Anda di halaman 1dari 27

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Persamaan Diferensial

Definisi 2.1

Persamaan diferensial adalah suatu persamaan diantara derivatif-derivatif yang


dispesifikasikan pada suatu fungsi yang tidak diketahui, nilainya, dan diketahui
jumlah serta fungsinya (Birkhoff, 1978).

Berdasarkan jumlah variabel bebasnya persamaan diferensial dibagi dalam dua


kelas yaitu persamaan diferensial biasa (PDB) dan persamaan diferensial parsial
(PDP).

Definisi 2.2

Persamaan diferensial parsial (PDP) adalah persamaan diferensial yang


menyangkut turunan parsial dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau
lebih variabel bebas. (Ross, 1984: 4)

Contoh :

1)
2) x

u
x2
z
x

u
y2
y

u
,
t
z
y

0.

Universitas Sumatera Utara

Definisi 2.3

Persamaan diferensial biasa (PDB) adalah persamaan diferensial yang


menyangkut turunan biasa dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu
variabel bebas. (Ross, 1984: 4)

Contoh :
1)

dy
dx

ex

2) (1

sin( x)

y)dx (1 x)dy

Definisi 2.4

Tingkat (order) dari persamaan diferensial didefinisikan sebagai tingkat dari


derivatif tertinggi yang muncul dalam persamaan diferensial. (Nugroho, D.B, 2011: 2)

Contoh :
1) y ' 3xy 2
2)

d3y
dx3

d2y
dx 2

: PD tingkat 1

sin 2 x

: PD tingkat 3

Definisi 2.5

Derajat (degree) dari suatu persamaan diferensial adalah pangkat dari suku
derivatif tertinggi yang muncul dalam persamaan diferensial. (Nugroho, D.B, 2011: 2)

Contoh :
1) 1

d3y
dx3

2) x( y '')3

dy
2
dx

( y ')4

: PD derajat 2
: PD derajat 3

Universitas Sumatera Utara

Istilah persamaan diferensial pertama kali digunakan oleh Leibniz pada tahun
1676 untuk menunjukkan sebuah hubungan antara diferensial dx dan dy dari dua
variabel x dan y.

Suatu persamaan diferensial biasa ordo satu adalah suatu persamaan yang
memuat satu variabel bebas, biasanya dinamakan x, satu variabel tak bebas, biasanya
dy
dinamakan y, dan derivatif dx . Suatu persamaan diferensial biasa ordo satu tersebut

dapat dinyatakan dalam bentuk

dy
dx

f ( x, y )

(2.1)

Dengan f ( x, y)adalah kontinu di x dan y. seringkali persamaan (2.1) dituliskan dalam


bentuk diferensial baku

M ( x, y)dx

N ( x, y)dy

(2.2)

PDB dengan ordo n, merupakan persamaan dengan satu variabel yang dapat
dituliskan dalam bentuk :

dy d 2 y
dny
F ( x, y, , 2 ,..., n ) 0
dx dx
dx

dengan

(2.3)

y f ( x)

Jika diambil y(x) sebagai suatu fungsi satu varibel, dengan x dinamakan varibel
bebas dan y dinamakan variabel tak bebas, maka secara umum sebuah persamaan
diferensial biasa linier dan non-linier dapat dituliskan sebagai :

dny
dy
d n 1 y
f x, y, ,..., n1 (Rao, 2001)
dx n
dx
dx

(2.4)

Universitas Sumatera Utara

2.2 Persamaan Diferensial Biasa Linier


Definisi 2.6

Suatu persamaan diferensial dikatakan linier jika tidak ada perkalian antara
varibel-variabel tak bebas dan turunan-turunannya. Dengan kata lain, semua koefisiennya
adalah fungsi dari variabel-variabel bebas. (Nugroho, D.B, 2011: 3)

Persamaan diferensial linier dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat (ordo)

tertinggi dari turunan yang terkandung dalam persamaan diferensial. Pada setiap
persaman diferensial yang sudah diklasifikasikan berdasarkan ordo, persaman
diferensial tersebut juga dapat diklasifikasikan menjadi persamaan diferensial linier
homogen dan persamaan diferensial linier tak homogen.

