Chapter II PDF
Chapter II PDF
LANDASAN TEORI
Definisi 2.1
Definisi 2.2
Contoh :
1)
2) x
u
x2
z
x
u
y2
y
u
,
t
z
y
0.
Definisi 2.3
Contoh :
1)
dy
dx
ex
2) (1
sin( x)
y)dx (1 x)dy
Definisi 2.4
Contoh :
1) y ' 3xy 2
2)
d3y
dx3
d2y
dx 2
: PD tingkat 1
sin 2 x
: PD tingkat 3
Definisi 2.5
Derajat (degree) dari suatu persamaan diferensial adalah pangkat dari suku
derivatif tertinggi yang muncul dalam persamaan diferensial. (Nugroho, D.B, 2011: 2)
Contoh :
1) 1
d3y
dx3
2) x( y '')3
dy
2
dx
( y ')4
: PD derajat 2
: PD derajat 3
Istilah persamaan diferensial pertama kali digunakan oleh Leibniz pada tahun
1676 untuk menunjukkan sebuah hubungan antara diferensial dx dan dy dari dua
variabel x dan y.
Suatu persamaan diferensial biasa ordo satu adalah suatu persamaan yang
memuat satu variabel bebas, biasanya dinamakan x, satu variabel tak bebas, biasanya
dy
dinamakan y, dan derivatif dx . Suatu persamaan diferensial biasa ordo satu tersebut
dy
dx
f ( x, y )
(2.1)
M ( x, y)dx
N ( x, y)dy
(2.2)
PDB dengan ordo n, merupakan persamaan dengan satu variabel yang dapat
dituliskan dalam bentuk :
dy d 2 y
dny
F ( x, y, , 2 ,..., n ) 0
dx dx
dx
dengan
(2.3)
y f ( x)
Jika diambil y(x) sebagai suatu fungsi satu varibel, dengan x dinamakan varibel
bebas dan y dinamakan variabel tak bebas, maka secara umum sebuah persamaan
diferensial biasa linier dan non-linier dapat dituliskan sebagai :
dny
dy
d n 1 y
f x, y, ,..., n1 (Rao, 2001)
dx n
dx
dx
(2.4)
Suatu persamaan diferensial dikatakan linier jika tidak ada perkalian antara
varibel-variabel tak bebas dan turunan-turunannya. Dengan kata lain, semua koefisiennya
adalah fungsi dari variabel-variabel bebas. (Nugroho, D.B, 2011: 3)
tertinggi dari turunan yang terkandung dalam persamaan diferensial. Pada setiap
persaman diferensial yang sudah diklasifikasikan berdasarkan ordo, persaman
diferensial tersebut juga dapat diklasifikasikan menjadi persamaan diferensial linier
homogen dan persamaan diferensial linier tak homogen.
Suatu persamaan diferensial tingkat satu dikatakan linier dalam y jika persamaan tidak
dapat memuat hasil kali, pangkat atau kombinasi non-linier lainnya dari y atau y.
Dipunyai bentuk yang paling umum yaitu
F ( x)
dy
G ( x) y H ( x)
dx
Atau muncul dalam bentuk yang lebih biasa dengan membagikan setiap fungsi dengan
F(x) sehingga diperoleh
dy
P ( x) y Q( x)
dx
dimana P( x)
G ( x)
dan Q( x)
F ( x)
sembarang. Jika P( x)
(2.5)
H ( x)
adalah adalah fungsi kontinu atau konstanta
F ( x)
1. Untuk P( x)
dy
Q( x)
dx
(2.6)
Q( x) dx
2. Untuk Q( x)
(2.7)
dy
P( x) y 0
dx
(2.8)
3. Untuk P( x) dan Q( x) adalah fungsi kontinu maka solusi persamaan (2.5) adalah
sebagai berikut :
Misalkan y adalah perkalian dua parameter U(x) dan V(x) sehingga diperoleh
dy
dx
(2.9)
U ( x) V ( x)
U ( x)
dV ( x)
dx
V ( x)
dU ( x)
dx
(2.10)
U ( x)
dV ( x)
dx
V ( x)
dU ( x)
dx
U ( x)
dV ( x)
dx
P( x) V ( x)
P( x) U ( x) V ( x)
V ( x)
dU ( x)
dx
Q( x )
(2.11)
Q( x )
1.
