PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Kalimantan barat merupakan provinsi dengan sungai terpanjang di Indonesia yaitu
sungai Kapuas dan salah satu lokasi yang dijadikan objek wisata. Sungai merupakan urat nadi
kehidupan masyarakat yang telah turun temurun berkembang di kota Pontianak. Pada
dasarnya kota-kota di Kalimantan barat tumbuh dan berkembang dari cikal bakal pemukiman
tepian sungai. Cirikhas kota Pontianak sebagai kota air juga mulai mengalami pergeseran
diakibatkan oleh perubahan orientasi bermukim dari masyarakat sungai menjadi masyarakat
daratan. Orientasi pada bangunan di sepanjang sungai perlahan-lahan mulai berorientasi ke
daratan dan sungai dijadikan area service untuk kebutuhan limbah padat maupun limbah cair
sehingga sungai mengalami kerusakan lingkungan.
Pada tahun 2013 Pemerintah kota Pontianak mulai melirik kembali pontensi sungai
Kapuas untuk dikembangkan menjadi obyek wisata yang mampu menarik minat wisatawan.
Salah satu bagian dari lingkungan perkotaan
Pada beberapa titik yang di tentukan untuk waterfront city salah satunya membangun
waterfront berupa jalur pejalan kaki sebagai penghubung wilayah yang dianggap strategis
untuk pengembangan waterfront city dan untuk lokasi wisata mulai dari Taman Alun-Alun
Tugu Kapuas hingga ke Pelabuhan Senghie.
Lokasi ini berada di pusat kota Pontianak dan sangat strategis untuk pengembangan
kota menuju waterfront city. Dapat dilihat dari segi aktivitas pada lokasi tersebut yang
merupakan kawasan wisata, kawasan perdagangan dan jasa dan kawasan pelabuhan.
Permasalahan pada wilayah ini tidak memiliki jalur penghubung yang jelas seperti jalur
pedestrian sehingga menyulitkan masyarakat menuju lokasi tersebut dan lebih memilih
menggunakan kendaraan dibandingkan berjalan kaki sambil menikmati keindahan sungai
kapuas. Aktivitas yang terjadi lebih mengarah pada aktivitas daratan karena tidak adanya
fasilitas yang berorientasi pada sungai sehingga melupakan potensi sungai yang ada di dekat
kawasan tersebut.
Permasalahan lainnya yaitu dari segi kegiatan yang berlangsung di kawasan tersebut
yang dimana merupakan pusat kota yang memiliki aktivitas wisata, perdagangan dan
pelabuhan tidak memiliki satu jalur yang dapat menyatukan kawasan kota tersebut sehingga
diperlukan suatu jalur penghubung berupa pedestrian tepian sungai yang mengarah pada
linkage sehingga kawasan tersebut menjadi satu kesatuan baik secara aktivitas didalamnya
maupun secara visual sehingga dapat mempermudah akses menuju lokasi tesebut dan
memperindah kota yang berorientasi pada waterfront city.
1.2.
Identifikasi Masalah
Dari permasalahan yang muncul pada latar belakang terbagi menjadi beberapa point
penyebrangan dan pelabuhan senghie yang memiliki kegiatan dan karakter yang
berbeda sehingga permasalahannya yaitu menyatukan kawasan tersebut dengan jalur
akses sebagai penghubung karena tiap-tiap kawasan tersebut memiliki permasalahan
yang berbeda-beda.
1.3.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang di alami pada pedestrian tepian sungai ini adalah
1. Bagaimana mengembalikan karakter kota Pontianak sebagai waterfront city dengan
dibangunnya fasilitas pedestrian di tepi sungai Kapuas?
2. Bagaimana menghubungkan elemen yang berbeda pada jalur pedestrian tepian sungai
karena terdapat aktivitas yang berbeda pada tiap-tiap kawasan tersebut?
1.4.
Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan difokuskan pada penerapan Linkage pada pedestrian tepian sungai
Kapuas supaya nantinya dapat memberi karakter waterfront city dan dapat menyatukan setiap
elemen yang berbeda pada kawasan tersebut.
1.5.
Tujuan
untuk menghubungkan elemen yang berbeda pada kawasan-kawasan yang
direncanakan untuk jalur pedestrian di tepi sungai sehingga tiap kawasan yang berbeda
karena dilihat dari segi aktivitas dan fungsinya dapat diselesaikan dengan konsep yang
berbeda tetapi menyatukan kesemua elemen tersebut. Selain itu aktivitas di kawasan tersebut
berorientasi pada sungai sehingga dapat mengembalikan karakter kota Pontianak sebagai
waterfront city.
1.6.
Manfaat
Manfaat menerapkan linkage bagi pengguna dengan adanya penelitian ini adalah
1. Untuk menghubungkan semua kawasan yang berbeda dilihat dari aktivitas dan
fungsinya
2. Pengguna jalur pedestrian ditepi sungai merasa nyaman dan merasa betah untuk
melewati jalur tersebut sehingga aktivitas didaratan dapat kembali berorientasi
kesungai.
