Anda di halaman 1dari 8

CLINICAL SCIENCE SESSION

KOMA HEPATIKUM
Oleh :
Annisa Nurfitriani
Amanda Carissa W

1301-1212-0516
1301-1213-0601

Preseptor :
Pandji Irani Fianza, dr., MSc, Sp.PD-KHOM
Andri Reza Rahmadi, dr., Sp.PD-KR, M.Kes

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Bandung
2014

PENDAHULUAN

Koma hepatikum atau ensefalopati hepatis, juga disebut sebagai Portal Systemic Encephalopathy
(PSE), adalah gangguan neuropsikiatri kompleks akibat penyakit liver kronis dengan kegagalan sel
parenkim hati, seringkali berkaitan hubungannya dengan portal sistemik shunt, baik alami atau dibuat
secara pembedahan. Namun, PSE dapat terjadi pada individu dengan tes hati yang normal atau dengan
shunt spontan atau dibuat secara pembedahan. Tanda-tanda koma hepatikum didapatkan pada 70% pasien
dengan sirosis hati, 24-53% pada pasien dengan operasi portosistemik shunt, 30% pada pasien dengan
end-stage liver disease.1,2

Koma hepatikum ditandai dengan adanya perubahan kepribadian, gangguan fungsi intelektual,
penurunan tingkat kesadaran, fungsi motorik, dan kognisi. Ensefalopati dapat dicirikan sebagai episodik
atau resisten kronis. Bentuk episodik mungkin spontan, dipercepat, atau berulang; pada bentuk resisten
kronis, pasien mengalami stadium ringan persisten 1-2 atau tahap berat 2-4 penyakit. Pasien dapat
memiliki secara minimal atau subklinis ensefalopati dengan tidak ada kelainan jelas dalam kognisi,
kepribadian, atau perilaku tetapi dengan tes psikometri abnormal. Pasien dengan penyakit hati kronis
berlanjut dan portal shunting sistemik lama juga dapat berkembang menjadi degenerasi hepatolentikular
non-Wilsonian.2

TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Koma hepatikum atau disebut juga dengan ensefalopati hepatikum merupakan komplikasi serius
dari penyakit hepar yang kronis ditandai adanya gangguan status mental dan fungsi kognisi. 3,4 Penyebab
pasti dari koma hepatikum belum diketahui, namun beberapa penyakit yang mempengaruhi hepar dapat
dapat menjadikan kondisi koma hepatikum, seperti gangguan fungsi liver (sirosis atau hepatitis) dan
gangguan sirkulasi darah sehingga tidak dapat masuk ke hepar, dengan kriteria eksklusi tidak ada
gangguan otak sebelumnya.1,5

II. PATOGENESIS
Terdapat beberapa hipotesis mengenai proses patogenesis koma hepatikum, salah satunya
mengenai akumulasi neurotoksik seperti asam lemak, ammonia, mangan, gamma aminobutyric acid
(GABA), termasuk substansi obat-obatan yang tidak dapat dimetabolisme oleh hepar akibat rusaknya
fungsi hepar. Akibatnya neurotoxin sampai ke otak dan menyebabkan terjadi gejala-gejala dari koma
hepatikum.1-5
Amonia berasal dari saluran cerna dari hasil degradasi amin, asam amino, purin, urea oleh
bakteri. Dalam keadaan normal ammonia didetoksifikasi di hepar dengan mengubahnya ke dalam bentuk
urea di dalam siklus krebs. Amonia juga diproduksi dalam proses perubahan glutamine menjadi glutamate
pada enterosit dengan bantuan enzim glutaminase. Kondisi hiperamonia dapat terjadi bila berkurangnya
massa dari hepatosit yang berfungsi atau terjadi portosistemik shunt yang membuat darah berisi ammonia
tidak dapat masuk ke hepar.1
Beberapa organ memproduksi glutaminase seperti sel otot, ginjal, astrosit otak,. Amonia bersifat
neurotoksik yang dapat mengganggu transport asam amino, air dan elektrolit pada sel saraf; mengganggu
metabolism asam amino; mengganggu pembentukan energi di sel-sel otak. 1

