Anda di halaman 1dari 5

Analgesik untuk Nyeri Kanker.

Ibarat sebilah pisau, nyeri bagi manusia mempunyai dua makna


yang berlawanan. Di satu sisi, nyeri bisa memberi manfaat yakni sebagai
alarm terjadinya suatu kelainan atau penyakit dalam tubuh sehingga
seseorang akan awarebahwa dirinya telah mengidap suatu penyakit yang
berbahaya dan mengancam jiwa. Tapi di sisi lain, nyeri boleh jadi
malapetaka, seperti pada pasien kanker, yang mengganggu kualitas hidup
dan mengurangi produktivitas pasien.
Bagi penderita kanker,
nyeri termasuk pada keluhan yang paling ditakuti. Oleh karena itu, tujuan
utama terapi nyeri kanker adalah meredakan nyeri secara nyata untuk
memelihara status fungsional yang diinginkan, kualitas hidup yang realistis,
dan proses kematian yang tenang.
Menurut Dr.Boediwarsono
dari kelompok perawatan paliatif dan bebas nyeri tim penanggulangan
penyakit kanker FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo Surabaya, obat-obat
analgesik memegang peran utama dalam penanggulangan nyeri kanker, di
samping modalitas lainnya. Namun pemberian analgesik itu haruslah
dilakukan dengan tepat dan strategis. Jadi, ada langkah-langkah yang
harus diikuti dalam pemberian analgesik. Langkah pertama adalah
pemberian analgesik non opiat dengan dosis penuh. Bila nyeri masih ada,
secara bertahap dosis dinaikkan hingga dosis maksimal atau ditambah
analgesik ajuvan. Langkah kedua, pemberian non opiat plus analgesik
adjuvan ditambah opiat lemah. Langkah terakhir, pemberian opiat kuat plus
analgesik adjuvan, jelas Dr. Boediwarsono
Lebih lanjut
Dr.Boediwarsono mengatakan, analgesik yang biasa digunakan untuk
pengobatan nyeri kanker adalah aspirin 500 mg dan parasetamol mg setiap
4-6 jam untuk tahap awal. Analgesik lain yang juga sering diresepkan pada
tahap awal ini adalah kelompok NSAID (nabumeton). Sedangkan analgesik
adjuvan yang digunakan terdiri dari obat-obat khusus yang bisa membantu
meredakan nyeri, seperti antidepresan, anthistamin, kafein, steroid,
fenotiazin, serta antikonvulsan. Sementara untuk opiat kuat biasa diberikan
morfin injeksi.
Parasetamol
Pada awal penemuannya tahun1973, berbagai penelitian tentang
parasetamol sempat diabaikan. Perhatian akan parasetamol baru
dilayangkan saat era 1980-an. Waktu itu tengah gencar dilakukan upaya
mencari analgetik alternatif dari dua senyawa yang menjadi satu-satunya
tumpuan dalam menghilangkan rasa nyeri. Yakni senyawa yang terkandung
dalam white willow bark (akhirnya dikenal dengan salisin yang kemudian
dikembangkan jadi aspirin) dan cinchona bark . Pencarian alternatif
dilakukan karena keberadaan kedua pohon tersebut mulai langka. Hingga
akhirnya Harmon Northop Morse berhasil mensintesa parasetamol melalui
reduksi p-nitrophenol dengan asam asetat.
Parasetamol kerap disebut dengan acetaminophen. Keduanya adalah nama

