Anda di halaman 1dari 13

Fraktur

Piter Pical
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
102010235
Jalan Anggrek XVI Blok PS nomor 6 Harapan Indah Bekasi Barat
piter_pical@live.com

Pendahuluan
Fraktur

merupakan

kasus

yang

sering

terjadi

pada

masyarakat. Fraktur dapat terjadi akibat berbagai hal seperti jatuh,


kecelakaan, maupun patologis. Di Indonesia, kasus kecelakan
sangat tinggi, sehingga pasien yang mengalami fraktur juga tinggi
bahkan banyak yang hingga mengalami kematian.

Anamnesa
Hal yang perlu ditanyakan pada pasien yang datang dengan
keluhan pada ekstremitasnya adalah:
1. Riwayat penyebab, seperti jatuh, ditabrak, atau riwayat
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

penyakit
Kapan terjadi trauma
Dimana letak trauma
Arah trauma
Berat/ringan trauma
Lokasi yang dirasa nyeri
Keluhan apa saja yang dirasakan pasien
Gerakan apa saja yang dapat dan tidak dapat dilakukan

setelah trauma terjadi


9. Gejala yang muncul seperti demam, bengkak, dan lain-lain
10. Dan lain-lain

Pemeriksaan
A. Fisik

-. Inspeksi
Lihat

apakah

ada

deformitas

seperti

penonjolan

abnormal, angulasi, rotasi, dan pemendekan. Cari functio lesa


(hilangnya fungsi), bandingkan antara sinistra dan dextra
apakah ada kelainan atau tidak seperti panjang pendek kedua
ekstermitas .
-. Palpasi
Merasakan adanya nyeri tekan atau tidak, namun selain
di tempat trauma (selain pemeriksaan nyeri sumbu) karena
kalau tidak akan menambah trauma. Merasakan adanya kalor
atau tidak sebagai salah satu gejala inflamasi.
-. Pemeriksaan Gerak
Menguji kemampuan gerak ekstremitas dengan tes
gerak sendi normal. Pada ekstremitas normal, tidak akan
menemukan

kesulitan

untuk

melakukannya.

Perhatikan

adanya krepitasi atau tidak, nyeri saat digerakkan, serta


seberapa

jauh

gangguan-gangguan

fungsi

gerak

yang

ditimbulkan oleh fraktur (range of motion) serta kekuatan


ekstremitas sendiri.
-. Pemeriksaan Khusus
Menguji gerakan sendi dengan gerakan yang khusus
dapat dilakukan oleh ekstremitas yang tanpa mengalami
gangguan/masalah.1
B. Penunjang
-. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium

yang

mungkin

dapat

dilakukan pada fraktur adalah analisa cairan sendi, dan BMD


untuk mengetahui faktor resiko terjadinya fraktur.
-. Pemeriksaan radiologi

Rontgen
Foto rontgen harus memenuhi beberapa syarat :

Letak patah tulang di pertengahan foto dan sinar


harus menembus tempat ini secara tegak lurus

Dibuat 2 lembar foto dengan arah yang saling


tegak lurus

Pada tulang panjang, persendian proksimal dan


distal harus turut difoto

Bila sanksi, buat foto anggota gerak yang sehat


sebagai pembanding

Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan,


seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu
minggu karena daerah yang retak akan
mengalami hyperemia sehingga terlihat sebagai
dekalsifikasi.

CT Scan
Pemeriksaan khusun seperti CT scan kadang diperlukan
misalnya dalam hal patah tulang vertebra dengan gejala
neurologis. CT scan biasanya penting untuk memahami
posisi semua fragmen fraktur pada fraktur intraartikular
kompleks.

MRI
Digunakan untuk mengevaluasi jaringan lunak, fraktur
akut, fraktur trauma, cedera medulla spinalis, dan
patologi intraartikular. MRI sekarang umum digunakan
untuk diagnosis fraktur akut yang tidak terbaca di film
polos, dan dikatakan bahwa MRI hamper seakurat bone
scan pada diagnosis ini. 2,3

Diagnosis
3

- Differential Diagnosis
1. Fraktur collum femoris

Gambar

1.

