Anda di halaman 1dari 14

1

ANTIJAMUR TOPIKAL
Oleh: Zindha Nurul Hafiizh, S.Ked
Pembimbing: dr. Fitriyani, SpKK
Departemen/Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNSRI/RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui
sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis,
mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis mengenai kulit, rambut, dan
kuku. Mikosis subkutan mengenai otot dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis
sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik.1
Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun (Periode 2006-2008) ke Divisi
Infeksi Tropik Poliklinik RSMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan
penyebab penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non
dermatofitosis 1.815 orang (21,6%) dari 8.374 kunjungan pasien.*
Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur
topikal dan sistemik. Penggunaan obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur
dengan area yang terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur
sistemik.2
Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memberikan antijamur topikal
adalah luas dan derajat keparahan infeksi, lokasi yang terserang jamur, kondisi komorbiditas,
potensi kemungkinan interaksi obat, biaya dan akses untuk mendapatkan obat antijamur serta
kemudahan pemakaian obat.2
Tinjauan pustaka ini membahas tentang klasifikasi, mekanisme kerja, pengunaan
antijamur topikal pada infeksi jamur superfisial, dosis dan efek samping antijamur topikal.
Diharapkan tinjauan pustaka ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penatalaksanaan
infeksi jamur.

*Data rekam medis poliklinik IKKK RSMH Palembang tahun


PATOGENESIS
INFEKSI JAMUR
2006-2008

Dermatofitosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kolonisasi jamur kulit


superficial menyerang jaringan yang mengandung keratin seperti stratum korneum kulit,
rambut, kuku pada manusia dan hewan.1 Infeksi dermatofit terjadi melalui perlekatan
dermatofit pada keratin, penetrasi melalui sel, serta terbentuknya respon pejamu. Patogenesis
dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang panas, higiene
perseorangan, sumber penularan, penggunaan steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas
dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta respon imun pasien.2
Dermatofit memiliki kemampuan membentuk molekul yang berikatan dengan keratin
dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk membentuk kolonisasi. Terdapat tiga
genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton, dari
ketiga genus tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22
spesies Trichophyton, dan 2 spesies Epidermophyton. 1
Terjadinya penularan dermatofitosis melalui 3 cara yaitu:
a. Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
b. Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak langsung
maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian,
atau sebagai kontaminan pada rumah, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber
penularan utama adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c. Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi manusia dan
menimbulkan reaksi radang.
Infeksi jamur dapat menimbulkan suatu penyakit jika pertahanan tubuh non spesifik dan
spesifik terganggu. Jamur harus mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa
pejamu, kemampuan menembus jaringan pejamu, mampu bertahan dalam lingkungan pejamu,
menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak
dan menimbulkan reaksi radang (gambar 1).2
Perlekatan Dermatofit pada Keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin terjadi maksimal setelah 6 jam, dimediasi oleh
serabut dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur di stratum korneum. 1 Dermatofit
juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine proteinase
(urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang menyebabkan katabolisme protein
ekstrasel dalam menginvasi pejamu. Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua

sel, pengaruh sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses
trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada korneosit karena
tergantung pada jenis strainnya.2

Gambar 1. A
Gambar 1. Epidermomikosis

Gambar 1.B
dan

trikhomikosis.

Epidermomikosis (A), dermatofit (titik dan garis

merah) memasuki stratum korneum dengan merusak lapisan tanduk dan juga menyebabkan respons
radang (titik hitam sebagai sel-sel radang) yang berbentuk eritema, papula, dan vasikulasi.
Sedangkan pada trikhomikosis pada batang rambut (B), ditunjukkan titik merah, menyebabkan
rambut rusak dan patah, jika infeksi berlanjut sampai ke folikel rambut, akan memberikan respons
radang yang lebih dalam, ditunjukkan titik hitam, yang mengakibatkan reaksi radang berupa nodul,
pustulasi folikel,dan pembentukan abses.2

Penetrasi Dermatofit Melewati dan Diantara Sel


Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan melebihi
proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Waktu 4-6 jam diperlukan untuk germinasi dan
penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin. Upaya bertahan jamur
patogen dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk menggunakan beberapa cara: 2
a.

Penyamaran, membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu pertumbuhan


filamen hifa sehinggga glucan yang terdapat pada dinding sel jamur tidak terpapar

oleh dectin-1, dan dengan membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel sehingga
jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.2
b.