3. Memperindah bentukan atau wajah fisik kota pada sempadan sungai Kapuas
4. Memanfaatkan secara efektif potensi sungai Kapuas untuk menarik minat wisatawan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi Linkage
Linkage adalah berupa garis semu yang menghubungkan antara elemen yang satu
dengan yang lain, nodes yang satu dengan nodes yang lain, atau distrik yang satu dengan
yang lain. Garis ini bisa berbentuk jaringan jalan, jalur pedestrian, ruang terbuka yang
berbentuk segaris dan sebagainya. Teori linkage melibatkan pengorganisasian garis
penghubung yang menghubungkan bagian-bagian kota dan desain spatial datum dari garis
bangunan kepada ruang. Spatial datum dapat berupa site line, arah pergerakan, aksis, maupun
tepian bangunan (building edge) yang secara bersama-sama membentuk suatu sistem linkage
dalam sebuah lingkungan spasial.
2.2.
perencana kota, arsitektur, lansekap, rekayasa sipil dan transportasi dalam wujud fisik.
Perancangan kota lazimnya lebih memperhatikan pada bentuk fisik kota. Perancangan kota
dapat mewujudkan dirinya dalam bentuk tampak depan bangunan, desain sebuah jalan, atau
sebuah rencana kota dan dapat dikatakan pula bahwa perancangan kota berkaitan dengan
bentuk wilayah perkotaan. Ruang-ruang terbuka berbentuk jalan, taman dan akhirnya ruang
yang lebih besar, dirancang bersamaan dengan perancangan fisik bangunannya, sehingga kota
tersebut merupakan proses dan produk dari perancangan kota. Produk perancangan kota
tersebut dapat dikategorikan dalam dua bentuk yang disebut ruang kota (Urban Space) dan
ruang terbuka (Open Space). (Prof.Eko;Kota Berkelanjutan,1999,59)
2.2.1. Teori linkage
4
Menurut Roger Trancik terdapat tiga teori dalam elemen kota yaitu teori Figure
Ground, teori Linkage dan teori Place. Ketiga pendekatan teori tersebut sama-sama memiliki
potensi sebagai strategi perancangan kota yang menekankan produk perkotaan secara
terpadu. Pada teori figure ground menganalisa hubungan antara massa bangunan dengan open
space, teori Linkage merupakan garis semu yang menghubungkan elemen satu dengan
elemen lainnya dan teori Place merupakan kombinasi dari kedua teori sebelumnya yang
ditambahkan dengan komponen budaya, sejarah dan konteks alam.
Linkage (penghubung) adalah hubungan antara sebuah tempat dengan yang lain dari
berbagai aspek sebagai suatu bagian dari pembangkit perkotaan yang memperhatikan dan
menegaskan hubungan-hubungan dan gerakan-gerakan (dinamika) sebuah tata ruang
perkotaan (urban fabric). Sebuah linkage perkotaan dapat diamati dengan cara dan
pendekatan yang berbeda, terdapat tiga pendekatan linkage perkotaan yaitu linkage yang
visual, linkage yang struktural dan linkage bentuk yang kolektif.
Kota adalah suatu yang kompleks dan rumit, sehingga perkembangan kota memiliki
kecenderungan membuat orang merasa tersesat dalam gerakan daerah kota yang belum
mereka kenal. Hal itu sering terjadi didaerah yang tidak mempunyai linkage. Setiap kota
banyak memiliki fragmen kota, yaitu kawasan-kawasan kota yang berfungsi sebagai beberapa
bagian tersendiri dalam kota. Walaupun identitas serta bentuk massa dan ruang fragmenfragmen itu bisa tampak sangat jelas, orang masih sering bingung saat bergerak didalam suatu
daerah yang belum cukup mereka kenal. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kuantitas da
kualitas masing-masing bagian (fragmen) di kota belum memenuhu kemampuan untuk
menjelaskan sebagai bagian dari keseluruhan kota. Oleh karena itu diperlukan elemen-elemen
5
penghubung , yaitu elemen-elemen linkage dari satu kawasan kekawasan lain yang
membantu orang untuk mengerti fregmen-fregmen kota sebagai bagian dari suatu keseluruha
yang lebih besar.
1. Linkage visual
Istilah linkage visual dapat dirumuskan dalam linkage yang visual dua atau lebih
banyak fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual. Menurut Edmun
Bacon elemen visual dapat dipakai baik dalam skala makro besar maupun makro kecil yaitu
dalam kota secara keseluruhan maupun dalam kawasan kota, karena sebuah linkage yang
visual mampu menyatukan daerah kota dalam berbagai skala. Pada dasarnya, ada dua pokok
perbedaan linkage visual, yaitu :
a. Yang menghubungkan dua daerah secara netral
b. Yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan satu daerah.
Kebanyakan didaerah kota-kota seluruh dunia, penghubung hanya bersifat kaitan saja
dibanding hubungan yang bersifat sebagai fokus yang memusatkan sebuah kawasan tertentu.
Daerah fokus sering memiliki fungsi dan arti khusus didalam kotanya karena bersifat
dominan dan menonjol daripada lingkungannya. Bagan 1 menunjukkan perbedaan dua cara
penghubungan suatu kawaan dengan kawasan yang lainsecara visual.
