Makalah Perpu LH (Aji)
Makalah Perpu LH (Aji)
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan Masalah
a. Pengertian hutan
b. Pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya
c. Perbandingan area hutan dari tahun-tahun
penyebabnya
d. Konspirasi sengketa sumber daya hutan
sebelumnya
dan
ISI
A. Pengertian Hutan
Definisi hutan menurut Dengler adalah suatu kumpulan
atau asosiasipohon-pohon yang cukup rapat dan menutup areal yng
cukup luas sehingga akan dapat membentuk iklim mikro yang
kondisi ekologis yang khas serta berbeda dengan area luarnya .
Menurut Spurr (1973), istilah hutan hutan dianggap sebagai
persekutuan antara tumbuhan dan binatang dalam suatua asosiasi
biotis.
Asosiasi
ini
bersama-sama
dengan
lingkungannya
membentuk suatu system ekologis dimana organisme dan
lingkungan saling berpengaruh di dalam suatu siklus energy yang
kompleks.
Menurut UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pada
ayat 1,2, dan 3:
1) Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut
paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan
yang diselenggarakan secara terpadu.
2) Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berupa sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
3) Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk
dan/atau
ditetapkan
oleh
pemerintah
untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Jenis-jenis hutan berdasarkan letak biogeografi, kepulauan
Nusantara adalah relief yang terbentuk dari proses pertemuan
antara tiga lempengan bumi yang masih mendekat dan juga berada
disabuk katulistiwa yang menghasilkan kawasan biogeografi utama,
yaitu : Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul.
B. Pemanfaatan Hutan sebagai Sumber Daya Alam
Menurut undang-undang nomor 41 tahun 2009 pasal 33 ayat
1, 2, 3 menyatakan tentang :
sosial tersendiri bagi masyarakat. Di sisi lain eksploitasi yang dilangsungkan telah turut pula
menyokong kerusakan lingkungan dengan impak bencana-bencana ekologi yang mulai
dirasakan oleh masyarakat saat ini.
Kondisi Hutan Tropis Di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas di
dunia setelah Brasil dengan hutan tropis Amazone-nya. Indonesia memiliki sebaran hutan
tropis yang sangat luas di hampir seluruh wilayah kepulauannya. Data Departemen
Kehutanan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan Indonesia mencapai lebih dari 120 juta
hektar1[1] Namun luas kawasan yang ditetapkan ataupun diklaim tersebut bukan merupakan
jaminan bahwa kondisi hutan di Indonesia dalam keadaan baik dan aman.
Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan.
Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen [World Resource
Institute, 1997]. Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun
telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan
hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 19972000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu
Negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil penafsiran citra
landsat tahun 2000 setidaknya terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya
seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. [Badan Planologi Dephut, 2003]. 2[2]
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa laju deforestasi (kerusakan hutan alam) mencapai 2,4
juta hektar per tahun, sementara dalam dua tiga tahun terakhir meningkat mencapai lebih dari
tiga juta hektar per tahun. Seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan, MS Kaban bahwa
luas kawasan hutan Indonesia mencapai 120,3 juta hektar, dan saat ini telah mengalami
degradasi total dengan luasan sekitar 59 juta hektar.3[3] Bahkan jika hendak dikalkulasikan,
Indonesia telah menghancurkan wilayah hutannya kira-kira 51 kilometer persegi setiap
harinya, setara dengan luasan 300 lapangan bola setiap jam. Angka tersebut diperoleh dari
kalkulasi berdasarkan data laporan State of The Worlds Forests 2007 yang dikeluarkan the
UN Food & Agriculture Organizations (FAO). Laporan ini juga menempatkan Indonesia,
Meksiko, Papua dan Brasil dalam deretan nagara yang mengalami kerusakan hutan terparah
sepanjang
waktu
2000
hingga
2005.4[4]
Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan
Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan,
banjir maupun tanah longsor. Sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah
1[1]
Data luasan hutan departemen kehutanan RI; disampaikan pertama kali oleh Presiden Soeharto dalam
pidato tanpa teks tahun 1961 di Solo
2[2]
3[3]
Pernyataan Menhut setelah rapat paripurna Kabinet Indonesia Bersatu, di Kantor Kepresiden, dalam rapat
kabinet yang membahas pemaparan Menteri yang berkaitan dengan lingkungan hidup
terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran
rupiah, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang
diakibatkan oleh kerusakan hutan [Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003]. Sementara
ditahun 2007, WALHI Nasional mencatat telah terjadi 205 kali bencana, dan pada tahun 2008
intensitasnya meningkat sampai dengan 359 kali.5[5]
Selain itu, Indonesia juga telah kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini
menjadi kebanggaan bangsa. Sementara itu kita fahami bagi sebagian masyarakat, hutan juga
memiliki erat hubungannya dengan asfek religi6[6], selain hutan merupakan tempat penyedia
makanan, penyedia obat-obatan, serta menjadi tempat hidup dan sumber kehidupan.. Dengan
hilangnya hutan di Indonesia, telah menyebabkan demoralisasi atau tereduksinya kebudayaan
masyarakat, hilangnya sumber kehidupan, sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan
meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, telah pula semakin meningkatkan angka
kemiskinan rakyat Indonesia, karena berdasarkan laporan khusus Down to Earth, juni 2002;
diperkirakan setidaknya sebanyak 100 juta dari 216 juta penduduk Indonesia secara langsung
menggantungkan
hidup
mereka
pada
hutan
dan
hasil
jasa
hutan.
Tanggung Jawab Pemerintah
Sejak dulu, dalam buku sejarah manapun di Nusantara, interaksi antara masyarakat dan
sumber daya alam dan hutan sangatlah akrab. Manusia Indonesia di awal peradabannya
memiliki hubungan yang sangat spesifik dengan hutan, baik sebagai pemburu maupun
sebagai pengumpul/peramu yang semua bahannya hanya dapat diperoleh dari hutan alam.
4[4]
Menurut FAO, angka deforestasi Indonesia tahun 2000-2005 mencapai 1,8 juta hektar/tahun. Angka ini
lebih rendah dibandingkan dengan angka resmi yang dikeluarkan oleh Dephut yaitu 2,8 juta ha/thn. Indonesia
masih di bawah Bazil yang menempati empat pertama dengan kerusakan 3,1 jt ha/thn, dengan gelar kawasan
deforestasi terbesar di dunia. Namun karena luas kawasan hutan total Indonesia jauh lebih kecil daripada Brasil,
maka laju deforestasi Indonesia menjadi jauh lebih besar. Laju deforestasi Indonesia adalah 2% per tahun,
dibandingkan dengan Brasil yang hanya 0,6%
5[5]
Di Sumatera Selatan, pada tahun 2008, WALHI Sumsel mencatat sedikitnya telah terjadi 41 kali banjir,
dimana di tahun 2009 terhitung sejak bulan Januari hingga April, telah terjadi 24 kali banjir (diperkirakan ke
depan terjadi peningkatan yang signifikan terhadap bencana di daerah ini). Akibat dari bencana banjir ini
berbagai sumber penghidupan masyarakat, seperti sawah, ladang dan perkebunan rakyat (sawit, karet, dan
jagung) terpaksa hilang dan terancam. Ditahun lalu terhitung sedikitnya 11 ribu ha sawah petani di Sumsel
rusak dan terancam puso (gagal panen). Jika di dalam 1 hektarnya petani menderita kerugian sekitar 2 juta,
maka diperkirakan total kerugian yang menimpa petani mencapai angka 22 milyar. Hal itu belum dihitung
dengan berbagai kerugian material lainnya, seperti; ratusan rumah masyarakat yang harus terbenam hingga
menyebabkan ribuan orang harus mengungsi, ribuan rumah terendam termasuk berbagai fasilitas umum,
seperti jalan desa, jalan lintas, jembatan, sekolahan, dan tempat ibadah. Akibat bencana banjir tersebut pula, di
beberapa tempat telah menyebabkan pasokan sayur-mayur menjadi terhambat, yang berpengaruh kepada
meningginya harga akibat menipisnya stok atau persediaan. Diperparah lagi, banjir juga telah mengisolasi
perkampungan masyarakat, termasuk sulitnya ribuan orang untuk memperoleh air bersih (bencana banjir di
OKU Timur di Bulan Februari 2008 yang melanda 46 Desa di 13 Kecamatan).