Pengendalian, mengaktifkan mekanisme penghambatan imun pejamu atau secara aktif


mengendalikan respons imun mengarah pada tipe pertahanan yang tidak efektif,
contohnya Adhesin pada dinding sel jamur berikatan dengan CD-14 dan komplemen
C3 (CR3, MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.2

c.

Penyerangan, memproduksi molekul yang secara langsung merusak atau memasuki


pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau protease. Jamur mensintesa
katalase dan superoksid dismutase, mensekresi protease yang dapat menurunkan
barrier jaringan sehingga memudahkan proses invasi

jamur, dan memproduksi

siderospore (suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang mengikat zat
besi untuk kehidupan aerobik. Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum
korneum bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi
kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.2
MEKANISME KERJA ANTIJAMUR
Obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada sel jamur (gambar 2 dan 3). Target
pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua mempengaruhi sintesis asam nukleat
jamur, ketiga bekerja pada unsur utama dinding sel jamur yaitu kitin, glukan, dan
mannooprotein.3
1.

Ergosterol membran plasma


Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur
dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja
obat antijamur golongan polien secara langsung adalah menghambat sintesis
ergosterol. Obat ini mengikat ergosterol dan channel ion pada membran sel jamur. Hal
ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran ion kalium dan
menyebabkan kematian sel.3 Kerja antijamur secara tidak langsung (golongan azol)
adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu demetilasi

ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor ergosterol) (gambar 3).4
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat dengan cara terminasi
dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang
mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC). 5 FC masuk ke dalam
inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel jamur, 5 FC diubah menjadi 5

fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat akan
berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat
sintetase sehingga memutus sintesis DNA.4
3. Unsur utama dinding sel jamur
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin, dan
dan glukan. Komponen ini berfungsi menjaga rigiditas, bentuk sel, metabolisme,
dan pertukaran ion pada membran sel. glukan berfungsi sebagai unsur penyangga.
Obat antijamur seperti golongan ekinokandin menghambat pembentukan 1,3 glukan.
Apabila glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan
mengalami lisis (gambar 2).4

Sintesis dinding sel


Ekinokandin,pneumokandin dan papulokandins;
menghambat sintesis glukan. Polyxins dan
nikkomycin; menghambat sintesis kitin

Fungsi membran
Polien; mengikat ergosterol
Peptida antimikrobial : defensins, protegrins,
gallinacini, cecropins A, thanatin dan
dermaseptinsPradimicins dan benanomicins:
mengikat annoproteins dan menyebabkan
gangguan calcium-dependent pada permebilitas
membran

Gambar 2. Target kerja antijamur


pada dinding
sel jamur 4
Sintesis
ergosterol
Azol: menghambat sitokrom P 450-dependent 14-demethylase
Allylamines (naftifin dan terbinafin) dan
thiocarbamate (tolnaftaf):menghambat squalene
epoxidase
Morpholine (amorolfine): menghambat 14reductase, 7, 8-isomerase, oxido-squalan
cyclase, dan 24 methyltransferase
Sintesis asam nukleat
5-fluorocytosine, Sordarins : miscoding RNA
dan
menghambatthymidylate
synthesis
Cispentacin derivates

Gambar 3. Titik tangkap obat antijamur4

GOLONGAN ANTIJAMUR TOPIKAL


Obat antijamur topikal yang sering digunakan untuk mengatasi infeksi jamur pada
kulit. yaitu :
1. azol-imidazol: ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol,
oksikonazol, terkonazol, tiokonazol, sertakonazol
2. alilamin dan benzilamin: naftifin, terbinafin, butenafin
3. polien: nystatin
Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam golongan ini namun dapat digunakan
untuk terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik (gentian
violet), siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh
obat antijamur topikal lebih sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik. Pengobatan topikal
memiliki beberapa keuntungan yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain,
pengobatan terlokalisir pada tempat yang sakit, dan biaya yang murah.5
Golongan Azol-Imidazol
Mekanisme kerja