Lima elemen linkage visual, merupakan elemen yang memiliki ciri khas dan suasana
tertentu yang mampu menghasilkan hubungan secara visual, terdiri dari:
a. Elemen garis
Menghubungkan secara langsung dua tempat dengan satu deretan massa. Untuk
massa tersebut bisa dipakai sebuah deretan bangunan ataupun sebuah deretan pohon
yang memiliki rupa massif.
b. Elemen koridor
Dibentuk oleh dua deretan massa (bangunan atau pohon) membentuk sebuah ruang
c. Elemen sisi
Sama seperti elemen garis, menghubungkan dua kawasan dengan satu massa tetapi
perbedaan nya dibuat secara tidak langsung, sehingga tidak perlu dirupakan dengan
6
sebuah garis yang massanya agak tipis, bahkan hanya merupakan sebuah wajah yang
massanya kurang penting. Elemen tersebut bersifat massif dibelakang tampilannya,
sedangkan didepannya bersifat spasial
d. Elemen sumbu
mirip dengan elemen koridor yang bersifat spasial tetapi perbedaannya terdapat pada
dua daerah yang dihubungkan oleh elemen tersebut, yang sering mengutamakan salah
satu daerah saja.
e. Elemen irama
Menghubungkan dua tempat dengan variasi massa dan ruang. Elemen tersebut jarang
diperhatikan dengan baik, walaupun juga memiliki sifat yang menarik dalam
menghubungkan dua tempat secara visual.
Elemen-elemen tersebut akan digambarkan dengan berbagai contoh yang dapat
menegaskan sifat elemen masing-masing. Pada perancangan kota pemakaian lansekap
didalam kota akan sangat mendukung dan memperjelas sistem hubungan yang ada didalam
kota. Nyatanya, potensi penanaman pohon-pohon jarang dipakai sesuai kebutuhan
lingkungan, baik secara visual maupun fungsional bahkan pohon sering hanya dianggap
sebagai penghias kota saja. Saatnya pendekatan dalam sebuah kota memakai lansekap
sehingga pendekatan tersebut lebih berarti didalam kota, khususnya untuk daerah tropis. Pada
gambar
2. Linkage struktural
Menggabungkan dua atau lebih bentuk struktur kota menjadi satu kesatuan tatanan.
Menyatukan kawasan-kawasan kota melalui bentuk jaringan struktural yang lebih dikenal
7
dengan sistem kolase (collage). Beberapa kawasan dalam perkotaan mempunyai bentuk dan
cirikhas yang mirip, tetapi ada juga kawasan yang sangat berbeda. Sering pula terjadi
perbedaan antara kawasan yang letaknya saling berdekatan sehingga terlihat agak terpisah
dan berdiri sendiri karena kurangnya bentuk jaringan. Dalam kota sering terlihat tidak adanya
hubungan antara satu daerah dan yang lain. Permasalahan tersebut telah dicoba untuk diatasi
dengan pendekatan linkage yang visual. Tetapi solusi visual tersebut sering kurang tepat
sehingga perlu ditambahkan bahwa masalah kurangnya bentuk jaringan kawasan perkotaan
juga penting dibahas secara struktural.
Fungsi linkage struktural di dalam kota adalah sebagai stabilisator dan koordinator di
dalam lingkungannya, karena setiap kolase perlu diberikan stabilitas tertentu serta
distabilisasikan lingkungannya. Hal ini dapat dilakukan dengan memprioritaskan sebuah
daerah yang menjelaskan lingkungannya dengan suatu struktur, bentuk, wujud, atau fungsi
yang memberikan susunan tertentu didalam prioritas penataan kawasan.
Sama seperti linkage visual, dalam linkage yang struktural pada dasarnya dapat
diamati perbedaan pokok sebagai berikut:
a. Menggabungkan dua daerah secara netral
b. Menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan satu daerah.
Pemakaian kedua cara tersebut juga tergantung pada fungsi kawasan didalam konteks
masing-masing. Tidak hanya setiap kawasan yang memiliki arti struktural yang sama didalam
kota, sehingga cara hubungannya secara hirarki juga berbeda
Ada tiga elemen linkage struktural yang mencapai hubungan secara arsitektural yaitu
tambahan, sambungan serta tembusan. Karena tiga elemen struktural ini bersifat agak abstrak,
seringkali elemen-elemen linkage yang struktural kurang diperhatikan didalam perancangan
perkotaan.
a. Elemen tambahan
merupakan
kontribusi
yang
sangat
penting.
Linkage
memperhatikan
dan
bersifat
samar-samar
(ter-implikasikan
keberadaanya)
dibandingkan
terang2ngan. elemen-elemen linkage dalam tipe ini, cenderung bersifat statis dan
formal bila dibandingkan terhadap bentuk alam
b. Mega form
MegaForm atau Megastructure, adalah metode perencanaan kawasan atau kota yang
banyak digunakan di tahun 1950 hingga 60an, yang menggambarkan sebuah kawasan
atau kota dimana strukturnya dikoneksikan membentuk suatu kerangka sistem hirarki
linier, terbuka, dimana keterhubungannya (linkage) secara fisikalis terimposisikan.
c. Grup form
Group Form dihasilkan melalui suatu proses akumulasi perkembangan sebuah
struktur kota/kawasan yang berlangsung secara perlahan-lahan dengan pola mengikuti
pola pertumbuhan ruang2 terbuka komunal. Elemen linkage (keterhubungan) pada
tipe ini cenderung bersifat alamiah dan organik
10
2. Edges
Edges adalah elemen linier yang tidak dipandang sebagai paths oleh pengamat. Edges
adalah pembatas antara dua fase, sebuah garis yang memutuskan kontinuitas, seperti garis
pantai, persilangan jalan terhadap jalur kereta api, ataupun sebuah dinding (tembok berlin).