kimia dari senyawa N-acetyl-para-aminophenol dan para-acetylamino-phenol. Pada beberapa artikel ilmiah, nama ini sering disingkat
jadiapap, untuk N-acetyl-para-aminophenol. Obat ini memiliki efek
analgesia dan antipiretik, sehingga kerap digunakan untuk mengurangi sakit
kepala, demam, dan sakit serta nyeri minor lainnya. Parasetamol sangat
aman jika diberikan sesuai dosis yang direkomendasikan. Tak ayal lagi obat
ini sangat gampang diperoleh dan banyak sekali digunakan untuk
mengatasi flu dancold di seluruh jagad raya ini. Namun perlu diperhatikan,
akses yang gampang ini memperbesar kemungkinan overdosis baik yang
sengaja dilakukan (upaya bunuh diri) atau tanpa disadari.
Selain itu, parasetamol juga efektif menangani nyeri yang lebih parah. Hal
ini tentu sangat menguntungkan, karena bisa menurunkan kemungkinan
penambahan dosis NSAId atau opiod. Dengan demikian tentu bisa
meminimalkan efek samping menyeluruh. Adapun formulasi parasetamol
yang paling sering digunakan adalah sediaan tablet.
Mekanisme parasetamol telah lama diduga sama dengan aspirin karena
kesamaan dalam struktur. Diperkirakan parasetamol bekerja mengurangi
produksi prostaglandin yang terlibat dalam proses nyeri dan edema, dengan
menghambat enzim cyclooxygenase (COX). Meski demikian, ada perbedaan
penting antara efek keduanya. Seperti diketahui, prostaglandin
berpartisipasi terhadap respon inflamatori, tapi parasetamol tidak
memperlihatkan efek anti inflamasi.
Lebih lanjut, COX juga menghasilkan tromboksan yang membantu
pembekuan darah, jadi aspirin mengurangi pembekuan darah, sementara
parasetamol tidak. Terakhir hal yang cukup menjadi misteri, aspirin serta
NSAID lainnya biasanya memiliki efek merusak pada saluran cerna,
sedangkan parasetamol aman. Padahal, ketiga obat tersebut sama-sama
menghambat prostaglandin yang memegang peranan sebagai pelindung
saluran cerna.
Setelah ditelusuri, ternyata aspirin bekerja dengan menghambat COX
secarairreversibel dan langsung memblokade sisi aktif enzim. Sementara
parasetamol secara tidak langsung menghambat COX, sehingga efek
blokade ini jadi tidak efektif dengan kehadiran peroksida. Ini mungkin
menjelaskan kenapa parasetamol efektif pada sistem saraf pusat dan sel
endotelial, tapi tidak untuk platelet dan sel imun yang memiliki kadar tinggi
peroksida.
Pada 2002 Swierkosz TA dkk telah melaporkan, parasetamol secera selektif
menghambat suatu varian enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan COX-2.
Enzim ini hanya dikeluarkan di otak dan spinal cord, akhirnya sekarang
disebut sebagai COX-3. Bagaimana mekanisme yang jelas masih belum
dimengerti, tapi penelitian lebih lanjut terus mencoba menguak misteri
tersebut.
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati, dimana sebagian besar
diantaranya (60-90% dari dosis terapeutik) dirubah menjadi senyawa yang
tak aktif melaui konjugasi dengan sulfat dan glukoronida. Metabolit ini
kemudian dieksresikan ke ginjal. Hanya sejumlah kecil (5-10% dari dosis

terapeutik) dimetabolisme melalui hati dengan sistem enzim cytochrome


P450(khususnya CYP2E1).
Efek toksik parasetamol yang kerap digembar-gemborkan, sebenarnya
terkait hanya dengan sebuah metabolit alkilasi minornya (N-acetyl-p-benzoquinone imine, disingkat NAPQI). Jadi, efek toksik yang muncul bukanlah
karena parasetaml itu sendiri atau metabolit utamanya. Pada dosis yang
lazim digunakan, metabolit toksik NAPQI secara cepat didetoksifikasi
melalui kombinasi irreversibel dengan
gugus sulfhydryl dari glutation,menghasilkan konjugasi non toksik yang
akhirnya dikeluarkan melalui ginjal.
Paracetamol memiliki indeks terapeutik yang sempit. Artinya, dosis terapi
tidak terentang jauh dengan dosis toksik. Tanpa pengobatan yang tepat,
overdosis parasetamol bisa menyebabkan gagal hati dan kematian dalam
beberapa hari. Dosis toksis parasetamol sangat bervariasi. Pada dewasa,
dosis tunggal di atas 10 gram atau 150 mg/kg bisa menyebabkan toksisitas.
Toksisitas juga bisa terjadi pada dosis multiple yang lebih kecil dalam 24
jam melebihi kadar tersebut, atau bahkan pemberian jangka panjang dosis
serendahnya 4 g/hari.
Berbeda dengan aspirin, parasetamol aman diberikan pada anak dan tidak
terkait dengan risiko Reyes syndrome pada anak dengan penyakit virus.
Paracetamol juga aman digunakan saat hamil, tidak berefek penutupan
fetalductus arteriosus(seperti yang dilakukan NSAIDs ).
Codein
Codein atau methylmorphine merupakan suatu opiat digunakan sebagai
analgesik, antitusif, dan antidiare. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein
sulfate dan codein phosphate. Codein adalah alkaloid yang ditemukan
dalam opium, sekitar 0,3 3,0 %. Meskipun codein bisa diekstrak dari
opium, sebagian besar codein yang ada saat ini disintesa dari morfin melalui
proses O-methylation.
Di pasaran, codein juga tersedia dalam preparat kombinasi dengan
parasetamol sebagai co-codamol, dengan aspirin sebagai co-codaprin, atau
dengan ibuprofen. Kombinasi ini mengurangi nyeri yang lebih besar
ketimbang penggunaan masing-masingnya. Kolaborasi codein ini juga
memungkinkan penggunaanya untuk nyeri yang hebat, semisal nyeri akibat
penyakit kanker.
Codein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi
morfin. Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin
itu sendiri. Hal ini disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah
menjadi morfin. Oleh karena itu, obat ini juga menyebabkan
ketergantungan yang lebih rendah dari morfin.
Secara teoritis, agar memberikan efek analgesia setara dengan morfin oral
30 mg, dosis oral codein yang harus diberikan adalah sekitar 200 mg.
Namun pada praktiknya cara ini tidak digunakan. Pasalnya, pada
pemberian dosis tunggal besar dari 60 mg dan tidak lebih dari 240 mg per
hari ada suatu ceiling effect.
Perubahan codein menjadi morfin terjadi di hati dan dikatalisis oleh

