Anda di halaman 1dari 56

MODUL 1

Demam
Skenario :
FUO
Seorang anak, usia 3 tahun, menderita demam sejak sekitar 2 minggu yang lalu.
Demam tinggi hingga mencapai sekitar 40o C, demam bersifat remitten tetapi tidak
menggigil, disertai fatigue dan anoreksia. Penderita telah dirawat selama 10 hari
tetapi demamnya tidak turun. Dari hasil anamnesis tidak didapatkan keluhan yang
spesifik mengenai organ, hanya saja penderita mengalami diare selama 1 minggu
terakhir. Hasil pemeriksaan fisik suhu 39,2 o C, pemeriksaan lainnya dalam batas
normal.
Hasil pemeriksaan laboratorium:
Leukosit 11.600/mm3 dengan 93% sel PMN, hematokrit 35%, trombosit
228.000/mm3, serum albumin 3,0 g/dL, total protein 6,2 g/dL, alkalin fosfatase
327 IU/L, kultur darah 2x negatif, X-foto toraks dalam batas normal.

STEP 1
Mengidentifikasi Kata-kata Sulit
1. Demam Remiten
Merupakan salah satu tipe demam. Pada tipe demam remiten, suhu badan
dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal.
Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan
tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
2. FUO
Fever of Undetermined Origin. Merupakan suatu keadaan di mana seorang
pasien mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dengan suhu
badan di atas 38,3o C dan tetap belum ditemukan penyebabnya walaupun
telah diteliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan
sarana laboratorium dan penunjang medis lainnya.
3. Fatigue
Keadaan hilangnya tenaga untuk menjawab rangsang disertai kelelahan
fisik dan/atau mental.
4. Anorexia
Tidak ada atau hilangnya selera makan.

STEP 2
Perumusan Masalah
1. Etiologi, patofisiologi, jenis, penegakkan diagnosa, interpretasi hasil
laboratorium, dan penatalaksanaan pada demam.
2. Hubungan demam dengan fatigue dan anorexia.
3. Diagnosa bagi anak yang terdapat dalam skenario.

STEP 3
Tukar Pikiran
1. Etiologi, patofisiologi, jenis, penegakkan diagnosa, interpretasi hasil
laboratorium, dan penatalaksanaan pada demam.
Etiologi
-

40 % karena mikroorganisme

20 % karena neoplasma

20 % karena penyakit kolagen

10 % karena penyakit lain

10 % idiopatik

Patofisiologi
Dijelaskan di STEP 4
Jenis demam:
-

Demam septik

Demam remiten

Demam intermiten

Demam kontinyu

Demam siklik

Demam bifasik

Demam karena obat-obatan

Demam dibuat-buat

Jenis demam berdasarkan derajat:


-

Derajat I

Derajat II

Derajat III

Derajat IV

Penegakkan diagnosa
3

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan penunjang
o Tingkat I
o Tingkat II
o Tingkat III

Penatalaksanaan
-

Terapi suportif

Rehidrasi

Kompres

Menggunakan baju tipis

Penggunaan obat

2. Hubungan demam dengan fatigue dan anorexia.


Hubungan demam dengan fatigue
Demam metabolisme tubuh meningkat fatigue
Hubungan demam dengan anorexia
Ada pengaruh sitokin pada hipotalamus yang menghambat nafsu makan
3. Diagnosa bagi anak yang terdapat dalam skenario.
Mungkin FUO atau penyakit pes

STEP 4
Analisis Masalah

1. Etiologi, patofisiologi, jenis, penegakkan diagnosa, interpretasi hasil


laboratorium, dan penatalaksanaan pada demam.
4

Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal seharihari yang berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di
hipotalamus. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2C. Derajat
suhu

yang dapat

dikatakan demam adalah rectal temperature

38,0C atau oral temperature 37,5C atau axillary temperature


37,2C.
Istilah lain yang berhubungan dengan demam adalah hiperpireksia.
Hiperpireksia adalah suatu keadaan demam dengan suhu >41,5 C
yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling
sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat.
Etiologi
Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non infeksi.
Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur,
ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan
demam pada anak-anak antaralain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis,
appendisitis, tuberculosis, sepsis, bakteremia, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih,
dan lain-lain. Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1. Infeksi jamur yang
pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides imitis,
criptococcosis, dan lain-lain. Infeksi parasit yang pada umumnya
menimbulkan

demam

antara

lain

malaria,

toksoplasmosis,

dan

helmintiasis.
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor lingkungan misalnya pada suhu lingkungan yang
eksternal yang terlalu tinggi.
Jenis demam:
-

Demam septik
5

Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal
pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.
-

Demam hektik
Pada demam ini, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi
sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat yang normal
pada pagi hari.

Demam remiten
Pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi
tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang
mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar
perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

Demam intermiten
Pada demam ini, suhu badan turun ke tingkat yang normal
selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi
setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas
demam dan di antara dua serangan demam disebut kuartana.

Demam kontinyu
Pada demam ini, terdapat variasi suhu sepanjang hari yang tidak
berbeda lebih dari satu derajat.

Demam siklik
Pada demam ini, kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang
diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian
diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

Demam karena obat-obatan


Demam yang mungkin terjadi diakibatkan efek samping pengobatan.
Demam dengan cepat menghilang apabila pengobatan tersebut
dihentikan dan merupakan sebuah tanda patognomonis untuk jenis
demam ini.

Demam dibuat-buat
Demam yang sengaja dibuat seorang pasien dengan melalukan berbagai
usaha untuk meningkatkan suhu tubuh yang akan dicatat.
6

Demam bifasik

Jenis demam berdasarkan derajat:


-

Derajat I
Demam saja

Derajat II
Demam disertai dengan gejala lain berupa perdarahan

Derajat III
Demam disertai dengan gejala lain berupa perdarahan spontan dan
kegagalan sirkulasi

Derajat IV
Demam disertai dengan gejala lain berupa perdarahan spontan,
kegagalan sirkulasi dan tidak terabanya denyut nadi

Patofisiologi demam
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama
pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen
terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar
tubuh

pasien.

Contoh

dari

pirogen

eksogen

adalah

produk

mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah


satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang
dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah
pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam
tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah
monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat
mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi.
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah put ih
(monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa
toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut
akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen
(IL-1, IL-6, TNF-, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen
7

akan

merangsang

prostaglandin.

endotelium

Prostaglandin

hipotalamus
yang

untuk

terbentuk

membentuk

kemudian

akan

meningkatkan patokan thermostat di pusat termoregulasi hipotalamus.


Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari
suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme
untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit
dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi
peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang
pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru
tersebut.
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase
peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh
darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi
panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua
yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas
dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase
ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu

yang

ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang


berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna
kemerahan.
Penatalaksanaan
-

Terapi non-farmakologi
Adapun

yang

termasuk

dalam

terapi

non-farmakologi

dari

penatalaksanaan demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi
dan beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada
saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu
berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut
sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.
8

3. Memberikan

kompres

hangat

pada

penderita.

Pemberian

kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan


berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan
menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti.
-

Terapi
farmakologi
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)
adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat
bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki
efek kerja yang lama.
Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai
antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh
fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak.Dosis
parasetamol juga dapat disederhanakan menjadi:

Rumus bangun asetaminofen adalah:

Indikasi
Indikasi Parasetamol digunakan sebagai:

Antipiretik/menurunkan panas, misal setelah imunisasi atau


influenza

Analgesik/mengurangi rasa sakit, misal sakit kepala, sakit gigi,


dan nyeri

Kontraindikasi
Parasetamol kontraindikasi untuk diberikan kepada:

Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat

Penderita yang hipersensitif terhadap parasetamol


Efek samping

Pemberian parasetamol yang

berlebihan akan

menyebabkan

hepatotoksik dan nefropati analgesik. Dosis tinggi dari parasetamol


akan

menyebabkan

saturasi

dari

glutation

penimbunan N-acetyl- p-benzoquinone.

sehingga

terjadi

N-acetyl-p-benzoquinone

akan berinteraksi dengan sitoskleton sel hati yang kemudian akan


membuat sel menjadi melepuh dan akhirnya sel hati tersebut akan
mati. Kematian sel dalam jumlah besar ini akan menyebabkan
nekrosis hati. Pemberian parasetamol maksimal dalam satu hari
adalah 4

g.

Pemberian parasetamol sebanyak

15

g dapat

menyebabkan hepatotoksik yang parah dengan nekrosis sentrilobular,


dan terkadang bersamaan dengan nekrosis tubular ginjal akut. Gejala
awal keracunan parasetamol adalah anoreksia, mual, dan muntah.
Untuk mengatasi keracunan parasetamol dapat diberikan N10

asetilsistein (prekursor glutation).


-

Dosis dan sediaan


Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g per kali dengan
maksimum 4g hari. Anak 6-12 tahun; 150-300 mg/kali, maksimum
1,2 g/hari. Anak 1-6 tahun; 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1
tahun: 60 mg/kali.
Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500
mg atau sirup

yang

parasetamol terdapat

mengandung

120

mg/5ml.

Selain

itu

sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam

bentuk tablet maupun cairan.


2. Hubungan demam dengan fatigue dan anorexia.
Hubungan demam dengan fatigue
Demam metabolisme tubuh meningkat fatigue
Hubungan demam dengan anorexia
Ada pengaruh sitokin pada hipotalamus yang menghambat nafsu makan
3. Diagnosa bagi anak yang terdapat dalam skenario.
FUO (Fever of Undetermined Origin)
Fever of Undetermined Origin. Merupakan suatu keadaan di mana seorang
pasien mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dengan suhu
badan di atas 38,3o C dan tetap belum ditemukan penyebabnya walaupun
telah diteliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan
sarana laboratorium dan penunjang medis lainnya.
-

FUO Klasik
Penderita telah diperiksa di Rumah Sakit atau di klinik selama 3 hari
berturut-turut tanpa dapat ditetapkan penyebab demam. Definisi lain
yang juga digunakan adalah demam untuk lebih dari 3 minggu dimana
telah diusahakan diagnostik non-invasif maupun invasif selama 1
minggu tanpa hasil yang dapat menetapkan penyebab demam.
11

FUO Nosokomial
Penderita yang pada permulaan dirawat tanpa infeksi di Rumah Sakit
dan kemudian menderita demam >38,3o C dan sudah diperiksa secara
intensif untuk menentukan penyebab demam tanpa hasil yang jelas.