6[6]
salah satunya bagi Warga Benakat di Kabupaten Muara Enim Suamtera Selatan. Di wilayah tersebut
terdapat Hutan Larangan Rimbo Sekampung. Kawasan hutan larangan Rimbo Sekampung merupakan hutan
milik marga Benakat yang keberadaannya dilindungi secara adat. Hutan tersebut secara resmi dikukuhkan
pada 26 April 1920, yang oleh pemerintah Belanda memang diperuntukkan bagi masyarakat Benakat. Pada 25
Oktober 1932 pemerintah Belanda menjadikan kawasan tersebut sebagai hutan cadangan (boschwezen),
sehingga luas keseluruhan hutan larangan Rimbo Sekampung adalah 3.000 ha. Namun sejak sejak tahun 1992
PT. MHP menjarah hutan milik masyarakat tersebut.
Walaupun tidak memiliki sertifikat atau pengakuan tanah secara tertulis, masyarakat
lokal/adat amat memahami bagaimana bentuk tradisional pengelolaan sumber daya
alam/hutan mereka. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan yang arif dan berkelanjutan, terbukti
masyarakat mampu berdikari atas penghidupan mereka. Namun dalam kurun waktu yang
cukup lama, akses masyarakat terhadap lahan dan hutan semakin dibatasi. Meski secara
konstitusi, keberadaan masyarakat adat di akui oleh Negara, namun jika kita perhatikan alihalih demi kepentingan pembangunan/investasi telah membatasi kesempatan masyarakat untuk
memperoleh hak atas pemanfaatan lahan dan hutan.
Dengan kenyataan tersebut, sepertinya pemerintah masihlah setengah hati dalam mengakui
dan melindungi hak-hak masyarakat adat/lokal yang berada atau berdiam di dalam dan sekitar
hutan. Padahal penegasian terhadap keberadaan mereka, tentunya merupakan ancaman social
yang kelak harus dibayar mahal oleh pemerintah, jika pemerintah sendiri tetap berpijak pada
paradigma lama dalam pengelolaan SDA/Hutan. Dengan jumlah sekitar 100 juta penduduk
Indonesia yang mengelola lahan di sekitar dan di dalam hutan, merupakan potensi sosial yang
tidak kecil jika keberadaan mereka terus dimarjinalisasi.
Memperhatikan dampak, khususnya efek sosial terhadap pembatasan rakyat untuk
memperoleh manfaat dari kekayaan hutan, paska reformasi, muncul berbagai kebijakan yang
memberi ruang keterlibatan masyarakat. Respon tersebut diawali dengan diterbitkannya SK
Menhutbun No. 677/Kpts-/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), yang diperbaharui
melalui SK No. 31/Kpts-II/2001. Selain itu Departemen Kehutanan juga menerbitkan
Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004, tentang social forestry. Selanjutnya di dalam PP No.
6/2007, pengganti PP 34/2002, yang kemudian direvisi menjadi PP 3/2008, tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan hutan juga
mengakomodir hak masyarakat, termasuk mereka yang tinggal dan berada di kawasan
konservasi untuk mengelola dan memanfaatkan hutan dan hasil hutan, dalam bentuk HKm,
Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan lain-lain.
Dengan dasar kebijakan tersebut, kemudian banyak Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
dan Organisasi Rakyat (OR) mulai mendorong perwujudan partisipasi rakyat dalam
pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Di Provinsi Lampung misalnya, pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan telah diimplmentasikan sejak tahun 1998.
