(IJARAH)
Dosen Pengampu:
Faridatul Fitriyah M.Sy
OLEH:
Nama
NIM
: 931325514
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah
pula artinya menurut terminologi syara. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan
dikemukakan bebrapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih.
1. Ulama Hanafiyah:
bahwa manfaat walaupun manfaat tidak bisa dihadirkan ketika akad, namumn
akan bisa dipenuhi ketika akad telah berjalan.5
Alasan jumhur ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah:
a. QS. Ath-Thalaq (65) ayat 6:
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya
b. QS. Al-Qashash (28) ayat 26-27:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang Kuat lagi dapat dipercaya".
Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa
kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh
tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak
hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang- orang yang baik".
c. Hadis Aisyah:
5
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra. Istri Nabi
Muhammad berkata: Rasulullah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang
laki-laki dar suku Bani Ad-Dayl, penunujuk jalan yang mahir, dan ia
masih memeluk agama orang kafir Quraisy. Nabi dan Abu Bakar
kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua
menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Tsur dengan kendaraan
merka setelah tiga hari pada pagi hari Selasa. (HR. Al-Bukhari)
d. Hadis Ibnu Abbas:
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Nabi SAW berbekam dan beliau memberikan
kepada tukang bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)
e. Hadis Ibnu Umar:
Rasulullah
melarang
kami
melakukan
hal
tersebut
dan
7
8
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan batil, kecuali dengan perniagaan secara suka
sama suka (An-Nisaa:29)
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengerahui manfaat
barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah
terjadinya perselisihan.
2. Shighat ijab kabul antara mujir dan mustajir, ijab kabul sewa
menyewa dan upah mengupah harus berupa pernyataan kemauan dan
niat dari dua pihak yang melakukan kontrak, baik secara verbal atau
dalam bentuk lain yang equivalen. Ijab kabul sewa menyewa misalnya:
Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp 5.000,00, maka
mustajir menjawab Aku terima sewa mobil tersebut dengan harag
demikian setiap hari. Ijab kabul upah mengupah misalnya orang
berkata, Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan
upah setiap hari Rp 5.000,00, kemudian mustajir menjawab Aku
akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapakan.
3.
Bacalah olehmu Al-quran dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu.
Jika kamu mengangkat seseorang muadzin, maka janganlah kamu pungut dari
adzan itu suatu upah.
Perbuatan seperti adzan, qomat, sholat, haji, puasa, membaca al-quran, dan
dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh
mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal yang sering terjadi dibeberapa daerah di negara Indonesia, apabila
salah seorang muslim meninggal dunia, maka orang-orang yang ditinggal mati
(keluarga) memerintahkan kepada para santri atau yang lainnya yang pandai
membaca al-quran dirumah atau di kuburan secara bergantian selam tiga malam
bila yang meninggal belum dewasa, tujuh malam bagi orang yang meninggal
sudah dewasa dan ada pula bagi orang-orang tertentu mencapai empat puluh
malam. Setelah selesai pembacaan al-quran pada waktu yang telah ditentukan,
mereka diberi upah ala kadarnya dari jasanya tersebut.
Pekerjaan seperti ini batal menurut hukum Islam karena yang membaca alquran bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tidak ada pahalanya. Lantas
apa yang akan dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca al-quran niat karena
Allah, maka pahala pembacaan ayat al-quran untuk dirinya sendiri dan tidak bisa
diberikan kepada orang lain.
Dijelasakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah, para ulama
memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai
perbuatan baik, seperti para pengajar al-quran, guru-guru di sekolah dan yang
lainnya dibolehkan mengambil upah karena mereka membutuhkan tunjangan
untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannnya, mengingat mereka
tidak sempat melakukan pekerjaan lain seperti dagang, bertani, dan yang lainnya
dan waktunya tersita untuk mengajarakan al-quran.
Menurut Madzhab Hanbali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan,
qomat, mengajarkan al-quran, fiqh, hadist, badal haji, dan puasa qadha adalah
tidak boleh, diharamakan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun,
boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada
mashalih, seperti menhajarkan al-quran, hadits dan fiqh, dan haram mengambil
upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca al-quran, sholat, dan yang
lainnya.
Mazhab Maliki, Syafii dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah
sebagai imbalan mengajarkan al-quran dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis
imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan tenaga yang diketahui pula.
Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagi imbalan
mengajar al-quran dan pengajaran ilmu, baik secara bulanan maupun sekaligus
karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat alquran dan mengajarkan al-quran bila kaitan pembacaan dan pengajarannya
dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan
dari pembacaan dan pengajaran al-quran, adzan, dan badal haji.
Imam Syafii berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran
berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqh, hadist, membangun masjid, menggali
kuburan, memandikan mayit, dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali
kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan
mayit tidak boleh.10
pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap (iqar), ia wajib
menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia
wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman,
kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa
harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk
menyerah terimakannya, seperti barang titipan.11
11
10
DAFTAR PUSTAKA
A.Masadi, Ghufron. Fiqih Muamalah Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002.
Djuwaini, Dimyauddin. Fiqih Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah. 2010.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2014.
Syafei, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2001.
11