enzimcytochrome P450, CYP2D6. Oleh karena itu efek analgesia codein


sangat tergantung pada kinerja dan keberadaan CYP2D6. Sekitar 610%
populasi Kaukasia memiliki fungsional CYP2D6 yang jelek, sehingga codein
tidak efektif sebagai analgesia untuk pasien ini. Hal ini terungkap dari studi
yang dilakukan Rossi dkk pada 2004. Obat-obatan yang menghambat
CYP2D6 bisa mengurangi bahkan secara eksrim bisa menghilangkan efek
codein. Di antaranya adalah selective serotonin reuptake inhibitors semisal
fluoxetine dan citalopram
Untuk menimbulkan efek analgesia, codein melalui metabolitnya, morfin,
terikat dengan reseptor -opioid. Sedangkan codein sendiri memiliki
afinitas lemah terhadap reseptor -opioid ini.
Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya,
mual, muntah, mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic
hypotension, retensi urin, dan konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek
codein bisa terjadi pada penggunaan jangka panjang, termasuk efek
terapeutik.
Morfin
Sebagai senyawa aktif opium, morfin tampil sebagai analgesik opiat yang
sangat kuat. Seperti opiat lainnya semisal heroin, morfin bekerja langsung
pada sistem saraf pusat untuk mengurangi nyeri, dan terkadang juga pada
sinap arcuate nucleus. Nama morfin sendiri berasal dari
kata Morpheusyang merupakan Dewa Pemimpi dalam mitologi Yunani.
Morfin pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman Friedrich
Wilhelm Adam Sertrner. Tapi morfin belum digunakan hingga
dikembangkan hypodermic needle (1853). Morfin digunakan untuk
mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan alkohol
dan opium.
Potensi analgesia yang kuat, akhirnya membuat morfin menjadi tumpuan
untuk mengatasi kasus nyeri parah di rumah sakit. Misalnya saja, mengatasi
nyeri pasca bedah, nyeri karena trauma, mengurangi nyeri parah kronik
semisal pada penderita kanker dan batu ginjal serta nyeri punggung. Di
samping itu, morfin juga digunakan sebagai adjuvan pada anestesi umum.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan
mengaktivasi reseptor -opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini
terkait dengan analgesia, sedasi,
euforia, physical dependence danrespiratory depression. Morfin juga
bertindak sebagai agonis reseptor -opioid yang terkait dengan analgesia
spinal dan miosis.
Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3glucuronide dan morphine-6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat,
M6G tampak memiliki efek analgesia lebih potensial ketimbang morfin
sendiri. Sedang pada manusia M6G juga tampak sebagai analgesia. Perihal
signifikansi pembentukan M6G terhadap efek yang diamati dari suatu dosis
morfin, masih jadi perdebatan diantara ahli farmakologi.
Morfin diberikan secara parenteral dengan injeksi subkutan, intravena,
maupun epidural. Saat diinjeksikan, terutama intravena, morfin

menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif pada otot. Oleh karena
itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila dikalangan
militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat
tersebut.
Pemberian secara oral, biasa dalam sediaan eliksir, solusio, serbuk, atau
tablet. Morfin jarang disuplai dalam bentuk suppositoria. Potensi
pemberian oral hanya seperenam hingga sepertiga dari parenteral. Hal ini
dikarenakan bioavailabitasnya yang kurang baik. Saat ini morfin juga
tersedia dalam bentuk kapsul extended-release untuk pemberian kronik dan
juga formulasi immediate-release.
Sebuah review dilakukan oleh Wiffen PJ dkk tentang penggunaan morfin
oral untuk nyeri kanker. Review yang dilaporkan dalam The Cochrane
Database of Systematic Reviews 2006 Issue 3 ini mengikutkan 55 studi
(3061 subjek) yang memenuhi kriteria. Empat belas studi membandingkan
preparat oral sustained release morphine (MSR) dengan immediate release
morphine (MIR). Delapan studi membandingkan MSR dengan kekuatan
yang berbeda. Sembilan studi membandingkan MSR oral dengan MSR
rectal. Satu studi masing-masing membandingkan: MSR tablet dengan MSR
suspensi; MSR dengan frekuensi dosis yang berbeda; MSR dengan nonopioid; MIR dengan non opioid; morfin oral dengan morfin epidural; dan
MIR dengan rute pemberian yang berbeda.
Hasil review memperlihatkan, morfin merupakan analgesik efektif
untuk mengatasi nyeri kanker. Pengurangan nyeri tidak berbeda untuk
sediaan MSR dan MIR. MSR efektif untuk dosis 12 atau 24 jam tergantung
pada formulasinya. Efek samping umum dijumpai, namun hanya 4% pasien
yang menghentikan pengobatan karena tidak bisa menolerir.
Efek samping yang umum dijumpai pada pemberian morfin adalah
gangguan mental, euforia, lethargy, dan pandangan kabur. Morfin juga
mengurangi rasa lapar, menghambat refleks batuk, dan menyebabkan
konstipas.
Yasmin Garden, Parepare. maret 2012

Anda mungkin juga menyukai