2.2.1 Persamaan Diferensial Linier Tingkat Satu

Suatu persamaan diferensial tingkat satu dikatakan linier dalam y jika persamaan tidak
dapat memuat hasil kali, pangkat atau kombinasi non-linier lainnya dari y atau y.
Dipunyai bentuk yang paling umum yaitu

F ( x)

dy
G ( x) y H ( x)
dx

Atau muncul dalam bentuk yang lebih biasa dengan membagikan setiap fungsi dengan
F(x) sehingga diperoleh

dy
P ( x) y Q( x)
dx

dimana P( x)

G ( x)
dan Q( x)
F ( x)

sembarang. Jika P( x)

(2.5)

H ( x)
adalah adalah fungsi kontinu atau konstanta
F ( x)

0 , maka persamaan dapat diselesaikan dengan integrasi

Universitas Sumatera Utara

langsung, atau jika Q( x)

0 , maka persmaan adalah terpisahkan dan juga merupakan

persamaan diferensial linier yang homogen. Persamaan (2.5) memiliki beberapa


kemungkinan penyelesaian yang terjadi, yaitu :

1. Untuk P( x)

0 maka persamaan (2.5) menjadi persamaan

dy
Q( x)
dx

(2.6)

Persamaan (2.6) dapat diselesaikan dengan integrasi langsung sehingga


penyelesainnya diperoleh

Q( x) dx

2. Untuk Q( x)

(2.7)

0 maka persamaan (2.5) menjadi persamaan

dy
P( x) y 0
dx

(2.8)

Persamaan (2.8) adalah persamaan diferensial terpisahkan. Persamaan


diferensial terpisahkan (separable differential equation) adalah suatu persamaan
diferensial biasa tingkat satu yang secara aljabar dapat direduksi ke suatu bentuk
diferensial baku dengan setiap suku tak nol memuat secara tepat satu variabel.

3. Untuk P( x) dan Q( x) adalah fungsi kontinu maka solusi persamaan (2.5) adalah
sebagai berikut :

Misalkan y adalah perkalian dua parameter U(x) dan V(x) sehingga diperoleh

dy
dx

(2.9)

U ( x) V ( x)

U ( x)

dV ( x)
dx

V ( x)

dU ( x)
dx

(2.10)

Universitas Sumatera Utara

Subtitusikan persamaan (2.10) ke persamaan (2.5) maka

U ( x)

dV ( x)
dx

V ( x)

dU ( x)
dx

U ( x)

dV ( x)
dx

P( x) V ( x)

P( x) U ( x) V ( x)

V ( x)

dU ( x)
dx

Q( x )

(2.11)

Q( x )

Dari persamaan (2.11) dapat diambil dua persamaan yaitu :

1.

dV ( x)
dx

0 , sehingga

P( x) V ( x)
dV ( x)
dx

P( x) V ( x)

dV ( x)
V ( x)

P( x)dx

(2.12)

dengan mengintegralkan kedua sisi persamaan (2.12)

dV ( x)
V ( x)

P( x)dx

ln V ( x)
V ( x)

2. V ( x)

P( x)dx
P ( x ) dx

dU ( x)
dx

dU ( x)
dx

(2.13)

Q( x) , sehingga

Q( x)
V ( x)

(2.14)

Subtitusikan persamaan (2.13) ke persamaan (2.14) diperoleh

dU ( x)
dx

Q( x)
e

P ( x ) dx

Universitas Sumatera Utara

dU ( x)
dx

Q ( x )e

dU ( x)

Q( x)e

P ( x ) dx

P ( x ) dx

(2.15)

dx

integralkan persamaan persamaan (2.15)

dU ( x)
U ( x)

Q( x)e
Q( x)e

P ( x ) dx

P ( x ) dx

dx

dx + c

(2.16)

subtitusikan persamaan (2.13) dan (2.16) ke persamaan (2.9)

y
y

Q( x)e
eln x

P ( x ) dx

Q( x)e

dx

P ( x ) dx

c e
dx

P ( x ) dx

c e

P ( x ) dx

(2.17)

Berikut merupakan contoh persamaan diferensial linier tingkat satu


1. y ' xe3 x 2 y
2.

2.2.2

dy
x

y tan( x)

sec( x)

Persamaan Diferensial Linier Tingkat Dua

Definisi 2.7
Persamaan diferensial biasa tingakat dua dikatakan linier jika persamaan diferensial
berbentuk

d2y
dx 2

P( x)

dy
dx

Q( x) y

H ( x)

(2.18)

Universitas Sumatera Utara

dengan P( x) , Q( x) dan H ( x) adalah fungsi dari peubah bebas x. (Munzir, said dan
Marwan, 2009).