Pada waktu itu izin HKm pertama kali diberikan kepada dua kelompok masyarakat di
kawasan hutan Register 19 Gunung Betung, dan pada tahun 1999 melalui SK Menteri
Kehutanan No. 865/Kpts-II/1999, kebijakan ditekankan pada pemanfaatan kawasan hutan
Negara oleh masyarakat. Ketika itu, setidaknya pemerintah Propinsi Lampung melalui fihak
Kehutanan, telah menetapkan pencadangan areal HKm seluas 291.727 ha yang meliputi
Hutan Lindung seluas 198.470 ha, Suaka Alam/Taman Nasional seluas 59.627 ha dan Hutan
Produksi seluas 33.360 ha yang tersebar hampir diseluruh kabupaten/kota di Propinsi
Lampung.7[7]
Selain di Provinsi Lampung, beberapa propinsi lainnya juga mengimplementasikan hal yang
serupa, dengan memberi peluang kepada masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan
lahan di kawasan hutan Negara. Di Sumut-Aceh, Pemerintah mengeluarkan SK Menhut No.
227/95 yang kemudian diganti dengan Keppres No. 33/1998 tentang pengelolaan Kawasan
7[7]
WATALA; Kepastian pengelolaan dikawasan hutan Negara, pengalaman belajar bersama di Sumber Jaya,
Lampung
Konservasi Ekosistem Leuser dan terdapat lagi beberapa contoh keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan dan pelestarian hutan.8[8]
Bagaimana dengan provinsi Sumatera Selatan?. Berdasarkan sumber dari Dinas Kehutanan
Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan dan GERHAN, menunjukan bahwa
kawasan hutan Sumatera Selatan seluas 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan
hutan yang ada di Indonesia. Luas kawasan hutan Sumsel tersebut terdiri dari; Hutan Lindung
seluas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034
hektar.9[9]
Dari luas kawasan hutan yang ada di Sumsel tersebut, berbeda dengan beberapa contoh di
provinsi lain, senyatanya akses pengelolaan rakyat terhadap sumber daya hutan begitu
dibatasi oleh pemerintah. Malah terjadi di banyak tempat, pengusiran terhadap masyarakat
kerap dilakukan. Dengan alasan proteksi terhadap kawasan hutan dan pengembangan
investasi, banyak masyarakat yang berada di dalam dan sekitar hutan telah dipaksa
menyingkir. Tidak jarang kebijakan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang sesungguhnya
tidaklah lagi tepat untuk diterapkan dalam situasi politik saat ini.10[10]
Berbanding terbalik dengan pembatasan rakyat terhadap akses lahan dan hutan, sebaliknya
pemerintah justru membuka ruang seluas-luasnya bagi kelompok investasi menjamah
kehidupan hutan Sumsel. Berbagai bisnis seperti Pertambangan, HTI, dan perkebunan kelapa
sawit terus digalakkan, yang celakanya usaha-usaha tersebut justru berada di dalam kawasan
hutan yang semestinya tidak diperuntukkan bagi kepentingan bisnis/industri11[11]
Orientasi pengelolaan hutan selama ini yang cendrung hanya diperuntukkan bagi kepentingan
bisnis, dengan mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat, pada prakteknya telah
memunculkan banyak konflik dan keresahan sosial. Deretan kasus agraria 12[12] yang
berhubungan dengan pembatasan ruang rakyat untuk memperoleh akses kelola terhadap
hutan, semakin menjadikan masyarakat semakin sulit dan terjepit. Tidak jarang dari sengketa
8[8]
Sulaiman N. Sembiring
9[9]
Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13% dari kawasan hutan
atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif (tidak berhutan lagi), dan 37,87% atau
seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakan/berhutan (Informasi pembangunan
kehutanan dan GERHAN - Dishut Provinsi Sumsel, 2005). Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi
Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau tingkat degradasinya
sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008, berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan
Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha (catatan akhir tahun dan siaran pers bersama WALHI Sumsel dan Wahana
Bumi Hijau
10[10]
Salah satunya seperti yang terjadi terhadap masyarakat di dalam kawasan SM Bentayan MUBA.
