Anda di halaman 1dari 14

I.

ABSTRAK
Pola konsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lepas dari beras sebagai
makanan pokok sehari-hari. Perkembangan industri dan semakin bertambahnya
jumlah penduduk di Indonesia, secara otomatis mengurangai lahan pertanian yang
memproduksi beras. Sagu merupakan salah satu pohon penghasil karbohidrat yang
perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan, mengingat potensinya yang
besar tetapi belum diupayakan secara maksimal. Pengembangan produk berbasis
sagu perlu diupayakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Perkiraan
potensi sagu mencapai 27 juta ton pertahun. Namun baru sekitar 300-500 ribu ton
pati sagu yang digunakan setiap tahunnya (Djoefrie, 1999). Selama ini penelitian
sagu sebagian besar menggunakan pati sagu. Dalam proses pembuatan Tepung
sagu diduga akan menghemat air dibanding dengan pembuatan pati sagu. Oleh
karena itu perlu dilakukan rekayasa proses tepung sagu. Penelitian terbagi menjadi
dua tahap yaitu studi pustaka dan penelitian lanjutan. Studi pustaka bertujuan untuk
menyediakan informasi mengenai bahan baku tepung-tepungan yang berpotensi
untuk dikembangkan. Studi pustaka dilakukan dengan cara menginventarisasi jenisjenis bahan pangan sumber karbohidrat yang biasa ditepungkan. Penelitian lanjutan
dilakukan pada pembuatan tepung sagu mulai penghancuran sampai pengeringan;
Analisis sifat fisik yang meliputi suhu gelatinisasi, viskositas dan derajat putih;
Analisis kimia yang meliputi kadar air, abu, lemak, protein karbohidrat dan serat; dan
karakterisasi pengeringan. Pada pembuatan tepung sagu diperoleh rendemen
sekitar 21.85%. Analisis yang dilakukan pada penelitian lanjutan diperoleh suhu awal
gelatinisasi tepung sagu adalah 75 0 C, suhu puncak gelatinisasi 79.5 0 C,
viskositas maksimum 760 BU dan derajat putih 73.22%, kadar air 6.36 %, kadar abu
4.55 %, kadar protein 0.75%, kadar lemak 0.56 %, kadar karbohidrat 87.78 % dan
total serat makanan 10.10 %. Serat makanan terbagi menjadi dua bagian yaitu IDF
(Insoluble Dietary Fiber) dan SDF (SolubleDietary Fiber). Kadar IDF dalam tepung
sagu adalah sekitar 4.23 % dan kadar SDF sekitar 5.87 %. Parameter yang
dianggap sebagai perlakuan paling efisien pada karakterisasi pengeringan adalah
suhu pengeringan 70 0 C, ketebalan tumpukan 15 cm, dan waktu pengeringan 75
menit. Proses pengeringan dilakukan dengan laju udara 0.9 m/s.

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penilitian ini. penelitian ini merupakan hasil penelitian penulis
di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul Eksplorasi Beberapa Sifat
Fusik Dan Sifat Fungsional Tepung Sagu (Metroxylon sp.). penilitian yang disusun
oleh penulis merupakan data-data hasil penelitian, studi pustaka, konsultasi dengan
pembimbing serta hasil analisis penulis. Selama melaksanakan penelitian dan
penyusunan penelitian ini, penulis tidak lepas dari bantuan dan doa dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan arahan dan bimbingannya kepada penulis selama perkuliahan dan
penelitian; Dr. Ir. Bambang Haryanto, MS. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian. Terima kasih
atas doa dan dorongan dari bapak dan emak sehingga penulis dapat
menyelesaikan kuliah dan penelitian ini dengan baik. Aa Maman sekeluarga, Aa
Tatang sekeluarga yang telah mendukung penulis selama kuliah dan penelitian.
Juga seluruh keluarga besar bapak Sarnga yang telah banyak memberikan
dorongan bagi penulis. Teman seperjuangan dan sebimbingan Indri, Hendry, Okta,
Sendi, Nissa, Ana, Boby dan Fahmi yang telah banyak membantu selama penelitian
dan kompak selalu. Teman-teman B4 (Rahmat, Sanjung, Daniel) atas
kekompakannya. Lukman, Chamdani, Sofyan, Intan, Fathir, Hadinata, Bangun, dan
lainnya yang telah membantu selama penelitian Semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripi.
Penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Kritik dan saran
yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya
dan tujuan diversifikasi pangan dapat tercapai, Amin.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
I.ABSTRAK
II.PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG ...............................................................
2. RUMUSAN MASALAH
3. TUJUAN ....................................................................................
4. MANFAAT ...............................................................................
III.KAJIAN PUSTAKA
IV.METODE PENELITIAN
V.HASIL
VI.PEMBAHASAN
VII.KESIMPULAN
VIII.DAFTAR PUSTAKA