2.2.2.1 Persamaan Diferensial Linier Tingkat Dua Homogen

Secara khusus, persamaan diferensial linier tingkat dua homogen mempunyai bentuk

d2y
dx 2

P( x)

dy
dx

Q( x ) y

(2.19)

Persamaan diferensial tingkat dua homogen selalu mempunyai dua


penyelesaian yang bebas linier. Jika y1 ( x) dan y2 ( x) adalah dua penyelesaian yang
bebas linier untuk persamaan (2.19), maka

y ( x)

c1 y1 ( x)

c2 y2 ( x)

adalah penyelesaian umum untuk persamaan (2.19)

Persamaan Diferensial Linier Homogen Dengan Koefisien Konstan

Suatu persamaan diferensial dikatakan persamaan diferensial linier tingkat dua


homogen dengan koefisien konstanta apabila H ( x)

d2y
dx 2

dy
dx

qy

0 , berarti bentuknya menjadi

(2.20)

dimana p dan q adalah konstanta riil.

Persamaan diferensial linier homogen tingkat satu dengan koefisien konstan


mempunyai penyelesaian y

cx

. Untuk memperoleh suatu ide mengenai perkiraan

penyelesaian dalam kasus tingkat dua, dicoba untuk menemukan penyelesaian

Universitas Sumatera Utara

persamaan (2.20) dalam bentuk

emx

dengan m adalah suatu konstanta.

emx diperoleh

Didiferensialkan penyelesaian y

emx

(2.21a)

y'

memx

(2.21b)

y ''

m2emx

(2.21c)

Persamaan (2.21a),(2.21b) dan (2.21c) disubtitusikan ke persaamaan (2.20)


diperoleh akar-akar karakteristik sebagai berikut :

m2emx
m2

m2

m1,2

m1

pmemx
pm

pm

qemx

q emx

p2
2
p2
2

4q

4q

m2

p2
2

4q

Ada beberapa variasi dari akar-akar karakteristik yang diperoleh dari


penyelesaian homogen tergantung pada jenis persamaan yang diselesaikan. Berikut
variasi akar-akar karakteristik yang akan dibahas cara penyelesaiannya.

a. Bila akar karakteristik m1

m2 dan bilangan riil yang berbeda, maka penyelesaian

homogennya adalah sebagai berikut :

c1em1x

c2em2 x

b. Bila akar karakteristik m1

m2 dan bilangan riil yang tidak berbeda, maka

penyelesaian homogennya adalah sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

c2 x emx

c1

c. Bila akar karakteristik bilangan kompleks m1,2

maka penyelesaian

homogennya adalah :
y

c1e(

i) x

c1e x e

ix

c1e

cos x

c1e

(c1

c2e(

i) x

c2e x e

ix

i sin x

c2 ) cos x

A cos x

c2e
(c1

cos x i sin x

c2 )i sin x

Bi sin x

Persamaan Diferensial Linier Homogen Dengan Koefisien Peubah

Suatu persamaan diferensial dikatakan persamaan diferensial linier tingkat dua


homogen dengan koefisien peubah apabila H ( x)

d2y
dx 2

P( x)

dy
dx

Q( x ) y

0 , berarti bentuknya menjdi

dimana P( x) dan Q( x) adalah fungsi yang kontinu.

Pada umumnya tidak ada cara untuk menyelesaikan persamaan diferensial


linier homogen dengan koefisien peubah secara eksplisit, kecuali persamaan
diferensial yang berbentuk khusus, misalnya persamaan dfierensial tipe Euler dan
persamaan diferensial tingkat dua yang telah diketahui salah satu penyelesaiannya.
Pada bagian ini yang akan dibicarakan adalah persamaan diferensial Euler khususnya
persamaan diferensial Euler tingkat dua.

Suatu persamaan diferensial Euler adalah suatu persamaan diferensial


berbentuk

an xn y ( n)

an 1 x n 1 y ( n

1)

...

a1 xy ' a0 y

(2.22)

Universitas Sumatera Utara

dimana an , an 1 , . . . , a1 , a0 merupakan konstanta-konstanta dan an

0 . Karena

koefisien pertama an x n tidak akan pernah nol, selang definisi persamaan diferensial
(2.22) ialah salah satu dari dua selang terbuka (0,
persamaan diferensial itu akan diselesaikan untuk x

) atau (

0 atau x

,0) . Ini berarti,

0 . Persamaan

diferensial Euler mungkin merupakan tipe termudah dari persamaan diferensial linier
dengan koefisien peubah. Alasan untuk ini ialah bahwa perubahan peubah bebas

et
e

jika

jika

menghasilkan suatu persamaan diferensial dengan koefisien konstanta. Fakta ini


dilukiskan untuk kasus tingkat dua.

Jika n

2 maka pada persamaan (2.22) akan diperoleh

a2 x 2 y '' a1 xy ' x0 y

(2.23)

Pada persamaan (2.23) merupakan suatu bentuk dari persamaan diferensial


tingkat dua dimana a2 , a1 dan a0 adalah konstanta.