FUO Neutropenik
Penderita yang memiliki hitung jenis neutrofil <500 ul dengan demam
>38,3oC dan sudah diusahakan pemeriksaan intensif selama 3 hari tanpa
hasil yang jelas.

FUO HIV
Penderita HIV yang menderita demam >38,3oC selama 4 minggu pada
rawat jalan tanpa dapat menentukan penyebabnya atau pada penderita
yang dirawat di Rumah Sakit yang mengalami demam selama lebih dari
3 hari dan telah dilakukan pemeriksaan tanpa hasil yang jelas.

STEP 5
Menentukan Learning Objective
1. Respon imun tubuh terhadap infeksi.
2. Fisiologi Termoregulasi.
3. Klasifikasi, Pola Demam, dan suhu normal berdasarkan tempat
pengukurannya.
4. Pemeriksaan Laboratorium dan penatalaksanaan Fever of Undetermined
Origin.
5. Interpretasi kultur darah dan PMN 93% pada scenario.
STEP 6
Belajar Mandiri

12

STEP 7
Melaporkan Hasil
1. Respon imun tubuh terhadap infeksi.

Pengertian Sistem Imun


Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh
luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu
organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan
sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah,
kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan
patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat
berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan
terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan
meningkatkan risiko terkena beberapa jenis kanker.
Fungsi Sistem Imun
13

Ada tiga fungsi penting di sistem imun yang sehat


a. Kemampuannya untuk mengenali benda-benda asing seperti bakteri,
virus, parasit, jamu, dll. Fungsi ini sangat penting, karena harus bisa
membedakan mana kawan ( bakteri yang menguntungkan dan sel
tubuh yang baik ) mana lawan ( virus, bakteri jahat, jamur, parasit,
radikal bebas dan sel-sel yang bermutasi yang bisa menjadi tumor /
kanker ).
b.

Bisa bertindak secara khusus untuk menghadapi serangan masingmasing benda asing

c. Sistem imun mengingat penyerang-penyerang asing itu dan dengan


cepat menolak serangan ulang di masa depan.
Pembagian Sistem Imun
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu Sistem imun Non Spesifik dan
Sistem Imun Spesifik.
1. Sistem Imun Non Spesifik
Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah imunitas
non spesifik berespons dengan cara yang sama pada paparan berikutnya
dengan mikroba, sedangkan imunitas spesifik akan berespons lebih
efisien karena adanya memori imunologik.
Komponen imunitas non spesifik
Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap
infeksi), sel-sel dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein
plasma.
1. Barrier epitel
Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan
saluran pernapasan dilindungi oleh epitel yang berfungsi sebagai
barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel epitel memproduksi
antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel
juga mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T
namun hanya mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya.
14

Limfosit intraepitelial dapat mengenali lipid atau struktur lain pada


mikroba. Spesifisitas dan fungsi limfosit ini masih belum jelas.
2. Sistem fagosit
Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan
monosit, yaitu sel darah yang dapat datang ke tempat infeksi
kemudian mengenali mikroba intraselular dan memakannya
(intracellular killing). Sistem fagosit dibahas dalam bab tersendiri.
3. Sel Natural Killer (NK)
Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons
terhadap mikroba intraselular dengan cara membunuh sel yang
terinfeksi dan memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag
yaitu IFN-. Sel NK berjumlah 10% dari total limfosit di darah dan
organ limfoid perifer. Sel NK mengandung banyak granula
sitoplasma dan mempunyai penanda permukaan (surface marker)
yang khas. Sel ini tidak mengekspresikan imunoglobulin atau
reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel pejamu yang sudah
berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme pengenalan ini
belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor
untuk molekul sel pejamu (host cell), sebagian reseptor akan
mengaktivasi sel NK dan sebagian yang lain menghambatnya.
Reseptor pengaktivasi bertugas untuk mengenali molekul di
permukaan sel pejamu yang terinfeksi virus, serta mengenali
fagosit yang mengandung virus dan bakteri. Reseptor pengaktivasi
sel NK yang lain bertugas untuk mengenali molekul permukaan sel
pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara teoritis keadaan ini
menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal, akan tetapi hal
ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor inhibisi
yang akan mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi
sel NK. Reseptor inhibisi ini spesifik terhadap berbagai alel dari
molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.
15

Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell


immunoglobulin-like

receptor

(KIR),

serta

reseptor

yang

mengandung protein CD94 dan subunit lectin yang disebut NKG2.


Reseptor KIR mempunyai struktur yang homolog dengan
imunoglobulin. Kedua jenis reseptor inhibisi ini mengandung
domains structural motifs di sitoplasmanya yang dinamakan
immunoreceptor tyrosine-based inhibitory motif (ITIM) yang akan
mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika reseptor berikatan
dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut mengaktivasi
protein dalam sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase. Fosfatase ini
akan menghilangkan fosfat dari residu tirosin dalam molekul sinyal
(signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK terhambat. Oleh
sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel
NK menjadi tidak aktif.
Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi
MHC kelas I pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut
terhindar dari pemusnahan oleh sel T sitotoksik CD8+. Jika hal ini
terjadi, reseptor inhibisi sel NK tidak teraktivasi sehingga sel NK
akan membunuh sel yang terinfeksi virus. Kemampuan sel NK
untuk mengatasi infeksi ditingkatkan oleh sitokin yang diproduksi
makrofag, diantaranya interleukin-12 (IL-12). Sel NK juga
mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari berbagai antibodi
IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang
telah diselubungi antibodi (antibody-mediated humoral immunity).
Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama,
protein dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel
yang terinfeksi, yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran
plasma sel terinfeksi dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme
sitolitik oleh sel NK serupa dengan mekanisme yang digunakan
oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari reaksi ini adalah sel NK
membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja yang kedua yaitu
sel NK mensintesis dan mensekresi interferon- (IFN-) yang akan
16

mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama dalam


memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba
dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk
mensekresi IFN-, dan IFN- akan mengaktivasi makrofag untuk
membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut .
Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen
virus yang ditunjukkan oleh MHC, virus menghambat ekspresi
MHC, dan sel NK akan berespons pada keadaan dimana tidak ada
MHC. Pihak mana yang lebih unggul akan menentukan hasil akhir
dari infeksi.
4. Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi
yang penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein
komplemen merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen
membutuhkan aktivasi bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan
enzymatic cascade.
Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur
klasik, dan jalur lektin. Jalur alternatif dipicu ketika protein
komplemen diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat
dikontrol karena mikroba tidak mempunyai protein pengatur
komplemen (protein ini terdapat pada sel tuan rumah). Jalur ini
merupakan komponen imunitas non spesifik. Jalur klasik dipicu
setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau antigen lain. Jalur
ini merupakan komponen humoral pada imunitas spesifik. Jalur
lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin pengikat
manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa di
permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein
pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan
antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas
non spesifik.
17

Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim


proteolitik untuk memecah protein komplemen lainnya. Bagian
terpenting dari komplemen adalah C3 yang akan dipecah oleh
enzim proteolitik pada awal reaksi complement cascade menjadi
C3a dan C3b. Fragmen C3b akan berikatan dengan mikroba dan
mengaktivasi reaksi selanjutnya. Ketiga jalur aktivasi komplemen
di atas berbeda pada cara dimulainya, tetapi tahap selanjutnya dan
hasil akhirnya adalah sama.
Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme
pertahanan. Pertama, C3b menyelubungi mikroba sehingga
mempermudah mikroba berikatan dengan fagosit (melalui reseptor
C3b pada fagosit). Kedua, hasil pemecahan komplemen bersifat
kemoatraktan untuk neutrofil dan monosit, serta menyebabkan
inflamasi di tempat aktivasi komplemen. Ketiga, tahap akhir dari
aktivasi komplemen berupa pembentukan membrane attack
complex (MAC) yaitu kompleks protein polimerik yang dapat
menembus membran sel mikroba, lalu membentuk lubang-lubang
sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan kematian
mikroba.
5. Sitokin pada imunitas non spesifik
Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya
mensekresi sitokin untuk memperantarai reaksi selular pada
imunitas non spesifik. Sitokin merupakan protein yang mudah larut
(soluble protein), yang berfungsi untuk komunikasi antar leukosit
dan antara leukosit dengan sel lainnya. Sebagian besar dari sitokin
itu disebut sebagai interleukin dengan alasan molekul tersebut
diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada leukosit (namun definisi
ini terlalu sederhana karena sitokin juga diproduksi dan bekerja
pada sel lainnya). Pada imunitas non spesifik, sumber utama sitokin
adalah makrofag yang teraktivasi oleh mikroba. Terikatnya LPS ke
reseptornya di makrofag merupakan rangsangan kuat untuk
18

mensekresi sitokin. Sitokin juga diproduksi pada imunitas selular


dengan sumber utamanya adalah sel T helper (TH).
Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap
stimulus eksternal (misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian
berikatan dengan reseptor di sel target. Sebagian besar sitokin
bekerja pada sel yang memproduksinya (autokrin) atau pada sel di
sekitarnya (parakrin). Pada respons imun non spesifik, banyak
makrofag akan teraktivasi dan mensekresi sejumlah besar sitokin
yang dapat bekerja jauh dari tempat sekresinya (endokrin).
Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam
fungsi, misalnya TNF, IL-1 dan kemokin berperan dalam penarikan
neutrofil dan monosit ke tempat infeksi. Pada konsentrasi tinggi,
TNF menimbulkan trombosis dan menurunkan tekanan darah
sebagai akibat dari kontraktilitas miokardium yang berkurang dan
vasodilatasi. Infeksi bakteri Gram negatif yang hebat dan luas dapat
menyebabkan syok septik. Manifestasi klinis dan patologis dari
syok septik disebabkan oleh kadar TNF yang sangat tinggi yang
diproduksi oleh makrofag sebagai respons terhadap LPS bakteri.
Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons terhadap LPS
dan mikroba yang difagosit. Peran IL-12 adalah mengaktivasi sel
NK yang akan menghasilkan IFN-. Pada infeksi virus, makrofag
dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I.
Interferon

ini

menghambat

replikasi

virus

dan

mencegah

penyebaran infeksi ke sel yang belum terkena.


6. Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik
Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen
pada pertahanan melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL)
di plasma bekerja dengan cara mengenali karbohidrat pada
glikoprotein permukaan mikroba dan menyelubungi mikroba untuk
mempermudah fagositosis, atau mengaktivasi komplemen melalui
jalur lectin. Protein MBL ini termasuk dalam golongan protein
19

collectin yang homolog dengan kolagen serta mempunyai bagian


pengikat karbohidrat (lectin). Surfaktan di paru-paru juga tergolong
dalam collectin dan berfungsi melindungi saluran napas dari
infeksi. C-reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di mikroba
dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui
reseptor CRP pada makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini
akan meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut sebagai respons
fase akut (acute phase response).
Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung
dari jenis mikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan
oleh fagosit, sistem komplemen, dan protein fase akut. Sedangkan
pertahanan terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh
fagosit dan sel NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit
dan sel NK.
Penghindaran mikroba dari imunitas non spesifik
Mikroba patogen dapat mengubah diri menjadi resisten terhadap
imunitas non spesifik sehingga dapat memasuki sel pejamu. Beberapa
bakteri intraselular tidak dapat didestruksi di dalam fagosit. Lysteria
monocytogenes menghasilkan suatu protein yang membuatnya lepas
dari vesikel fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding sel
Mycobacterium mengandung suatu lipid yang akan menghambat
penggabungan fagosom dengan lisosom. Berbagai mikroba lain
mempunyai dinding sel yang tahan terhadap komplemen. Mekanisme
ini digunakan juga oleh mikroba untuk melawan mekanisme efektor
pada imunitas selular dan humoral.
Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi respons imun spesifik
Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk
menstimulasi

imunitas

spesifik.

Respons

imun

non

spesifik

menghasilkan suatu molekul yang bersama-sama dengan antigen akan


mengaktivasi limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik terhadap
suatu antigen membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu
20

sendiri, sedangkan mikroba, respons imun non spesifik terhadap


mikroba, dan sel pejamu yang rusak akibat mikroba merupakan sinyal
kedua. Adanya sinyal kedua ini memastikan bahwa limfosit hanya
berespons terhadap agen infeksius, dan tidak berespons terhadap
bahan-bahan non mikroba. Pada vaksinasi, respons imun spesifik dapat
dirangsang oleh antigen, tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini,
pemberian antigen harus disertai dengan bahan tertentu yang disebut
adjuvant. Adjuvant akan merangsang respons imun non spesifik seperti
halnya mikroba. Sebagian besar adjuvant yang poten merupakan
produk dari mikroba.
Mikroba dan IFN- yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel
dendrit dan makrofag untuk memproduksi 2 jenis sinyal kedua
pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan makrofag
mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Kostimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian
bersama-sama

dengan

mekanisme

pengenalan

antigen

akan

mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan


makrofag mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi
sel T naif menjadi sel efektor pada imunitas selular.
Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur
alternatif. Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan
berikatan dengan mikroba. Pada saat limfosit B mengenali antigen
mikroba melalui reseptornya, sel B juga mengenali C3d yang terikat
pada mikroba melalui reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan
ini mengakibatkan diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam hal
ini, produk komplemen berfungsi sebagai sinyal kedua pada respons
imun humoral.
2. Sistim Imun Spesifik
Komponen Sistem Imun Spesifik
Limfosit yang terdiri dari sel T dan sel B, merupakan kunci pengontrol
sistem imun. Sel-sel tersebut dapat mengenal benda asing dan
21

membedakannya dari sel jaringan sendiri. Biasanya sel limfosit hanya


memberikan reaksi terhadap benda asing, tetapi tidak terhadap sel
sendiri. Kemampuan mengenal limfosit tersebut disebabkan oleh
adanya reseptor pada permukaan sel. Pada permukaan sel T dan sel B
ditemukan pula reseptor untuk fraksi Fc suatu antibodi yang mungkin
berperanan dalam mengatur respon limfosit. Satu sel limfosit hanya
membentuk reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel tersebut
hanya dapat mengenal antigen yang sejenis saja.
Sel T
Pada neonatus, timus merupakan salah satu tempat proliferasi sel.
Diduga 90% timosit yang gagal memperoleh reseptor yang diperlukan
untuk berfungsi akan dihancurkan. Sel T merupakan 65-80% dari
semua limfosit dalam sirkulasi. Di bawah mikroskop biasa, sel T tidak
dapat dibedakan dari sel B.
a. Karakteristik Sel T
1. Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel sel ini harus berkontak
langsung

dengan

sasaran

suatu

proses

yang

dikenal

sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated


immunity, imunitas seluler).
2. Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran
plasmanya, setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik.
3. Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut
disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda
identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing
maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel
T dapat mengikuti keduanya.
4. Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T
efektor. Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai
cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat
dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel
tubuh.
22

5. Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing


dalam kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri,
suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T
berikutnya.
6. Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu
sebelum sel T teraktivasi bersiap untuk melancarkan serangan
imun seluler.
b. Subpopulasi sel T
Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel
klon sel T komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama
beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T teraktivasi yang
melaksanakan berbagai respons imunitas seluler. Terdapat tiga
subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan
oleh antigen.
1. Sel T sitotoksik
Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen
asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker,
dan sel cangkokan.
Sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah sel yang
sudah terinfeksi virus. Sel T sitotoksik dari klon yang spesifik
untuk virus tersebut mengenali dan berikatan dengan antigen
virus dan antigen diri di permukaan sel yang terinfeksi. Setelah
diaktivasi oleh antigen virus, sel T sitotoksik menghancurkan sel
korban dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi yang melisiskan
sel sebelum replikasi virus dapat dimulai.
Salah satu cara yang digunakan sel T sitotoksik dan sel natural
killer untuk menghancurkan sel sasaran adalah dengan
mengeluarkan

moleku-molekul

perofin,

yang

menembus

membran permukaan sel sasaran dan menyatu untuk membentuk


saluran seperti pori-pori. Teknik mematikan sel dengan
membuat lubang di membran ini serupa dengan metode yang
diterapkan

olehmembrane

attack

complex pada

jenjang
23

komplemen. Virus yang keluar setelah sel dirusak kemudian


secara langsung dihancurkan di cairan ekstrasel oleh sel-sel
fagositik,

antibodi

netralisasi,

dan

sistem

komplemen.

Sementara itu Sel T sitotoksik, yang tidak mengalami cidera


selama proses ini, dapat menyerang sel lain yang terinfeksi. Selsel sehat disekitarnya menggantikan sel yang hilang melalui
proses pembelahan sel.
Biasanya untuk menghentikan infeksi virus tidak banyak sel
yang harus dihancurkan. Namun, apabila virus memiliki
kesempatan untuk memperbanyak diri, dengan virus-virus
turunan itu meninggalkan sel dan semua menyebar ke sel-sel
lain, banyak sel yang harus dikorbankan oleh mekanisme
pertahanan sel T sitotoksik, sehingga dapat terjadi malfungsi
serius.
2. Sel T penolong
Sel T yang meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel
plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan
(supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.
Sel T penolong meningkatkan banyak aspek respons imun,
terutama melalui sekresi limfokin. Berikut ini adalah sebagian
dari zat-zat perantara kimiawi yang paling dikenal yang
dihasilkan oleh Sel T ini:
a. Sel T penolong menghasilkan faktor pertumbuhan sel B
yang

meningkatkan

kemampuan

klon

sel

aktif

menghasilkan antibodi. Sekresi antibodi sangat menurun


jika tidak terdapat sel T penolong, walaupun sel T itu
sendiri tidak menghasilkan antibodi.
b. Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel
T, yang juga dikenal sebagai interleukin 2 (IL-2) untuk
meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik, sel T penekan, dan
bahkan sel T penolong lain yang responsif terhadap antigen
yang masuk.
24

c. Sebagian zat kimia yang dihasilkan oleh sel T berfungsi


sebagai kemotaksin untuk menarik lebih banyak neutrofil
dan calon makrofag ke tempat invasi.
d. Setelah makrofag ditarik ke daerah invasi, sel T penolong
mengeluarkanmacrophage-migration

inhibition

factor,

suatu limfokin penting lain, yang menahan sel-sel fagositik


besar ini tetap di lokasi invasi. Akibatnya terjadi
penumpukan makrofag dalam jumlah besar di daerah yang
terinfeksi. Faktor ini juga meningkatkan daya fagositik
makrofag-makrofag tersebut. Apa yang disebut angry
macrophage ini memiliki daya destruktif yang lebih besar.
Sel T penolong adalah jenis sel T yang paling banyak, menyusun
sekitar 60-80% dari sel T yang beredar dalam darah. Karena
peran penting sel ini dalam menyalakan semua kekuatan
llimfosi dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai
tombol utama sistem imun.
3. Sel T penekan
Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T
sitotoksik dan penolong.
Sebagian besar dari milyaran Sel T diperkirakan tergolong
dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara
langsung ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik.
Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena
mereka memodulasi aktivitas sel B dan Sel T sitotoksik serta
aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
Pajanan terhadap antigen sering mengaktifkan baik sel B
maupun sel T secara stimulan. Seperti sel T regulatorik yang
dapat mempermudah atau menekan sekresi antibodi sel B,
antibodi

juga

dapat

meningkatkan

atau

menghambat

kemampuan sel-sel T sitotoksik menghancurkan sel korban,


bergantung pada keadaan. Sebagain besar efek yang ditimbulkan
limfosit pada sel-sel imun lain ( limfosit lain dan makrofag)
25

