Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KELOMPOK

MATA KULIAH MATERNITAS


IKTERUS NEONATORUM

Anggota:
1. Retno Susilowati

(P17420213059)

2. Ridi Anti

(P17420213060)

3. Rizal Nugroho

(P17420213061)

4. Rizka Dwi A

(P17420213062)

5. Rosalina Evanti

(P17420213063)

6. Sanjay Alwighani

(P17420210364)

7. Siti Faridatul Azmy (P17420213065)


8. Siti Hadiijah

(P17420213066)

9. Sri Fathiyah

(P17420213067)

2B
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN


PURWOKERTO
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat
tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi
pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi
dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit
pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru
lahir, terutama pada BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali
penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah karena belum
matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit ( sel darah merah).
Pada bayi usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya,
eritrosit harus diproses oleh hati bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik
untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit disebut bilirubin,
bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. Kejadian ikterus pada bayi
baru lahir (BBL) sekitar 50% pada bayi cukup bulan dan 75% pada bayi
kurang bulan (BBLR). Kejadian ini berbeda-beda untuk beberapa negara
tertentu dan beberapa klinik tertentu di waktu tertentu. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan dalam pengelolaan BBL yang pada akhir-akhir ini mengalami
banyak kemajuan. BBLR menjadi ikterus disebabkan karena sistem enzim
hatinya tidak matur dan bilirubin tak terkonjugasi tidak dikonjugasikan secara
efisien 4-5 hari berlalu. Ikterus dapat diperberat oleh polisitemia, memar,
infeksi, dan hemolisis.

BBLR ini merupakan faktor utama dalam peningkatan mortalitas,


morbiditas, dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak
jangka panjang terhadap kehidupan di masa depan.

B. Rumusan Masalah
a. Apakah definisi ikterus neonatorum?
b. Apasajakah macam-macam ikterus neonatorum?
c. Bagaimana etiologi ikterus neonatorum?
d. Bagaimana patofisiologi ikterus neonatorum?
e. Bagaimana metabolisme bilirubin ikterus neonatorum?
f. Bagaimana manifestasi klinis ikterus neonatorum?
g. Bagaimana penatalaksanaan ikterus neonatorum?
h. Bagaimana asuhan keperawatan ikterus neonatorum?
C. Tujuan
a. Mengetahui definisi ikterus neonatorum
b. Mengetahui macam-macam ikterus neonatorum
c. Mengetahui etiologi ikterus neonatorum
d. Mengetahui patofisiologi ikterus neonatorum
e. Mengetahui metabolisme bilirubin ikterus neonatorum
f. Mengetahui manifestasi klinis ikterus neonatorum
g. Mengetahui penatalaksanaan ikterus neonatorum
3

h. Mengetahui asuhan keperawatan ikterus neonatorum

BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana
kadar bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan
ditandai adanya ikterus yang bersifat patologis (Alimun,H,A : 2005).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa
akibat penumukan bilirubin, sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus
dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalika
(Mansjoer : 2000).
Suatu keadaan dimana kadar bilirubin dalam darah mencapai suatu
nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak
ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Brown menetapkan hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin
mencapai 12 mg % pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi yang kurang
bulan. Utelly menetapkan 10 mg % dan 15 mg %. (Tarigan 2003)
Ikterus sering dijumpai pada neonatus. frekuensi menurut kepustakaan
pada bayi cukup bulan adalaha 50 %, pada bayi premature 80 % dalam hari

pertama kehidupan. Terdapat 10 % neonatus dengan kadar bilirubin diatas 10


mg %.
B. MACAM-MACAM IKTERUS NEUNATORUM
1. Ikterus fisiologik
a. Dijumpai pada bayi dengan BBLR.
b. Timbul pada hari kedua lalu menghilang pada hari kesepuluh atau
akhir minggu ke dua.
2. Ikterus patologik
a. Ikterus timbul segera dalam 24 jam dan menetap pada minggu
pertama.
b. Bilirubin serum meningkat lebih dari 5 mg % perhari, kadarnya diatas
10 mg % pada bayi matur dan 15 mg % pada bayi premature.
c. Berhubungan dengan penyakit hemolitik, infeksi dan sepsis.
d. Memerlukan penanganan dan perawatan khusus.
3. Kern ikterus
Kern Ikterus adalah ikterus berat dengan disertai gumpalan
bilirubin pada ganglia basalis
a.
b.
c.
d.