Masyarakat di sana tinggal dan menetap di dalam kawasan tersebut sejak tahun 1997. Saat pertama kali
masyarakat datang, kondisi wilayah telah menjadi padang ilalang akibat aktifitas massif illegaloging. Pada
tanggal 29 Oktober 2004 Tim Gabungan dari Polda Sumsel dan BKSDA Sumsel melakukan operasi penertiban
Ilegal Logging. Namun dalam operasi tersebut tidak satupun pelaku penebangan hutan ilegal yang ditangkat,
team gabungan malah menangkap 6 ( Enam ) orang masyarakat Gersik Belido yang bukan merupakan target
operasi. Setelah melalui proses perjuangan yang cukup panjang, masyarakat dijanjikan akan direlokasi, dan
sambil mencari tempat yang tepat bagi warga di sana untuk pindah, masyarakat diperbolehkan menetap dan
berusaha di dalam kawasan. Namun pada akhir tahun 2007, BKSDA bersama Polda Sumsel kembali melakukan
penangkapan yang disertai dengan kekerasan, pembakaran rumah warga, serta penjarahan harta benda warga
11[11]
Di Kabupaten MUBA kita dapat menyaksikan, sepanjang jalan Palembang Jambi, di Desa
Peninggalan dan Simpang Tungkal Kecamatan Bayung Lincir, berdiri perusahaan perkebunan kelapa sawit PT.
Sentosa Mulya Bahagia (SMB). Perusahaan tersebut diperkirakan telah mencaplok hutan konservasi SM
Bentayan hingga mencapai ribuan hektar. Demikian juga terjadi di Kabupaten Lahat, beberapa perusahaan
Pertambangan beroperasi di dalam kawasan hutan konservasi, HL, dan HP, dimana perusahaan-perusahaan
tersebut belum memiliki izin.
12[12]
Dalam kurun waktu 19 tahun sejak 1989 hingga tahun 2008, setidaknya di Sumatera Selatan
terdapat 244 kasus sengketa tanah yang terekam, yang merupakan kategori kasus tanah struktural.
13[13]
Di Kabupaten OKI, sengketa tanah yang terjadi antara masyarakat dibeberapa desa dengan PT.
Persada Sawit Mas (PSM) telah menyebabkan dua orang meninggal dunia, 23 orang dipenjarakan, dan puluhan
orang distatuskan sebagai DPO. Sementara di Muba, sengketa tanah antara masyarakat dengan PT. SMB selain
telah menyebabkan enam orang dipenjara, beberapa orang mengalami defresi karena tanah penghidupannya
diserobot perusahaan, hingga akhirnya meninggal dunia. Situasi demikian, banyak pula terjadi dibanyak tempat
di tanah air dan di daerah ini.
mengatasi berbagai persoalan sosial yang kerap muncul selama ini, termasuk masalah ekologi
akibat hancurnya hutan kita.
Dengan adanya spirit dari para fihak, khususnya pemerintah dalam mendorong partisipasi dan
keterlibatan masyarakat dalam mengelola hutan, tinggal lagi diperlukan beberapa pra syarat
yang perlu dipersiapkan, diantaranya: (1) Kejelasan dan kepastian wilayah kelola hutan oleh
masyarakat; (2) Organisasi masyarakat yang kuat, solid, dan terarah; (3) Kemampuan
masyarakat untuk mengelola hutan.
Pemenuhan terhadap prasyarat tersebut merupakan sebuah agenda yang membutuhkan
perjuangan yang tidaklah mudah. Di dalamnya diperlukan komitmen dan keseriusan
pemerintah untuk merealisasikannya. Namun hal ini wajib dilakukan, agar keadilan sosial
dan keberlanjutan ekologi tidaklah hanya sekedar sajian retorika dan jargon semata.
Ditulis oleh Anwar sadat Walhi sumsel