diperantarai melalui sekresi zat-zat perantara kimiawi. Semua


zat kimiawi selain antibodi yang disekresikan secara kolektif
oleh limfosit disebut limfokin, yang sebagian besar diproduksi
oleh limfosit T. Limfokin tidak berinteraksi secara langsung
dengan antigen yang menyebabkan prduksi limfokin tersebut.
Pengetahuan mengenai sel T penekan jauh lebih sedikit
dibandingkan subpopulasi lainnya. Sel-sel ini tampaknya
berfungsi membatasi reaksi imun melalui mekanisme check
and balance dengan limfosit yang lain. Sementara sel B, sel
Sitotoksik, dan sel T penolong meningkatkan aktivitas imun satu
sama lain, sel T penekan membatasi respons semua sel imun
lain. Melalui metode umpan balik negatif, sel T penolong
mendorong sel T penekan beraksi. Sel T penekan pada
gilirannya, menghambat sel T penolong dan sel-sel lain yang
untuk bertugas dipengaruhi oleh sel T penolong.
Efek inhibisi oleh sel T penekan membantu mencegah reaksi
imun berlebihan yang dapat membahayakan tubuh. Peningkatan
jumlah sel T penekan sebagai respons terhadap infeksi virus
biasanya berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan
proliferasi sel T sitotoksik dan sel T penolong, sehingga sel T
penekan membantu menghentikan respons imun setelah respons
tersebut melaksanakan fungsinya.
Sel B
Sel B berkembang dalam bursa fabricius yang timbuldari epitel kloaka.
Pada manusia belum didapatkan hal yang analog dengan bursa tersebut
dan pematangan terjadi di sumsum tulang atau di tempat yang belum
diketahui. Setelah matang sel B bergerak ke alat-alat seperti limpa,
kelenjar limfoid atau tonsil.
Sel B ditemukan dalam hati fetus dan sumsum tulang dan belum
mempunyai imunoglobulin permukaan atau petanda. Perkembangan sel
B

dalam

sumsum

tulang

adalah

antigen

independent

tetapi
26

perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan dari antigen. Sel B


dalam istirahat berukuran kecil dengan sedikit sekali sitoplasma. Bila
diaktifkan berkembang menjadi limfoblas. Beberapa diantaranya
menjadi matang atau sel plasma yang tidak memiliki Ig pada
permukaannya, tetapi mampu memproduksi antibodi bebas. Beberapa
limfoblast berkembang menjadi sel T memori.
Atas pengaruh antigen melalui sel T, sel B berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu membentuk Ig dengan
spesifitas yang sama, sebagian sel yang dibentuk akan kembali ke
dalam fase istirahat, sel B yang matang sebagai sel B memori yang
dapat memberikan respon imun yang lebih cepat.
Sel B merupakan 5-15% dari jumlah seluruh limfosit dalam sirkulasi.
Fungsi utamanya adalah membentuka antibodi. Sel B ditandai dengan
adanya imunoglobulin yang dibentuk didalam sel dan kemudian
dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang selanjutnya
berfungsi sebagai reseptor antigen. Kebanyakan sel B perifer
mengandung IgM dan IgD dan hanya beberapa sel yang mengandung
IgG, IgA, dan IgE pada permukaan tersebut yang dapat ditemukan
dengan teknik imunofluoresen.
2. Fisiologi Termoregulasi.
Pengertian Termoregulasi
Termoregulasi adalah Suatu pengaturan fisiologis tubuh manusia mengenai
keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas sehingga suhu tubuh dapat
dipertahankan secara konstan.
Keseimbangan suhu tubuh diregulasi oleh mekanisme fisiologis dan prilaku.
Agar suhu tubuh tetap konstan dan berada dalam batasan normal, hubungan antara
prodksi panas dan pengeluaran panas harus dipertahankan. Hubungan diregulasi
melalui mekanisme neurologis dan kardiovaskular. Perawat menerapkan
pengetahuan mekanisme kontrol suhu untuk meningkatkan regulasi suhu.
27

Hipotalamus yang terletak antara hemisfer serebral, mengontror suhu tubuh


sebagaimana kerja termostat dalam rumah. Hipotalamus merasakan perubahan
ringan pada suhu tubuh. Hipotalamus anterior mengontror pengeluaran panas, dan
hipotalamus posterior mengontror produksi panas.
2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi termoregulasi
Banyak faktor yang mempengaruhi suhu tubuh. Perubahan pada suhu tubuh
dalam rentang normal terjadi ketika hubungan antara produksi panas dan
kehilangan panas diganggu oleh variabel fisiologis atau prilaku. Berikut adalah
faktor yang mempengarui suhu tubuh :
a.

Usia
Pada saat lahir, bayi meninggalkan lingkungan yang hangat, yang relatif

konstan, masuk dalam lingkungan yang suhunya berfluktuasi dengan cepat.suhu


tubuh bayi dapat berespon secara drastis terhadap perubahan suhu lingkungan.
Bayi baru lahir mengeluaran lebih dari 30% panas tubuhnya melalui kepala oleh
karena itu perlu menggunakan penutup kepala untuk mencegah pengeluaran
panas. Bila terlindung dari ingkungan yang ektrem, suhu tubuh bayi
dipertahankan pada 35,5 C sampai 39,5C. Produksi panas akan meningkat
seiring dengan pertumbuhan bayi memasuki anak-anak. Perbedaan secara individu
0,25C sampai 0,55 C adalah normal (Whaley and Wong, 1995).
Regulasi suhu tidak stabil sampai pubertas. Rentang suhu normal turun
secara berangsur sanpai seseorang mendekati masa lansia. Lansia mempunyai
rentang suhu tubuh lebih sempit daripada dewasa awal. Suhu oral 35 C tidak
lazim pada lansia dalam cuaca dingin. Nmun rentang shu tubuh pada lansia sekitar
36 C. Lansia terutama sensitif terhadap suhu yang ektrem karena kemunduran
mekanisme kontrol, terutama pada kontrol vasomotor ( kontrol vasokonstriksi dan
vasodilatasi), penurunan jumlah jaringan subkutan, penurunan aktivitas kelenjr
keringat dan penurunan metabolisme.
b.

Olahraga
Aktivitas otot memerlukan peningkatan suplai darah dalam pemecahan

karbohidrat dan lemak. Hal ini menyebabkan peningkatan metabolisme dan


28

produksi panas. Segala jenis olahraga dapat meningkatkan produksi panas


akibatnya meningkatkan suhu tubuh. Olahraga berat yang lama, seperti lari jaak
jauh, dapat meningatkan suhu tubuh untuk sementara sampai 41 C.
c.

Kadar hormon
Secara umum, wanita mengalami fluktuasi suhu tubuh yang lebih besar

dibandingkan pria. Variasi hormonal selama siklus menstruasi menyebabkan


fluktuasi suhu tubuh. Kadarprogesteron meningkat dan menurun secara bertahap
selama siklus menstruasi. Bila kadar progesteron rendah, suhu tubuh beberapa
derajat dibawah kadar batas. Suhu tubuh yang rendah berlangsung sampai terjadi
ovulasi. Perubahan suhu juga terjadi pada wanita menopause. Wanita yang sudah
berhenti mentruasi dapat mengalami periode panas tubuh dan berkeringat banyak,
30 detik sampai 5 menit. Hal tersebut karena kontrol vasomotor yang tidak stabil
dalam melakukan vasodilatasi dan vasokontriksi (Bobak, 1993)
d.

Irama sirkadian
Suhu tubuh berubah secara normal 0,5 C sampai 1 C selama periode 24

jam. Bagaimanapun, suhumerupakan irama stabil pada manusia. Suhu tubuh


paling rendah biasanya antara pukul 1:00 dan 4:00 dini hari. Sepanjang hari suhu
tubuh naik, sampai seitar pukul 18:00 dan kemudian turun seperti pada dini hari.
Penting diketahui, pola suhu tidak secara otomatis pada orang yang bekerja pada
malam hari dan tidur di siang hari. Perlu waktu 1-3 minggu untuk perputaran itu
berubah. Secara umum, irama suhu sirkadian tidak berubah sesuai usia. Penelitian
menunjukkan, puncak suhu tubuh adalah dini hari pada lansia (lenz,1984)
e.

Stres
Stres fisik dan emosi meningkatkan suhu tubuh melalui stimulasi hormonal

dan persarafan. Perubahan fisiologi tersebut meningkatkan panas. Klien yang


cemas saat masuk rumah sakit atau tempat praktik dokter, suhu tubuhnya dapat
lebih tinggi dari normal
f.

Lingkungan
29

Lingkungan mempengaruhi suhu tubuh. Jika suhu dikaji dalam ruangan yang
sangat hangat, klien mungkin tidak mampu meregulasi suhu tubuh melalui
mekanisme pengluaran-panas dan suhu tubuh akan naik. Jika kien berada di
lingkungan tanpa baju hangat, suhu tubh mungkin rendah karena penyebaran yang
efektif dan pengeluaran panas yang konduktif. Bayi dan lansia paling sering
dipengaruhi oleh suhu lingkungan karena mekaisme suhu mereka kurang efisien.
Perubahan suhu
Perubahan suhu tubuh di luar rentang normal mempengaruhi set point
hipotalamus. Perubahan ini dapat berhubungan dengan produksi panas yang
berlebihan, pengeluaran panas yang berlebihan, produksi panas minimal.
Pengeluaran panas minimal atau setiap gabungan dari perubahan tersebut. Sifat
perubahan tersebut mempengauhi masalah klinis yang dialami klien.
a.

Demam
Demam atau hiperpireksia terjadi karena mekanisme pengeluara panas tidak

mampu untuk mempertahankan kecepatan pengeluaran kelebihan produksi panas,


yang mengakibatkan peningkatan suhu tubuh abnormal. Tingkat ketika demam
mengancamkesehatan seringkali merupkan sumber yang diperdebatkan di antara
pemberi perawatan kesehatan. Demam biasanya tidak berbahaya jika berada pada
suhu dibawah 39 C. Pembacaan suhu tunggal mungkin tidak menandakan
demam. Davis dan lentz (1989) merekomendasikan untuk menentukan demam
berdasarkan beberapa pembacaan suhu dalam waktu yang berbeda pada satu hari
dibandingkan dengan suhu normal tersebut pada waktu yang sama, di samping
terhadap tanda vital dan gejala infeksi. Demam sebenarnya merupakan akibat dari
perubahan set point hipotalamus.
b.