II. PENDAHULUAN
1.LATAR BELAKANG
Pola konsumsi masyarakat Indonesia pada umumnya tidak lepas dari beras sebagai
makanan pokok sehari-hari. Perkembangan industri dan semakin bertambahnya
jumlah penduduk di Indonesia, secara otomatis mengurangai lahan pertanian yang
memproduksi beras. Sehingga diperlukan perubahan pola konsumsi yang berbasis
beras dengan bahan pangan lain. Terdapat beberapa jenis sumber karbohidrat
selain beras yang dapat dikembangkan, misalnya ubi jalar, ubi kayu, sukun, kentang,
sagu, dan lainlain. Keterbatasan produksi beras dapat ditanggulangi dengan
dilakukannya diversifikasi pangan. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap
beras maka perlu dilakukan pengembangan bahan pangan lain yang potensial.
Tepung sagu merupakan salah satu bahan pangan potensial yang dapat digunakan
untuk substitusi beras sebagai makanan pokok. Sagu merupakan salah satu pohon
penghasil karbohidrat yang perlu diperhatikan dalam rangka diversifikasi pangan,
mengingat potensinya yang besar tetapi belum diupayakan secara maksimal.
Sehingga perlu diupayakan pengembangan produk berbasis sagu untuk mengurangi
ketergantungan terhadap beras. Kandungan kalori sagu relatif sama dengan kalori
yang dikandung oleh ubi kayu atau kentang (Djoefrie, 1999), oleh karena itu sagu
merupakan salah satu komoditas pangan yang dapat menjawab tantangan di bidang
penyediaan pangan. Potensi produksi maupun luas sagu di Indonesia sangat besar,
tetapi baru sebagian kecil yang dimanfaatkan. Indonesia memiliki sekitar 21 juta
hektar lahan yang potensial dan memungkinkan untuk tanaman sagu, tapi secara
pastinya belum diketahui. Sekitar 95% pertumbuhan pohon sagu terjadi secara alami
(Bintoro, 2000). Perkiraan potensi sagu mencapai 27 juta ton pertahun. Namun baru
sekitar 300-500 ribu ton pati sagu yang digunakan setiap tahunnya (Djoefrie, 1999).
Pemanfaatan sagu di Indonesia umumnya masih dalam bentuk pangan tradisional,
misalnya dikonsumsi dalam bentuk makanan pokok seperti papeda. Disamping itu
sagu juga dikonsumsi sebagai makanan pendamping seperti sagu lempeng, sinoli,
bagea dan lain-lain (Harsanto, 1986). Disamping sebagai bahan pangan, sagu dapat
digunakan sebagai bahan baku berbagai macam industri seperti industri pangan,
industri perekat, kosmetika dan industri lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Dengan melihat potensi sagu yang sangat besar sebagai sumber kalori pengganti
beras, maka diperlukan pengembangan tepung sagu tidak hanya terbatas pada pati
sagu. Diharapkan proses pembuatan tepung sagu akan memperbaiki sagu baik dari
segi mutu maupun proses pembuatannya. Mudah atau tidaknya memproduksi suatu
produk akan mempengaruhi minat masyarakat untuk mengembangkan produk
tersebut. Sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat mempermudah produksi
tepung sagu. Ada beberapa hal yang dapat membantu pembuatan tepung sagu
diantaranya adalah prosedur pengeringan yang jelas, penanganan bahan baku dan
penyimpanan yang baik. Selain pembuatan tepung, pengembangan produk baru
berbasis tepung sagu yang dapat diterima oleh seluruh kalangan masyarakat juga