2.2.2.2 Persamaan Diferensial Linier Tingkat Dua Tidak Homogen Dengan


Koefisien Konstan

Bentuk umum persamaan diferensial linier tingkat dua dengan koefisien


konstan adalah

d2y
dx 2

dy
dx

qy

H ( x)

(2.24)

dimana :

Universitas Sumatera Utara

1. p dan q adalah konstanta dan H ( x)

2. Linier dalam y
3. Turunan tingkat dua

Untuk menyelesaiakan persamaan (2.24), dapat dicari penyelesaian umum y


dengan jalan menjumlahkan penyelesaian homogen yh dan penyelesaian partikuler
y p . Tetapi dalam menyelesaikan persamaan (2.24) terlebih dahulu mencari

penyelesaaian homogen. Dari persamaan (2.24) terdapat berbagai bentuk kasus H ( x)


yang mungkin terjadi diantaranya adalah :
1. H ( x)

Pn ( x) , dimana Pn ( x) adalah suatu polynomial berpangkat n.

2. H ( x)

Pn ( x)e x , dimana

3. H ( x)

Pn ( x) cos x

adalah kostanta.

Qn ( x)sin x , dimana Pn ( x) dan Qn ( x) adalah

suatu polynomial berpangkat n sedangkan


4. H ( x)

M cos x

dan

N sin x , dimana M, N dan

adalah konstanta.
adalah konstanta.

2.2.3 Persamaan Diferensial Linier Tingkat Tinggi

Definisi 2.6

Persamaan diferensial linier tingka n adalah persamaan difrenesial yang


memiliki bentuk umum:

a0 ( x)

dny
dx n

a1 ( x)

d n 1y
dx n 1

a2 ( x)

dn 2y
dx n 2

... an 1 ( x) dy
dx

an ( x) y

b( x )

(2.25)

dengan a 0 , a1 ,..., an 1 , an dan b fungsi-fungsi kontinu pada interval I yang hanya


bergantung pada x saja dan a 0 ( x)

0 . (Ross, 1984: 5)

Universitas Sumatera Utara

2.3 Masalah Nilai Awal ( Initial Value Problem)

Suatu persamaan diferensial biasa dengan syarat tambahan pada fungsi yang tidak
diketahui dan derivatif-derivatifnya, semua diberikan nilai yang sama untuk variabel
bebas, merupakan suatu masalah nilai awal (initial value problem). Syarat tambahan
tersebut dinamakan syarat awal (initial condition). Jika syarat tambahan diberikan
pada lebih dari satu varibel bebas, dinamakan masalah nilai batas (boundary value
problem) dan syaratnya dinamakan syarat batas.

Secara umum, problem persamaan diferensial biasa selalu melibatkan nilai


awal (initial-value), yang dapat ditulis sebagai berikut :
y( x) f ( x, y ( x)),

y( x ) y
0,
0

x x0 , xn ,
(2.26)

dengan kondisi awal y( x0 ) y0 yang dipanggil sebuah masalah nilai awal (initial
value problem).(Verner, 2010).

2.4 Kesalahan (Error)

Dalam suatu perhitungan matematik, kita selalu berusaha untuk memperoleh jawaban
yang eksak, misalnya untuk menghitung suatu variabel tertentu dari suatu persamaan
matematik. Akan tetapi, jawaban yang demikian jarang kita peroleh, maka sebagai
solusinya digunakan metode numerik. Dalam metode numerik pada tiap langkah
penyelesaiannya dari formulasi hingga komputasinya hanya akan menghasilkan solusi
pendekatan (bukan solusi eksak). Oleh karena itu penyelesaian secara numerik
memberikan hasil pendekatan yang berbeda dengan penyelesaian secara analitis.
Adanya perbedaan inilah yang sering disebut sebagai error. Dalam metode numerik
error sering juga disebut dengan istilah error.