Kadar bilirubin lebih dari 20 mg % pada bayi cukup bulan.


Kadar bilirubin lebih dari 18 mg % pada bayi premature.
Hiperbilirubinemia dapat menimbulkan ensefalopati.
Pada bayi dengan hipoksia, asidosis dan hipoglikemia kern ikterus

dapat timbul walaupun kadar bilirubin dibawah 16 mg %.


e. Pengobatannay dengan tranfusi tukar darah.
Gambaran Klinik :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

Mata berputar putar


Tertidur kesadaran menurun
Sukar menghisap
Tonus otot meninggi
Leher kaku
Akhirnya kaku seluruhnya
Pada kehidupan lebih lanjut terjadi spasme otot dan kekekuan otot
Kejang kejang
Tuli
Kemunduran mental

4. Ikterus hemolitik
5

a. Disebabkan inkompatibilitas rhesus, golongan darah ABO, golongan


darah lain kelainan eritrosit congenital.
b. Atau defisiensi enzim G-6-PD.
5. Ikterus obstruktif
a. Dikarenakan sumbatan penyaluran empedu baik dalam hati maupun
diluiar hati. Akibatnya kadar bilirubin direk atau indirek meningkat.
b. Kadar bilirubin direk diatas 1 mg % harus curiga adanya obstruksi
penyaluran empedu.
c. Penanganannya adalah tindakan operatif.
Menurut Surasmi (2003)
C. ETIOLOGI
a. Produksi bilirubin berlebih
b. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit
c. Gagalnya proses konjugasi dalam mikrosom hepar
d. Gangguan dalam ekskresi
e. Peningkatan reabsorpsi dari saluran cerna (siklus enterohepatik)
D. PATOFISIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa
keadaan. Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila tedapat penambahan
beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila
terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia.
Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan
peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi bila kadar protein Y
dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis. Keadaan lain yang
menimbulkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan
gangguan konjugasi hepar atau neonates yang mengalami gangguan ekskresi
misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak
jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin idirek yang
bersifat sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak, yang diebut
kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada syaraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20
mg/dl.
6

Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah otak ternyata tidak


hanya tergantung pada keadaan neonates. Bilirubin indirek akan mudah
melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR), hipoksia, dan hipolikemia.
PATHWAY

E. METABOLISM
Sebagian besar (70-80%) produksi bilirubin berasal dari eritrosit yang
rusak. Heme dikonversi menjadi bilirubin indirek (tak terkonjugasi)
kemudian berikatan dengan albumin dibawah ke hepar. Di dalam hepar,
dikonjugasikan oleh asam glukuronat pada reaksi yang dikatalisasioleh
glukuronil transferase. Bilirubin direk (terkonjugasi) di sekresikan ke traktus
7

bilier untuk diekskresikan melalui traktus gastrointestinal. Pada bayi baru


lahir yang ususnya bebas dari bakteri, pembentukan sterkobilin tidak terjadi.
Sebagai gantinya, usus bayi banyak mengandung beta glukuronidase yang
menghidrolisis bilirubin glukoronid menjadi bilirubin indirek dan akan
direabsorpsi kembali melaui sirkulasi enterohepatik ke aliran darah.
F. MANIFESTASI KLINIK
Pengamata ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar
matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin
serumnya kira-kira 6mg/dl atau 100 mikro mol/L (1mg/dl=17.1 mikro mol/L).
Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis,
sederhana, dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969).
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain-lain. Tempat yang
tertekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada
masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan table yang telah
diperkirakan kadar bilirubinnya.
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan
otak akibat perlengketan bilirudin indirek pada otak terutama pada korpos
striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah dan
nucleus didasar ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat
serupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minun.
Tonus otot meningkat, leher kaku dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi
spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai kejang otot. Dapat
ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara, dan reterdasimental.
Tabel 2.1 Derajat ikterus neonates menurut Kramer
Zona Bagian