perlu diperhatikan. Sehingga tepung sagu tersebut dapat dimanfaatkan sesuai


dengan yang diharapkan. Dalam pengembangan produk baru dengan bahan dasar
tepung sagu, harus ditentukan produk yang tepat dan sesuai dengan sifat-sifat fisik
dari tepung sagu tersebut agar diperoleh produk yang sesuai dengan keinginan
konsumen. Penelitiaan ini dilakukan untuk mengetahui sifat reologi adonan tepung
sagu dengan menggunakan brabender amilograf dan farinograf. Dengan
mengetahui sifat fisik tepung sagu, maka pengembangan produk dapat dilakukan
dengan menyesuaikan sifat fisik tepung sagu dengan karakteristik produk olahan
yang akan dibuat. Ditentukan juga komposisi kimia tepung sagu tersebut untuk
mengetahui kecukupan gizinya apabila dikonsumsi.
2.RUMUSAN MASALAH
a.jelaskan Pembuatan Tepung Sagu
b.jelaskan Karakterisasi Pengeringan?
c.apa Sifat Kimia Tepung Sagu?
d jelaskan Sifat Fisik Tepung Sagu.?
3.TUJUAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan proses pengeringan tepung sagu
yang optimal. Dalam karakterisasi pengeringan ditentukan parameter yang harus
diperhatikan dalam proses pengeringan, sehingga diketahui parameter yang
digunakan agar proses pengeringan tersebut berjalan secara optimal. parameter
yang paling baik dapat digunakan untuk proses scale up produksi tepung sagu.
mengetahui beberapa sifat fisik (viskositas, suhu gelatinisasi dan derajat putih) dan
sifat kimia (komposisi kimia dan serat) dari tepung sagu. Dengan mengetahui sifat
fisik dan sifat fungsional dari tepung sagu, maka pengembangan produk baru yang
terarah dapat dilakukan.
4.MANFAAT
Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui sifat fisik dan sifat kimia tepung sagu
yang dijadikan dasar dalam pengembangan produk baru berbahan dasar tepung
sagu. Sehingga pengembangan produk dapat dilakukan dengan terarah sesuai
dengan sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh tepung sagu dan produk yang
diinginkan oleh konsumen. Scale up produksi tepung sagu lebih mudah dengan
diketahuinya parameter yang harus diperhatikan dalam proses pengeringan.
III.KAJIAN PUSTAKA
BOTANI TANAMAN SAGU