Kelelahan akibat panas


Kelelehan akibat panas terjadi bila diaforesis yang banyak mengakibatkan

kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebih. Disebabkan oleh lingkungan yang
terpajan panas. Tanda dan gejala kurang volume cairan adalah hal yang umum
selama kelelehan akibat panas. Tindakan pertama yaitu memindahkan klien ke
lingkungan yg lebih dingin serta memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit.
30

c.

Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk

meningkatkan pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas adalah


hipertermia. Setiap penyakit atautrauma pada hipotalamus dapat mempengaruhi
mekanisme pengeluaran panas. Hipertermia malignan adalah kondisi bawaan
tidak dapat mengontrol produksi panas, yang terjadi ketika orang yang rentan
menggunakan obat-obatan anestetik tertentu.
d.

Heatstroke
Pajanan yang lama terhadap sinar matahari atau lingkungan dengan suhu

tinggi dapat mempengaruhi mekanisme pengeluaran panas. Kondisi ini


disebutheatstroke, kedaruratan yang berbahaya panas dengan angka mortalitas yg
tinggi. Klien berisiko termasuk yang masih sangat muda atau sangat tua, yang
memiliki penyakit kardiovaskular, hipotiroidisme, diabetes atau alkoholik. Yang
juga termasuk beresiko adalah orang yang mengkonsumsi obat yang menurunkan
kemampuan tubuh untuk mengeluarkan panas (mis. Fenotiasin, antikolinergik,
diuretik, amfetamin, dan antagonis reseptor beta- adrenergik) dan mereka yang
menjalani latihan olahraga atau kerja yang berat (mis. Atlet, pekerja kontruksi dan
petani). Tanda dan gejala heatstroke termasuk gamang, konfusi, delirium, sangat
haus, mual, kram otot, gangguan visual, dan bahkan inkotinensia. Tanda yang
paling dari heatstroke adalah kulit yang hangat dan kering.
Penderita heatstroke tidak berkeringat karena kehilangn elektrolit sangat
berat dan malfungsi hipotalamus. Heatstroke dengan suhu lebih besar dari 40,5 C
mengakibatkan kerusakan jaringan pada sel dari semua organ tubuh. Tanda vital
menyatakan suhu tubuh kadang-kadang setinggi 45 C, takikardia dan hipotensi.
Otak mungkin merupakan organ yang terlebih dahulu terkena karena
sensitivitasnyaterhdap ketidakseimbangan elektrolit. Jika kondisi terus berlanjut,
klien menjadi tidak sadar, pupil tidak reaktif. Terjadi kerusakan nourologis yang
permanen kecuali jika tindakan pendinginan segera dimulai.
e.

hipotermia
31

pengeluaran

panas

akibat

paparan

terus-menerus

terhadap

dingin

mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memproduksi panas, mengakibatkan


hipotermia. Hipotermia diklasifikasikan melalui pengukuran suhu inti. Hal
tersebut dapat terjadi kebetulan atau tidak sengaja selama prosedur bedah untuk
mengurangi kebutuhan metabolik dan kebutuhan tubuh terhada oksigen.
Hipotermia aksidental biasanya terjadi secara berangsur dan tidak diketahui
selama beberapa jam. Ketika suhu tubuh turun menjadi 35 C, klien menglami
gemetar yang tidak terkontrol, hilang ingatan, depresi, dan tidak mampu menila.
Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4 C, frekuensi jantung, pernafasan, dan
tekanan darah turun. kulit menjadi sianotik.

Mekanisme kerja hipotalamus dalam mengatur suhu tubuh


Pengaturan suhu tubuh diatur oleh hipotalamus region anterior dan
posterior yang masing-masing berespon pada suhu tubuh meningkat dan
berkurang. Suhu tubuh diatur hampir seluruhnya oleh mekanisme umpan
balik, dan hampir semua mekanisme in terjadi melalui pusat pengaturan suhu
yang teletak pada hipotalamus. Agar mekanisme umpan balik ini dapat
berlangsung, harus juga tersedia pendetektor suhu untuk menentukan kapan
suhu tubuh menjadi sangat panas atau sangat dingin.(4)
Area preoptik hipotalamus anterior mengandung sejumlah besar
neuron yang sensitif terhadap panas yang jumlahnya kira-kira sepertiga
neuron yang sensitif terhadap dingin. Neuron-neuron ini diyakini berfungsi
sebagai sensor suhu untuk mengatur suhu tubuh. Neuron-neuron yang sensitif
terhadap panas ini meningkatkan kecepatan kerjanya sesuai dengan
peningkatan suhu, kecepatannya kadang meningkat 2 sampai 10 kali lipat pada
kenaikan suhu tubuh sebesar 100C . Neuron yang sensitif terhadap dingin,
sebaliknya, meningkatkan kecepatan kerjanya saat suhu tubuh turun. Apabila
area preoptik dipanaskan, kulit di seluruh tubuh dengan segera mengeluarkan
banyak keringat, sementara pada waktu yang sama pembuluh darah kulit di
seluruh tubuh menjadi sangat berdilatasi. Jadi, hal ini merupakan reaksi yang
32

cepat untuk menyebabkan tubuh kehilangan panas, dengan demikian


membantu mengembalikan suhu tubuh kembali normal. Disamping itu,
pembentukan panas tubuh yang berlebihan dihambat. Oleh karena itu, jelas
bahwa area preoptik dari hipotalamus memiliki kemampuan untuk berfungsi
sebagai termostatik pusat kontrol suhu tubuh.
Sinyal yang ditimbulkan oleh reseptor suhu dari hipotalamus sangat
kuat dalam mengatur suhu tubuh, reseptor suhu pada bagian lain dari tubuh
juga mempunyai peranan penting dalam pengaturan suhu. Hal ini terjadi pada
reseptor suhu di kulit dan beberapa jaringan khusus dalam tubuh. Reseptor
dingin terdapat jauh lebih banyak daripada reseptor panas, tepatnya, terdapat
10 kali lebih banyak di seluruh kulit. Oleh karena itu, deteksi suhu bagian
perifer terutama menyangkut deteksi suhu sejuk dan dingin daripada suhu
hangat.
Apabila seluruh kulit tubuh menggigil, terjadi pengaruh refleks yang
segera dibangkitkan untuk meningkatkan suhu tubuh melalui beberapa cara :
(1) dengan memberikan rangsangan kuat sehingga menyebabkan mengigil,
dengan akibat meningkatnya kecepatan pembentukan panas tubuh; (2) dengan
menghambat proses berkeringat bila hal ini harus terjadi, dan (3) dengan
meningkatkan vasokonstriksi kulit untuk menghilangkan pemindahan panas
tubuh ke kulit. (4)
Walaupun banyak sinyal sensoris temperatur berasal dari reseptor
perifer, sinyal ini membantu pengaturan suhu tubuh terutama melalui
hipotalamus. Area pada hipotalamus yang dirangsang oleh sinyal sensoris ini
adalah suatu area yang terletak bilateral dalam hipotalamus posterior kira-kira
setinggi korpus mamilaris. Sinyal sensoris temperatur dari hipotalamus
anterior-area preoptik juga dipindahkan ke dalam area hipotalamus posterior
ini. Di sini sinyal dari area preoptik dan sinyal dari perifer tubuh digabung
untuk mengatur reaksi pembentukan panas atau reaksi penyimpanan suhu
tubuh. (4)
Sistem pengatur temperatur menggunakan tiga mekanisme penting
untuk menurunkan panas tubuh ketika temperatur menjadi sangat tinggi :(4)
33

1. Vasodilatasi. Pada hampir semua area tubuh, pembuluh darah kulit


berdilatasi dengan kuat. Hal ini disebabkan oleh hambatan dari pusat simpatis
pada hipotalamus posterior yang menyebabkan vasokonstriksi. Vasodilatasi
penuh akan meningkatkan kecepatan pemindahan panas ke kulit sebanyak
delapan kali lipat.
2. Berkeringat. Peningkatan temperatur tubuh 10C menyebabkan keringat
cukup banyak untuk membuang 10 kali lebih besar kecepatan metabolisme
basal dari pembentukan panas tubuh.
3.

Penurunan

pembentukan

panas.

Mekanisme

yang

menyebabkan

pembetukan panas berlebihan, seperti menggigil dan termogenesis kimia,


dihambat dengan kuat.
Ketika tubuh terlalu dingin, sistem pengaturan temperatur mengadakan
prosedur yang sangat berlawanan, yaitu:(4)
1. Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh rangsangan
pusat simpatis hipotalamus posterior.
2. Piloereksi. Piloereksi berarti berdiri pada akarmya. Rangsangan simpatis
menyebabkan otot erektor pili yang melekat ke folikel rambut
berkontraksi, yang menyebabkan rambut berdiri tegak.
Mekanisme pengaturan suhu secara singkat
Kulit > Reseptor ferifer > hipotalamus (posterior dan anterior)
>