Edges seperti ini, dapat saja menjadi barier (penghalang), yang sulit untuk ditembus, yang
membagi suatu wilayah dalam dua bagian. Edges dapat pula berupa sebuah garis yang
menghubungkan dua wilayah yang berbeda. Edges bukanlah elemen yang mudah dikenali
oleh sebagian orang, namun edges menjadi sebuah alat untuk mengatur/menandai
teritorialitas suatu area, seperti batasan wilayah sebuah kota yang berbentuk sungai ataupun
tembok.
3. Districts
District adalah suatu bagian (menengah hingga besar) dari sebuah kota/kawasan, yang
mengandung luasan dua dimensional, dimana seorang pengamat merasa masuk ke dalam.
Identifikasi akan adanya suatu distrik, terkadang, hanya dapat dirasakan ketika seseorang
11
berada di dalam dan membandingkannya dengan di luar. Distrik dapat juga dijadikan
referensi tampilan luar, bila ia dapat terlihat secara tegas dan nyata.
4. Nodes
Nodes adalah sebuah titik (points), suatu spot strategis di dalam kota dimana observer
dapat memasukinya/menjangkaunya. Nodes dapat pula berupa suatu tempat yang khusus
(intensive foci) dimana pengamat bergerak menuju dan dari-nya. Nodes dapat berupa simpulsimpul utama, tempat perhentian bis/kereta/kapal, suatu titik silang paths, suatu jeda antara
satu tahapan menuju tahapan lainnya.
5. Landmarks
Landmarks adalah jenis lain dari sebuah titik/poin referensi, hanya dalam hal ini,
pengamat tidak dapat memasuki/melaluinya, mereka (pengamat) menjadi pihak eksternal.
Landmarks cenderung berupa sebuah obyek fisik yang sederhana yang dapat berupa
bangunan, tanda, gudang, atau bahkan sebuah gunung.
12
2.3.
Tinjauan Pedestrian Tepian Sungai
2.3.1. Tinjauan pedestrian
Di era modern sekarang, dalam tata ruang kota jalur pejalan kaki merupakan elemen
yang sangat penting. Selain karena memberikan ruang yang khusus bagi pejalan kaki, jalur
pejalan kaki juga memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki yang melintasi
jalur tersebut. Oleh kerena itu, ruang pejalan kaki sangat berperan dalam menciptakan
lingkungan yang manusiawi.
Pejalan kaki adalah orang yang bergerak dalam satu ruang, yaitu dengan berjalan
kaki. Dalam berjalan kaki, Shirvani (1985) mengatakan bahwa penggunanya memerlukan
jalur khusus yang disebut juga dengan pedestrian, yang merupakan salah satu dari elemenelemen perancangan kawasan yang dapat menentukan keberhasilan dari proses perancangan
di suatu kawasan kota. Dharmawan (2004) mengatakan bahwa pedestrian berasal dari bahasa
latin, yaitu pedestres, yang berarti orang yang berjalan kaki. Pedestrian juga diartikan sebagai
pergerakan atau sirkulasi perpindahan manusia/ pengguna dari satu tempat asal (origin)
menuju ke tempat yang ditujunya (destination) dengan berjalan kaki.
Menurut Iswanto (2006), suatu ruas jalan perlu dilengkapi dengan adanya jalur
pedestrian apabila disepanjang jalan terdapat penggunaan lahan yang memiliki potensi
menimbulkan pejalan kaki. Namun jalur pedestrian dalam konteks perkotaan biasanya
13
dimaksudkan sebagai ruang khusus untuk pejalan kaki yang berfungsi sebagai sarana
pencapaian yang dapat melindungi pejalan kaki dari bahaya yang datang dari kendaraan
bermotor. Di Indonesia sendiri lebih dikenal sebagai trotoar, yang berarti jalur jalan kecil
selebar 1,5 meter sampai 2 meter atau lebih memanjang sepanjang jalan umum.
1. Fungsi pedestrian dan kegiatan dijalur pedestrian
Jalur pedestrian bukan saja berfungsi sebagai tempat bergeraknya manusia atau
menampung sebagian kegiatan sirkulasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
namun juga merupakan ruang (space) tempat beraktivitasnya manusia itu sendiri, seperti
kegiatan jual- beli, media interaksi sosial, pedoman visual ataupun ciri khas suatu lingkungan
kawasan.
Di kota- kota besar Negara- Negara maju, aktivitas jalan kaki didukung oleh fasilitas
kawasan yang lengkap dan menjadi suatu aktivitas yang popular, bahkan menjadi hobi
sebagian masyarakatnya. Hal ini karena pedestrian disana dilandasi oleh hal- hal yang positif,
antara lain:
a. Pedestrian dapat menumbuhkan aktivitas yang sehat, sehingga mengurangi kerawanan
kriminalitas.
b. Pedestrian dapat menghadirkan suasana lingkungan yang spesifik, unik dan dinamis
di kawasan kota.
c. Pedestrian merupakan daerah yang menarik untuk berbagai kegiatan sosial, seperti
bernostalgia, pertemuan mendadak, berekreasi, bertegur sapa, dan sebagainya.
d. Pedestrian berfungsi sebagai penurun tingkat pencemaran udara dan polusi suara,
karena berkurangnya kendaraan yang lewat dan vegetasi yang tumbuh dengan baik.
e. Pedestrian dapat berkembang menjadi kawasan bisnis yang menarik, juga sebagai
tempat kegiatan promosi, pameran, periklanan, kampanye, dan sebagainya.