Sagu termasuk salah satu sumber karbohidrat yang penting untuk memenuhi
kebutuhan kalori. Sehingga di beberapa daerah Indonesia bagian timur, sagu
merupakan makanan pokok untuk mencukupi kebutuhan energi sebagaimana beras
di daerah-daerah lain. Sagu termasuk divisio Spermatophyta, klas Angiospermae,
Subklas Monocotyledae, Ordo Spadiciflorae, Fammili Palmae, Subfamili
Lepidocaryoideae dan Genus Metroxylon. Di daerah indo pasifik terdapat lima marga
palma yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, arenga, Corypha,
Euqeissona dan Caryota (Ruddle, et al., 1976). Sagu memiliki batang teringgi pada
umur panen, yakni 11 tahun ke atas. Pada tingkat umur ini perbedaan tinggi batang
untuk setiap jenis sagu tidak jauh berbeda, tetapi pada umur dibawah 11 tahun
perbedaannya sangat mencolok (Haryanto dan Pangloli, 1992). Batang sagu terdiri
dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat-serat aci. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3 5 cm dan bagian
ini di daerah maluku sering digunakan sebagai bahan bangunan. Pohon sagu yang
umurnya masih muda, kulitnya lebih tipis dibandingkan dengan sagu yang dewasa
(Haryanto dan Pangloli, 1992).
PRODUKSI SAGU
Tanaman sagu merupakan salah satu tanaman yang pertama kali digunakan oleh
penduduk Asia Tenggara dan Oseania sebagai bahan pangan. Diperkirakan sekitar
2 juta hektar lahan sagu yang tumbuh secara alami dan dapat menghasilkan sekitar
2.5 50 ton tepung sagu kering dari setiap hektarnya. Dengan kultivasi dapat
diproduksi tepung sagu kering hingga 25 ton per hektar (Flach, 1983). Luas area
tanaman sagu di Indonesia tidak diketahui secara pasti, seperti yang dikatakan oleh
Djoefrie (1999) yang mengutip dari Manan dan Supangkat (1984) seluas 4.1 juta
hektar, Sitaniapessy (1996) seluas 1.1 juta hektar, Kartopermono (1996) seluas 1.4
juta hektar, Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) seluas 1 juta hektar.
KOMPOSISI KIMIA
Pati merupakan penyusun makanan yang memiliki peran penting tehadap sifat
makanan seperti yang diharapkan, misalnya untuk mengawetkan puding, saos,
pasta. Komponen yang paling banyak terdapat pada tepung sagu adalah pati.
PATI SAGU
Sagu mempunyai arti khusus sebagai bahan pangan tradisional bagi penduduk di
Maluku, Irian dan di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatra, bahkan
di beberapa wilayah di pulau Jawa. Diperkirakan 30 persen penduduk Maluku dan
20 persen penduduk Irian Jaya mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok
(Haryanto dan Pangloli, 1992). Pati diperoleh dari isi batang (empulur) melelui
pengolahan yang sederhana. Setelah pohon ditebang, batang dipotong menjadi
potongan-potongan sekitar 2 3 meter tergantung besar kecilnya garis tengah

batang tersebut. Kemudian batang dibelah dua, empulur ditokok atau dipukul, hasil
penokokan adalah tepung yang masih bercampur dengan serat. Dari tepung
tersebut dilakukan ekstraksi, maka akan diperoleh pati sagu.
PETA PENELITIAN SAGU HINGGA SAAT INI
Penelitian mengenai pati sagu sudah banyak dilakukan, baik oleh
mahasiswa, para peneliti maupun lembaga milik negara. Sejauh ini
pengembangan produk dengan bahan dasar sagu cukup banyak, tetapi masih
berkutat pada produk-produk tradisional. Penelitian terhadap pati sagu yang
dilakukan di Institut Pertanian Bogor (IPB) Bogor hingga saat ini dapat
dilihat pada Lampiran 4. Dapat diketahui bahwa penelitian yang dilakukan
belum mencakup khasiat dan sifat fungsional dari tepung sagu tersebut.
.KADAR AIR
Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan
fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga
merupakan komponen penting dalam bahan makanan, karena air dapat
mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa makanan. Kandungan air
dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya
tahan bahan tersebut (Winarno, 1992).
PENGERINGAN
Pengeringan pada umumnya digambarkan sebagai proses thermal
untuk menghilangkan komponen volatil (air) dari bahan solid (Mujumdar,
1995). Dengan kata lain bahwa pengeringan adalah proses penurunan kadar
air sampai batas tertentu. Mujumdar (1995) lebih lanjut mengatakan bahwa
terdapat dua proses yang terjadi secara simultan dalam pengeringan yaitu :
(% ) = 100%
Wkrng
Wair
Ka bk
1. Transfer energi (panas) dari lingkungan untuk menguapkan air pada
permukaan bahan. Pada tahap ini terjadi pengurangan air dari permukaan
bahan, dipengaruhi oleh suhu eksternal, kelembaban udara, laju udara,
luas permukaan bahan, dan tekanan.
2. Transfer uap air dari dalam bahan ke permukaan bahan yang merupakan
subsequen dari proses satu. Pada tahap ini terjadi perpindahan uap air
dari dalam bahan yang dipengaruhi oleh sifat fisik bahan, suhu, dan
kandungan air.
Menurut Taib et al. (1988) pengeringan bertujuan untuk mengurangi
kadar air bahan untuk menghambat pertumbuhan organisme pembusuk. Ada
beberapa keuntungan yang didapat dari pengeringan antara lain adalah
berkurangnya volume dan berat, sehingga memudahkan pengangkutan dan
penyimpanannya. Selain itu banyak bahan-bahan yang hanya dapat