Fraktur

femoris

(diunduh

dari

http://patienthaandbogen.dk)

Pasien umumnya datang dengan keluhan tidak


bias jalan setelah jatuh dan nyeri. Umumnya penderita
tidur dengan tungkai bawah dalam keadaan sedikit
fleksi dan eksorotasi serta memendek. Namun pada
fraktur collum femur impaksi biasanya penderita dapat
berjalan selama beberapa hari setelah jatuh sebelum
timbul keluhan. Fraktur ini sering terjadi pada usia di
atas 60 tahun dan lebih sering pada wanita karena
kerapuhan
osteoporosis

tulang

akibat

kombinasi

pascamenopause.

Pada

penuaan
orang

disebabkan karena trauma sedang sampai berat. 4

dan
muda

2. Fraktur trochanter femoris


Penderita biasanya datang dengan keluhan tidak
dapat berjalan setelah jatuh disertai nyeri hebat. Ada
dua jenis fraktur trochanter, yaitu minor dan mayor.
Fraktur trochanter minor mungkin dapat terjadi karena
gaya avulsi dari m.iliopsoas, dan merupakan bagian dari
fraktur

interochanter.

Sedangkan fraktur trochanter

mayor mungkin dapat disebabkan karena trauma kuat


yang terjadi akibat aktivitas m.gluteus medius dan
minimus.

Juga

merupakan

bagian

dari

fraktur

interochanter. Fraktur intertrochanter biasanya terjadi


bukan akibat dari trauma namun akibat kurang jalan
kaki, refleks buruk. 4
3. Fraktur femur distal
Terdapat

riwayat

trauma

energy

tinggi

dan

pembengkakan serta deformitas di atas lutut, di mana


rontgen diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
mengevaluasi cedera permukaan sendi. Relatif tak
umum dan lebih sering pada pasien yang sudah tua
(50% lebih dari 65 tahun). Fraktur femur distal sekarang
harus dianggap sebagai fraktur osteopenik. 50% pada
orang tua disebabkan karena jatuh, sedangkan pada
anak

muda

sering

karena

kecelakaan

kendaraan

bermotor dan olahraga. 4


4. Fraktur batang femur
Fraktur collum femur paling banyak ditemukan
bersamaan dengan fraktur batang femur. Rata-rata
pasien yang mengalami fraktur batang femur adalah 62
tahun

dan

kebanyakan

disebabkan

oleh

sedangkan

pada

karena
anak

wanita,

pada

jatuh

dari

ketinggian,

karena

kecelakaan

muda

orang

tua

kendaraan

bermotor.

Biasanya

diakibatkan

trauma

berenergi tinggi dan sering dikaitkan dengan cedera


signifikan lainnya, dan biasanya pada pasien yang
multitrauma.
Gejala yang paling signifikan adalah nyeri berat
pada daerah paha dan adanya deformitas ekstremitas
bawah. Secara klinis penderita tidak dapat bangun
bukan

hanya

karena

nyeri

namun

juga

karena

ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah


terotasi keluar, terlihat lebih pendek, dan bengkak pada
bagian proksimal sebagai akibat perdarahan jaringan
lunak. 4

Biomekanik Trauma
Biomekanika trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian
cedera pada suatu jenis kecelakaan tertentu.
Ada 3 cara yang sering terjadi pada kecelakaan motor, yaitu :
a. Benturan dari depan.
Pengemudi akan terbentur ke depan. Kedua tungkai akan
mengenai setang kemudi yang dapat menyebabkan patah
tulang paha atau tulang tungkai bawah. Setelah itu
pengemudi akan terlempar ke tanah dengan cedera yang
beragam.
b. Benturan dari samping.
Cedera yang pertama terjadi ialah kaki, setelah itu pengemudi
akan terpental dan menyebabkan cedera yang beragam.
c. Sliding down the bike/ bergeser.
Pada saat benturan akan terjadi, pengemudi dengan sengaja
atau tidak sengaja menekan motornya ke bawah, sehingga
motornya akan melesat dan pengemudinya di bagian
belakang. Cedera yang terjadi dapat riangan namun pada
jaringan lunak dapat terjadi cedera yang lebih parah. 5