2. Macam-macam jalur pedestrian
Menurut Iswanto (2006), terdapat macam- macam jalur pedestrian dilihat dari
karakteristik dan dari segi fungsinya, yaitu sebagai berikut:
a. Jalur pedestrian, yaitu jalur yang dibuat untuk pejalan kaki untuk memudahkan
pejalan kaki mencapai ke tempat tertentu, yang dapat memberikan pejalan kaki
kelancaran, kenyamanan, dan keamanan.
b. Jalur penyeberangan, yaitu jalur yang dibuat untuk pejalan kaki sebagai sarana
penyeberangan, guna menghindari resiko berhadapan langsung dengan kendaraankendaraan.
c. Plaza, yaitu jalur yang dibuat untuk pejalan kaki sebagai sarana yang bersifat rekreasi
dan tempat istirahat.
d. Pedestrian mall, yaitu jalur yang dibuat untuk pejalan kaki sebagai sarana berbagai
macam aktivitas, seperti berjualan, duduk santai, dan sebagainya.
3. Fasilitas jalur pedestrian
14
Menurut Iswanto (2006), ada terdapat beberapa macam fasilitas yang disediakan bagi
pedestrian, antara lain:
a. Jalur pedestrian terpisah dengan jalur kendaraan, yaitu dengan membuat permukaan,
serta ketinggian yang berbeda.
b. Jalur pedestrian untuk menyeberang, yaitu dapat berupa zebra cross, jembatan
penyeberangan, atau jalur penyeberangan bawah tanah.
c. Jalur pedestrian yang rekreatif, yaitu terpisah dengan jalur kendaraan bermotor serta
disediakan bangku- bangku untuk istirahat.
d. Jalur pedestrian dengan sisi untuk tempat berdagang, biasanya di komplek pertokoan.
4. Titik-titik simpul perjalanan pedestrian
Titik simpul merupakan tempat yang penting bagi pejalan kaki dan pedestriannya itu
sendiri, karena berfungsi sebagai daerah strategis di mana arah atau aktivitas saling bertemu
dan dapat diubah kearah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan, stasiun ataupun lapangan
terbang dalam kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square dan
lain-lain.
Menurut Iswanto (2006), titik simpul yang sangat penting fungsinya dalam pedestrian
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Titik simpul primer, yaitu titik simpul dimana perjalanan kaki dimulai atau diakhiri,
misalnya pada tempat parkir, halte/ shelter angkutan umum.
b. Titik simpul sekunder, yaitu tempat yang menarik bagi pejalan kaki, misalnya
pertokoan, tempat makan, dan sebagainya.
5. Elemen-elemen pada jalur pedestrian
Pada jalur pedestrian yang keberadaannya sangat diperlukan oleh para pejalan kaki,
umumnya terdapat elemen- elemen atau disebut juga dengan perabot jalan (street furniture)
didalamnya. Hal ini difungsikan untuk melindungi pejalan kaki yang melakukan aktivitas
pada pedestrian dengan menciptakan rasa aman dan nyaman terhadapnya.
Menurut Rubenstein (1992), elemen elemen yang harus terdapat pada jalur
pedestrian antara lain :
a. Paving, adalah trotoar atau hamparan yang rata. Dalam meletakkan paving, sangat perlu
untuk memperhatikan pola, warna, tekstur dan daya serap air. Material paving meliputi:
beton, batu bata, aspal, dan sebagainya.
b. Lampu, adalah suatu benda yang digunakan sebagai penerangan di waktu malam hari.
Ada beberapa tipe lampu yang merupakan elemen penting pada pedestrian (Chearra,
1978), yaitu:
1) Lampu tingkat rendah, yaitu lampu yang memiliki ketinggian dibawah mata manusia.
2) Lampu mall, yaitu lampu yang memiliki ketinggian antara 1 - 1,5 meter.
3) Lampu khusus, yaitu lampu yang mempunyai ketinggian rata-rata 2-3 meter.
4) Lampu parkir dan lampu jalan raya, yaitu lampu yang mempunyai ketinggian antara
3- 5 meter.
5) Lampu tiang tinggi, yaitu lampu yang mempunyai ketinggian antara 6-10 meter.
c. Sign atau tanda, merupakan rambu-rambu yang berfungsi untuk memberikan suatu tanda,
baik itu informasi maupun larangan. Sign haruslah gampang dilihat dengan jarak mata
manusia memandang dan gambar harus kontras serta tidak menimbulkan efek silau.
d. Sculpture, merupakan suatu benda yang memiliki fungsi untuk memberikan suatu
identitas ataupun untuk menarik perhatian mata pengguna jalan.
16
e. Pagar pembatas, mempunyai fungsi sebagai pembatas antara jalur pedestrian dengan jalur
kendaraan.
f. Kursi, mempunyai fungsi sebagai tempat untuk beristirahat bagi para pengguna jalan.
Selain sebagai tempat peristirahatan juga sebagai fungsi dekoratif untuk memperindah
kawasan tersebut.
g. Tanaman peneduh, mempunyai fungsi sebagai pelindung dan penyejuk area pedestrian.
Ciri- ciri tanaman peneduh yang baik adalah sebagai berikut:
1) Memiliki ketahanan yang baik terhadap pengaruh udara maupun cuaca.
