Anda di halaman 1dari 6

Ayat tentang Waris

Bab I
Pendahuluan
I.

Latar belakang
Hukum waris islam adalah salah satu dari obyek yang dibahas dalam Hukum
Perdata Islam di Indonesia selain masalah munakahah dan muamalah. Masalah hukum
waris islam ini sangat penting sekali untuk difahami oleh umat muslim. Akan tetapi
seperti yang telah banyak kita ketahui, hukum waris islam di Indonesia sudah mulai
ditinggalkan oleh umat muslim. Karena hukum waris islam itu sendiri dianggap sulit
untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Semakin kompleknya hubungan
kekerabatan atau kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat menjadi salah satu
faktor yang menjadi penyebab hukum waris islam mulai ditinggalkan masyarakat, dan
mayoritas umat muslim sekarang ini menggunakan hukum waris yang umum digunakan
dalam masyarakat bukan hukum waris islam yang telah di atur dalam Al-Quran dan
juga As-sunnah.
Aturan tentang waris ini telah ditetapkan oleh Allah melalui Firman-Nya yang
terdapat dalam Al-Quran, terutama Surat An-Nisaa ayat 7, 8, 11, 12, dan 176, pada
dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan dengan kewarisan telah sangat jelas
maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang sifatnya
menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw melalui
hadistnya.
Timbulnya kebutuhan untuk mengetahui kejelasan ketentuan hukum kewarisan
tersebut tidak harus menunggu karena adanya sengketa perkara waris, akan tetapi
memang karena dari kesadaran kita sendiri untuk melaksanakan ketentuan hukum
waris itu sendiri sebagaimana menurut ketentuan hukum Islam. Mengingat sebagian
besar Bangsa Indonesia adalah penganut agama Islam, akan tetapi belum tentu
memiliki pengetahuan yang mantab tentang kewarisan Islam.
Maka dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan mengenai
hukum waris islam dengan menunjukkan ayat-ayat waris yang menjadi dasar hukum
waris dan hadits-haditsnya. Dan juga penjelasan mengenai pembahasan hukum waris
yang dilakukan oleh para Ulama klasik dan modern untuk memberikan jawaban atas
permasalahan kontemporer tentang hukum waris yang terjadi dalam masyarakat
modern saat ini.
II. Rumusan Masalah
1. Definisi Waris?
2. Apa sajakah yang menjadi dasar hukum waris dalam Islam?
3. Bagaimanakah pendapat para Ulama klasik dan Ulama modern mengenai ayat-ayat
kewarisan Islam?

III. Tujuan Pembahasan


1. Untuk memahami arti waris itu sendiri
2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum waris Islam
3. Untuk mengetahui pendapat para Ulama klasik dan modern mengenai ayat-ayat
kewarisan Islam

BAB II
Pembahasan
A. Definisi Waris
Suatu definisi biasanya diutarakan untuk mendalami bidang yang didefinisikan
itu. Artinya mempelajari sesuatu, tidak hanya cukup dengan mempelajari definisi
sesuatu itu. Demikian juga dengan kewarisan dalam Islam. Definisi yang akan kami
uraikan disini hanya memberikan gambaran yang paling sederhana mengenai
kewarisan Islam itu sendiri. Sebab, apabila kewarisan Islam akan kita kaji secara
mendalam, bahwa ia akan jauh lebih luas daripada hanya sekedar definisi yang akan
diuraikan. Namun demikian, suatu definisi selalu perlu dan ada manfaatnya apabila
seseorang mempelajari sesuatu. Tidak terkecuali jika seseorang mempelajari kewarisan
Islam.
Dalam beberapa literatur yang membahas hal pokok yaitu hukum Islam, dapat
kita temui beberapa istilah yang menyangkut tentang bab yaitu tentang Mawaris.
Seperti Fiqih Mawaris, Hukum kewarisan Islam dan lain sebagainya.
Kata mawaris diambil dari bahasa Arab, mawaris adalah bentuk jama dari kata
Miiraats yang berarti harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya.
Adapun penggunaan kata mawaris lebih melihat kepada yang menjadi obyek
dari hukum ini, yaitu harta yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab,
kata mawaris adalah sebuah bentuk plural dari kata miiraast yang berarti maurust atau
harta yang diwarisi. Dengan demikian, arti waris yang digunakan dalam beberapa kitab
merujuk kepada yang menerima harta warisan itu, karena kata warits artinya adalah
seorang pewaris (ahli waris), sedangkan orang yang meninggalkan harta
disebut muwarits.[1]
B. Dasar Hukum Tentang Waris
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum Agama (Islam)
adalah nash atau teks yang terdapat didalam Al-Quran dan As-sunnah. Ayat-ayat AlQuran yang secara langsung mengatur kewarisan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
Yang kita bahas disini pertama kali adalah Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 7

Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibubapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan.
Ketentuan di dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan
bahwa dalam Islam itu, baik laki-laki ataupun perempuan adalah sama-sama memiliki
hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan
subyek Hukum yang memiliki sebuah hak dan kewajiban. Hal ini tidak demikian hal nya
dengan di masa Jahiliyyah, dimana perempuan di masa itu dipandang sebagai obyek
bagaikan benda biasa yang bisa diwariskan. Seperti contoh anak laki-laki mewarisi Ibu
tirinya.
Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 8
Artinya : Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[2], anak yatim dan orang
miskin, Maka berilah mereka dari harta itu[3] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada
.mereka perkataan yang baik
Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 9
Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya |
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
.Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar
Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 10
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke
.dalam api yang menyala-nyala (neraka)
Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 11
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan[4] dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[5], Maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibubapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di

antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
.Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana
Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 12
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteri-isterimu itu mempunyai anak,
Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu
tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris)[6]. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.

Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 127


Artinya : Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam
Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan
kepada mereka apa[7] yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini
mereka[8] dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja
.yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya
Al-Quran Surat An-Nisaa ayat : 176
Artinya : Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)[9]. Katakanlah: "Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya
yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri

dari) Saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki
sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
.kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu
C. Pendapat Para Ulama Klasik dan Modern Tentang Ayat-ayat Waris
Di lingkungan praktisi hukum Islam terdapat pola pikir yang beragam,
setidaknya hal tersebut tercermin dari pendapat Hasbi Hasan[10] dan H. Taufik[11].
Hasbi Hasan menyatakan bahwa terlepas dari kontroversi pembagian waris dua
banding satu atau satu banding satu, tidak berarti penyelesaian perkara waris
diberlakukan sikap mendua, namun hakim harus menerapkan asas legisme, hakim
harus memutus sesuai hukum yang berlaku, yaitu dua banding satu[12]. Dengan
mengkaji ayat-ayat waris dan perbandingan kondisi sosial Arab pra-Islam dengan
kondisi sekarang, H. Taufik berkesimpulan bahwa saat ini terbuka kemungkinan
memperlakukan persamaan hak kewarisan antara anak laki-laki dan perempuan
(mendapat bagian yang sama)[13]. Hukum bersifat dinamis dan berubah sering
perkembangan zaman dan pola pikir manusia sehingga kekhawatiran akan
dibatalkannya putusan di tingkat yang lebih tinggi harus dikikis.
Dalam pandangan Muhammad Shahrur, ayat-ayat waris yang bersifat eksplisit
merupakan salah satu batasan dari sekian batasan (hudud) hukum syariat yang
ditentukan Allah. Otoritas penentuan syariat Islam hanya milik Allah semata, bukan
otoritas yang lain, bahkan kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun. Sehingga
ketentuan hukum yang berasal dari Nabi Muhammad SAW bersifat temporal. Hukum
yang bersumber dari Allah SWT bersifat universal, berlaku untuk segala situasi dan
kondisi, sesuai setiap waktu dan tempat.
Hukum Islam pada hakekatnya bertujuan menciptakan kemaslahatan manusia
yang sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad baru.
Jangankan perbedaan masa sekarang dengan masa seribu tahun lalu, masa hidup
Imam Syafii saja memerlukan dua pendapat berbeda (qaul qadim dan qaul jadid) [14].
Karena salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaharuan hukum Islam
adalah pengaruh pluralisme sosial budaya dan politik sebuah masyarakat dan negara.
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, hlm. 5
[2] kerabat di sini maksudnya : kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari harta

benda
[3] pemberian sekedarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan
[4] bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah Karena kewajiban laki-laki lebih

berat dari perempuan


[5] lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan nabi
[6] seperti: mewasiatkan lebih dari sepertiga harta, berwasiat dengan maksud
mengurangi harta warisan sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris,
juga tidak diperbolehkan.

[7] maksudnya ialah: warisan dan maskawin


[8] Jahiliyah dulu: seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya

dan berkuasa akan hartanya. jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. jika
wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat
menguasai hartanya. kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.
[9] Seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.
[10] Asisten Wakil Ketua MA RI bidang non yustisial saat ini.
[11] H. Taufik adalah mantan hakim agung urusan lingkungan Peradilan Agama dan
menjabat
Wakil Ketua MA RI pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Ia adalah Wakil Ketua MA pertama
yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama.
[12] Hasbi Hasan, Pembagian Waris Dua Berbanding Satu (2:1) dalam Perspektif
Hadis
Ahkam, dalam Suara Uldilag, Vol. II 7 September 2006, hlm. 97.
[13] H. Taufik, Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Kewarisan Syariat Islam,
dalam Suara
Uldilag, Vol. III No. 8 April 2006, hlm. 7.
[14] Qaul qadim adalah pendapat Imam al-Syafii di Jazirah Arab, sebelum pindah ke
Mesir,
sedang qaul jadid adalah pendapat Iman as-Syafii setelah pindah ke Mesir.
Diposkan oleh Mohammad Hendy Musthofa di 01.26

Anda mungkin juga menyukai