tubuh

yangRata-rata serum bilirubin indirek

kuning
Kepala dan leher

(umol/l)
100

Pusat-leher

150

Pusat-paha

200

Lengan + tungkai

250

Tangan + kaki

>250

Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :


a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi
hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran,
paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah:
a. Warna kuning (ikterik) pada kulit
b. Membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar
bilirubin darah mencapai sekitar 40 mol/l.
G. PENATALAKSANAAN
1. Ikterus Fisiologis
a. Lakukan perawatan seperti bayi :
a) Memandikan
b) Melakukan perawatan tali pusat
c) Membersihkan jalan nafas
d) Menjemur bayi di bawah sinar matahari pagi, kurang lebih 30
menit
b. Jelaskan pentingnya hal-hal seperti
a) Memberikan ASI sedini dan sesering mungkin
b) Menjemur bayi di bawah sinar matahari dengan kondisi
telanjang selama 30 menit,15 menit dalam posisi terlentang,
dan 15 menit sisanya dalam posisi tengkurap
c) Memberikan asupan makanan bergizi tinggi bagi ibu
d) Menganjurkan ibu untuk tidak minum jamu
c. Apabila ada tanda ikterus yang lebih parah (misalnya feses
berwarna putih keabu-abuan dan liat seperti dempul)
9

d. Anjurkan ibu untuk segera membawa bayinya ke puskesmas.


Anjurkan ibu untuk kontrol setelah 2 hari.

2. Hiperbilirubinemia sedang
a. Berikan ASI secara adekuat
b. Lakukan pencegahan hipotermi
c. Letakkan bayi di tempat yang cukup sinar matahari 30
selama 3-4 hari

menit,

d. Lakukan pemeriksaan ulang 2 hari kemudian


e. Anjurkan ibu dan keluarga untuk segera merujuk bayinya jika
keadaan bayi bertambah parah serta mengeluarkan feses bewarna
putih keabu-abuan dan liat seperti dempul

3. Hiperbilirubinemia Berat
a. Berikan informer consent pada keluarga untuk segera merujuk
bayinya
b. Selama persiapan merujuk, berikan ASI secara adekuat
c. Lakukan pencegahan hipotermi
d. Bila mungkin, ambil contoh darah ibu sebanyak 2,5 ml.

TERAPI
1. Terapi Sinar (fototerapi)
2. Terapi Transfusi Tukar
3. Terapi Obat-obatan
4. Menyusui Bayi dengan ASI
5. Terapi Sinar Matahari

10

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
ANAK IKTERUS NEONATORUM

A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas / Istirahat
a. Letargi, malas.
2. Sirkulasi
a. Mungkin pucat, menandakan anemia
b. Bertempat tinggal di atas ketinggian 500 ft
3. Eliminasi
a. Bising usus hipoaktif
b. Pasase mekonium mungkin lambat
c. Feses mungkin lunak / coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin
d. Urine gelap pekat; hitam kecoklatan (sindroma bayi bronze)
4. Makanan / Cairan
a. Riwayat pelambatan / makan oral buruk, lebih mungkin disusui dari

5.

pada menyusu botol


b. Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar
Neurosensori

11

a. Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang


parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran / kelahiran
ekstraksi vakum.
b. Edema umum, hepatosplenomegali, atau hidrops fetalis mungkin ada
dengan inkompatibilitas Rh berat.
c. Kehilangan reflex Moro mungkin terlihat.
d. Opistotonus dengan kekuatan lengung punggung, fontanel menonjol,
menangis lirih, aktivitas kejang (tahap krisis).
6.

7.