Hubungan antara nilai eksak, nilai pendekatan dan error dapat dirumuskan
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Nilai eksak = pendekatan + error

Error absolut suatu bilangan adalah selisih antara nilai sebenarnya dengan
nilai pendekatan. Secara matematis, jika y adalah solusi hampiran dan ya adalah
solusi eksak, error dinyatakan oleh

ya

error dapat bernilai positif atau negatif. Jika tanda error tidak dipertimbangkan, error
absolut didefinisikan sebagai

| |

dengan :

ya

(2.27)

ya = nilai sebenarnya
y = nilai perkiraan

= kesalahan absolut (kesalahan terhadap nilai sebenarnya)

Ungkapan kesalahan menggunakan rumus di atas kurang begitu bermakna


karena tidak menunjukkan secara langsung seberapa besar error itu dibandingkan
dengan nilai eksaknya. Sebagai contoh, jika nilai eksaknya ya = 10 dan nilai
hampirannya y = 10,2, error absolutnya adalah 0,2. Error yang sama akan diperoleh
jika ya = 8 dan y = 7,8. Ketika seseorang melaporkan hasil perhitungannya 0,2, tanpa
menyebutkan nilai eksaknya, kita tidak mendapatkan informasi yang lengkap.

Istilah kesalahan relatif muncul untuk menghindari salah interpretasi terhadap


nilai error. Kesalahan relatif didefinisikan sebagai

ya

(2.28)

Universitas Sumatera Utara

Akan tetapi, dalam metode numerik, kita tidak mengetahui nilai sejatinya
sehingga sulit untuk mendapatkan error relatif ini. Untuk mengatasi hal tersebut,
error dibandingkan dengan nilai hampirannya (disebut error relatif hampiran), yaitu

dengan :

100%

= kesalahan relatif
= kesalahan absolut

y = nilai perkiraan

Di dalam metode numerik sering dilakukan pendekatan secara iteratif. Pada


pendekatan tersebut perkiraan sekarang dibuat berdasarkan perkiraan sebelumnya.
Dalam hal ini, kesalahan adalah perbedaan antara perkiraan sebelumnya dan perkiraan
sekarang, dan kesalahan relatif dapat dituliskan dalam bentuk :

(yn 1 - y n )
yn 1

100%

dengan :

yn
yn

2.4.1

: nilai perkiraan pada iterasi ke n


1

: nilai perkiraan pada iterasi ke n+1

Pembagian Kesalahan

Kesalahan dalam metode numerik disebabkan oleh hal-hal berikut, yaitu :

1. Kesalahan Pemotongan (Truncation Error)


Merupakan kesalahan yang terjadi akibat penggunaan metode itu sendiri dalam
menyelesaikan suatu persoalan matematika. Kesalahan pemotongan yaitu
kesalahan yang disebabkan karena kita menghentikan suatu deret atau runtunan
dengan suku-suku yang tidak berhingga menjadi deret dengan suku-suku yang

Universitas Sumatera Utara

berhingga. Kesalahan ini timbul akibat penggunaan hampiran sebagai pengganti


formula eksak. Biasanya sering terjadi dalam penyelesaian numerik dengan
menggunakan deret Taylor. Untuk penyederhanaan permasalahan biasanya
perhatian hanya ditujukan pada beberapa suku dari deret Taylor tersebut,
sedangkan suku yang lainnya diabaikan. Pengabaian inilah yang menyebabkan
terjadinya kesalahan.

Contohnya, hampiran fungsi cos(x) dengan Deret Taylor :


Cos(x) = 1 x2/2! + x4/4! + x6/6! + x8/8! + x10/10! + . . .
Pemotongan
nilai hampiran

error pemotongan

2. Kesalahan Pembulatan (Round-off Error)

Kesalahan pembulatan merupakan suatu keharusan pada batas ketilitian (batas/titik


ambang)

aritmatika

yang

biasanya

digunakan

dalam

metode

yang

diimplementasikan terhadap komputer. Kesalahan tersebut bergantung pada


bilangan dan tipe dari operasi aritmatika yang digunakan pada sebuah langkah.

Kesalahan pembulatan yaitu kesalahan yang disebabkan oleh keterbatasan


jumlah digit komputer dalam menyatakan bilangan riil. Bilangan riil yang
panjangnya melebihi jumlah digit komputer dibulatkan ke bilangan terdekat.
Secara normal, kesalahan pembulatan tidak begitu diperhitungkan pada algoritma
analisis

numerik,

karena

bergantung

pada

komputer

yang

algoritma

diimplementasikan dan merupakan algoritma numerik eksternal.


Contohnya, bilangan riil tanpa akhir 0.666666., pada komputer 7 digit
dinyatakan sebagai 0.6666667.

3. Kesalahan pada data masukan (error in original data)


Merupakan kesalahan yang terjadi akibat dari gangguan yang ada pada data
masukan yang akan diproses, atau adanya informasi tertentu yang tidak diketahui
(unknown information) terikut dalam proses perhitungan. Misalnya pada

Universitas Sumatera Utara

kebanyakan pemodelan matematika suatu sistem fisik, biasanya ada suatu faktor
yang tidak kelihatan pengaruhnya terikut dalam proses. Hal ini akan menyebabkan
kesalahan pada outputnya.