Golongan Azol-imidazol memiliki spektrum luas, bersifat fungistatik, bekerja dengan


cara menghambat pembentukan 14--sterol demethylase, suatu enzim sitokrom P450 (CYP).
Hal ini mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jamur dan menyebabkan
akumulasi 14--metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid sehingga mengganggu
fungsi enzim membran jamur seperti ATPase dan enzim sistem transpor elektron. Mekanisme
ini mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat. 6
1. Klotrimazol
Klotrimazol digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral, kulit dan genital.
Pengobatan

kandidiasis oral, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2

minggu. Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg
hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan infeksi
jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1%, dosis dan lama pengobatan tergantung
kondisi pasien, diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.5
2. Ekonazol
Ekonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, kandidiasis oral, kulit dan genital.
Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam
vagina selama 3 hari berurut-turut. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
ekonazol krim 1 %, dosis dan lama pengobatan tergantung dari kondisi pasien, diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol berpenetrasi dengan cepat di
stratum korneum. Ekonazol kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah, 3% pasien
mengalami eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, dan gatal. 5
3. Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kandidiasis
oral, kulit dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada stratum korneum dan bertahan
lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200
mg selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari per vaginam. Pengobatan kandidiasis oral,
diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
mikonazol krim 2%, dosis dan lama pengobatan tergantung dari kondisi pasien, diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. 5
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi kadangkadang terjadi kram di daerah pelvis, sakit kepala, urtika, atau skin rash. Pada pemakaian
topikal kulit, iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi. Mikonazol aman digunakan
pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada kehamilan
trimester pertama.7
4. Ketokonazol

Ketokonazol mempunyai ikatan kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2
jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran lebih lambat saat mencapai lapisan basal
epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol bertahan minimal hingga 10
hari setelah obat dihentikan.5
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kandidiasis
kulit dan dermatitis seboroik. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim
ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya
diberikan selama 2-4 minggu, dioleskan sekali sehari, sedangkan pengobatan dermatitis
seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan
ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo, 2 kali seminggu selama 8 minggu.6
5. Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kulit. Sulkonazol
krim 1% digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris ataupun pitiriasis
versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2
kali sehari selama 4 minggu.8
6. Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kulit dan genital.
Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, digunakan
terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan aplikator sebelum tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal
supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari
sebelum tidur selama 3 hari berturut-turut.9
7. Tiokonazol
Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis kulit dan genital.
Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg per vaginam.
Infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung kondisi pasien. Pengobatan tinea korporis dan kandidiasis kulit diberikan
selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari, pada tinea pedis dioleskan 2 kali sehari
selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk
pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.9
8. Sertakonazol
Sertakonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida sp. Sertakonazol
krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.9
Golongan Alilamin/Benzilamin
Mekanisme kerja

Golongan alilamin/benzilamin menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal proses


metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas squalene epoksidase.
Berkurangnya ergosterol akan menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur sehingga
mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat fungistatik terhadap
Candida albicans.4
1.

Naftifin
Naftifin digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp., krim naftifin
hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu.5

2.

Terbinafin
Terbinafin digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan
kandidiasis kulit. Terbinafin krim 1% dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Pengobatan tinea
korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4
minggu, untuk kandidiasis kulit selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama
2 minggu.8

3.

Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin, aktifitas antijamurnya sama dengan
golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan digunakan
untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari
selama 4 minggu.5

Golongan Polien
Nistatin
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau membrane
mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin tidak bersifat toksik tetapi dapat menyebabkan
mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi. Nistatin digunakan untuk
pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria (100.000 setiap
unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari. 6
Golongan Antijamur Topikal Lain
1.

Asam Undesilenat
Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila terpapar
lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep,
krim, bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5%
asam undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan

10

inflamasi. Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea


pedis. Efektifitas masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini
2.

juga dapat digunakan untuk ruam popok, dan tinea kruris.5


Salep Whitefield
Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung 12%
asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield.
Asam benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga
menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat ini sering
menyebabkan iritasi khususnya jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu
absorpsi secara sistemik dapat terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat,
khususnya pada pasien yang mengalami gagal ginjal. Salep Whitefield digunakan untuk

3.

mengatasi tinea pedis, dan tinea kruris. 8


Amorolfin
Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara menghambat
biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Amorolfin
dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu, untuk tinea pedis selama 6 bulan.
Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan
tanpa adanya keterlibatan matriks, berikan satu atau dua kali seminggu selama 6-12
bulan. Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki angka kesembuhan 6076% dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu, untuk kuku tangan dioleskan satu
atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan kuku kaki digunakan selama 9-12

4.

bulan.8
Siklopiroks olamin
Siklopiroks olamin merupakan obat antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat
fungisidal, sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks
efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis,
kandidiasis kulit dan pitiriasis versikolor.9
Pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu
sedangkan pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%. Setelah
dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam
waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus
lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah
mencapai kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam
pemakaian. Kadar obat mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 0,25
mikrogram tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat hingga 30-45 hari