GABA merupakan substansi neuroinhibitor yang diproduksi oleh saluran pencernaan. Reseptor
GABA berada di 24-25% dari seluruh ujung-ujung syaraf otak, yang menjadi tempat berikatan obat
benzodiazepin, barbiturate. Aktivasi reseptor GABA akan terjadi influks ion klorida ke neuron postsinaps
dan terjadi potensial inhibisi.dari beberapa studi memperlihatkan adanya persepsi peningkatan GABA
reseptor pada sirosis dan koma hepatikum.1
Keadaan koma hepatikum dapat dipresipitasi oleh beberapa keadaan. Gangguan fungsi ginjal
dapat memicu keadaan hiperamonia dengan berkurangnya clearance urea, ammonia, komponen nitrogen
lain, sehingga dapat terakumulasi dalam darah. Pendarahan saluran pencernaan, dapat meningkatkan
absorbsi amonia pada saluran cerna, selain itu pendarahan dapat menyebakan berkurangnya perfusi ginjal
dan dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Transfusi darah dapat menyebabakan hemolisis yang
dapat meningkatkan level amonia dalam darah.1
Infeksi dapat menjadi predisposisi terjadi gangguan ginjal, meningkatkan katabolisme jaringan,
sehingaa meningkatkan level amonia dalam darah. Konsumsi obat-obatan yang bekerja di sistem saraf
pusat (contoh: opiate, barbiturat, benzodiazepin, antidepressant, antipsikotik) dapat memperparah keadaan
koma hepatikum, selain itu konsumsi obat diuretik dapat menurunkan level potasium (alkalosis) dan
memfasilitasi perubahan NH4+ menjadi NH3. Selain itu, keadaan koma hepatikum dapat dipicu oleh
konsumsi protein yang tinggi.1

III. KLASIFIKASI
Terdapat beberapa pembagian kategori dari koma hepatikum: 1
-

koma hepatikum tipe A : disertai dengan acute liver failure


koma hepatikum tipe B : disertai portal sistemik bypass dan tidak terdapat gangguan

hepatiselular
koma hepatikum tipe C : disertai sirosis hati, portal hipertensi, atau portal sistemik shunt

IV. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis koma hepatikum bersifat perlahan menuju kondisi yang lebih berat atau bisa
langsung dalam kondisi berat. Berdasarkan klasifikasi West Haven dibagi mejadi 5 grade: 1
-

Grade 0: koma hepatikum minimal. Terjadi sedikit perubahan kepribadian/perilaku, ingatan,

konsentrasi, fungsi intelektual, koordinasi


Grade 1: berkurang kesadaran, hypersomnia, insomnia, perubahan pola tidur, irritable
Grade 2: letargis, apatis, disorientasi waktu, sulit berbicara, perubahan kepribadian
Grade 3: somnolen, disorientasi tempat dan waktu, amnesia, bicara meracau
Grade 4: coma dengan atau tanpa respon terhadap stimulus nyeri

Pemeriksaan fisik beberapa terdapat fetor hepatikum (bau nafas), flapping tangan saat
mengangkat tangan, tanda penyakit hepar: mata kuning, kulit kuning, terkumpulnya cairan di abdomen
(asites), gejala ekstrapiramidal : tremor, bradikinesia, rigid.. 1-5
Pemeriksaan penunjang berupa cek darah rutin, EEG, CT scan, MRI (ada kemungkinan edema/
herniasi otak), tes fungsi hepar, prothrombin time, level serum ammonia, level potassium, BUN,
kreatinin.5

V. DIAGNOSIS BANDING
-

Lesi intracranial, seperti: subdural hematom, pendarahan intracranial, stroke, tumor, abses
Infeksi, seperti: meningitis, ensefalitis, abses intracranial
Ensefalopati metabolik, seperti: hipoglikemi, ketidakseimbangan elektrolit, anoxia, hiperkarbia,

uremia
Hiperamonemia sekunder
Ensefalopati toksik dari konsumsi alcohol, seperti: intoksikasi akut, alcohol-withdrawal
Ensefalopati toksik dari obat, seperti: sedative hipnotis, antidepresan, antipsikotik, salisilat
Sindrom organic otak
Ensefalopati postseizure1

