerja Puskesmas Rumbia pada
bulan

Oktober

2015,

hampir

sebagian

penduduk

yang

menggunakan obat nyamuk bakar. Beberapa rumah penduduk

masih
tidak

permanen dan semi permanen. Rumah yang tidak permanen diantaranya


ditandai dengan seluruh bangunan menggunakan bahan yang mudah
terbakar seperti kayu dan bambu serta lantai belum berubin, dengan
kurang memperhatikan keberadaan ventilasi dalam rumah. Menurut
mereka rumah papan sudah memiliki celah yang cukup sehingga jendela
tidak perlu untuk di buat lagi. Kebiasaan merokok juga kurang
diperhatikan bagi penduduk sekitar penulis sering mendapatkan anggota
keluarga yang memiliki balita masih banyak merokok di dalam ruangan
saat balita mereka di dalam rumah sehingga resiko besar balita mereka
terpapar asap rokok. Lingkungan fisik rumah merupakan salah satu faktor
yang berhubungan dengan kejadian ISPA. Adanya uraian latar belakang
masalah tersebut di atas maka peneliti melakukan penelitian yang
berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Bombana Tahun 2015.

B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah di atas maka masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian
ispa pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten
Bombana Tahun 2015?
2. Apakah ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Ispa
pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Bombana
Tahun 2015?
3. Apakah ada hubungan antara penggunaan anti nyamuk bakar dengan
kejadian ispa pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia
Kabupaten Bombana Tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk menganalisis faktor apa saja penyebab terjadinya ISPA
pada Balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Bombana
Tahun 2015.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk
a. Mentahui hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ispa
pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Bombana
Tahun 2015?
6

b. Mentahui hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian Ispa pada


balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten Bombana Tahun
2015?
c. Mentahui hubungan antara penggunaan anti nyamuk bakar dengan
kejadian ispa pada balita di wilayah Kerja Puskesmas Rumbia Kabupaten
Bombana Tahun 2015?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah informasi dan pengetahuan kesehatan
khsus ilmu kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan kebiasaan
merokok, ventilasi rumah, dan penggunaan anti nyamuk bakar dengan
kejadian ispa pada balita.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang faktor
lingkungan dalam rumah penyebab ISPA pada Balita, sehingga
masyarakat dapat berpartisipasi dalam pencegahan ISPA pada
anak Balita.
b. Bagi Peneliti Lain
Diharapkan dapat digunakan untuk menambah pengetahuan
dalam

ilmu

kesehatan

lingkungan

terutama

tentang

factor

penyebab terjadinya penyakit ISPA pada anak balita serta sebagai


acuan penelitian lanjutan yang ingin melakukan penelitian sejenis.
c. Bagi Instansi Kesehatan
Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Puskesmas
Rumbia khususnya bidang tatalaksana P2 ISPA di bidang
pengendalian ISPA khususnya pada Balita yang hampir setiap
tahun kasusnya menempati urutan teratas.
d. Bagi Peneliti
Menjadi bahan proses belajar bagi peneliti, menambah
pengalaman serta dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mengenai Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada anak
Balita.

Anda mungkin juga menyukai