11

setelah pemakaian, selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali


konsentrasi obat minimal yang berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek
fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.9
Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang terinfeksi
diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk
lapisan tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali
pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam
5.

pengobatan. Pemakaian cat kuku dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan. 9


Haloprogin
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis,
tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali

6.

sehari selama 2-4 minggu.8


Timol
Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk tingtur untuk
mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh organisme pada saat
alkohol menguap. Ahli farmakologi mencampur 2-4% timol ke dalam larutan dasar
seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol. Pemakaian timol dengan cara jari
ditegakkan vertikal lalu diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi
dan tekanan permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari
ruang subungual. Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak

7.

menyenangkan. 8
Castellanis paint
Castellanis paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan antibakterial.
Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik,dan tinea imbrikata. Memiliki

efek samping adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol. 8


8. Alumunium Chloride
Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi serupa dengan Castellanis paint pada terapi
tinea pedis.8
9. Gentian Violet
Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Gentian violet memiliki efek
antijamur dan antibakterial.Produk yang dipasarkan mengandung 4% tetramethyl dan
pentamethyl congeners campuran ini membentuk kristal violet. Solusio gentian violet
dengan konsentrasi 0,5-2% digunakan pada infeksi jamur mukosa.9
10. Potassium Permanganat
Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pengenceran 1:5000 sering
digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi intertriginosa.9
11. Selenium Sulphide

12

Losio selenium sulphide 2,5% untuk terapi pitiriasis versikolor dan dermatitis seboroik.
Penggunaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian 7 hari, tidak terjadi
absorpsi perutaneus yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo dapat
menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut. Losio selenium
sulphide juga digunakan sebagai sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral
griseofulvin.9
12. Zinc Pyrithione
Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan mengatasi pitiriasis sika.
Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap
hari selama 2 minggu.9
13. Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid
Solusio sodium thiosulfate 25% dikombinasi dengan salicylic acid 1% tersedia dalam
preparat komersial dan digunakan pada ptiriasis versikolor.9
14. Prophylen Glycol
Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi pitiriasis versikolor.
Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik, secara in vitro bersifat fungistatik
terhadap Malassezia furfur kompleks (bentuk dari Pityrosporum spp). Solusio propylene
glycol-urea-asam laktat juga telah digunakan untuk onikomikosis.9
KESIMPULAN
Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui
sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis,
mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Infeksi jamur terutama dermatofit di Indonesia masih
termasuk 10 besar penyakit kulit yang diakibatkan oleh kebersihan kulit kurang terjaga,
tinggal ditempat padat penduduk, serta sebab lain seperti diabetes dan penggunaan obat
tertentu yang berlebihan. Infeksi jamur terjadi melalui perlekatan dermatofit pada keratin,
penetrasi melalui sel, serta terbentuknya respon pejamu.
Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas antijamur sistemik dan
topikal. Antijamur topikal berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi tiga golongan yaitu
azol-imidazol, alinamin-benzilamin dan polien, sedangkan mekanisme kerja antijamur terbagi
atas sterol membran plasma, sintesis asam nukleat dan pada dinding sel jamur.
Antijamur topikal diberikan berdasarkan pertimbangan luas dan derajat keparahan
infeksi, lokasi yang terserang jamur, kondisi komorbiditas, potensi kemungkinan interaksi
obat, biaya dan akses untuk mendapatkan obat antijamur serta kemudahan pemakaian obat.
Efek samping dari antijamur topikal diantaranya pasien mengalami eritema lokal, sensasi
terbakar, tersengat ataupun gatal.

13

Dari seluruh pilihan di atas para dokter harus memiliki pengetahuan yang baik
terhadap penggunaan dan mekanisme kerja obat antijamur sehingga kita dapat memilih obat
antijamur yang terbaik untuk pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Verma S, Heffernan MD. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, onychomycosis,


Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel
DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc GrawHill.2008.p 1807-21.

2.

Budimulya U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, HamzahHas, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. h. 89105.

3.

High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General Medicine.
7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2116-21

4. Lesher J. Woody CMC. Antifungal agents. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et al.
Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008.
5. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL.
Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York:
Mc Graw-Hill. 2006
6.

Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatrickss Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-17

7.

Dismukes WE. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious disease 2000;


30:653-7

14

8.

Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller.
Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-96

9.

Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic Therapy.


2004; 17: 517-522

Anda mungkin juga menyukai