dV ( x)
dx
0 , sehingga
P( x) V ( x)
dV ( x)
dx
P( x) V ( x)
dV ( x)
V ( x)
P( x)dx
(2.12)
dV ( x)
V ( x)
P( x)dx
ln V ( x)
V ( x)
2. V ( x)
P( x)dx
P ( x ) dx
dU ( x)
dx
dU ( x)
dx
(2.13)
Q( x) , sehingga
Q( x)
V ( x)
(2.14)
dU ( x)
dx
Q( x)
e
P ( x ) dx
dU ( x)
dx
Q ( x )e
dU ( x)
Q( x)e
P ( x ) dx
P ( x ) dx
(2.15)
dx
dU ( x)
U ( x)
Q( x)e
Q( x)e
P ( x ) dx
P ( x ) dx
dx
dx + c
(2.16)
y
y
Q( x)e
eln x
P ( x ) dx
Q( x)e
dx
P ( x ) dx
c e
dx
P ( x ) dx
c e
P ( x ) dx
(2.17)
2.2.2
dy
x
y tan( x)
sec( x)
Definisi 2.7
Persamaan diferensial biasa tingakat dua dikatakan linier jika persamaan diferensial
berbentuk
d2y
dx 2
P( x)
dy
dx
Q( x) y
H ( x)
(2.18)
dengan P( x) , Q( x) dan H ( x) adalah fungsi dari peubah bebas x. (Munzir, said dan
Marwan, 2009).
Secara khusus, persamaan diferensial linier tingkat dua homogen mempunyai bentuk
d2y
dx 2
P( x)
dy
dx
Q( x ) y
(2.19)
y ( x)
c1 y1 ( x)
c2 y2 ( x)
d2y
dx 2
dy
dx
qy
(2.20)
cx
emx
emx diperoleh
Didiferensialkan penyelesaian y
emx
(2.21a)
y'
memx
(2.21b)
y ''
m2emx
(2.21c)
m2emx
m2
m2
m1,2
m1
pmemx
pm
pm
qemx
q emx
p2
2
p2
2
4q
4q
m2
p2
2
4q
c1em1x
c2em2 x
c2 x emx
c1
maka penyelesaian
homogennya adalah :
y
c1e(
i) x
c1e x e
ix
c1e
cos x
c1e
(c1
c2e(
i) x
c2e x e
ix
i sin x
c2 ) cos x
A cos x
c2e
(c1
cos x i sin x
c2 )i sin x
Bi sin x
d2y
dx 2
P( x)
dy
dx
Q( x ) y
an xn y ( n)
an 1 x n 1 y ( n
1)
...
a1 xy ' a0 y
(2.22)
0 . Karena
koefisien pertama an x n tidak akan pernah nol, selang definisi persamaan diferensial
(2.22) ialah salah satu dari dua selang terbuka (0,
persamaan diferensial itu akan diselesaikan untuk x
) atau (
0 atau x
0 . Persamaan
diferensial Euler mungkin merupakan tipe termudah dari persamaan diferensial linier
dengan koefisien peubah. Alasan untuk ini ialah bahwa perubahan peubah bebas
et
e
jika
jika
Jika n
a2 x 2 y '' a1 xy ' x0 y
(2.23)
d2y
dx 2
dy
dx
qy
H ( x)
(2.24)
dimana :
2. Linier dalam y
3. Turunan tingkat dua
2. H ( x)
Pn ( x)e x , dimana
3. H ( x)
Pn ( x) cos x
adalah kostanta.
M cos x
dan
adalah konstanta.
adalah konstanta.
