Anda di halaman 1dari 12

SEWA MENYEWA DAN UPAH

(IJARAH)

Disusun Untuk memenuhi tugas Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu:
Faridatul Fitriyah M.Sy

OLEH:
Nama

: Choiru Ummatin Nisa

NIM

: 931325514

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2015

BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah

(menjual manfaat). Demikian

pula artinya menurut terminologi syara. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan
dikemukakan bebrapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih.
1. Ulama Hanafiyah:

Artinya: Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.


2. Ulama Asy-Syafiiyah:

Artinya: Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud


tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.
3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah

Artinya: Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu


tertentu dengan pengganti.
Ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai suatu jual beli jasa (upahmengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang
menerjemahkan sewa menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. 1 Menurut
fuqaha Hanafiyah, ijarah adalah akad atau transaksi terhadap manfaat dengan
imbalan. Menurut fuqaha Syafiiyah, ijarah adalah transaksi terhadap manfaat
yang dikehendaki secara jelas harta yang bersifat mubah dan dapat dipertukarkan

Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001),121-122.

dengan imbalan tertentu. Sedangkan menurut fuqaha Malikiyah dan Hanabilah,


ijarah adalah pemilikan manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah selama
periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.2
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan
yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu,
mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk
diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu
bukan manfaatnya tetapi bendanya. Menanggapi pendapat tersebut, Wahbah Al
Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam Ilam Al-Muwaqiin bahwa
manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid
(rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-Quran, As-Sunah, Ijma
maupun Qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat
sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah,
pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam
wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang
pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti
manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit
demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.3

B. Dasar Hukum Ijarah


Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang dibolehkan oleh
syara, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail bin Aliyah,
Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak
memperbolehkan ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan
manfaat pada saat dilakukannya akad tidak bisa diserahterimakan. Setelah
beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit.
Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan.4
Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh Ibnu Rusyd dengan mengatakan

Ghufron A. Masadi, Fiqih Muamalah Kontekstual,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),182.


Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah., 122.
4
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,(Jakarta: Amzah, 2010), 318.
3

bahwa manfaat walaupun manfaat tidak bisa dihadirkan ketika akad, namumn
akan bisa dipenuhi ketika akad telah berjalan.5
Alasan jumhur ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah:
a. QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6:


Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya
b. QS. Al-Qashash (28) ayat 26-27:

Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang Kuat lagi dapat dipercaya".
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa
kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak
hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang- orang yang baik".
c. Hadis Aisyah:
5

Dimyauddin Djuwaini, Fiqih Muamalah,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),154.

Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi
Muhammad berkata: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang
laki-laki dar suku Bani Ad-Dayl, penunujuk jalan yang mahir, dan ia
masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar
kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua
menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsur dengan kendaraan
merka setelah tiga hari pada pagi hari Selasa. (HR. Al-Bukhari)
d. Hadis Ibnu Abbas:

Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi SAW berbekam dan beliau memberikan
kepada tukang bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)
e. Hadis Ibnu Umar:

Dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Berikanlah


kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu
Majah)6
6

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat.,318-320.

f. Hadis Riwayat Abu Daud dari Saad bin Abi Waqqash


Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya,
maka

Rasulullah

melarang

kami

melakukan

hal

tersebut

dan

memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.7


Dari ayat-ayat Al-Quran dan beberapa hadis Nabi tersebut telah jelas
bahwa akad ijarah atau sewa menyewa hukumnya dibolehkan, karena memang
akad tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.
Disamping Al-quran dan sunnah, dasar hukum ijarah adalah ijma. Sejak
zaman sahabat sampai sekarang ijarah telah disepakati oleh para ahli hukum islam,
kecuali beberapa ulama yang telah disebutkan diatas. Hal tersebut dikarenakan
masyarakat sangat membutuhkan akad ini. Dalam kenyataan kehidupan seharihari, ada orang kaya yang memiliki beberapa rumah yang tidak ditempati. Disisi
lain ada orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Dengan dibolehkannya ijarah
maka orang yang tidak memilii tempat tinggal bisa menempati rumah orang lain
yang tidak digunakan untuk beberapa waktu tertentu, dengan memberikan
imbalan berupa uang sewa yang disepakati bersama, tanpa harus membeli
rumahnya.8

C. Rukun dan Syarat Ijarah


Rukun-rukun dan syarat-syarat ijarah adalah sebagi berikut.
1. Mujir dan mustajir, yatu orang yang melakukan akad sewa menyewa
atau upah mengupah. Mujir adalah yang memberikan upah dan
menyewakan, mustajir adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu disyaratkan pada mujir
dan mustajir adalah baligh, berakal, cakap melakukan tasharuf
(mengendalikan harta), saling meridhoi.
Allah SWT berfirman:

7
8

Dimyauddin Djuwaini, Fiqih Muamalah.,157.


Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat., 320.


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan batil, kecuali dengan perniagaan secara suka
sama suka (An-Nisaa:29)
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengerahui manfaat
barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah
terjadinya perselisihan.
2. Shighat ijab kabul antara mujir dan mustajir, ijab kabul sewa
menyewa dan upah mengupah harus berupa pernyataan kemauan dan
niat dari dua pihak yang melakukan kontrak, baik secara verbal atau
dalam bentuk lain yang equivalen. Ijab kabul sewa menyewa misalnya:
Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5.000,00, maka
mustajir menjawab Aku terima sewa mobil tersebut dengan harag
demikian setiap hari. Ijab kabul upah mengupah misalnya orang
berkata, Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan
upah setiap hari Rp 5.000,00, kemudian mustajir menjawab Aku
akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapakan.
3.

Ujrah (Uang sewa atau upah), disyaratkan diketahui jumlahnya oleh


kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah
mengupah.

4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah


mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa
syarat berikut ini.
a. Hendakalah barang yang menjadi objek akad sewa menyewa dan
upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
b. Hendaklah benda yang menjadi objek sewa menyewa dan upah
mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut
kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).
6

c. Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah


(boleh) menurut Syara bukan hal yang dilarang (diharamkan).
d. Benda yang disewakan disyaratkan kekal ain (zat)-nya hingga
waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad. 9

D. Upah dalam Pekerjaan Ibadah


Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan), seperti shalat, puasa, haji dan
membaca Al-quran diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama, karena berbeda
cara pandang terhadap pekerjaan-pakerjaan ini.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti
menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca Al-quran yang
pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti kepada arwah ibu bapak dari
yang menyewa, azan, qomat, dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil
upah dari pekerjaan tersebut, karena Rasulullah SAW bersabada:

Bacalah olehmu Al-quran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu.

Jika kamu mengangkat seseorang muadzin, maka janganlah kamu pungut dari
adzan itu suatu upah.
Perbuatan seperti adzan, qomat, sholat, haji, puasa, membaca al-quran, dan
dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh
mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi dibeberapa daerah di negara Indonesia, apabila
salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati
(keluarga) memerintahkan kepada para santri atau yang lainnya yang pandai
membaca al-quran dirumah atau di kuburan secara bergantian selam tiga malam
bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang meninggal

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),117-118.

sudah dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu mencapai empat puluh
malam. Setelah selesai pembacaan al-quran pada waktu yang telah ditentukan,
mereka diberi upah ala kadarnya dari jasanya tersebut.
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum Islam karena yang membaca alquran bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tidak ada pahalanya. Lantas
apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca al-quran niat karena
Allah, maka pahala pembacaan ayat al-quran untuk dirinya sendiri dan tidak bisa
diberikan kepada orang lain.
Dijelasakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama
memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai
perbuatan baik, seperti para pengajar al-quran, guru-guru di sekolah dan yang
lainnya dibolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan
untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannnya, mengingat mereka
tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani, dan yang lainnya
dan waktunya tersita untuk mengajarakan al-quran.
Menurut Madzhab Hanbali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan,
qomat, mengajarkan al-quran, fiqh, hadist, badal haji, dan puasa qadha adalah
tidak boleh, diharamakan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun,
boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada
mashalih, seperti menhajarkan al-quran, hadits dan fiqh, dan haram mengambil
upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca al-quran, sholat, dan yang
lainnya.
Mazhab Maliki, Syafii dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah
sebagai imbalan mengajarkan al-quran dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis
imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagi imbalan
mengajar al-quran dan pengajaran ilmu, baik secara bulanan maupun sekaligus
karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat alquran dan mengajarkan al-quran bila kaitan pembacaan dan pengajarannya

dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan
dari pembacaan dan pengajaran al-quran, adzan, dan badal haji.
Imam Syafii berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran
berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqh, hadist, membangun masjid, menggali
kuburan, memandikan mayit, dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali
kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan
mayit tidak boleh.10

E. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah


Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan
adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran,
kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut.
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya
3. Rusaknya barang yang diupahkan (majur alaih), seperti baju yang
diupahkan untuk dijahitkan
4. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah
ditentukan dan selesainya pekerjaan
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti
yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang
mencuri, maka dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.

F. Pengembalian Barang Sewaan


Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang
sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada
10

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah., 118-121.

pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (iqar), ia wajib
menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia
wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman,
kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa
harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk
menyerah terimakannya, seperti barang titipan.11

11

Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah., 123.

10

DAFTAR PUSTAKA
A.Masadi, Ghufron. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002.
Djuwaini, Dimyauddin. Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah. 2010.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2014.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2001.

11

Anda mungkin juga menyukai