VI. PENATALAKSANAAN
Koma hepatikum merupakan kasus emerjensi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Langkah pertama ialah mengetahui penyebab kondisi koma hepatikum dan lakukan perawatan
multifaktorial dan tergantung seberapa besar perubahan kesadaran. Rekomendasi tatalaksana umum untuk
koma hepatikum:1

Pertimbangkan untuk pengecekan level amonia arterial pada pasien dengan sirosis atau gangguan

fungsi mental
Kondisi presipitasi. Seperti: hipovolemi, gangguan metabolic, perdarahan saluran cerna, infeksi,

konstipasi harus dikoreksi


Hindari obat-obatan yang dapat menurunkan fungsi system syaraf pusat
Pasien dengan koma hepatikum berat (grade 3 atau 4) yang beresiko aspirasi, dapat dilakukan
profilaksis intubasi endotrakeal.
Hampir seluruh pengobatan untuk koma hepatikum dibentuk untuk mengurangi kondisi

hiperamonia yang menjadi penyebab terbanyak.


-

Pengobatan untuk menurunkan produksi amonia di usus:


Diet rendah protein hewani, tinggi protein nabati. Protein nabati berfungsi sebagai chatartic alami
untuk mengurangi asam amino. Chatartic berupa lactulose (beta-galactosidofructose) dan lactilol
(beta-galactosidosorbitol) meupakan disakarida nonabsorb, yang didegradasi oleh bakteri usus
menjadi asam laktat. Lactulose bekerja untuk menghambat produksi amonia di usus. Dosis awal
30 ml per oral, satu hingga dua kali sehari. Sebagai catatan dosis harus dikurangi apabila kondisi
pasien diare. Selain itu peresepan lactulose harus lebih diperhatikan, karena apabila dosis berlebih
dapat menyebabkan ileus, diare berat, ketidakseimbangan elektrolit, dan hipovolemi.
Antibiotic seperti metronidazol, quinolon, vancomycin diberikan untuk mengurangi konsentrasi
koloni bakteri ammoniogenik. Dosis awal pemberian neomisin 250 mg peroral 2-4 kali sehari

dengan dosis maksimal 4000 mg/hari. Neomisin merupakan 2nd line setelah pemberian lactulose.
Pengobatan untuk meningkatkan clearance amonia
L-ornithine L-aspartate (LOLA) bekerja untuk menghilangkan amonia pada siklus urea, namun
keberadaan obat masih jarang, hanya di Negara-negara maju.
Pemberian zinc dapat mengurangi keadaan hiperamonia dengan meningkatkan aktivitas ornithine
transcarbamylase, enzim untuk siklus urea.

VII. PROGNOSIS
Koma hepatikum akut dapat diobati, namun apabila kondisi dibiarkan kronis dapat makin parah
dan berulang. Kedua kondisi tersebut dapat menyebabkan keadaan koma dan kematian, hampir

seluruhnya yang berada dalam kondisi koma berakhir kematian. Posibilitas perbaikan tergantung dari
individu masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Wolf DC. Hepatic Encephalopathy. Medscape;

[cited 2014 08 July]; Available from:

emedicine.medcscape.com.
2.

Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R. Current Diagnosis and Treatment in


Gastroenterology, Hepatology, and Endoscopy: Mc Graw Hill; 2009.

3.

Longo DL, Fauci AS. Harrison's Gastroenterology and Hepatology: Mc Graw Hill; 2013.

4.

Longo DL, Fauci AS. Harrison's Principle of Internal Medicine: Mc Graw Hill; 2012.

5.

Longsreth GF. Hepatic Encephalopathy. 2013; Available from: www.nlm.nih.gov.com.

Anda mungkin juga menyukai