Definisi 2.6
a0 ( x)
dny
dx n
a1 ( x)
d n 1y
dx n 1
a2 ( x)
dn 2y
dx n 2
... an 1 ( x) dy
dx
an ( x) y
b( x )
(2.25)
0 . (Ross, 1984: 5)
Suatu persamaan diferensial biasa dengan syarat tambahan pada fungsi yang tidak
diketahui dan derivatif-derivatifnya, semua diberikan nilai yang sama untuk variabel
bebas, merupakan suatu masalah nilai awal (initial value problem). Syarat tambahan
tersebut dinamakan syarat awal (initial condition). Jika syarat tambahan diberikan
pada lebih dari satu varibel bebas, dinamakan masalah nilai batas (boundary value
problem) dan syaratnya dinamakan syarat batas.
y( x ) y
0,
0
x x0 , xn ,
(2.26)
dengan kondisi awal y( x0 ) y0 yang dipanggil sebuah masalah nilai awal (initial
value problem).(Verner, 2010).
Dalam suatu perhitungan matematik, kita selalu berusaha untuk memperoleh jawaban
yang eksak, misalnya untuk menghitung suatu variabel tertentu dari suatu persamaan
matematik. Akan tetapi, jawaban yang demikian jarang kita peroleh, maka sebagai
solusinya digunakan metode numerik. Dalam metode numerik pada tiap langkah
penyelesaiannya dari formulasi hingga komputasinya hanya akan menghasilkan solusi
pendekatan (bukan solusi eksak). Oleh karena itu penyelesaian secara numerik
memberikan hasil pendekatan yang berbeda dengan penyelesaian secara analitis.
Adanya perbedaan inilah yang sering disebut sebagai error. Dalam metode numerik
error sering juga disebut dengan istilah error.
Hubungan antara nilai eksak, nilai pendekatan dan error dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Error absolut suatu bilangan adalah selisih antara nilai sebenarnya dengan
nilai pendekatan. Secara matematis, jika y adalah solusi hampiran dan ya adalah
solusi eksak, error dinyatakan oleh
ya
error dapat bernilai positif atau negatif. Jika tanda error tidak dipertimbangkan, error
absolut didefinisikan sebagai
| |
dengan :
ya
(2.27)
ya = nilai sebenarnya
y = nilai perkiraan
ya
(2.28)
Akan tetapi, dalam metode numerik, kita tidak mengetahui nilai sejatinya
sehingga sulit untuk mendapatkan error relatif ini. Untuk mengatasi hal tersebut,
error dibandingkan dengan nilai hampirannya (disebut error relatif hampiran), yaitu
dengan :
100%
= kesalahan relatif
= kesalahan absolut
y = nilai perkiraan
(yn 1 - y n )
yn 1
100%
dengan :
yn
yn
2.4.1
Pembagian Kesalahan
error pemotongan
aritmatika
yang
biasanya
digunakan
dalam
metode
yang
numerik,
karena
bergantung
pada
komputer
yang
algoritma
kebanyakan pemodelan matematika suatu sistem fisik, biasanya ada suatu faktor
yang tidak kelihatan pengaruhnya terikut dalam proses. Hal ini akan menyebabkan
kesalahan pada outputnya.
Metode deret Taylor adalah metode yang umum untuk menurunkan rumus-rumus
solusi PDB. Metode ini pada dasarnya adalah merepresentasikan solusinya dengan
beberapa suku deret Taylor. Metode deret taylor juga berkaitan dengan masalah nilai
awal yaitu :
dy
f ( x, y ) ,
dx
Disini,
kita
asumsikan
y( x0 ) y0
(2.29)
bahwa f ( x, y) adalah
fungsi
yang
dapat
( x x0 )2
( x x0 )3
y ''( x0 )
y '''( x0 )
2!
3!
( x x0 )4 IV
y ( x0 ) ...
4!
y( x) y ( x0 ) hy '( x0 )
h2
h3
y ''( x0 ) y '''( x0 )
2!