Penatalaksanaan
Prinsip pengelolaan patah tulang mengikuti prinsip primum
non nocere, di mana termasuk menghindari cedera tambahan
akibat salah dan/atau tindakan yang berlebihan, pengobatan
berdasar diagnosis dan prognisisnya, serta memilih pengobatan
dengan memperhatikan setiap pasien secara individu. Golden period
dari fraktur adalah 1-6 Jam. Jika lewat dari 6 jam, maka komplikasi
dari infeksi akan segera menyebar dan dapat menyebabkan odem
di jaringan lunak. Ketika odem terjadi, kita tidak dapat melakukan
tindakan untuk menangani fraktur. Yang dapat dilakukan adalah
penanganan pada jaringan lunak yang mengalami odem. 3
a. Medica Mentosa
Nyeri yang seringkali timbul akibat fraktur dapat diberikan
parasetamol 500mg hingga dosis maksimum 3000mg per hari, bila
respon tidak kuat dapat ditambahkan kodein 10mg. Langkah
selanjutnya adalah dengan menggunakan NSAID seperti ibuprofen
400mg 3 kali sehari. Pada keadaan sangat nyeri (terutama bila
terdapat osteoporosis) berikan kalsitonin 50-100IU subkutan malam
hari.

Golongan

narkotik

menyebabkan delirium.
Tatalaksana

hendaknya

dihindari

karena

dapat

terhadap

infeksi

dapat

menggunakan

antimikroba, dimana antimikroba harus dapat menembus tulang,


nontoksik, mudah didapat, dan murah. Anti mikroba harus dipilih
berdasarkan
(dibuktikan

kemungkinan
secara

in

vitro)

bakteri
atau

yang
sesuai

menyebabkannya
kebutuhan

pasien.

Direkomendasikan pemberian IV selama setidaknya 2 minggu


pertama.
Saat ini sudah ada indikasi meningkatnya vancomycinresistant Enterococcus terutama di ICU dan sekarang juga ada
vancomycin-resistant Staphylococci. Vankomisin harus digunakan
7

hanya jika ada tingkat tinggi infeksi yang disebabkan methicillinresistant

S.aureus

atau

S.epodermidis,

untuk

profilaksis

perioperative, berikan 1 dosis vankomisin tepat sebelum operasi


dan 2-3 dosis vankomisin post-operatif. Vankomisin hanya boleh
digunakan

apabila

terdapat

hipersensitivitas

tipe

terhadap

sefalosporin. Alternatif bagi cefazolin adalah klindamisin.


Untuk mencegah komplikasi berupa thromboemboli, pasien
perlu mendapat antikoagulan selama masa perioperative, misalnya
warfarin dengan international normalized ration (INR) 2-3, heparin
dengan partial thromboplastin time (aPTT) 1,5-2,5 kontrol, dan low
molecular

weight

heparin

(LMWH)

dapat

diberikan

tanpa

pengontrolan aPTT. Sebelum operasi, penggunaan antikoagulan


perlu dihentikan dulu dan diberikan lagi setelah operasi hingga 2-4
minggu atau bila pasien sudah bias mobilisasi. Pada pasien dengan
kontraindikasi antikoagulan, dapat diberikan aspirin 75-325mg/hari. 3
b. Non Medica Mentosa
Prinsip pengobatan patah tulang yaitu untuk mengembalikan
patahan tulang ke posisi semula (reposisi), dan mempertahankan
posisi tsb selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).
Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan seperti
semua karena tulang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan
bentuknya kembali seperti bentuk semula (remodeling/swapugar),
di mana reposisi ini ditentukan oleh dislokasi fragmen yang berupa
rotasi, atau perpendekan. Secara umum, angulasi dalam bidang
gerak sendi sampai kurang lebih 20-30o akan dapat mengalami
swapugar, sedangakan angulasi yang tidak dalam bidang gerak
sendi tidak akan mengalaminya, dan rotasi antara 2 fragmen (tidak
diketahui dari foto rontgen tapi dari pemeriksaan klinis, yaitu
dengan dibandingkan dengan anggota tubuh yang sehat) tidak akan
mengalami swapugar. 3