Preoptika

hypotalamus

>

Nervus

eferent

>

kehilangan/pembentukan panas
Sumber panas
Produksi panas
Pada respirasi sel, proses melepaskan energi dari makanan untuk
membentuk ATP, juga menghasilkan panas ketika satu energi dihasilkan.
(3) Walaupun respirasi sel, berlangsung konstan, banyak faktor yang
mempengaruhi proses ini, yaitu :
1. Hormon tiroksin (dan T3), dihasilkan oleh kelenjar tiroid, meningkatkan
laju respirasi sel dan produksi panas. Sekresi tiroksin diregulasi oleh laju
produksi energi tubuh, laju metabolisme itu sendiri. Ketika laju
34

metabolisme berkurang, kelenjar tiroid distimulasi untuk menghasilkan


lebih banyak tiroksin. Ketika tiroksin meningkatkan laju respirasi sel,
mekanisme umpan balik negative menghambat sekresi lebih lanjut sampai
laju metabolisme turun kembali. Tiroksin disekresi ketika kebutuhan
respirasi sel meningkat dan mungkin merupakan pengatur utama produksi
energi harian.
2. Pada keadaan stress, epinerin dan norepinefrin disekresikan oleh
medulla adrenal, dan sistem saraf simpatis menjadi lebih aktif. Epinefrin
meningkatkan laju respirasi sel, khususnya di organ seperti jantung, otot
rangka, dan hati. Stimulasi simpatis juga meningkatkan aktivitas organorgan ini. Peningkatan produksi ATP untuk memenuhi kebutuhan ATP
pada keadaan stress yang juga berarti lebih banyak panas yang dihasilkan.
3. Organ-organ yang aktif menghasilkan ATP merupakan sumber panas
ketika tubuh istirahat. Otot rangka, contohnya, biasanya pada kedaan
kontraksi ringan disebut tonus otot. Karena meskipun kontraksi ringan
membutuhkan ATP, otot jua menghasilkan panas. Menghasilkan sekitar
25% dari total panas tubuh pada saat istirahat dan lebih banyak pada saat
olahraga, ketika lebih banyak ATP yang dihasilkan. Hati merupakan organ
yang secara kontinu aktif, menghasilkan ATP untuk menghasilkan energi
untuk fungsinya yang banyak. Hasilnya, hati menghasilkan sebanyak 20%
total panas tubuh
pada saat isitrahat. Panas yang dihasilkan oleh organ-organ ini disebarkan
ke seluruh tubuh oleh darah. Ketika darah yang mengalir lebih rendah
melalui organ seperti otot dan hati, panas yang mereka hasilkan ditransfer
ke darah, menghangatkan darah. Darah yang hangat tersebut bersirkulasi
ke area tubuh yang lain, mendistribusikan panas.
4. Asupan makanan juga meningkatkan produksi panas, karena aktivitas
metabolisme saluran cerna meningkat. Panas yang dibentuk ketika saluran
cerna menghasilkan ATP untuk peristalsis dan untuk sintesa enzim
pencernaan.
5. Perubahan suhu tubuh juga menimbulkan efek terhadap laju
metabolisme dan produksi panas. Hal ini secara klinis penting ketika
35

seseorang demam, peningkatan suhu tubuh yang abnormal. Suhu yang


tinggi meningkatkatkan laju metabolisme, yang meningkatkan produksi
panas dan meningkatkan suhu tubuh lebih lanjut. Demam yang tinggi
memicu siklus yang tak berujung meningkatkan produksi panas. (3)
Untuk mempertahankan suhu tetap hangat, tubuh harus membentuk
gerakan volunter tambahan (gerakan anggota gerak) dan kontraksi otot
involunter (menggigil). Bayi baru lahir juga mempunyai jaringan yang
dikenal lemak coklat (brown fat), yang mampu menghasilkan panas
tambahan tanpa menggigil. Dingin menstimulasi jalur reflex yang
menghasilkan pelepasan norepinefrin (reseptor 3-adrenergik) dalam
jaringan lemak, yang menstimulasi terjadinya (1) lipolisis dan (2) ekspresi
lipoprotein lipase (LPL) dan thermogenin. LPL meningkatkan suplai asam
lemak bebas. Thermogenin berada di dalam membran mitokondria yang
merupakan protein bebas yang berfungsi sebagai H+-uniporter. Sirkuit
pendek gradient H+ antar membran dalam mitokondria, melepaskan
(produksi panas) produksi ATP melalui rantai respirasi.(5)
Pelepasan panas
1. Penguapan (evaporasi)
Penguapan dari tubuh merupakan salah satu jalan melepaskan panas.
Walau tidak berkeringat, melalui kulit selalu ada air berdifusi sehingga
penguapan dari permukaan tubuh kita selalu terjadi disebut inspiration
perspiration (berkeringat tidak terasa) atau biasa disebut IWL (insensible
water loss). Inspiration perspiration melepaskan panas + 10 kcal/jam dari
permukaan panas dari metabolisme dikeluarkankulit. Dari jalan pernafasan
+ 7 kcal/jam dengan cara evaporasi 20 - 25%.
2. Radiasi
Pada permukaan tubuh, bila suhu disekitar lebih panas dari badan akan
menerima panas, bila disekitar dingin akan melepaskan panas. Proses ini
terjadi dalam bentuk gelombang elektromagnetik dengan kecepatan seperti
cahaya radiasi.
3. Konduksi
36

Perpindahan panas dari atom ke atom/ molekul ke molekul dengan


jalan pemindahan berturut turut dari energi kinetic. Pertukaran panas dari jalan
ini dari tubuh terjadi sedikit sekali (kecuali menyiram dengan air)
4. Konveksi
Perpindahan panas dengan perantaraan gerakan molekul, gas atau
cairan. Misalnya pada waktu dingin udara yang diikat/dilekat menjadipada
tubuh akan dipanaskan (dengan melalui konduksi dan radiasi) kurang padat,
naik dan diganti udara yang lebih dingin. Biasanya ini kurang berperan dalam
pertukaran panas.
Pengaturan Suhu Tubuh pada keadaan dingin dapat dilakukan melalui
dua mekanisme tubuh yaitu :

Secara fisik (prinsif-prinsif ilmu alam) Yaitu pengaturan atau reaksi yang
terdiri

dari

perubahan

sirkulasi

dan

tegaknya

bulu-bulu

badan

(piloerektion) > erector villi

Secara kimia yaitu terdiri dari penambahan panas metabolisme.


Pengaturan secara fisik Dilakukan dengan dua cara :
1. Vasokontriksi pembuluh darah (cutaneus vasokontriksi)
Pada reaksi dingin aliran darah pada jari-jari ini bias berkurang + 1% dari
pada dalam keadaan panas. Sehingga dengan mekanisme vasokontriksi
maka panas yang keluar dikurangi atau penambahan isolator yang sama
dengan memakai 1 rangkap pakaian lagi.
2. Limit blood flow slufts (Perubahan aliran darah)
Pada prinsifnya yaitu panas/temperature inti tubuh terutama akan lebih
dihemat (dipertahankan) bila seluruh anggota badan didinginkan
Pengaturan secara kimia
Pada keadaan dingin, penambahan panas dengan metabolisme akan
terjadi baik secara sengaja dengan melakukan kegiatan otot-otot ataupun
dengan cara menggigil. Menggigil adalah kontraksi otot secara kuat dan
lalu lemah bergantian, secara synkron terjadi kontraksi pada group-group
kecil motor unit alau seluruh otot. Pada menggigil kadang terjadi kontraksi
secara simultan sehingga seluruh badan kaku dan terjadi spasme.
37

Menggigil efektif untuk pembentukan panas, dengan menggigil pada suhu


5 derajat Celcius selama 60 menit produksi panas meningkat 2 kali dari
basal, dengan batas maximal 5 kali.
Pengaturan suhu tubuh pada keadaan panas dapat dilakukan dengan cara:
1. Fisik
Penambahan aliran darah permukaan tubuh
Terjadi aliran darah maximum pada anggota badan
Perubahan (shift) dari venus return ke vena permukaan
Proses

ini

kurang/dibawah

terutama

34

derajat

efektif
Celcius.

pada

keadaan

penambahan

temperature
penambahan

konduktivitas panas (thermalaliran darah konduktivity)


2. Keringat
Pada temperature diatas 340 C, pengaturan sirkulasi panas tidak cukup
dengan radiasi, dimana pada kondisi ini tubuh mendapat panas dari radiasi.
mekanisme panas yang dipakai dalam keadaan ini dengan cara
penguapan (evaporasi).

Gerakan

kontraksi

pada

kelenjar

keringat,

berfungsi

secara

keringatperiodic memompa tetesan cairan keringat dari lumen


permukaan kulit merupakan mekanisme pendingin yang paling efektif.
Termoregulasi pada Manusia
Termoregulasi manusia berpusat pada hypothalamus anterior terdapat
tiga komponen pengatur atau penyusun sistem pengaturan panas, yaitu
termoreseptor, hypothalamus, dan saraf eferen serta termoregulasi dapat
menjaga suhu tubuhnya, pada suhu-suhu tertentu yang konstan biasanya lebih
tinggi dibandingkan lingkungan sekitarnya
Mekanisme pengaturan suhu tubuh merupakan penggabungan fungsi
dari organ-organ tubuh yang saling berhubungan. didalam pengaturan suhu
tubuh mamalia terdapat dua jenis sensor pengatur suhu, yautu sensor panas
dan sensor dingin yang berbeda tempat pada jaringan sekeliling (penerima di
luar) dan jaringan inti (penerima di dalam) dari tubuh.Dari kedua jenis sensor
ini, isyarat yang diterima langsung dikirimkan ke sistem saraf pusat dan
kemudian dikirim ke syaraf motorik yang mengatur pengeluaran panas dan
38

produksi panas untuk dilanjutkan ke jantung, paru-paru dan seluruh tubuh.


Setelah itu terjadi umpan balik, dimana isyarat, diterima kembali oleh sensor
panas dan sensor dingin melalui peredaran darah .
Sebagian panas hilang melalui proses radiasi, berkeringat yang
menyejukkan badan. Melalui evaporasi berfungsi menjaga suhu tubuh agar
tetap konstan. dan modifikasi sistim sirkulasi di bagian kulit. Kontriksi
pembuluh darah di bagian kulit dan countercurrent heat exchange adalah salah
satu cara untuk mengurangi kehilangan panas tubuh. Manusia menggunakan
baju merupakan salah satu perilaku unik dalam termoregulasi
3. Klasifikasi, Pola Demam, dan suhu normal berdasarkan tempat
pengukurannya.
International Union of Physiological Sciences Commission for Thermal
Physiology mendefinisikan demam sebagai suatu keadaan peningkatan
suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya) merupakan bagian dari
respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap invasi
mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh
host. El-Rahdi dan kawan-kawan mendefinisikan demam (pireksia) dari
segi patofisiologis dan klinis. Secara patofisiologis demam adalah
peningkatan thermoregulatory set point dari pusat hipotalamus yang
diperantarai oleh interleukin 1 (IL-1). Sedangkan secara klinis demam
adalah peningkatan suhu tubuh 1oC atau lebih besar di atas nilai rerata
suhu normal di tempat pencatatan. Sebagai respons terhadap perubahan
set point ini, terjadi proses aktif untuk mencapai set point yang baru. Hal
ini dicapai secara fisiologis dengan meminimalkan pelepasan panas dan
memproduksi panas.
Suhu tubuh normal bervariasi sesuai irama suhu circardian (variasi
diurnal). Suhu terendah dicapai pada pagi hari pukul 04.00 06.00 dan
tertinggi pada awal malam hari pukul 16.00 18.00. Kurva demam
biasanya juga mengikuti pola diurnal ini. Suhu tubuh juga dipengaruhi
oleh faktor individu dan lingkungan, meliputi usia, jenis kelamin, aktivitas
fisik dan suhu udara ambien. Oleh karena itu jelas bahwa tidak ada nilai
39

tunggal untuk suhu tubuh normal. Hasil pengukuran suhu tubuh bervariasi
tergantung pada tempat pengukuran.

