Anda di halaman 1dari 13

CPCD (Cor Pulmonale Chronic Decompensata)

Definisi
Kor

pulmonal

sering

disebut

sebagai

penyakit

jantung paru,

didefinisikan

sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim paru atau
pembuluh darah paru.
Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya
hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak
termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung
kongenital (bawaan).
Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau
dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain
penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan
thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri,
penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard akut.
Etiologi dan Epidemiologi
Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada pembuluh darah
paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.
Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama, tidak semua
kasus penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk
mendiagnosa hipertensi pulmonal dan kor pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil
laboratorium tidaklah sensitif. Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler
memberikan kemudahan untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.
Diperkirakan prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung
berdasarkan hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding ventrikel post
mortem.
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 4
kelompok :
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau
fibrosis.

3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.


4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.
Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,
diperkirakan 80-90% kasus.
Patogenesis
Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara
primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan
penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif
atau restriktif.
Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan
resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya
meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan
kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada
peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.
Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru
adalah: (1) vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan (2)
obstruksi dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan)
memberikan rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada
hipoksemia. Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot
polos arteriola paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut.
Asidosis, hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan
vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan
peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut
meningkatkan tekanan arteri paru.
Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru
adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur
alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya.
Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler.
Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek

mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik
terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam
patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler
harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang
bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan
penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusiventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau
jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.
Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan tidak
bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru,
maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi pulmonal.
Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang
ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat
menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan terjadinya
gagal ventrikel kanan dan kematian. Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan
sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan
oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang
melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi
pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder)
didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni
>20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada
pasien muda (<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan
bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10 tahun. Selain
dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin berat aktivitas maka TAP
akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat meningkat >30 mmHg. Melihat
hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan
rileks.

Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi
pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah
mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in
situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat
vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis
dari mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme
tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni dengan
pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan
inhibitor phosphodiesterase-5.

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikel kanan dan dapat


mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung. Timbulnya keadaan ini
diperberat dengan adanya polisitemia akibat hipoksia jaringan, hipervolemia akibat adanya
retensi air dan natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanan tidak lagi
dapat melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbul kegagalan jantung kanan
yang ditandai dengan adanya edema perifer. Jangka waktu terjadinya hipertropi atau dilatasi
ventrikel kanan maupun gagal jantung kanan pada masing-masing orang berbeda-beda.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase (tabel 1).

Tabel 1. Fase perjalanan penyakit kor pulmonal

Fase

Deskripsi
Pada fase ini belum nampak gejala

Fase 1

klinis

yang

jelas,

selain

ditemukannya gejala awal penyakit


paru obstruktif kronis (PPOK),
bronkitis kronis, tuberkulosis paru,
bronkiektasis

dan

sejenisnya.

Anamnesa pada pasien 50 tahun


biasanya

didapatkan

kebiasaan

banyak merokok.

Pada fase ini mulai ditemukan


tanda-tanda berkurangnya ventilasi
paru. Gejalanya antara lain, batuk
lama yang berdahak (terutama
bronkiektasis), sesak napas, mengi,
sesak
Fase 2

napas

menanjak

ketika

atau

setelah

berjalan
banyak

bicara. Sedangkan sianosis masih


belum nampak. Pemeriksaan fisik
ditemukan

kelainan

berupa,

hipersonor, suara napas berkurang,


ekspirasi memanjang, ronki basah
dan

kering,

diafragma

mengi.

rendah

dan

Letak
denyut

jantung lebih redup. Pemeriksaan


radiologi

menunjukkan

berkurangnya

corakan

bronkovaskular, letak diafragma


rendah

dan

mendatar,

posisi

nampak

gejala

jantung vertikal.

Pada

fase

hipoksemia

ini

yang

lebih

jelas.

Penyakit paru kronis

Kerusakan paru & semakin terdesaknya pembuluh darah


Asidosis
oleh paru
danyang
hiperkapnia
mengembang
Hipoksia alveolar
Polisitemia dan hiper

Berkurangnya vascular bed paru

Vasokonstriksi

Hipertensi Pulmonal
kronis
Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan

Kor pulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal

Diagnosis
Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal
akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis kor pulmonal
secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang
mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional. Adanya
hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya pemeriksaan fisik dan
anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan
jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas
yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak
menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat
pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema
dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi
branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul
gagal jantung kanan.

Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya
peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis
penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga
dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya
arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami
arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga
ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan
hipoksemia.
Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara P2
yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur pada
daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang lebih
lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan selain itu
juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,
hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya
overload pada ventrikel kanan.
Pemeriksaan Penunjang
Radiologi
Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan
menyebabkan berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat
menunjukkan penyakit primernya. Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah
dilatasi arteri pulmonalis utama dan cabang-cabangnya, meruncing ke perifer, dan
lapang paru perifer tampak relatif oligemia. Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri
pulmonalis kanan >16mm dan diameter arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93%
penderita.

Hipertrofi

ventrikel

kanan

terlihat

pada

rontgen

thoraks

PA

sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas jantung kiri
dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto dada
lateral.

Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal


Elektrokardiogram
Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:
a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
b. Terdapat pola S1 S2 S3
c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.
g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.
h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya
hiperinflasi.
i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark
miokard.
j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium
terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,
takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, dan atrial flutter. Disritmia ini dapat
dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,

gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan


bronkodilator berlebihan).13

Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal

Ekokardiografi
Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan
diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat
ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi
ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang a
hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan
ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena accoustic window sempit akibat
penyakit paru.

Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan kelangsungan hidup,
dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.
Tirah Baring dan Pembatasan Garam
Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang
nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi
tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi
usaha untuk menurunkan hiperkapnia.
Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup
belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis: (1) terapi oksigen mengurangi
vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan
isi sekuncup ventrikel kanan, (2) terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri
dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya.
Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of
Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH)

meningkatkan kelangsungan hidup dibanding kan dengan pasien tanpa terapi


oksigen.
Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 55 mmHg atau SaO2 88%, PaO2 5559 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan gagal
jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.
Diuretika
Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.
Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan
alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu,
dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload
ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Vasodilator
Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa
adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya secara
rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik,
meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.
Digitalis
Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung
kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan
fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel
kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.
Antikoagulan
Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat disfungsi
dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.

Komplikasi

Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal edema,
passive hepatic congestion dan kematian.

Prognosis
Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor
pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary disease",
dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat
hidup antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan
mendapat pengobatan yang baik.

Anda mungkin juga menyukai