3!
h4 IV
y ( x0 ) ...
4!
(2.30)
(Gerald, 2004)
(2.31)
yang dalam hal ini k adalah ordo dan P adalah operator turunan yaitu,
P f
y
x
(2.32)
(Munir, 2010)
y ''( x)
(2.33a)
f f dy
f x ff y
x y dx
(2.33b)
y '''( x) f xx ff xy f ( ff xy ff yy ) f y ( f x ff y )
f xx 2 ff xy f 2 f yy f y ( f x ff y )
(2.33c)
3( f x ff y )( f xy ff yy ) f y 2 ( f x ff y )
(2.33d)
dan seterusnya. Melanjutkan cara ini, kita dapat menyatakan turunan apa saja dari y
yang berkenaan f ( x, y) dan turunan parsialnya.
Secara perhitungan komputer, metode yang paling efisien yang berkenaan dengan
keakuratan dari solusi persamaan diferensial biasa dikembangkan oleh dua orang ahli
matematika Jerman sekitar tahun 1900. Mereka adalah Carl David Tolm Runge dan
Martin Wilhelm Kutta. Metode tesebut dikenal sebagai Metode Runge-Kutta (RK).
Metode ini juga dibedakan dengan ordo-ordonya. Metode Runge-Kutta memperoleh
akurasi dari pendekatan deret Taylor tanpa memerlukan perhitungan derivatif yang
lebih tinggi. Penyelesaian PDB dengan metode deret Taylor tidak praktis karena
metode tersebut membutuhkan perhitungan turunan f ( x, y) . Lagi pula, tidak semua
fungsi mudah dihitung turunannya, terutama bagi fungsi yang bentuknya rumit.
Semakin tinggi ordo metode deret Taylor, semakin tinggi turunan fungsi yang harus
dihitung. Karena pertimbangan ini, metode deret Taylor yang berordo tinggi pun tidak
dapat diterima dalam masalah praktek.
Metode RK adalah alternatif lain dari metode deret Taylor yang tidak
membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapatkan tingkat
ketelitian yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan mencari turunan
yang lebih tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi f ( x, y) pada titik terpilih dalam
setiap selang langkah. Metode RK adalah metode PDB yang paling popular karena
banyak dipakai dalam masalah dunia nyata.
y( xi )
, dimana i
y( xi ) dengan
yi
yi
h ( xi , yi ; h),
(2.34)
dimana
n
( xi , yi ; h)
a jk j ,
j 1
Sehingga diperoleh
n
yi
yi
ajk j
(2.35)
j 1
j 1
kj
f xi
h p j , yi
q jl kl ,
(2.36)
l 1
p1
q
aT
0
p2
pn
q21
qn 2
a1
qn 2
a2
qn ,n 1
an 1 an
dimana p
p1 , p2 ,..., pn , a
a1 , a2 ,..., an
dan q
q jl .
Dengan mengambil n =2 pada persamaan (2.35) maka metode Runge Kutta ordo-2
dapat dituliskan dalam bentuk umum sebagai berikut :
yi
yi
(a1k1
a2 k2 ) h
(2.37)
dengan
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
(2.38a)
p2 h, yi
(2.38b)
q21 k1 h)
Supaya dapat menggunakan persamaan (2.37), kita harus menentukan hargaharga parameter a1 , a2 , p2 dan q21 . Untuk melakukan ini, kita ingat bahwa Deret
Taylor ordo kedua untuk yi
berikut :
yi
yi
f ( xi , yi ) h
f '( xi , yi )
h2
2
(2.39)
f
x
f '( xi , yi )
f dy
y dx
(2.40)
yi
yi
f dy h 2
y dx 2
f
x
f ( xi , yi ) h
(2.41)
g(x
r, y
s)
g ( x, y)
g
x
g
y
...