Tabel Suhu normal pada tempat yang berbeda


Tempat
pengukuran
Aksila
Sublingual
Rektal
Telinga

Jenis termometer
Air
elektronik
Air
elektronik
Air

Rentang; rerata
suhu normal (oC)

raksa,

34,7

37,3;

raksa,

36,4
35,5

37,5;

36,6
raksa,

elektronik
Emisi infra merah

36,6 37,9; 37
35,7
36,6

37,5;

Dema
m
(oC)
37,4
37,6
38
37,6

Suhu rektal normal 0,27o 0,38oC (0,5o 0,7oF) lebih tinggi dari suhu oral. Suhu
kurang lebih 0,55oC (1oF) lebih rendah dari suhu oral. Untuk kepentingan klinis
praktis, pasien dianggap demam bila suhu rektal mencapai 38 oC, suhu oral 37,6oC,
suhu aksila 37,4oC, atau suhu membran tympani mencapai 37,6oC. Hiperpireksia
merupakan istilah pada demam yang digunakan bila suhu tubuh melampaui
41,1oC (106oF).
Pola demam
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah
mendapat antipiretik sehingga mengubah pola, atau pengukuran suhu secara serial
dilakukan di tempat yang berbeda. Akan tetapi bila pola demam dapat dikenali,
walaupun tidak patognomonis untuk infeksi tertentu, informasi ini dapat menjadi
petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).
40

Tabel Pola demam yang ditemukan pada penyakit pediatrik


Pola demam
Kontinyu
Remitten
Intermiten
Hektik atau septik
Quotidian
Double quotidian

Penyakit
Demam tifoid, malaria falciparum malignan
Sebagian besar penyakit virus dan bakteri
Malaria, limfoma, endokarditis
Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik
Malaria karena P.vivax
Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid

Relapsing atau periodik


Demam rekuren

arthritis, beberapa drug fever (contoh karbamazepin)


Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis
Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:1,2,6-8

Demam kontinyu atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh
yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak
spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi,
khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

41

Gambar Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada
pagi hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan
jenis demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat
besar.

Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme


demam yang terjadi setiap hari.

Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam


(siklus 12 jam)

Gambar Demam quotidian

42

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan


menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi
normal.

Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama


demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.

Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval


irregular pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya
traktus urinarius) atau sistem organ multipel.

Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang


berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas
untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever,
spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever
(Marburg, Ebola, dan demam Lassa).

Relapsing fever dan demam periodik:


o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan
interval regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai
beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal.
Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan
bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap
hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.

Gambar Pola demam malaria

43

o Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam


rekuren yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar
6.)dan ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)


Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang
secara tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode
bebas demam dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat
mencapai 40,6oC pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne.
Gejala penyerta meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan
perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode demam dapat disertai
Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam (6 8 jam),
yang

umumnya

mengikuti

pengobatan

antibiotik.

Reaksi

ini

disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh


antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien
syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis,
Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan
dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown.
o Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum
minus dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10
minggu sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
o Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein
pada 1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin
(LH). Hanya sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola
ini, tetapi bila ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren
dari demam yang berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril
44

dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin


berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan dengan
anemia hemolitik.

Gambar Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).


Klasifikasi demam
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah.2
Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau
kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3. dan Tabel 4.
memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek
pediatrik beserta definisi istilah yang digunakan.1
Tabel Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik

Klasifikasi
Demam dengan localizing
signs
Demam tanpa localizing
signs
Fever of unknown origin

Penyebab tersering
Infeksi saluran nafas atas
Infeksi virus, infeksi saluran
kemih
Infeksi, juvenile idiopathic
arthritis

Lama demam
pada umumnya
<1 minggu
<1minggu
>1 minggu

Tabel Definisi istilah yang digunakan


Istilah
Demam dengan

Definisi
Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang dapat
45

localization
Demam tanpa localization

didiagnosis setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik


Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang jelas

Letargi

setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik


Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi
dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan

Toxic appearance

sekitarnya
Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi buruk,

Infeksi bakteri serius

cyanosis, hipo atau hiperventilasi


Menandakan penyakit yang serius, yang dapat
mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis, sepsis,
infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi saluran kemih,

pneumonia
Bakteremia dan septikemia Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam darah,
dibuktikan dengan biakan darah yang positif, septikemia
menunjukkan adanya invasi bakteri ke jaringan,
menyebabkan hipoperfusi jaringan dan disfungsi organ

demam dengan localizing signs

Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada
pada kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena
mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian
antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto rontgen
dada.
Tabel Penyebab utama demam karena penyakit localized signs
Kelompok
Infeksi saluran nafas

Penyakit
ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis

atas
Pulmonal
Gastrointestinal
Sistem saraf pusat
Eksantem

herpetika
Bronkiolitis, pneumonia
Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Meningitis, encephalitis
Campak, cacar air
46

Kolagen
Neoplasma
Tropis

Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki


Leukemia, lymphoma
Kala azar, cickle cell anemia

Demam tanpa localizing signs


Sekitar

20%

dari

keseluruhan

episode

demam

menunjukkan

tidak

ditemukannya localizing signs pada saat terjadi. Penyebab tersering adalah


infeksi virus, terutama terjadi selama beberapa tahun pertama kehidupan.
Infeksi seperti ini harus dipikirkan hanya setelah menyingkirkan infeksi
saluran kemih dan bakteremia. Tabel 6. menunjukan penyebab paling sering
kelompok ini.1 Demam tanpa localizing signs umumnya memiliki awitan akut,
berlangsung kurang dari 1 minggu, dan merupakan sebuah dilema diagnostik
yang sering dihadapi oleh dokter anak dalam merawat anak berusia kurang
dari 36 bulan.6

Tabel Penyebab umum demam tanpa localizing signs


Penyebab
Infeksi

Contoh
Bakteremia/sepsis

Petunjuk diagnosis
Tampak sakit, CRP tinggi, leukositosis

Sebagian besar virus

Tampak baik, CRP normal, leukosit

(HH-6)

normal

Infeksi saluran kemih

Dipstik urine

PUO (persistent

Malaria
Juvenile idiopathic

Di daerah malaria
Pre-articular, ruam, splenomegali,

pyrexia of

arthritis

antinuclear factor tinggi, CRP tinggi

unknown origin)
47

atau FUO
Pasca vaksinasi
Drug fever

Vaksinasi triple, campak

Waktu demam terjadi berhubungan

Sebagian besar obat

dengan waktu vaksinasi


Riwayat minum obat, diagnosis
eksklusi

Persistent Pyrexia of Unknown Origin (PUO)


Istilah ini biasanya digunakan bila demam tanpa localizing signs bertahan
selama 1 minggu dimana dalam kurun waktu tersebut evaluasi di rumah sakit
gagal mendeteksi penyebabnya. Persistent pyrexia of unknown origin, atau
lebih dikenal sebagai fever of unknown origin (FUO) didefinisikan sebagai
demam yang berlangsung selama minimal 3 minggu dan tidak ada kepastian
diagnosis setelah investigasi 1 minggu di rumah sakit.

4. Pemeriksaan Laboratorium dan penatalaksanaan Fever of Undetermined


Origin.
Fever of Unknown Origin (FUO) didefinisikan oleh Petersdorf dan Beeson
pada tahun 1961 sebagai 1). Suhu tubuh > 38,3C pada banyak kesempatan;
2). Durasi demam > 3 minggu; dan 3). Kegagalan dalam menegakkan
diagnosis. Kriteria diatas sudah ada lebih dari 30 tahun & Durack dan
Street mengajukan sistem klasifikasi baru untuk FUO, yaitu:
1) Classic FUO: Adanya 3 kali rawat jalan atau rawat inap selama 3 hari
di rumah sakit tanpa ditegakkan penyebabnya, atau dilakukannya
investigasi selama 1 minggu secara rawat jalan.
2) Nosocomial FUO: suhu badan >= 38,3C pada pasien yang sedang
menjalani terapi akut dan infeksi tersebut tidak bergejala atau sedang
dalam masa inkubasi saat pasien masuk rumah sakit. Investigasi untuk
mencari penyebab selama 3 hari, termasuk kultur inkubasi paling

48

sedikit 2 hari, merupakan kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis


ini.
3) Neutropenic FUO: didefinisikan sebagai adanya suhu tubuh >=38,3 C
pada pasien dengan jumlah neutrofil <500/uL atau yang diperkirakan
akan menurun dalam 1-2 hari. Diagnosis ini ditegakkan jika penyebab
spesifik terhadap demam tidak diketahui setelah pemeriksaan selama 3
hari.
4) FUO associated with HIV infection: suhu tubuh >= 38,3C lebih dari 4
minggu untuk pasien rawat jalan atau >3 hari untuk pasien yang dirawat
dengan infeksi HIV. Diagnosis ini ditegakkan jika pemeriksaan yang
sesuai dilakukan lebih dari 3 hari tidak didapatkan penyebab lainnya.