Pernapasan
a. Riwayat asfiksia.
b. Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleura, hemoragi
pulmonal)
Keamanan
a. Riwayat positif infeksi/sepsis neonates.
b. Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra
cranial
c. Dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah dan berlanjut pada
bagian distal tubuh; kulit hitam kecoklatan (sindrom bayi bronze)

8.

sebagai efek samping fototerapi.


Seksualitas
a. Mungkin praterm, bayi kecil untuk usia gestasi (SGA), bayi dengan
reterdasi pertumbuhan intrauterus (IUGR), atau bayi besar untuk usia
gestasi (LGA), seperti bayi dengan ibudiabetes.
b. Trauma kelahiran dapat terjadi berkenaan dengan stress dingin,
asfiksia, hipoksia, asidosis, hipoglikemia, hipoproteinemia.
c. Terjadi lebih sering pada bayi pria dari pada bayi wanita.

B. PENYULUHAN/PEMBELAJARAN
Dapat mengalami hipotiroidis mekongenital, atresia bilier, fibrosis kistik.
1. Factor keluarga; mis., keturunan enteric (oriental, Yunani, atau Korea),
riwayat hiperbilirubinemia pada kehamilan/sibling sebelumnya, penyakit
hepar, fibrosis kistik, kesalahan metabolism saat lahir (galaktosemia),
diskrasias darah (sferositosis, defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase
[G-6-PD]).
12

2. Factor ibu, seperti ibu diabetes; mencerna obat-obatan (mis., salisilat,


sulfonamide oral pada kehamilan akhir atau nitrofurantoin (Furadantin):
inkompatibilitas Rh/ABO; penyakit infeksi (mis., rubella, sitomegalovirus,
sifilis, toksoplasmosis)).
3. Factor penunjang intrapartum, seperti persalinan praterm, kelahiran
ndengan ekstaksi vakum, induksi oksitosin, perlambatan pengkleman tali
pusat, atau trauma kelahiran.

C. PEMERIKSAAN DISGNOSTIK
1. Tes Coomb pada tali pusat bayi baru lahir: Hasil positif tes Coomb indirek
menandakan adanya antibody Rh-positif, anti-A, atau anti-B dalam darah
ibu. Hasil positif dari tes Coomb direk menandakan adanya sensititas (Rhpositif, anti-A, anti-B) SDM dari neonates.
2. Golongan darah bayi dan ibu: Mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Bilirubin total: Kadar direk (terkonjugasi) bermakna jika melebihi 1.0-1.5
mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsis. Kadar indirek (tidak
terkonjugasi) tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam,
atau tidak boleh lebih dari 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl
pada bayi praterm (tergantung pada berat badan).
4. Protein serum total: Kadar kurang dari 3.0 mg/dl menan dakan penurunan
kapasitas ikatan, terutama pada bayi praterm.
5. Hitung darah lengkap: Hemoglobin (Hb) mungkin rendah (kurang dari 14
g/dl) karena hemolisis. Hematokrit (Ht) mungkin meningkat (lebih besar
dari 65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan
hemolisis dan anemia berlebihan.
6. Glukosa: Kadar Dextrostix mungkin kurang dari 45% glukosa darah
lengkap kurang dari 30 mg/dl, atau tes glukosaserum kurang dari 40 mg/dl
13

bila bayi baru lahir hepoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak
dan melepaskan asam lemak.
7. Daya ikat karbon dioksida: Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
8. Meter ikterik transkutan: Mengidentifikasi bayi yang memerlukan
penentuan bilirubin serum.
9. Jumlah retikulosit: peningkatan retikulosit menandakan peningkatan
produksi SDM dalam respon terhadap hemolisis yang berkenaan dengan
penyakit RH.
10. Smear darah perifer: dapat menunjukkan SDM abnormal atau imatur,
eritroblastosis pada penyakit Rh, atau sferositis pada inkompabilitas ABO.
11. Tes Betke-Kleihauer: Evaluasi smear darah meternal terhadap eritrosit
janin
D. DIAGNOSA
Dx I : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice atau radiasi.
Dx II : Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan dengan terpapar
lingkungan panas.
Dx III : Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau peningkatan
kadar bilirubin.
Dx IV : Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan.
Dx V : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan.