digunakan apabila telah dikeringkan, seperti misalnya biji-bijian, kopi,


tembakau dan teh (Winarno et al. 1980). Tapi harus diperhatikan bahwa
ketika pengeringan diaplikasikan pada bahan pangan tidak boleh merusak
jaringan sel, atau merusak nilai energi yang terkandung didalamnya.
Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan akan mengalami
perubahan warna menjadi coklat. Perubahan tersebut disebabkan oleh reaksi
pencoklatan non-enzimatis (non-enzymatic browning) yaitu reaksi
karamelisasi dan reaksi maillard. Perlakuan pendahuluan sebelum
pengeringan akan mempengaruhi aktivitas enzim terutama enzim yang dapat
menyebabkan perubahan warna menjadi coklat. Pada umumnya enzim tidak
tahan terhadap keadaan panas yang lembab terutama diatas suhu maksimum
aktivitas enzim tersebut (Muchtadi et al. 1979). Menurut Winarno et al.
(1980), reaksi pencoklatan banyak disebabkan oleh reaksi antara asam
organik atau asam amino dengan gula pereduksi dimana reaksi ini dapat
menurunkan nilai gizi protein yang terdapat dalam bahan pangan.
Dalam bahan pangan air bisa terikat dan bisa juga dalam keadaan
bebas. Terdapat dua metode untuk mengilangkan air tidak terikat (air bebas)
yaitu dengan evaporasi dan vaporisasi. Evaporasi terjadi ketika tekanan uap
pada permukaan bahan sama dengan tekanan atmosfir. Sedangkan vaporisasi
adalah pengeringan dengan cara konveksi, dengan menggunakan udara yang
dilewatkan pada bahan yang dikeringkan, dimana uap air akan ditransfer dari
dalam produk ke udara dan udara akan membawa uap tersebut. Pada kasus
ini tekanan uap air dalam bahan lebih rendah dari tekanan atmosfir
(Mujumdar, 1995).
IV.METODE PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah inti batang sagu
(metroxylon sp) diperoleh dari perkebunan milik BPPT yang berada di
Cilubang, Desa Balumbang Jaya. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah aquades, heksan, HgO, HCl 0.02 N, H2SO4 pekat,
indikator kjeldahl, minyak parafin, NaCl, -amilase, enzim amiloglukosidase,
enzim neutrase, alkohol 80%, petroleum eter, buffer fosfat, etil alkohol 75%,
etil alkohol 95%, aseton, 2.5% amonium oksalat, 2.5% asam oksalat, NaOH
4% (w/v), NaOH 17.5 % (w/v) dan NaClO2. Alat-alat yang digunakan untuk
pembuatan tepung sagu adalah pisau/golok, mesin pemarut, saringan,
tempat pengendapan, disk mill, ayakan, baskom, brabender amilograph,
buret, gelas ukur, termometer, timbangan, lap basah, pengaduk/sendok,
gelas piala, oven, cawan, desikator, erlenmeyer, cabinet drier dan neraca
analitik
. B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan
penelitian utama. 1. Studi Pustaka Studi pustaka ini bertujuan untuk
menyediakan data tentang penelitian tepung-tepungan yang sudah dilakukan
dan sejauh mana penelitian tersebut dilakukan. Setelah diperoleh data
semua hasil penelitian tentang tepung-tepungan maka dapat diambil jenis
tepung yang potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Studi pustaka yang
dilakukan meliputi bahan-bahan tepung yang berasal dari umbi-umbian,
kacang-kacangan, buah-buahan, dan lain-lain. Meliputi proses penepungan,
aplikasi produk, dan karakteristik tepung. Sehingga dapat diketahui potensi
dari bahan tersebut dan dapat digunakan untuk acuan pada penelitian
lanjutan.
2. Penelitian Lanjutan
a. Proses pembuatan tepung sagu Pohon sagu Ditebang dan diambil
empulurnya Di potong kecil dan tipis (chips) Direndam dalam larutan Natrium
metabisulfit 0.3 % Dikeringkan dengan kabinet dryer pada suhu 55 0 C
selama 48 jam Digiling Diayak (100 mesh) Tepung sagu.
b. Karakterisasi Pengeringan Sampel berupa empulur batang sagu dibuat
menjadi potonganpotonngan kecil, kemudian direndam dalam larutan
metabisulfit 0.3%. Setelah direndam dalam larutan metabisulfit empulur
tersebut dibuat menjadi sawut dengan menggunakan alat penyawut (slicer)
sehingga diperoleh empulur batang sagu dalam bentuk sawutan. Alat
pengering yang akan digunakan disiapkan. Dalam percobaan ini digunakan
fluidized bed dryer. Sawut empulur batang sagu dimasukan ke dalam alat
pengering dengan katebalan 5 cm, 10 cm, dan 15 cm. kemudian set suhu
inlet pada alat pengering tersebut pada 60 0 C, 70 0 C. Blower dan ventilasi
dinyalakan maksimum.
V.HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menyediakan data yang cukup
memadai bagi penelitian lanjutan. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan
inventarisasi bahan pangan yang dapat dijadikan sumber karbohidrat seperti
umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lainnya. Diharapkan hasil yang
diperoleh dari penelitian ini dapat menggambarkan potensi dan peluang dari
beberapa bahan pangan di Indonesia untuk dikembangkan dalam menunjang
program diversifikasi pangan. Inventarisasi dilakukan dengan studi pustaka
dari berbagai sumber seperti buku, skripsi, artikel, jurnal, dan lain-lain. Dari
hasil inventarisasi yang dilakukan diperoleh beberapa komoditi yang cukup
banyak dibudidayakan di Indonesia diantaranya ubi jalar, ubi kayu, sagu,
jenis umbi-umbian, kacangkacangan, bahkan buah-buahan Dari beberapa
komoditi yang terinventarisasi ada beberapa komoditi yang cukup potensial
untuk dikembangkan diantaranya adalah sagu, ubi jalar, sukun, singkong.
Studi mengenai bahan pangan yang biasa ditepungkan ini meliputi beberapa