(2.42)
f ( xi
p2 h, yi
q21 k1 h)
f ( xi , yi )
p2 h
f
x
q21 k1 h
f
y
0(h 2 )
(2.43)
Hasil ini dapat disubtitusikan bersama-sama dengan persamaan (2.38a) dan (2.38b)
untuk memberikan :
yi
yi
a1hf ( xi , yi )
a2 hf ( xi , yi )
a2 p2 h 2
f
x
a2q21h 2 f ( xi , yi )
f
y
0(h3 ) (2.44)
yi
yi
[a1 f ( xi , yi )
a2 f ( xi , yi )]h
a2 p2
f
x
a2q21 f ( xi , yi )
f 2
h
y
0(h 3 )
(2.45)
a1
a2
a2 p2
1
2
a2 q21
1
2
Karena ada empat parameter dalam tiga persamaan, maka harus diasumsikan
satu nilai parameter untuk menentukan tiga parameter lainnya. Misalnya ditentukan
suatu nilai parameter a1 , maka diperoleh :
a2
1 a1
p2
q21
Syarat a2
(2.46a)
1
2 a2
(2.46b)
0.
Karena dapat dipilih tak hingga nilai untuk a1 , maka ada banyak solusi untuk
metode Runge-Kutta ordo-2. Tiap versi memberikan hasil yang sama dengan
eksaknya jika solusi dari persamaan diferensial adalah kuadratik, linier, atau konstan.
Tiga versi yang sering digunakan dari metode Runge-Kutta ordo-2 adalah :
Jika a1 diambil sama dengan , maka dari persamaan (2.46) diperoleh pula
a2
1 ,p
2 2
q21
diperoleh :
yi
yi
1
( k1
2
1
k2 ) h
2
dengan
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
h, yi
h k1 )
Perhatikan bahwa k1 adalah slope pada awal interval, dan k 2 adalah slope pada akhir
interval.
Jika a1 diambil sama dengan 0, maka dari persamaan (2.46) diperoleh pula a2
dan
p2
1,
q21
diperoleh:
yi
yi
k2 h
dengan
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
1
h, yi
2
1
h k1 )
2
c. Metode Ralston
Ralston (1962) dan Ralston & Rabinowitz (1978) menyatakan bahwa pemilihan
a1
akan memberikan batas minimum truncation error untuk Runge Kutta ordo
dua. Jika a1
yi
1 , maka a
2
3
yi
4
k1
3
dan p2
q21
3
sehingga diperoleh :
4
2
k2 h
3
dengan :
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
3
h, yi
4
3
h k1 )
4
Seperti halnya versi orde dua, maka versi Runge-Kutta ordo-3 pun ada banyak
macamnya. Salah satu versi Runge Kutta ordo-3 yang dapat dipakai adalah :
yi
yi
1
k1
6
4k2
k3 h
dengan:
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
1
h, yi
2
k3
f ( xi
h, yi
1
h k1 )
2
h k1
2h k2 )
Metode Runge Kutta ordo-4 ini juga terdapat dalam banyak versi, namun persamaan
berikut ini yang sering dipakai, dan disebut sebagai metode Runge-Kutta ordo-4 klasik
:
yi
yi
1
k1
6
2k2
2k3
k4
dengan :
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
1
h, yi
2
1
h k1 )
2
k3
f ( xi
1
h, yi
2
1
h k2 )
2
k4
f ( xi
h, yi
h k3 )
Metode Runge Kutta ordo-5 diturunkan oleh Butcher (1964) sebagai berikut :
yi
yi
1
7k1
90
32k3
12k4
32k5
7 k6 h
dengan :
k1
f ( xi , yi )
k2
f ( xi
1
h, yi
4
1
h k1 )
4
k3
f ( xi
1
h, yi
4
1
h k1
8
1
h k2 )
8
k4
f ( xi
1
h, yi
2
1
h k2
2
h k3 ) k5
k5
f ( xi
h, yi
3
h k1
7
2
h k2
7
f ( xi
12
h k3
7
3
h, yi
4
12
h k4
7
3
h k1
16
9
h k4 )
16
8
h k5 )
7