E. INTERVENSI
Dx I

: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice

atau radiasi.
Tujuan
:

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

selama

proses

keperawatan
diharapkan integritas kulit kembali baik / normal.
NOC
: Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
14

b. Tidak ada luka / lesi pada kulit


c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan
perawatan alami
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah menunjukkan.
2 : Jarang menunjukkan
3 : Kadang menunjukkan
4 : Sering menunjukkan
5 : Selalu menunjukkan
NIC
Intervensi :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

: Pressure Management

DX II

: Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan


dengan terpapar lingkungan panas.
: Setelah dilakukan tindakan keperawtan selama proses
Keperawatan diharapkan suhu dalam rentang normal.
: Termoregulation

Tujuan

Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar


Hindari kerutan pada tempat tidur
Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering
Mobilisasi pasien setiap 2 jam sekali
Monitor kulit akan adanya kemerahan.
Oleskan lotion / minyak / baby oil pada daerah yang tertekan
Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat

NOC
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentang normal
b. Nadi dan respirasi dalam batas normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit
d. Pusing berkurang/hilang.
Indicator skala :
1. Selalu terjadi
2. Sering terjadi
3. Kadang terjadi
4. Jarang terjadi
5. Tidak pernah terjadi
NIC
: Fever treatment
Intervensi
:
1. Monitor suhu sesering mingkin
2. Monitor warna dan suhu kulit
3. Monitor tekanan darah, nadi, dan respirasi
4. Monitor intake dan output

15

DX III

: Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau

Tujuan

peningkatan kadar bilirubin.


: Setelah dilakukan tindakan

keperawtan

selama

proses

Keperawatan diharapkan tidak ada resiko cidera.


NOC
: risk control
Kriteria hasil :
a. Klien terbebas dari cidera
b. Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/ cidera
c. Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
Indicator Skala :
1. tidak pernah menujukan
2. jarang menunjukan
3. kadang menunjukan
4. sering menunjukan
5.selalu menunjukan
NIC
: Pencegahan jatuh
Intervensi
:
1. Kaji status neurologis
2. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tujuan dari
3.
4.
5.
6.

metode pengamanan
Jaga keamanan lingkungan keamanan pasien
Libatkan keluiarga untuk mencegah bahaya jatuh
Observasi tingkat kesadaran dan TTV
Dampingi pasien

Dx IV

: Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status

kesehatan.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan kepeerawatan selama proses


keperawatan diharapkan keluarga dan pasien tidak cemas.
: Control Cemas

NOC I
Kriteria Hasil :
a. Monitor intensitas kecemasan.
b. Menyingkirkan tanda kecemasan.
c. Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
NOC II
: Koping
Kriteria Hasil :
a. Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
b. Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah.
c. Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan.
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
16

NIC
Intervensi

4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
: Penurunan Kecemasan
:
1. Tenangkan klien.
2. Jelaskan seluruh prosedur pada klien/keluarga dan
perasaan

yang

mungkin

muncul

pada

saat

melakukan tindakan.
3. Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat

NIC II
Intervensi

kecemasan.
4. Sediakan aktivitas untuk mengurangi kecemasan.
: Peningkatan Koping.
:
1. Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit.
2. Sediakan informasi actual tentang diagnosa,
penanganan.
3. Dukung keterlibatan keluarga dengan cara tepat.

Dx V

: Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasa

paparan
Tujuan

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

selama

proses

keperawatan diharapkan keluarga dapat mendapat pengetahuan


mengenai penyakit yang diderita anaknya.
NOC
: Knowledge : Disease Process
Kriteria Hasil :
a. Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya
Indicator Skala :
1 : Tidak pernah dilakukan
2 : Jarang dilakukan
3 : Kadang dilakukan
4 : Sering dilakukan
5 : Selalu dilakukan
NIC
: Teaching : Disease Process
Intervensi
:
1. Jelaskan patofisiolagi dari penyakit

17

2. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada


penyakit dengan cara yang benar
3. Gambarkan proses penyakit dengan cara yang tepat
4. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan
cara yang tepat
5. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi dimasa yang
akan datang dan proses pengontrolan penyakit.
F. EVALUASI
Dx I
: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan jaundice
atau radiasi.
Kriteria Hasil :
a.
b.
c.
d.
e.

Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (skala 5)


Tidak ada luka / lesi pada kulit (skala 5)
Perfusi jaringan baik (skala 5)
Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit
dan mencegah terjadinya cedera berulang (skala 5)
Mampu melindungi kulit dan mempertahankan
kelembaban
kulit dan perawatan alami (skala 5)

Dx II

: Gangguan temperature tubuh (Hipertermia) berhubungan


dengan terpapar lingkungan panas.

Kriteria Hasil :
a.
b.
c.
d.
Dx III

Suhu tubuh dalam rentang normal (skala 1)


Nadi dan respirasi dalam batas normal (skala 1)
Tidak ada perubahan warna kulit (skala 1)
Pusing berkurang/hilang (skala 1)

: Resiko terjadi cidera berhubungan dengan fototerapi atau


peningkatan kadar bilirubin.

Kriteria Hasil :
a. Klien terbebas dari cidera (skala 5)
b. Klien mampu menjelaskan metode untuk mencegah injuri/
cidera (skala 5)
c. Klien mampu memodifikasi gaya hidup untuk mencegah injuri.
(skala 5)
Dx IV

: Cemas berhubungan dengan perubahan dalam status

kesehatan.
18

NOC I
: Control Cemas
Kriteria Hasil :
a. Monitor intensitas kecemasan. (skala 5)
b. Menyingkirkan tanda kecemasan. (skala 5)
c. Menggunakan teknik relaksasi untuk mengurangi kecemasan.
(skala 5)
NOC II
: Koping
Kriteria Hasil :
a. Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya.
skala 5
b. Nilai keluarga dalam mengatur masalah-masalah. (skala 5)
c. Melibatkan anggota keluarga untuk membuat keputusan. (skala
5)
Dx V

: Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan

paparan
Kriteria Hasil :
a.

Pasien dan keluarga mengatakan pemahaman tentang


penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan

skala 5
b. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang
dijelaskan secara benar (skala 5)
c. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa
yang dijelaskan perawat / tim kesehatan lainnya (skala 5)

19

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikterus neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir dimana kadar
bilirubin serum total lebih dari 10 mg% pada minggu pertama dengan ditandai
adanya ikterus yang bersifat patologis. Ikterus adalah warna kuning pada kulit,
konjungtiva,

dan

mukosa

akibat

penumukan

bilirubin,

sedangkan

hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang


menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan.
Macam-macam ikterus neonatorum adalah ikterus fisiologik, ikterus
patologik, kern ikterus, ikterus hemolitik, ikterus obstruktif
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat
mampu mendiagnosis secara dini mengenai penyakit ikterus neonatorium,
sehingga kita mampu memberikan asuhan keperawatan yang maksimal
terhadap neonatus.
20

Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat


kesalahan sehingga kritik dan saran semua pihak sangat kami harapkan.
i.

Bagi penulis
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini.

ii.

Bagi pembaca
Setelah membaca makalah ini diharapkan akan pembaca paham
tentang ikterus neonatorum dan diharapkan pembaca memberikan
sumbangsih pikiran demi ksempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta:


Salemba medika.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Jakarta:
Media Aecsulapius.
Rudolph, ann Alpers, 2006. Buku Ajar Pediatrik. Jakarta: EGC.
Surasmi. 2003. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol I Edisi 15. Jakarta: EGC.
Tarigan. 2003. Rencana Keperawatan Maternal / Bayi. EGC. Jakarta.
Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik
Dengan Klinikal Patways Edisi 3. Jakarta: EGC

21

Anda mungkin juga menyukai