Tabel Kategori Fever of Unknown Origin (FUO)

49

Jika didapatkan suhu tubuh yang bermakna, pengukuran sebaiknya


menggunakan termometer elektronik dan dilakukan dengan supervisi, juga
pemantauan urine dan observasi suhu tubuh harus dilakukan. Apus darah
tebal harus dilakukan untuk mencari adanya Plasmodium; apus darah tipis
untuk menilai spesies dari plasmodium, dan juga bisa untuk identifikasi
Babesia, Trypanosoma, Leishmania, Rickettsia, dan Borrelia. Pemeriksaan
histologis terhadap jaringan yang diambil saat dilakukan operasi yang
mungkin berkaitan dengan penyebab febris. Foto rontgen yang relevan
sebaiknya dilakukan, begitu juga dengan tes laboratorium terhadap serum

50

pasien secepat mungkin dan untuk mengevaluasi adanya kenaikan titer


antibodi jika dilakukan pemeriksaan serologis berikutnya.
Febrile agglutinins merupakan istilah yang digunakan laboratorium
tentang pemeriksaan serologis terhadap salmonellosis, brucellosis, dan
penyakit rickettsial. Sampel darah multipel (tidak kurang dari tiga dan
jarang melebihi enam, termasuk sampel untuk kultur anaerob) harus
diperiksa minimal 2 minggu untuk memastikan bahwa kelompok
organismee HACEK yang mungkin ada mempunyai waktu yang cukup
untuk berproliferasi. Media kultur darah harus terdapat L-cysteine atau
pyridocal untuk membantu nutrisi saat isolasi terhadap mikroorganismee.
Begitu juga dengan kultur urin yang sebaiknya dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya mikobakterium, jamur, dan CMV. Pada keadaan
demam berulang, CSF juga sebaiknya diperiksa terhadap adanya
herpesvirus, ataupun mikroba lainnya.
Dalam pencarian etiologi FUO, ESR (Erythrocyte sedimentation rate)
harus dievaluasi. Adanya peningkatan ESR disertai anemia kronik sering
dihubungkan dengan giant-scell arteritis atau polymyalgia rheumatica
(penyebab umum FUO pada pasien diatas 50 tahun). C-reactive protein
(CRP) sebaiknya diperiksa karena merupakan indikator spesifik terhadap
respon metabolik terhadap inflamasi pada fase akut. ANA (antinuclear
antibody), antineutrophil sytoplasmic antibody, faktor reumatoid, dan
krioglobulin serum harus dinilai untuk menegakkan penyakit vaskuler
kolagen lainnya dan vaskulitis. PPD (purified protein derivative) diperiksa
untuk menskrining pasien tuberkulosis dengan FUO klasik. Secara
bersamaan, dilakukan juga control test seperti mumps skin test antigen
(Aventis-Pasteur, Swiftwater, PA). Oleh karena, tes kulit PPD dan control
test dengan hasil negatif terdapat pada tuberkulosis milier, sarkoidosis,
penyakit hodgkin, malnutrisi, atau AIDS.
Prosedur nonivasif yang bisa dilakukan seperti pencitraan dengan kontrar
pada GIT bagian atas diteruskan sampai ke usus kecil, dan kolonoskopi
untuk menilai ileum terminalis dan caecum. Kolonoskopi sangat diindikasi
pada pasien usia lanjut. Rontgen thrax harus selalu dinilai ulang jika ada
51

gejala baru yang timbul. Kultur dan sitologi sputum harus dilakukan. Jika
ada gejala sistem pulmonal, sebaiknya dilakukan bronkoskopi. CT scan
resolusi tinggi pada dada dan perut juga sebaiknya dilakukan. Jika
mencurigai adanya lesi di spinal dan paraspinal, MRI sangat dianjurkan.
MRI lebih baik dari CT dalam menilai abses intraabdominal dan diseksi
aorta. Arteriography bisa dilakukan pada pasien yang dicurigai vaskulitis
nekrotik sistemik. Ultrasonografi pada abdomen berguna untuk menilai
traktus hepatobiliaris, ginjal, lien, dan pelvis. Ekokardigrafi untuk meilai
endokarditis bakterialis, perikarditis, endokarditis trombotik nonbakteri,
dan myxoma atrium. Transesofageal ekokardiografi lebih sensitif lagi
untuk lesi-lesi diatas.
Biopsi hepar dan sumsum tulang sebaiknya dipikirkan pada demam yang
semakin berkepanjangan. Hepatitis granulomatosa pernah ditegakkan
diagnosis dengan biopsi hepar, bahkan ketika enzim hati normal dan tidak
ada keadaan yang menimbulkan kecurigaan pada penyakit hepar. Semua
spesimen biosi harus dikultur untuk mencari bakteri, mikobakterium, dan
jamur.
Laparatomi eksplorasi dilakukan pada kegagalan semua prosedur
diagnostik, tetapi tindakan ini sudah digantikan oleh pencitraan dan teknik
biopsi-guided. Biopsi per laparaskopi lebih nonivansif dengan lesi
minimal.
Penatalaksanaan
Yang dibahas disini adalah keadaan FUO klasik, sedangkan tipe lainnya
diterapi berdasarkan kemungkinan penyakit yang bisa menimbulkan
demam tersebut dengan menilai keuntungan dan kerugian untuk dilakukan
pengobatan secara empiris. Perlu diingat pada penanganan FUO klasik
adalah tetap dilakukan observasi dan prosedur diagnostik, dengan
menghindari terapi empiris. Akan tetapi, tanda vital yang tidak stabil atau
neutropenia merupan indikasi dilakukannya terapi empiris dengan
menggunakan fluoroquinolon dikombinasi dengan piperacillin.
52

Jika belum ditemukan penyebab yang mendasari FUO setelah observasi


lebih dari 6 bulan, prognosisnya adalah baik; akan tetapi, keadaan demam
ini membuat pasien tidak nyaman. Pada keadaan diatas, diberikan terapi
simtomatik dengan OAINS, dan glukokortikod merupakan pilihan
terakhir. Kesabaran, simpati, ketetapan hari, dan fleksibilitas intelektual
adalah yang dibutuhkan oleh klinis dalam menghadapi FUO.
5. Interpretasi kultur darah dan PMN 93% pada scenario.
Kultur darah adalah uji laboratorium untuk memeriksa bakteri dalam
sampel darah.Tes ini memerlukan darah sebagai bahan pemeriksaan. Darah
biasanya diambil dari vena, biasanya dari bagian dalam siku atau bagian
belakang tangan. Situs ini dibersihkan dengan obat pembunuh kuman
(antiseptik).
Sangat penting bahwa sampel darah tidak terkontaminasi. Sampel tersebut
dikirim ke laboratorium, di laboratorium sampel dimasukkan dalam tabung
/botol yang mengandung media pertumbuhan untuk melihat apakah
mikroorganisme tumbuh. Hal ini disebut Kultur. Kebanyakan Kultur
memeriksa bakteri. Jika bakteri tumbuh, tes lebih lanjut dilakukan untuk
mengidentifikasi jenis tertentu.
Pengecatan gram juga dapat dilakukan. Pengecatan gram adalah metode
untuk mengidentifikasi mikroorganisme (bakteri) dengan menggunakan
serangkaian pewarna khusus .
Dalam melakukan tes tidak diperlukan persiapan khusus. Tidak ada rasa
sakit yang terkait dengan kultur darah.
Tes ini dilakukan jika pasien diduga memiliki gejala infeksi darah seperti
bakteremia atau septicemia. Kultur darah bertujuan mengidentifikasi jenis
bakteri yang menyebabkan infeksi. Ini membantu dokter menentukan
pengobatan terbaik.
Hasil Normal

53

Nilai normal berarti tidak ada mikroorganisme tumbuh di media


pertumbuhan. Rentang nilai normal dapat sedikit berbeda antara
laboratorium yang berbeda.
Hasil Abnormal
Sebuah hasil positif berarti bahwa dalam darah Anda telah terpapar
bakteri. Namun, kontaminasi dari sampel darah dapat menyebabkan hasil
positif palsu, yang berarti Anda tidak memiliki infeksi sejati.
Hasil negatif dapat terjadi jika tidak ada infeksi atau bisa juga akibat
negatif palsu. Misalnya karena konsumsi beberapa obat antibiotik atau
antiinfeksi seperti amoxicilin atau ampicilin (100 mg/kg/hari) ditambah
dengan probenecid (Benemid)(1 gr oral atau 23 mg /kg untuk anak) atau
Cotrimoxazole (160-800 mg 2kali sehari) yang diberikan selama enam
minggu. Hal ini menyebabkan hasil kultur menjadi negatif sekitar 60%.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi:
(1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan
(3) waktu pengambilan darah

Resiko
Kultur darah dilakukan di laboratorium. Tidak ada risiko bagi pasien.
Untuk informasi mengenai risiko yang berkaitan dengan pengambilan
sampel darah, lihatvenipuncture.
Pertimbangan
Bakteri penginfeksi darah kadang-kadang datang dan pergi, sehingga
serangkaian (tiga kali) kultur darah dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi
hasil.
Sedangkan untuk interprestasi dari PMN 93% adalah menunjukkan adanya
tanda infeksi yang akut atau infeksi yang disebabkan oleh bakteri.
54

Pada keadaan pajanan dari mikroorganisme asing hal yang paling berperan
adalah repson dari PMN (neutrofil) begitu infeksi berlanjut terus hingga
menjadi kronik, makan tugas di alihkan ke MN (limfosit).
Namun interprestasi lain juga dapat membantu, yakni perbedaan antara
infeksi bakteri dan virus pada awal pajanan. Infeksi bakteri ditunjukkan
dengan terjadinya peningkatan sel PMN sedangkan infeksi virus
ditunjukkan dengan peningkatan MN dari sel limfosit sitotoksik atau
natural killer, serta pembentukan antibody.

55

Daftar Pustaka
Guyton, Arthur C.. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta: EGC.
Sherwood.2001.Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Ed.2.EGC:Jakarta
Kumala, Poppy. Nuswantari, Dyah., 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 25th
ed. Jakarta: EGC.

56

Anda mungkin juga menyukai