Analgesik Untuk Nyeri Kanker Pare2
Analgesik Untuk Nyeri Kanker Pare2
kimia dari senyawa N-acetyl-para-aminophenol dan para-acetylamino-phenol. Pada beberapa artikel ilmiah, nama ini sering disingkat
jadiapap, untuk N-acetyl-para-aminophenol. Obat ini memiliki efek
analgesia dan antipiretik, sehingga kerap digunakan untuk mengurangi sakit
kepala, demam, dan sakit serta nyeri minor lainnya. Parasetamol sangat
aman jika diberikan sesuai dosis yang direkomendasikan. Tak ayal lagi obat
ini sangat gampang diperoleh dan banyak sekali digunakan untuk
mengatasi flu dancold di seluruh jagad raya ini. Namun perlu diperhatikan,
akses yang gampang ini memperbesar kemungkinan overdosis baik yang
sengaja dilakukan (upaya bunuh diri) atau tanpa disadari.
Selain itu, parasetamol juga efektif menangani nyeri yang lebih parah. Hal
ini tentu sangat menguntungkan, karena bisa menurunkan kemungkinan
penambahan dosis NSAId atau opiod. Dengan demikian tentu bisa
meminimalkan efek samping menyeluruh. Adapun formulasi parasetamol
yang paling sering digunakan adalah sediaan tablet.
Mekanisme parasetamol telah lama diduga sama dengan aspirin karena
kesamaan dalam struktur. Diperkirakan parasetamol bekerja mengurangi
produksi prostaglandin yang terlibat dalam proses nyeri dan edema, dengan
menghambat enzim cyclooxygenase (COX). Meski demikian, ada perbedaan
penting antara efek keduanya. Seperti diketahui, prostaglandin
berpartisipasi terhadap respon inflamatori, tapi parasetamol tidak
memperlihatkan efek anti inflamasi.
Lebih lanjut, COX juga menghasilkan tromboksan yang membantu
pembekuan darah, jadi aspirin mengurangi pembekuan darah, sementara
parasetamol tidak. Terakhir hal yang cukup menjadi misteri, aspirin serta
NSAID lainnya biasanya memiliki efek merusak pada saluran cerna,
sedangkan parasetamol aman. Padahal, ketiga obat tersebut sama-sama
menghambat prostaglandin yang memegang peranan sebagai pelindung
saluran cerna.
Setelah ditelusuri, ternyata aspirin bekerja dengan menghambat COX
secarairreversibel dan langsung memblokade sisi aktif enzim. Sementara
parasetamol secara tidak langsung menghambat COX, sehingga efek
blokade ini jadi tidak efektif dengan kehadiran peroksida. Ini mungkin
menjelaskan kenapa parasetamol efektif pada sistem saraf pusat dan sel
endotelial, tapi tidak untuk platelet dan sel imun yang memiliki kadar tinggi
peroksida.
Pada 2002 Swierkosz TA dkk telah melaporkan, parasetamol secera selektif
menghambat suatu varian enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan COX-2.
Enzim ini hanya dikeluarkan di otak dan spinal cord, akhirnya sekarang
disebut sebagai COX-3. Bagaimana mekanisme yang jelas masih belum
dimengerti, tapi penelitian lebih lanjut terus mencoba menguak misteri
tersebut.
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati, dimana sebagian besar
diantaranya (60-90% dari dosis terapeutik) dirubah menjadi senyawa yang
tak aktif melaui konjugasi dengan sulfat dan glukoronida. Metabolit ini
kemudian dieksresikan ke ginjal. Hanya sejumlah kecil (5-10% dari dosis
menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif pada otot. Oleh karena
itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila dikalangan
militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat
tersebut.
Pemberian secara oral, biasa dalam sediaan eliksir, solusio, serbuk, atau
tablet. Morfin jarang disuplai dalam bentuk suppositoria. Potensi
pemberian oral hanya seperenam hingga sepertiga dari parenteral. Hal ini
dikarenakan bioavailabitasnya yang kurang baik. Saat ini morfin juga
tersedia dalam bentuk kapsul extended-release untuk pemberian kronik dan
juga formulasi immediate-release.
Sebuah review dilakukan oleh Wiffen PJ dkk tentang penggunaan morfin
oral untuk nyeri kanker. Review yang dilaporkan dalam The Cochrane
Database of Systematic Reviews 2006 Issue 3 ini mengikutkan 55 studi
(3061 subjek) yang memenuhi kriteria. Empat belas studi membandingkan
preparat oral sustained release morphine (MSR) dengan immediate release
morphine (MIR). Delapan studi membandingkan MSR dengan kekuatan
yang berbeda. Sembilan studi membandingkan MSR oral dengan MSR
rectal. Satu studi masing-masing membandingkan: MSR tablet dengan MSR
suspensi; MSR dengan frekuensi dosis yang berbeda; MSR dengan nonopioid; MIR dengan non opioid; morfin oral dengan morfin epidural; dan
MIR dengan rute pemberian yang berbeda.
Hasil review memperlihatkan, morfin merupakan analgesik efektif
untuk mengatasi nyeri kanker. Pengurangan nyeri tidak berbeda untuk
sediaan MSR dan MIR. MSR efektif untuk dosis 12 atau 24 jam tergantung
pada formulasinya. Efek samping umum dijumpai, namun hanya 4% pasien
yang menghentikan pengobatan karena tidak bisa menolerir.
Efek samping yang umum dijumpai pada pemberian morfin adalah
gangguan mental, euforia, lethargy, dan pandangan kabur. Morfin juga
mengurangi rasa lapar, menghambat refleks batuk, dan menyebabkan
konstipas.
Yasmin Garden, Parepare. maret 2012