Penyembuhan fraktur meliputi beberapa fase (gambar 4):


1. Hematoma segera setelah cedera
Trauma

yang

menyebabkan

fraktur

tulang

juga

menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, matriks


tulang, dan jaringan lunak sekitar, termasuk periosteum dan
otot. Hematoma terkumpul di dalam kanalis medularis tulang,
diantara patahan tulang, dan dibawah periosteum yang
terobek.

Osteosit

kehilangan

suplai

darah,

sehingga

menyebabkan di antara fraktur tidak terdapat lagi sel yang


hidup. Periosteum dan sumsum serta jaringan lunak skeitar
yang sangat rusak dapat menyebabkan nekrosis di tempat
fraktur. Jumlah hematoma serta kerusakan jaringan yang
semakin berat (misalnya karena fraktur terbuka, teknik
reposisi terbuka) dapat menyebabkan proses penyembuhan
tulang menjadi lebih lambat.
2. Inflamasi
Platelet dan sel-sel yang rusak melepaskan mediator
inflamasi yang menyebabkan pembuluh darah bervasodilatasi
dan mengeksudasi plasma sehingga memicu edema di daerah
fraktur. Sel-sel inflamasi (PMN,makrofag,limfosit) bermigrasi
ke daerah fraktur, dimana sel-sel tersebut juga melepaskan
sitokin

untuk

memicu

angiogenesis.

Setelah

inflamasi

berhenti, jaringan nekrosis dan eksudat diabsorbsi, dan


fibroblast dan kondrosit muncul dan membentuk matriks baru,
yaitu kalus.
3. Penyatuan tulang (pemebentukan kalus)
Sel

mesdenkim

pluripotent

dari

jaringan

fibrous,

kartilago, dan lokasi fraktur tulang akan membentuk tulang


muda, dimulai dari lapisan cambium dari periosteum. Sel
mesenkim akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
kalus yang terdiri dari jaringan fibrous, kartilago, dan woven
bone. Proses pembentukan tulang muda juga dibantu oleh
osetoblas yang berasal dari endosteum. Proses pembentukan

kalus berlanjut sampai tulang baru menghubngkan lokasi


fraktur dan menyebabkan kontinuitas korteks. Komposisi
biokimiawi

kalus

akan

berubah

seiring

dengan

proses

penyembuhan.
4. Konsolidasi
Woven bone akan berubah menjadi lamellar bone, yang
menyebabkan kalus akan menjadi semakin kaku karena
formasi kalus eksternal dan internal, dibantu osteoblast dan
osteoklas. Lokasi fraktur akan menjadi stabil dan bebas nyeri.
5. Remodeling/swapugar
Kalus

tulang

akan

mengalami

mengambil bentuk tulang yang untuh.

remodeling

untuk

Gambar1. Proses penyembuhan tulang (diunduh dari bonestimulation.com)

Terdapat dua terapi yang dapat dilakukan untuk membantu, yaitu


konservatif dan operatif.
- Terapi konservatif terdiri dari proteksi, imobilisasi, reposisi, traksi
Tujuan utama dari terapi konservatif adalah untuk
mengurangi

rasa

sakit

dari

gerakan

tulang

yang

fraktur,

membantu union tetap dalam posisi yang sesuai, memungkinkan


pergerakan dini, serta mengembalikan fungsi normal. Selain itu
juga

untuk

melindungi

fraktur

dari

intervensi

yang

memungkinkan terganggunya pemulihan tulang seperti trauma


kembali, infeksi lanjutan dari udara luar.