hal yaitu rekayasa proses (proses penepungan), aplikasi, karakter fisik dan
kimia. Selain itu juga diperhatikan mengenai khasiat bahan pangan tersebut
yang menjadi kepercayaan masyarakat di daerah tertentu. Dilakukan juga
studi pustaka mengenai penelitian bahan pangan tersebut sejauh mana
sudah dilakukan hingga saat ini. Dari beberapa bahan pangan yang potensial
untuk dikembangkan, dipilih salah satu bahan pangan yang potensial yaitu
sagu. Sagu merupakan bahan pangan yang akan digunakan dalam
penelitian lanjutan. Ada beberapa alasan pemilihan sagu sebagai bahan
pangan untuk diversifikasi, diantaranya adalah sagu merupakan makanan
pokok bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia timur; potensi produksi
sagu di Indonesia sangat besar hingga mencapai 27 juta ton pertahun
(Djoefrie, 1999); tetapi pemanfaatan sagu hingga saat ini belum optimal
B. PENELITIAN LANJUTAN
1. Pembuatan Tepung Sagu Pembuatan tepung sagu bertujuan untuk
menyediakan bahan untuk analisis sifat fisik dan sifat kimia. Pada proses
pembuatan tepung sagu digunakan empulur batang sagu yang dipotong
(diiris) tipis
Bentuk empulur yang dibuat kecil dan tipis dimaksudkan agar proses
pengeringan berlangsung lebih cepat dan efisien . Sawut empulur sagu
Pembuatan tepung sagu yang dilakukan menggunakan bahan baku berupa
empulur batang sagu dengan berat awal 25,63 kg. Pengeringan sagu
dilakukan pada suhu 55 0 C 60 0 C dengan menggunakan kabinet dryer.
Suhu tersebut dipilih untuk menghindari terjadinya gelatinisasi pati, karena
sagu sebagian besar terdiri dari pati. Mengingat bahwa pati sagu akan
tergelatinisasi pada suhu sekitar 69 0 C (Cecil et al., 1982 diacu dalam BPPT,
1987). Meskipun suhu gelatinisasi tersebut dicapai jika bahan tersebut
berupa pati sagu murni (tidak tercampur dengan bahan lain dalam jumlah
cukup besar). Sawut sagu yang sudah kering kemudian digiling dengan
menggunakan disc mill. Tepung hasil penggilingan diayak dengan kerapatan
100 mesh, digunakan kerapatan ayakan 100 mesh dengan harapan akan
diperoleh tepung yang bersih dari kotoran dan ampas. Tepung sagu yang
dihasilkan setelah proses pengayakan adalah 5,6 kg. Tepung sagu yang
dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6. Rendemen tepung sagu yang
diperoleh adalah sekitar 21.85 %. Jika dibandingkan dengan pati sagu yang
memiliki rendemen antara 16 % sampai 28 % (Kurnia, 1991), sedangkan
menurut Wirakartakusumah et al. (1984) rendemen pati sagu adalah sekitar
12.9 % dan menurut Flach (1983) rendemen tepung pati sagu adalah 20 %
. 2. Karakterisasi Pengeringan
Pengeringan merupakan suatu proses yang sangat penting dalam
pembuatan tepung, karena tepung merupakan bahan pangan yang
memiliki
kadar air jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan bahan
dasarnya.