2) Daunnya bermassa banyak dan lebat.
3) Jenis dan bentuk pohon berupa akasia, tanaman tanjung dan pohon- pohon yang
memiliki fungsi penyejuk lainnya.
17
h. Kios, shelter, dan kanopi, keberadaannya dapat untuk menghidupkan suasana pada jalur
pedestrian menimbulkan aura yang tidak biasanya dan juga berfungsi sebagai tempat
menunggu angkutan dan sebagainya.
mempunyai arti suatu lingkungan perkotaan yang berada ditepi atau dekat
wilayah perairan, misalnya lokasi diarea pelabuhan besar di kota metropolitan (Wrenn,1983).
Dari kedua pengertian tersebut maka definisi waterfront adalah suatu daerah atau area yang
terletak di dekat/berbatasan dengan kawasan perairan dimanaterdapat satu atau beberapa
kegiatan dan aktivitas pada area pertemuan tersebut.
1. Jenis-jenis waterfront
Berdasarkan tipe proyeknya, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu
konservasi,pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development).
a. Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat
inidan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat.
18
19
mempertahankan ikatan visual dan karakter pada area waterfront, dan membuat
pemisah buatan yang memisahkan secara jelas fungsi-fungsiyang ada pada site.
Pola susunan massa dan ruang pada zona zona yang berada di area waterfront harus
mengacu dan berorientasi ke arah perairan. Apabila hal ini tidak diterapkan maka area
tersebut akan kehilangan ciri khas dan karakternya sebagai area waterfront. Zona-zona yang
ada di area waterfront tercipta karena area waterfront merupakan suatu area yang menjadi
tempat bertemu dan berintegrasinya beberapa fungsi kegiatan menjadi satu.
Pada umumnya, zona yang berada langsung berbatasan dengan daerah perairan utama
mempunyai fungsi-fungsi kegiatan utama yang bersifat publik sehingga dapat diakses dari
segala arah oleh semua orang. Setelah zona utama terbentuk barulah kemudian di sekitarnya
dibangun zona-zona ruang yang lebih kecil yang berisi fungsi-fungsi penunjang kawasan
utama tersebut atau berisi daerah permukiman penduduk.
Sirkulasi atau jaringan jalan merupakan elemen kawasan yang penting. Sirkulasi
adalah lahan yang digunakan sebagai prasarana penghubung antara zona-zona di dalam
kawasan dan akses dengan kawasan lainnya. Sirkulasi pada area waterfront ada dua jenis,
yaitu sirkulasi darat dan sirkulasi air. Idealnya kedua sirkulasi tersebut mempunyai jumlah
dan luas yang sama besarnya. Selain itu, penataan sirkulasi pada area waterfront dikatakan
baik apabila jaringan jalannya berpola lurus dan sejajar dengan sisi perairannya. Penataan ini
memudahkan semua orang untuk menikmati view ke arah perairan.
20
Sedangkan penataan sirkulasi darat yang tidak berdekatan dengan area perairan
mengakibatkan salah orientasi dan hilangnya citra dari waterfront itu sendiri. Ruang-ruang
pada suatu area waterfront terbentuk sesuai dengan bentuk dan morfologi dari kawasannya.
Pola morfologi yang umum pada area waterfront.
2.3.3. Ruang terbuka pada jalur pedestrian
1. Definisi ruang terbuka
Ruang umum yang merupakan bagian dari lingkungan juga mempunyai pola. Ruang
umum adalah tempat atau ruang yang terbentuk karena adanya kebutuhan akan perlunya
tempat untuk bertemu ataupun berkomunikasi satu sama lainnya. Dengan adanya kegiatan
pertemuan bersama-sama antara manusia, maka kemungkinan akan timbulnya bermacammacam kegiatan pada ruang umum tersebut. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa
ruang umum ini pada dasarnya merupakan suatu wadah yang dapat menampung
kegiatan/aktivitas tertentu dari manusia, baik secara individu atau secara berkelompok.
Menurut sifatnya ruang umum dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni ruang tertutup umum :
yaitu ruang umum yang terdapat didalam bangunan dan ruang terbuka umum : yakni ruang
umum yang terdapat diluar bangunan
2. Ruang terbuka umum dan khusus
Pengertian tentang ruang terbuka umum dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Bentuk dasar dari ruang terbuka selalu terletak diluar massa bangunan.
b. Dapat dimanfaat kan dan dipergunakan oleh setiap orang (warga)
c. Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan (multifungsi)
Contoh ruang terbuka umum adalah jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza, lapangan
olahraga, taman kota, dan taman rekreasi.
Sumber : http://travelyuk.wordpress.com
Sedangkan pengertian ruang terbuka khusus, dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak diluar massa bangunan.
21
b. Dimanfaatkan
untuk
kegiatan
terbatas
dan
dipergunakan
untuk
keperluan
khusus/spesifik.
Contoh ruang terbuka khusus adalah taman rumah tinggal, taman lapangan upacara,
daerah lapangan terbang, dan daerah untuk latihan kemiliteran.
22
b. Ruang terbuka pasif, adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung unsurunsur kegiatan manusia misalkan, penghijauan tepian jalur jalan, penghijauan tepian rel
kereta api, penghijauan tepian bantaran sungai, ataupun penghijauan daerah yang bersifat
alamiah. Ruang terbuka ini lebih berfungsi sebagai keindahan visual dan fungsi ekologis
belaka.
23
b. Fungsi ekologis
Fungsi ekologis dari ruang terbuka antara lain:
1) Penyegaran udara, mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro
2) Menyerap air hujan
3) Pengendali banjir dan pengatur tata air
4) Memelihara ekosistem tertentu dan perlindungan plasma nuftah
5) Pelembut arsitektur bangunan.
25
Sistem pencapaian ruang dibedakan atas pencapaian frontal, pencapaian samping dan
memutar.
1. Pencapaian frontal
Sistem ini mengarah langsung dan lurus ke objek ruang yang di tuju dan pandangan
visual objek yang di tuju dapat terlihat dari jauh.
2. Pencapaian samping
Sistem ini memperkuat efek perspektif objek yang di tuju dan jalur pencapaian dapat di
belokkan berkali kali untuk memperbanyak sequence sebelum mencapai objek.
26
3. Pencapaian spiral
Sistem ini memperlambat pencapaian dan memperbanyak sequence dan dapat
memperlihatkan tampak 3 dimensi dari objek dengan mengelilinginya.
Sistem sirkulasi di bagi menjadi sistem sirkulsi kendaraan dan pejalan kaki yang
memiliki aktifitas yang berbeda. Untuk itu sebaiknya di bedakan antara sirkulasi pejalan kaki
dengan kendaraan.
27
2.4.
Studi Terdahulu
28
Berikut merupakan studi kajian dari komparasi jurnal yang terkait dengan objek studi.
1. Kajian Hubungan Antar Fungsi Pada Kawasan Cihampelas Walk Bandung
Penulis : Dewi Parliana, Odi Adiatma, Muhammad, Rizki Ananda Putra
Program studi : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institute
Teknologi Nasional
2. City Walk Kalimas di Surabaya
Penulis : Catherine Susanto W dan Rony G. Sunaryo, ST.MT
Program studi : Teknik Arsitektur , Universitas Kristen Petra
3. Riverwalk Sebagai Ruang Terbuka Alternatif di Kawasan Flamboyan Bawah Kota
Palangkaraya
Penulis : Herwin Sutrisno, ST.MT
4. Kajian Konservasi Kawasan Bantaran Sungai Studi Kasus: Boat Quay Singapura dan
Sungai Ciliwung Jakarta
Penulis: Lily Mauliani, Nurhidayah, Fika Masruroh
Program studi: Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta
5. Konsep Design Catalyst dalam Revitalisasi Kawasan
Penulis : Agung Cahyo Nugroho
6. Peran Urban Design Dalam Pengembangan Kecamatan Mempura sebagai Daerah
Otonom Baru
Penulis : Imam Djokomono, Catharina Dwi Astuti Depari
Program studi : Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta
7. Morfologi sebagai Pendekatan Memahami Kota
Penulis : Weishaguna dan Ernady Saodih
Program studi : Perencanaan wilayah dan kota Unisba Bandung
8. Pengaruh Aktivitas PKL Terhadap Linkage Antara Kraton Kasunanan-Pasar Gede
Surakarta
Penulis : Ardiana Yuli Puspitasari
Program studi: Teknik Arsitektur Universitas Dipenegoro Semarang
9. Redesain Terminal Tipe A Malalayang di Manado Linkage sebagai Pendekatan Desain
Penulis : Frislia Meloke, Indradjaja Makainas
Program studi : Teknik Arsitektur Unsrat
10. Kajian Koridor Pandanaran sebagai Linkage Kota di Semarang
Penulis: Anton Sumartono
Program studi : Teknik Arsitektur Universitas Dipenegoro
11. Berbagi Ruang Pada Jalur Pedestrian di Pusat Kota studi kasus: Jalur pedestrian
dipertokoan court simpang lima Semarang
Penulis: Sukawi
Program studi : Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Dipenegoro
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Metode Penelitian
29
Metode penelitian harus sesuai dengan tujuan dan fokus penelitian yang akan diteliti.
Menentukan metode penelitian yang tepat untuk kelangsungan sebuah penelitian supaya
mempermudah berlangsungnya penelitian.
Jenis data yang digunakan pada penelitian pendekatan linkage pada pedestrian tepian
sungai di kota Pontianak ini dengan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif bersifat menjelaskan dan menggambarkan keadaan sesungguhnya dilapangan.
Sedangkan penelitian secara kualitatif dilakukan untuk mendapatkan fakta keadaan
sebenarnya ketika melakukan penelitian langsung dilapangan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan sumber data
primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui wawancara dan observasi.
Sedangkan sumber sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, literatur dan sumber
internet. Sumber data sekunder sangat berperan penting bagi penulis karena kondisi lokasi
yang jauh sehingga belum memungkinkan penulis untuk melakukan penelitian dengan
sumber data primer. Tetapi data sekunder sudah dapat dipercaya keakuratan nya meskipun
nantinya harus melakukan observasi langsung ke lapangan supaya lebih terjamin
keakuratannya.
3.2. Lokasi Penelitian
obyek studi yang akan diteliti berupa pendekatan linkage pada jalur pedestrian tepian
sungai kapuas yang membentang dari alun-alun kapuas hingga pelabuhan senghie yang
berjarak sekitar 1200 meter. Jalur pedestrian ini nantinya menghubungkan beberapa fungsi
bangunan di perkotaan tepian sungai kapuas yaitu alun-alun kapuas, pelabuhan bardan nadi
berupa lokasi penyebrangan kapal feri, pasar tengah dan pelabuhan senghie. Pedestrian tepian
sungai ini terletak pada pusat kota di tepian sungai kota Pontianak yang merupakan ibukota
Kalimantan Barat.
30
31
Variabel
Indikator
Teknik pengumpulan
data
32
Linkage Visual
kolase)
Menghubungkan dua daerah secara
lainnya
Menciptakan
keterhubungan
space:
3.5.2. Variabel penelitian teori elemen fisik perancangan kota (Hamid Shirvani)
Tabel 3.2. Variabel teori Hamid Shirvani
Variabel
Pedestrian
Ruang terbuka
Sirkulasi
Indikator
Teknik pengumpulan
data
Data
sekunder
berupa
Fungsi pedestrian dan kegiatan dijalur
pedestrian
Macam-macam jalur pedestrian
Fasilitas jalur pedestrian
Titik-titik simpul perjalanan
Elemen jalur pedestrian
Ruang terbuka umum dan khusus
Ruang terbuka dan lingkungan hidup
Kegiatannya
Ditinjau dari segi bentuk
Fungsi ruang terbuka
Hubungan jalur sirkulasi
Sistem pencapaian ruang
Jalur sirkulasi yang dibatasi elemen
tapak
Sumber : The Urban Design Process (Shirvani, 1985)
Data
secara visual
yang Literatur terkait dan hasil Untuk mengetahui titik mana saja
aktivitas
yang
mengalami
peningkatan
tapak
Data literatur
Macam-macam
Data literatur
sehingga
memudahkan
pendekatan linkage
perkotaan
Rencana
Untuk
mengetahui
arahan
terkait
pendekatan
linkage
Waterfront pada
Pedestrian tepian sungai
Data literatur
34
Bappeda Kota
tepian
sungai
dengan
konsep
analisis data. Tahapan pertama pada metode analisa adalah menganalisa teori-teori yang dapat
diterapkan pada tapak untuk mendapatkan keterhubungan (linkage) pada tapak serta
menganalisa objek komparasi yang dimanfaatkan untuk proses analisa. Kedua menganalisa
elemen sirkulasi, ruang terbuka, elemen bangunan atau zona yang terlewati pedestrian tepian
sungai sehingga membentuk titik simpul dan menghasilkan suatu keterhubungan (linkage).
Secara terperinci proses analisis dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Kajian Pustaka dan Studi Komparasi
Proses kajian pustaka digunakan sebagai pijakan awal dalam penelitian begitu pula
dengan hasil dari studi komparasi. Proses ini dilakukan pada tahap paling awal untuk
mengetahui teori linkage yang seperti apa yang tepat untuk di terapkan pada tapak sehingga
memudahkan penulis untuk mendata dan menganalisis tapak.
2. Analisis tapak
Proses analisis tapak merupakan langkah berikutnya setelah kajian pustaka sudah
dirinci dan didata sehingga memunculkan analisis pada tapak berupa analisis linkage visual
berupa garis, sisi, koridor dan semu pada tapak sehingga menghasilkan titik simpul dan
keterhubungan dari jalur pedestrian dan bangunan-bangunan yang dilewati sehingga
menghasilkan data yang berbeda-beda dari tiap zona.
3. Analisis bangunan yang di lewati pedestrian
Analisis bangunan ataupun zona yang terlewati area pedestrian merupakan tahap akhir
dalam proses analisis, dilakukan bersamaan dengan proses analisis tapak dengan penerapan
linkage visual. Proses ini dilakukan dengan analisis satu persatu fungsi bangunan yang
terlewati dan dilihat aktivitas yang melalui bangunan tersebut sehingga menghasilkan
gagasan yang berbeda-beda pada tiap zona. Fungsi bangunan yang terlewati pedestrian ini
yaitu kawasan wisata berupa Taman Alun-Alun Tugu Kapuas, kawasan perdagangan dan jasa
35
berupa Pasar Tengah dan kawasan pelabuhan berupa pelabuhan bardan nadi yaitu lokasi feri
penyebrangan dan pelabuhan senghie.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Rustam, dan Hardi, Utomo. 2002, Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap
Prinsip-Unsur dan Aplikasi Disain. Jakarta : Bumi Aksara.
Lynch, Kevin. 1960. The image of the city. MIT Press Cabridge
M. Wrenn, D. 1983. Urban Waterfront Development. Washington DC : ULI. The Urban Land
Institute.
Muliani, Nurhidayah, Masruroh. 2012, Kajian Konservasi Kawasan Bantaran Sungai Studi
Kasus : Boat Quay Singapura dan Sungai Ciliwung Jakarta.
Parliana, Adiatma. (2013), Kajian Hubungan Antar Fungsi pada Kawasana Cihempals Walk
Bandung.
Prabudiantoro, B. 1997. Kriteria Citra Waterfront City. Universitas Diponegoro : Thesis.
Shirvani, Hamid. 1985. The Urban Design Process, New York : Van Nostrand Reinhold
Company
Susanto, Sunaryo. 2012, Citywalk Kalimas di Surabaya.
Trancik, Roger. 1986. Finding Lost Space : Theories of Urban Design. New York : Nostrand
Reinhold
Zahnd, M. 2006. Perancangan Kota Secara Terpadu, teori perancangan kota dan
penerapannya. Yogyakarta: Kanisius.
36
37