10

Umumnya yang digunakan pada fraktur adalah bidai


(splint). Namun pada kondisi gawat dan mendesak (seperti di
jalanan) dapat digunakan badan atau ekstremitas kontralateral
-

(untuk fraktur pada ekstremitas bawah) sebagai pengganti bidai.


Terapi operatif terdiri dari reposisi terbuka fiksasi interna, reposisi
tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna.
Yang dimaksud dengan reposisi terbuka adalah dengan
melakukan tindakan bedah, membuka jaringan lunak pada
tempat fraktur kemudian membetulkan tulang yang fraktur.
Kemudian reposisi tertutup adalah dengan melakukan tindakan
bedah tanpa membuka jaringan lunak. Caranya dengan dibantu
monitor. Sedangkan fiksasi interna adalah dengan menggunakan
bantuan plate and screw untuk tulang-tulang atau fragmen yang
kecil dan pendek. Sedangkan untuk tulang-tulang panjang dan
besar dapat digunakan nail serta Kirschner wire.3,7

Komplikasi
Komplikasi awal pembedahan berupa syok pembedahan dan
anemia sekunder. Komplikasi akhir pembedahan berupa waktu nonmobilisasi yang lebih panjang, kaku sendi, panjang kaki yang tak
sama, infeksi.
Komplikasi dari metode perawatan terbuka adalah luka bekas
balutan, dan DVT. Sedangkan dari metode perawatan operatif
adalah komplikasi teknis saat operasi, yang menyebabkan posisi
yang tidak baik, atau pemendekan akibat pen yang terlalu pendek
atau terlalu sempit. Dapat juga terjadi infeksi dan nyeri pada bursa
yang terletak di ujung nail.
Komplikasi fraktur batang femur meliputi:
-. Malunion dengan rotasi >20o yang memerlukan revisi
-. Nonunion
-. Infeksi
-. Emboli lemak (hipoksia, perubahan status mental,
ptekiae). Tidak

11

umum ditemukan namun dapat menyebabkan


morbiditas dan
mortalitas.
-. Compartment syndrome
-. Nyeri panggul dan nyeri lutut akibat pemasangan pen.
8

Prognosis
Prognosis sangat dipengaruhi oleh cedera jaringan akibat
fraktur. Prognosis baik bila fraktur batang femur terisolasi ditangani
dengan pen intrameduler dengan resiko malunion <10%. Fraktur
batang femur yang terbuka dan fraktur batang femur di mana
terdapat kehilangan segmen akan meningkatkan resiko infeksi
sebesar 10%.

Kesimpulan
Berdasarkan kasus tersebut diketahui bahwa laki-laki tersebut
mengalami

fraktur

batang

femur.

Namun

untuk

menentukan

diagnosis lebih lanjut dibutuhkan pemeriksaan radiologi, yaitu foto


rontgen.

Daftar Pustaka
1. Skinner HB. Current diagnosis and treatment; orthopedics. 4 th
Ed,

12

International Ed. USA : McGraw-Hill. 2006. Pg 104-9.


2. Elizabeth J ,Corwin. Buku saku patofisiologi. Edisi revisi ke-3.
Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.h414-28.
3. Gunawan, Sulitia G. Farmakologi dan terapi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia;2008.h57-89.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S.
Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 4, Jilid I. Jakarta : Interna Publishing.
2009. Hal. 904-6
5. Editor. Trauma Biomekanik. Edisi 25 april 2010. Diunduh dari
http://www.medicinesia.com/harian/trauma-biomekanik/
,tanggal 17-3-2012
6. Sherwood, Laurale. Fisiologi manusia. Edisi 2. Jakarta :
Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2001.h157-72.
7. Bell S, Elbow and Brukner P, Khan K. Clinical sports medicine.
3rd Ed.
Australia : McGraw-Hill. 2005. Pg 303-6.
8. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita
Selekta
Kedokteran. Edisi 3, Jilid 2. Jakarta : Media Aeskulapius. 2000.
Hal. 346-52.

13

Anda mungkin juga menyukai