Tujuan penepungan adalah untuk memperpanjang umur simpan


dari bahan
pangan yang ditepungkan. Proses pengeringan yang kurang tepat
akan
mengakibatkan rusaknya komponen gizi yang terkandung dalam
bahan
pangan tersebut. Selain itu mutu visual tepung juga sangat
dipengaruhi
oleh proses pengeringan yang dilakukan.
Pada penelitian, pengeringan dilakukan untuk mengetahui
karakteristik pengeringan tepung sagu sehingga diperoleh kadar air
sebesar
6% bk. Hal ini bertujuan untuk memperpanjang umur simpan
tepung sagu,
karena pada kadar air 6% kerusakan mikrobiologi jauh lebih lambat.
Pengering yang digunakan adalah pengering jenis fluid bed.
Karakterisasi pengeringan dilakukan dengan tujuan untuk
mempermudah scale up produksi dan tetap mempertahankan mutu
tepung yang
dihasilkan. Karakterisasi pengeringan yang dilakukan meliputi
beberapa
parameter pengeringan diantaranya suhu, laju udara, dan
ketebalan
tumpukan.
3. Sifat Kimia Tepung Sagu
Analisis sifat kimia tepung sagu dilakukan untuk menentukan
kandungan beberapa komponen kimia dalam tepung tersebut.
Komponen
kimia yang dinanalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein,
kadar
lemak, kadar karbohidrat dan kadar serat makanan. Dengan
mengetahui
komponen gizi dalam tepung sagu, maka dapat ditentukan bahan
pendamping bagi tepung sagu ketika dikonsumsi sehingga kandungan
gizinya seimbang.
4. Sifat Fisik Tepung Sagu
Pengujian sifat fisik tepung sagu dilakukan dengan menentukan
beberapa sifat seperti suhu gelatinisasi, viskositas dan derajat putih.
Sehingga dapat diketahui sifat dari tepung sagu tersebut. Hasil
pengujian
yang dilakukan berguna untuk pengembangan produk yang sesuai
dengan

sifat fisik yang dimiliki oleh tepung sagu tersebut.


Hasil pengukuran derajat putih tepung sagu pada whitwness-meter
diperoleh bahwa derajat putih tepung sagu adalah 80.2 % pada
ulangan
pertama dan 80.9 % pada ulangan kedua. Kemudian dari hasil
tersebut
dibandingkan dengan standar barium sulfat 110%, sehingga diperoleh
derajat putih tepung sagu ulangan 1 adalah 72.91% dan ulangan 2
adalah
73.54%. Dari kedua ulangan tersebut diperoleh rata-rata derajat putih
tepung sagu adalah 73.22%. Tepung sagu yang dianalisis memiliki
derajat
putih yang cukup baik.

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PERKEBUNAN DAN


PEMBUATAN TEPUNG SAGU
Dalam penelitian yang dilakukan ada beberapa tindakan yang berkaitan dengan
nilai-nilai pancasila antara lain :.
1,Ketuhanan Yang Maha Esa

Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.

Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab


Dalam penelitian ini kita dapat menemukan sebuah kerukunan dalam
masyarakat, dan masyarakat dapat berkerja sama dalam mengolah
tepung sagu
Sifat gotong royong dapat di temukan dipenelitian ini

VI.KESIMPULAN
Hasil penelitian pendahuluan terdapat beberapa jenis bahan pangan sebagai
sumber karbohidrat dari jenis biji-bijian, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan buahbuahan. Dari beberapa bahan tersebut dipilih sagu sebagai bahan pangan yang
akan dibuat tepung pada penelitian lanjutan dengan memperhatikan beberapa hal,
diantaranya adalah sagu merupakan makanan pokok bagi sebagian masyarakat
Indonesia dan potensinya sangat besar, tetapi pemanfaatan sagu sebagai bahan
pangan masih kurang. Pada pembuatan tepung sagu diperoleh rendemen sekitar
21.85%. Analisis yang dilakukan pada penelitian utama diperoleh suhu awal

gelatinisasi tepung sagu adalah 75 0 C, suhu puncak gelatinisasi 79.5 0 C,


viskositas maksimum 760 BU dan derajat putih 73.22%, kadar air 6.36 %, kadar abu
4.55 %, kadar protein 0.75%, kadar lemak 0.56 %, kadar karbohidrat 87.78 % dan
total serat makanan 10.10 %. Serat makanan terbagi menjadi dua bagian yaitu IDF
(Insoluble Dietary Fiber) dan SDF (SolubleDietary Fiber). Kadar IDF dalam tepung
sagu adalah sekitar 4.23 % dan kadar SDF sekitar 5.87 %. Kadar air akhir yang
diharapkan pada proses pengeringan adalah 6%. Dari percobaan, diperoleh dua
perlakuan yang dianggap lebih efektif untuk mencapai kadar air yang diharapkan.
Perlakuan terpilih pertama adalah proses pengeringan dengan ketebalan tumpukan
15 cm, suhu pengeringan 70 0 C, waktu pengeringan 75 menit, dan laju udara 0.9
m/s. Perlakuan terpilih kedua adalah proses pengeringan dengan ketebalan
tumpukan 10 cm, suhu pengeringan 60 0 C, waktu pengeringan 60 menit, dan laju
udara 0.9 m/s. Dari percobaan pengeringan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
parameter yang perlu diperhatikan pada pengeringan sagu adalah suhu pengeringan
(suhu inlet), ketebalan tumpukan bahan, waktu pengeringan, dan ukuran bahan
yang dikeringkan (irisan).
VII. DAFTAR PUSTAKA

AACC, 1983. American Association of Cereal Chemistry Approved


Methods.
Volume 2.
Adawiyah, D. R.. 2004. Pati dan Tepung. Fateta, IPB, Bogor.
Adhidarma, I. G. Y. 2002. Pemanfaatan Tepung Tapioka dan Tepung Sagu
Untuk
Produksi Biosurfaktan oleh Isolat Bacillus sp.. Skripsi. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Ahza, A. B. 1983. Substitusi Tepung gandum (Triticum aestivum L.) dengan
tepung Sorghum (Sorghum bicolor (L) moench.) dan Tepung Kacang
Tunggak (Vigna unguiculata (L) Walp.) Pada Pembuatan Roti. Fateta
IPB, Bogor.
Ama, K. K. 2002. Pangan local Papua Sebagai Kearifan Budaya. Harian
Kompas.
http://air.bappenas.go.id. [3 Februari 2006]

Anda mungkin juga menyukai