4. Blunders (gross error)


Merupakan kesalahan yang terjadi akibat kesalahan manusia atau mesin hitung
yang digunakan, Kesalahan jenis ini bisa dikurangi dengan melakukan pekerjaan
yang berulang-ulang dan memilih mesin hitung yang baik kualitasnya.

2.5 Metode Deret Taylor

Metode deret Taylor adalah metode yang umum untuk menurunkan rumus-rumus
solusi PDB. Metode ini pada dasarnya adalah merepresentasikan solusinya dengan
beberapa suku deret Taylor. Metode deret taylor juga berkaitan dengan masalah nilai
awal yaitu :

dy
f ( x, y ) ,
dx

Disini,

kita

asumsikan

y( x0 ) y0

(2.29)

bahwa f ( x, y) adalah

fungsi

yang

dapat

dideferensialkan sedemikian mungkin yang berkenaan dengan x dan y . Jika y ( x)


adalah solusi eksak dari persamaan (2.29), kita dapat memperluas y ( x) dengan deret
Taylor pada titik x x0 dan memperoleh
y( x) y( x0 ) ( x x0 ) y '( x0 )

( x x0 )2
( x x0 )3
y ''( x0 )
y '''( x0 )
2!
3!

( x x0 )4 IV
y ( x0 ) ...
4!

Jika kita diberikan h x x0 , kita dapat menuliskan deret sebagai berikut:

y( x) y ( x0 ) hy '( x0 )

h2
h3
y ''( x0 ) y '''( x0 )
2!
3!

Universitas Sumatera Utara

h4 IV
y ( x0 ) ...
4!

(2.30)

(Gerald, 2004)

Persamaan (2.30) menyiratkan bahwa untuk menghitung hampiran y ( x) , kita


perlu menghitung y '( x0 ), y ''( x0 ), y '''( x0 ), y IV ( x0 ),..., y n ( x0 ),... yang dapat dikerjakan
dengan rumus
y ( k ) ( x) P( k 1) f ( x, y)

(2.31)

yang dalam hal ini k adalah ordo dan P adalah operator turunan yaitu,



P f

y
x

(2.32)

(Munir, 2010)

Sehingga dengan menggunakan persamaan diferensial parsial diperoleh


y '( x) f ( x, y)

y ''( x)

(2.33a)

f f dy

f x ff y
x y dx

(2.33b)

y '''( x) f xx ff xy f ( ff xy ff yy ) f y ( f x ff y )

f xx 2 ff xy f 2 f yy f y ( f x ff y )

(2.33c)

y IV ( x) f xxx 3 ff xxy 3 f 2 f xyy f y ( f xx 2 ff xy f 2 f yy )

3( f x ff y )( f xy ff yy ) f y 2 ( f x ff y )

(2.33d)

dan seterusnya. Melanjutkan cara ini, kita dapat menyatakan turunan apa saja dari y
yang berkenaan f ( x, y) dan turunan parsialnya.

Universitas Sumatera Utara

2.6 Metode Runge Kutta

Secara perhitungan komputer, metode yang paling efisien yang berkenaan dengan
keakuratan dari solusi persamaan diferensial biasa dikembangkan oleh dua orang ahli
matematika Jerman sekitar tahun 1900. Mereka adalah Carl David Tolm Runge dan
Martin Wilhelm Kutta. Metode tesebut dikenal sebagai Metode Runge-Kutta (RK).
Metode ini juga dibedakan dengan ordo-ordonya. Metode Runge-Kutta memperoleh
akurasi dari pendekatan deret Taylor tanpa memerlukan perhitungan derivatif yang
lebih tinggi. Penyelesaian PDB dengan metode deret Taylor tidak praktis karena
metode tersebut membutuhkan perhitungan turunan f ( x, y) . Lagi pula, tidak semua
fungsi mudah dihitung turunannya, terutama bagi fungsi yang bentuknya rumit.
Semakin tinggi ordo metode deret Taylor, semakin tinggi turunan fungsi yang harus
dihitung. Karena pertimbangan ini, metode deret Taylor yang berordo tinggi pun tidak
dapat diterima dalam masalah praktek.

Metode RK adalah alternatif lain dari metode deret Taylor yang tidak
membutuhkan perhitungan turunan. Metode ini berusaha mendapatkan tingkat
ketelitian yang lebih tinggi, dan sekaligus menghindarkan keperluan mencari turunan
yang lebih tinggi dengan jalan mengevaluasi fungsi f ( x, y) pada titik terpilih dalam
setiap selang langkah. Metode RK adalah metode PDB yang paling popular karena
banyak dipakai dalam masalah dunia nyata.

Metode Runge-Kutta menghitung pendekatan yi untuk yi


nilai awal yi

y( xi )

, dimana i

y( xi ) dengan

, menggunakan ekspansi deret Taylor. Untuk

memperoleh sebuah tahap-n metode Runge-Kutta (fungsi i mengevaluasi setiap


langkah) kita peroleh

yi

yi

h ( xi , yi ; h),

(2.34)

dimana
n

( xi , yi ; h)

a jk j ,
j 1

Universitas Sumatera Utara

Sehingga diperoleh
n

yi

yi

ajk j

(2.35)

j 1

Persamaan (2.35) merupakan rumus metode Runge-Kutta Ordo-n untuk mencari


solusi dari suatu persamaan diferensial, dimana k adalah

j 1

kj

f xi

h p j , yi

q jl kl ,

(2.36)

l 1

p1

dari penjabaran persamaan (2.38) diperoleh


k1 f ( xi , yi )
k2 f ( xi p2 h, yi q21k1 )
k3 f ( xi p3h, yi q31k1 q32 k2 )

kn f ( xi pn h, yi qn1k1 qn 2 k2 ... qn ( n1) k( n1) )

Untuk kenyamanan, koefisien p,q, dan a dari metode Runge-Kutta dapat


ditulis dalam bentuk array Jagal :

q
aT

Untuk lebih jelasnya array jagal diperlihatkan sebagai berikut

0
p2
pn

q21
qn 2
a1

qn 2
a2

qn ,n 1
an 1 an

Universitas Sumatera Utara

dimana p

p1 , p2 ,..., pn , a

a1 , a2 ,..., an

dan q

q jl .

Nilai a j , p j , q jl dipilih sedemikian rupa sehingga meminimumkan error per


langkah, dan persamaan (2.35) akan sama dengan metode deret Taylor dari ordo
setinggi mungkin. Perhatikan bahwa k adalah hubungan yang selalu berulang, k1 hadir
dalam persamaan untuk k 2 , k 2 hadir dalam persamaan k3 , dan seterusnya. a j , p j , q jl
merupakan parameter-parameter yang digunakan pada metode Runge Kutta.

2.6.1 Metode Runge Kutta Ordo-2

Dengan mengambil n =2 pada persamaan (2.35) maka metode Runge Kutta ordo-2
dapat dituliskan dalam bentuk umum sebagai berikut :

yi

yi

(a1k1

a2 k2 ) h

(2.37)

dengan

k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

(2.38a)

p2 h, yi

(2.38b)

q21 k1 h)

Supaya dapat menggunakan persamaan (2.37), kita harus menentukan hargaharga parameter a1 , a2 , p2 dan q21 . Untuk melakukan ini, kita ingat bahwa Deret
Taylor ordo kedua untuk yi

yang dinyatakan oleh yi dan f ( xi , yi ) ditulis sebagai

berikut :

yi

yi

f ( xi , yi ) h

f '( xi , yi )

h2
2

(2.39)

Universitas Sumatera Utara

dimana fungsi f '( xi , yi ) harus ditentukan melalui aturan rantai diferensiasi :

f
x

f '( xi , yi )

f dy
y dx

(2.40)

Subtitusikan persamaan (2.39) ke persamaan (2.40), diperoleh :

yi

yi

f dy h 2
y dx 2

f
x

f ( xi , yi ) h

(2.41)

Strategi dasar yang menggarisbawahi meode Runge-Kutta ialah bahwa metode


tersebut menggunakan manipulasi aljabar untuk menyelesaikan harga-harga a1 , a2 , p2
dan q21 , yang menjadikan persamaan (2.37) dan persamaan (2.41) ekuivalen.

Untuk melakukan ini, pertama-tama kita menggunakan sebuah Deret Taylor


untuk memperluas persamaan (2.39). Deret Taylor untuk suatu fungsi dua variabel
didefinisikan sebagai :

g(x

r, y

s)

g ( x, y)

g
x

g
y

...

(2.42)

Dengan menerapkan metode ini untuk memperluas persamaan (2.38.b) akan


memberikan :

f ( xi

p2 h, yi

q21 k1 h)

f ( xi , yi )

p2 h

f
x

q21 k1 h

f
y

0(h 2 )

(2.43)

Hasil ini dapat disubtitusikan bersama-sama dengan persamaan (2.38a) dan (2.38b)
untuk memberikan :

yi

yi

a1hf ( xi , yi )

a2 hf ( xi , yi )

a2 p2 h 2

f
x

a2q21h 2 f ( xi , yi )

f
y

0(h3 ) (2.44)

Universitas Sumatera Utara

Dengan mengelompokkan suku-sukunya diperoleh :

yi

yi

[a1 f ( xi , yi )

a2 f ( xi , yi )]h

a2 p2

f
x

a2q21 f ( xi , yi )

f 2
h
y

0(h 3 )

(2.45)

Sekarang bandingkan persamaan (2.44) dengan persamaan (2.45), sehingga akan


diperoleh :

a1

a2

a2 p2

1
2

a2 q21

1
2

Karena ada empat parameter dalam tiga persamaan, maka harus diasumsikan
satu nilai parameter untuk menentukan tiga parameter lainnya. Misalnya ditentukan
suatu nilai parameter a1 , maka diperoleh :

a2

1 a1

p2

q21

Syarat a2

(2.46a)
1
2 a2

(2.46b)

0.

Karena dapat dipilih tak hingga nilai untuk a1 , maka ada banyak solusi untuk
metode Runge-Kutta ordo-2. Tiap versi memberikan hasil yang sama dengan
eksaknya jika solusi dari persamaan diferensial adalah kuadratik, linier, atau konstan.
Tiga versi yang sering digunakan dari metode Runge-Kutta ordo-2 adalah :

Universitas Sumatera Utara

a. Metode Heun dengan Korektor Tunggal

Jika a1 diambil sama dengan , maka dari persamaan (2.46) diperoleh pula

a2

1 ,p
2 2

q21

1 . Nilai-nilai ini disubtitusikan ke persamaan (2.47), maka

diperoleh :

yi

yi

1
( k1
2

1
k2 ) h
2

dengan
k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

h, yi

h k1 )

Perhatikan bahwa k1 adalah slope pada awal interval, dan k 2 adalah slope pada akhir
interval.

b. Metode Poligon yang Diperbaiki (Improve Polygon Method)

Jika a1 diambil sama dengan 0, maka dari persamaan (2.46) diperoleh pula a2
dan

p2

1,

1 . Nilai-nilai ini disubtitusikan ke persamaan (2.47), maka


2

q21

diperoleh:

yi

yi

k2 h

dengan
k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

1
h, yi
2

1
h k1 )
2

Universitas Sumatera Utara

c. Metode Ralston

Ralston (1962) dan Ralston & Rabinowitz (1978) menyatakan bahwa pemilihan

a1

akan memberikan batas minimum truncation error untuk Runge Kutta ordo

dua. Jika a1

yi

1 , maka a
2
3

yi

4
k1
3

dan p2

q21

3
sehingga diperoleh :
4

2
k2 h
3

dengan :

k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

3
h, yi
4

3
h k1 )
4

2.6.2 Metode Runge Kutta Ordo-3

Seperti halnya versi orde dua, maka versi Runge-Kutta ordo-3 pun ada banyak
macamnya. Salah satu versi Runge Kutta ordo-3 yang dapat dipakai adalah :

yi

yi

1
k1
6

4k2

k3 h

dengan:

k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

1
h, yi
2

k3

f ( xi

h, yi

1
h k1 )
2

h k1

2h k2 )

Universitas Sumatera Utara

2.6.3 Metode Runge Kutta Ordo-4

Metode Runge Kutta ordo-4 ini juga terdapat dalam banyak versi, namun persamaan
berikut ini yang sering dipakai, dan disebut sebagai metode Runge-Kutta ordo-4 klasik
:

yi

yi

1
k1
6

2k2

2k3

k4

dengan :

k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

1
h, yi
2

1
h k1 )
2

k3

f ( xi

1
h, yi
2

1
h k2 )
2

k4

f ( xi

h, yi

h k3 )

2.6.4 Metode Runge Kutta Ordo Tinggi

Metode Runge Kutta ordo-5 diturunkan oleh Butcher (1964) sebagai berikut :

yi

yi

1
7k1
90

32k3

12k4

32k5

7 k6 h

dengan :

k1

f ( xi , yi )

k2

f ( xi

1
h, yi
4

1
h k1 )
4

Universitas Sumatera Utara

k3

f ( xi

1
h, yi
4

1
h k1
8

1
h k2 )
8

k4

f ( xi

1
h, yi
2

1
h k2
2

h k3 ) k5

k5

f ( xi

h, yi

3
h k1
7

2
h k2
7

f ( xi

12
h k3
7

3
h, yi
4
12
h k4
7

3
h k1
16

9
h k4 )
16

8
h k5 )
7

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai