Anda di halaman 1dari 26

Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia Orde Baru dan Era Reformasi Makalah

Individu Perbandingan Sistem Pemerintahan Indonesia Orde Baru dan Era Reformasi
Disusun oleh : Ardi Widayanto BAB I PENDAHULUAN Salah satu muatan paling penting
dari suatu undang-undang dasar (konstitusi) adalah bagaimana penyelenggaraan
kekuasaan negara itu dijalankan oleh organ-organ negara. Organ atau lembaga negara
merupakan subsistem dari keseluruhan sistem penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem
penyelenggaraan kekuasaan negara menyangkut mekanisme dan tata kerja antar organorgan negara itu sebagai satu kesatuan yang utuh dalam menjalankan kekuasaan negara.
Sistem penyelenggaraan kekuasaan negara menggambarkan secara utuh mekanisme kerja
lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk mencapai tujuan negara. UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum dan setelah perubahan
mengandung beberapa prinsip yang memiliki perbedaan-perbedaan mendasar. Perubahan
atas sistem penyelenggaraan kekuasaan yang dilakukan melalui perubahan UUD 1945,
adalah upaya untuk menutupi berbagai kelemahan yang terkandung dalam UUD 1945
sebelum perubahan yang dirasakan dalam praktek ketatanegaraan selama ini. Karena itu
arah perubahan yang dilakukan adalah antara lain mempertegas beberapa prinsip
penyelenggaraan kekuasaan negara sebelum perubahan yaitu prinsip negara hukum
(rechtsstaat) dan prinsip sistem konstitusional (constitutional system), menata kembali
lembaga-lembaga negara yang ada dan membentuk beberapa lembaga negara yang baru
agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum.
Perubahan ini tidak merubah sistematika UUD 1945 sebelumnya untuk menjaga aspek
kesejarahan dan orisinalitas dari UUD 1945. Perubahan terutama ditujukan pada
penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga negara
disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern. BAB II PEMBAHASAN
Dalam perkembangan sistem pemerintahan presidensial di negara Indonesia (terutama
setelah amandemen UUD 1945) terdapat perubahan-perubahan sesuai dengan dinamika
sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu diperuntukkan dalam memperbaiki sistem
presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut antara lain, adanya pemilihan presiden
langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance dan pemberian kekuasaan yang
lebih besar pada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Secara
umum dengan dilaksanakannya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada era
reformasi, telah banyak membawa perubahan yang mendasar baik terhadap
ketatanegaraan (kedudukan lembaga-lembaga negara), sistem politik, hukum, hak asasi
manusia, pertahanan keamanan dan sebagainya. Berikut ini dapat dilihat perbandingan
model sistem pemerintahan negara republik Indonesia pada masa orde baru dan pada
masa reformasi. 1. Masa Orde Baru (1966-1998) Orde baru lahir dengan diawali berhasilnya
penumpasan terhadap G.30.S/PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Orde baru sendiri adalah
suatu tatanan perikehidupan yang mempunyai sikap mental positif untuk mengabdi kepada
kepentingan rakyat, dalam rangka mewujudkan citacita bangsa Indonesia untuk mencapai
suatu masyarakat adil dan makmur baik material maupun spiritual berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 melalui pembangunan di segala bidang kehidupan. Orde Baru bertekad
untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Orde Baru
ingin mengadakan koreksi total terhadap sistem pemerintahan Orde Lama. Pada tanggal
11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto
atas nama presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu guna mengamankan
pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, untuk menegakkan RI berdasarkan
hukum dan konstitusi. Maka tanggal 12 Maret 1966, dikeluarkanlah Kepres No. 1/3/1966
yang berisi pembubaran PKI, ormas-ormasnya dan PKI sebagai organisasi terlarang di
Indonesia serta mengamankan beberapa menteri yang terindikasi terkait kasus PKI. (Erman
Muchjidin, 1986:58-59). Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Pada tahun

1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden,
dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988,
1993, dan 1998. Di dalam Penjelasan UUD 1945, dicantumkan pokok-pokok Sistem
Pemerintahan Negara Republik Indonesia pada era Orde baru, antara lain sebagai berikut :
1. Indonesia adalah negara hukum (rechtssaat) Negara Indonesia berdasar atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsaat). Ini mengandung arti
bahwa negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, dalam
melaksanakan tugasnya/ tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. 2. Sistem Pemerintahan Presidensiil Sistem
pemerintahan pada orde baru adalah presidensiil karena kepala negara sekaligus sebagai
kepala pemerintah dan menteri-menteri bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi dalam
kenyataan, kedudukan presiden terlalu kuat. Presiden mengendalikan peranan paling kuat
dalam pemerintahan. 3. Sistem Konstitusional Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi
(hukum dasar). Sistem ini memberikan ketegasan cara pengendalian pemerintahan negara
yang dibatasi oleh ketentuan konstitusi, dengan sendirinya juga ketentuan dalam hukum lain
yang merupakan produk konstitusional, seperti Ketetapan-Ketetapan MPR, Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, dan sebagainya. Diadakan tata urutan terhadap peraturan
perundang-undangan. Berdasarkan pada TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 urutannya adalah
sebagai berikut : 1. UUD 1945 2. Ketetapan MPR 3. UU 4. Peraturan Pemerintah 5. Kepres
6. Peraturan pelaksana lainnya, misalnya Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, Instruksi
Presiden dan Peraturan Daerah. (Erman Muchjidin,1986:70-71). 4. Kekuasaan negara
tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu
badan yang bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia Tugas Majelis
adalah: 1. Menetapkan Undang-Undang Dasar, 2. Menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara, 3. Mengangkat kepala negara (Presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden).
Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara tertinggi, sedang Presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis.
Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis.
Presiden adalah mandataris dari Majelis yang berkewajiban menjalankan ketetapanketetapan Majelis. 5. Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi
menurut UUD Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara, tanggung jawab penuh
ada di tangan Presiden. Hal itu karena Presiden bukan saja dilantik oleh Majelis, tetapi juga
dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa Garisgaris Besar Haluan Negara ataupun ketetapan MPR lainnya. 6. Presiden tidak
bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukan Presiden dengan DPR
adalah sejajar. Dalam hal pembentukan undangundang dan menetapkan APBN, Presiden
harus mendapat persetujuan dari DPR. Oleh karena itu, Presiden harus bekerja sama
dengan DPR. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya kedudukan
Presiden tidak tergantung dari Dewan. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti
dalam kabinet parlementer, dan DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden. 7. Menteri
negara ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden memilih, mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
negara. Menterimenteri itu tidak bertanggung jawab kapada DPR dan kedudukannya tidak
tergantung dari Dewan., tetapi tergantung pada Presiden. Menteri-menteri merupakan
pembantu presiden. 8. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Meskipun kepala
negara tidak bertanggung jawab kepada DPR, tetapi bukan berarti ia diktator atau tidak
terbatas. Presiden, selain harus bertanggung jawab kepada MPR, juga harus
memperhatikan sungguh-sungguh suara-suara dari DPR karena DPR berhak mengadakan
pengawasan terhadap Presiden (DPR adalah anggota MPR). DPR juga mempunyai
wewenang mengajukan usul kepada MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna
meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila dianggap sungguh-sungguh melanggar
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat

lainnya atau perbuatan tarcela. 9. Sistem Kepartaian Sistem kepartaian menggunakan


sistem multipartai, tetapi hanya ada 3 partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Secara faktual
hanya ada 1 partai yang memegang kendali yaitu partai Golkar dibawah pimpinan Presiden
Soeharto. 2. Masa Reformasi (1998-sekarang) Munculnya Era Reformasi ini menyusul
jatuhnya pemerintah Orde Baru tahun 1998. Krisis finansial Asia yang menyebabkan
ekonomi Indonesia melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia
terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya demonstrasi
besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah
Indonesia. Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti pada 12 Mei
1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari setelahnya. Gerakan mahasiswa
pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di bawah tekanan yang besar dari dalam maupun
luar negeri, Soeharto akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde
Baru". Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan
(amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR: Sidang
Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999 Perubahan Pertama UUD 1945 Sidang
Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000 Perubahan Kedua UUD 1945 Sidang
Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001 Perubahan Ketiga UUD 1945
Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002 Perubahan Keempat UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal II Aturan Tambahan terdiri atas Pembukaan
dan pasal-pasal. Tentang sistem pemerintahan negara republik Indonesia dapat dilihat di
dalam pasal-pasal sebagai berikut : 1. Negara Indonesia adalah negara Hukum. Tercantum
di dalam Pasal 1 ayat (3). Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang menempatkan
kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, menghormati hak asasi mansuia
dan prinsip due process of law. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka diatur
dalam bab IX yang berjumlah 5 pasal dan 16 ayat. (Bandingkan dengan UUD 1945 sebelum
perubahan yang hanya 2 pasal dengan 2 ayat). Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan badan-badan lainnya yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. 2. Sistem Konstitusional Sistem
Konstitusional pada era reformasi (sesudah amandemen UUD 1945) berdasarkan Check
and Balances. Perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara
dilakukan untuk mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga
negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan
menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga
negara. Sistem yang hendak dibangun adalah sistem check and balances, yaitu
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang
tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsi-fungsi
masing-masing. Atas dasar semangat itulah perubahan pasal 1 ayat 2, UUD 1945 dilakukan,
yaitu perubahan dari Kedaulatan ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR,
menjadi Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
Ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang
dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara
yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar.
Oleh karena itu kedaulatan rakyat, dilaksanakan oleh MPR, DPR, DPD, Presiden,

Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, BPK dan lain-lain sesuai tugas
dan wewenangnya yang diatur oleh UUD. Bahkan rakyat secara langsung dapat
melaksanakan kedaulatannya untuk menentukan Presiden dan Wakil Presidennya melalui
pemilihan umum. Pada era reformasi diadakan tata urutan terhadap peraturan perundangundangan sebanyak dua kali, yaitu : Menurut TAP MPR III Tahun 2000: 1. UUD 1945 2.
TAP MPR 3. UU 4. PERPU 5. PP 6. Keputusan Presiden 7. Peraturan Daerah Menurut UU
No. 10 Tahun 2004: 1. UUD 1945 2. UU/PERPU 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan
Presiden 5. Peraturan Daerah 3. Sistem Pemerintahan Sistem ini tetap dalam frame sistem
pemerintahan presidensial, bahkan mempertegas sistem presidensial itu, yaitu Presiden
tidak bertanggung jawab kepada parlemen, akan tetap bertanggung kepada rakyat dan
senantiasa dalam pengawasan DPR. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya karena melakukan perbuatan melanggar hukum yang jenisnya telah ditentukan
dalam Undang-Undang Dasar atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. DPR
dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya manakala
ditemukan pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden sebagaimana yang ditentukan
dalam Undang-Undang Dasar. 4. Kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa MPR terdiri dari anggota
DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). MPR berdasarkan Pasal 3,
mempunyai wewenang dan tugas sebagai berikut : Mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dapat memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. 2. Presiden ialah
penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi menurut UUD. Masih relevan dengan jiwa
Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2). Presiden adalah kepala negara dan sekaligus
kepala pemerintahan. Pada awal reformasi Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat
oleh MPR (Pada Pemerintahan BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati
Soekarnoputri untuk masa jabatan lima tahun. Tetapi, sesuai dengan amandemen ketiga
UUD 1945 (2001) presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat
dalam satu paket. 6. Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan memperhatikan pasal-pasal tentang kekuasaan pemerintahan negara (Presiden)
dari Pasal 4 s.d. 16, dan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 19 s.d. 22B), maka ketentuan
bahwa Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR masih relevan. Sistem pemerintahan
negara republik Indonesia masih tetap menerapkan sistem presidensial. 7. Menteri negara
ialah pembantu Presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri diangkat
dan diberhentikan oleh presiden yang pembentukan, pengubahan dan pembubarannya
diatur dalam undang-undang (Pasal 17). 8. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Presiden sebagai kepala negara, kekuasaannya dibatasi oleh undang-undang. MPR
berwenang memberhentikan Presiden dalam masa jabatanya (Pasal 3 ayat 3). Demikian
juga DPR, selain mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan menyatakan pendapat, juga
hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas (Pasal
20 A ayat 2 dan 3). 9. Sistem Kepartaian Sistem kepartaian menggunakan sistem
multipartai. BAB III PENUTUP Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia
berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen atau pada masa orde baru tertuang dalam
Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut
sebagai berikut. 1. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat). 2.
Sistem Konstitusional. 3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis
Permusyawaratan Rakyat. 4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang
tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat. 5. Presiden tidak bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri
negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan kepala
negara tidak tak terbatas. Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem
pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial.

Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah


kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya
kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hamper semua kewenangan
presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan
atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia
masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru
berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan
Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring
dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Pokok-pokok sistem
pemerintahan Indonesia pada masa reformasi adalah sebagai berikut. 1. Bentuk negara
kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam
beberapa provinsi. 2. Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem
pemerintahan presidensial. 3. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala
pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa
jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih
secara langsung oleh rakyat dalam satu paket. 4. Kabinet atau menteri diangkat oleh
presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. 5. Parlemen terdiri atas dua bagian
(bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para
anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan
kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan. 6. Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh
Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya. Dengan demikian, ada perubahanperubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam
memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya
pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan
pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan
dan fungsi anggaran. DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku : Soehino. 1992. Hukum Tata
Negara Indonesia. Yogyakarta : Liberty. Undang-Undang Dasar RI 1945 Hasil Amandemen
Pertama-Keempat. Sumber Internet : http://panmohamadfaiz.com/2007/03/18/sistemketatanegaraan-indonesia-pasca-amandemen/
http://syabab2000.multiply.com/reviews/item/24 http://uzey.blogspot.com/2009/09/sistempemerintahan.htm

ORDE BARU
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Artikel ini bagian dari seri

Sejarah Indonesia

Lihat pula:

Garis waktu sejarah Indonesia


Sejarah Nusantara
Prasejarah

Kerajaan Hindu-Buddha
Salakanagara (130-362)
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358669)
Kendan (536612)
Galuh (612-1528)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (7521006)
Kerajaan Kahuripan (10061045)
Kerajaan Sunda (9321579)
Kediri (10451221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (12221292)
Majapahit (12931500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)

Kerajaan Islam
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (14001511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (14751548)
Kesultanan Kalinyamat (15271599)

Kesultanan Aceh (14961903)


Kesultanan Banjar (15201860)
Kesultanan Banten (15271813)
Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)
Kesultanan Mataram (15881681)
Kesultanan Palembang (1659-1823)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)

Kerajaan Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)

Kolonialisme bangsa Eropa


Portugis (15121850)
VOC (1602-1800)
Belanda (18001942)

Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (19421945)
Revolusi nasional (19451950)

Indonesia Merdeka
Orde Lama (19501959)
Demokrasi Terpimpin (19591965)
Masa Transisi (19651966)
Orde Baru (19661998)
Era Reformasi (1998sekarang)

l
b

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde
Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Lahirnya
Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966.[1] Orde Baru
berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela.
DAFTAR ISI

1 Latar belakang

2 Supersemar dan kebangkitan Soeharto

2.1 Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

2.2 Pemberangusan Partai Komunis Indonesia

2.3 Pembentukan Kabinet Ampera

3 Kebijakan ekonomi
o

3.1 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)

3.2 Swasembada beras

3.3 Pemerataan kesejahteraan penduduk

4 Penataan Kehidupan Politik


o

4.1 Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Organisasi masanya

4.2 Penyederhanaan Partai Politik

4.3 Pemilihan Umum

4.4 Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI

4.5 Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)

5 Penataan Politik Luar Negeri


o

5.1 Kembali menjadi anggota PBB

5.2 Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

5.2.1 Pemulihan Hubungan dengan Singapura

5.2.2 Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

5.2.3 Pembekuan Hubungan dengan RRT

6 Penataan Kehidupan Ekonomi


o

6.1 Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

6.2 Kerjasama Luar Negeri

6.3 Pembangunan Nasional

7 Warga Tionghoa

8 Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

9 Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

10 Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

11 Krisis finansial Asia

12 Pasca-Orde Baru

13 Lihat pula

14 Referensi

15 Daftar pustaka

LATAR BELAKANG
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam kondisi yang
relatif tidak stabil.[2] Bahkan setelah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia masih labil karena ketatnya
persaingan di antara kelompok-kelompok politik.[2] Keputusan Soekarno untuk mengganti
sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah kondisi ini dengan
memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai Komunis Indonesia,
yang kala itu berniat mempersenjatai diri.[2] Sebelum sempat terlaksana, peristiwa Gerakan 30
September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya Partai Komunis Indonesia dari
Indonesia.[2] Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-lahan mulai melemah.[3]
SUPERSEMAR DAN KEBANGKITAN SOEHARTO
KELAHIRAN SURAT PERINTAH SEBELAS MARET 1966 (SUPERSEMAR)

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan
Supersemar versi Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya.[1] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945.[1]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno
sedang berlangsung.[4] Di tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[1] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
Presiden Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) II Dr. Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh
Waperdam I Dr Subandrio, dan Waperdam II Chaerul Saleh.[4] Leimena sendiri menyusul
presiden segera setelah sidang berakhir.[4]
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu dengan Letnan Jenderal
Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan Panglima Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap
presiden.[4] Segera setelah mendapat izin, di hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke
Istana Bogor dengan tujuan melaporkan kondisi di ibukota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa ABRI, khususnya AD, dalam kondisi siap siaga.[4] Namun, mereka juga
memohon agar Presiden Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.[4]
Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah yang ditujukan
kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi
keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia.[4] Perumusan surat perintah ini sendiri
dibantu oleh tiga perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir
Jenderal M. Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Subur,

Komandan Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa.[4] Surat perintah inilah yang kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.[4]
PEMBERANGUSAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA

Letnan Jenderal Soeharto

Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal Soeharto
mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia mengeluarkan surat keputusan
yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang
bernaung dan berlindung atau senada dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah
Indonesia.[4] Keputusan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI
ABRI/Mandataris MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966.[5] Keputusan pembubaran
Partai Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan karena
merupakan salah satu realisasi dari Tritura.[5]
Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang dinilai
tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang dituangkan dalam
Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966.[5] Ia kemudian memperbaharui Kabinet
Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan lembaga legislatif, termasuk MPRS dan
DPRGR, dari orang-orang yang dianggap terlibat Gerakan 30 September.[5] Keanggotaan
Partai Komunis Indonesia dalam MPRS dinyatakan gugur.[5] Peran dan kedudukan MPRS
juga dikembalikan sesuai dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya.[6] Di
DPRGR sendiri, secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan.[5] Soeharto juga
memisahkan jabatan pimpian DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPRGR
tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.[5]
Pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1955, diadakanlah Sidang Umum IV MPRS dengan hasil
sebagai berikut:

Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan


Supersemar.[7]

Ketetapan MPRS No. X/MPRS/1966 mengatur Kedudukan Lembaga-Lembaga


Negara Tingkat Pusat dan Daerah.[7]

Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI


Bebas Aktif.[7]

Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.[7]

Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Tap. MPRS yang
Bertentangan dengan UUD 1945.[7]

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum RI dan Tata
Urutan Perundang-undangan di Indonesia.[7]

Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis


Indonesia dan Pernyataan Partai Komunis Indonesia dan Ormas-Ormasnya sebagai
Organisasi Terlarang di Indonesia.[7]

Hasil dari Sidang Umum IV MPRS ini menjadi landasan awal tegaknya Orde Baru dan
dinilai berhasil memenuhi dua dari tiga tuntutan rakyat (tritura), yaitu pembubaran Partai
Komunis Indonesia dan pembersihan kabinet dari unsur-unsur Partai Komunis Indonesia.[7]
Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga dibantai
khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa.[8] Pembantaian ini tidak hanya
dilakukan oleh angkatan bersenjata, namun juga oleh rakyat biasa yang dipersenjatai.[8] Selain
kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman yang dianggap terlibat juga ditangkap
dan dikelompokkan berdasarkan tingkat keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia.[8]
Sebagian diasingkan ke Pulau Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku.[9] Pada tanggal 30
September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang menggambarkan Partai
Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.[2]
PEMBENTUKAN KABINET AMPERA
Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Soeharto dengan dukungan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet baru yang diberi nama Kabinet Ampera.[10]
Tugas utama Kabinet Ampera adalah menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik,
atau dikenal dengan nama Dwidarma Kabinet Ampera.[10] Program kerja yang dicanangkan
Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:[10]
1. memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
2. melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
3. melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
4. melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk
dan manifestasinya.

Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya dilakukan oleh
Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.[10] Akibatnya, muncul dualisme
kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu.[10]
Soekarno kala itu masih memiliki pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan
dilemahkan.[3] Kalangan militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat,
keberatan dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia.[3] Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin
menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.[3]
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin memuncak
kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto.[10] Penyerahan
ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI
Tanggal 20 Februari 1967.[10] Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No.
XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah
11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.[10] Pada 4 Maret 1967, Jenderal
Soeharto memberikan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai
terjadinya penyerahan kekuasaan.[10] Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang
MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.[10] Karena itu,
diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di Jakarta, yang akhirnya
secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia hingga terpilihnya
presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.[10]
KEBIJAKAN EKONOMI
RENCANA PEMBANGUNAN LIMA TAHUN (REPELITA)
Di awal kekuasaannya, Pemerintah Orde Baru mewarisi kemerosotan ekonomi yang
ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya.[11] Kemerosotan ekonomi ini ditandai oleh
rendahnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang hanya mencapai 70 dollar AS,
tingginya inflasi yang mencapai 65%, serta hancurnya sarana-sarana ekonomi akibat konflik
yang terjadi di akhir pemerintahan Soekarno.[11]
Untuk mengatasi kemerosotan ini, pemerintah Orde Baru membuat program jangka pendek
berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi
dan usaha rehabilitasi sarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekonomi, dan pencukupan
kebutuhan sandang.[12] Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila
inflasi dapat dikendalikan dan stabilitas tercapai, kegiatan ekonomi akan pulih dan produksi
akan meningkat.[12]
Mulai tahun 1 April 1969, pemerintah menciptakan landasan untuk pembangunan yang
disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[12] Repelita pertama yang
mulai dilaksanakan tahun 1969 tersebut fokus pada rehabilitasi prasarana penting dan
pengembangan iklim usaha dan investasi.[12] Pembangunan sektor pertanian diberi prioritas
untuk memenuhi kebutuhan pangan sebelum membangun sektor-sektor lain.[12] Pembangunan
antara lain dilaksanakan dengan membangun prasana pertanian seperti irigasi, perhubungan,
teknologi pertanian, kebutuhan pembiayaan, dan kredit perbankan.[12] Petani juga dibantu

melalui penyediaan sarana penunjang utama seperti pupuk hingga pemasaran hasil produksi.
[12]

Repelita I membawa pertumbuhan ekonomi naik dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun,
pendapatan perkapita meningkat dari 80 dolar AS menjadi 170 dolar AS, dan inflasi dapat
ditekan menjadi 47,8% pada akhir Repelita I pada tahun 1974.[12] Repelita II (1974-1979) dan
Repelita III (1979-1984) fokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi, stabilitas nasional,
dan pemerataan pembangunan dengan penekanan pada sektor pertanian dan industri yang
mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.[12] Pada tahun 1984, Indonesia berhasil
mencapai status swasembada beras dari yang tadinya merupakan salah satu negara pengimpor
beras terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[12] Fokus Repelita IV (1984-1989) dan Repelita V
(1989-1994), selain berusaha mempertahankan kemajuan di sektor pertanian, juga mulai
bergerak menitikberatkan pada sektor industri khususnya industri yang menghasilkan barang
ekspor, industri yang menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri
yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri.[13]
SWASEMBADA BERAS
Sejak awal berkuasa, pemerintah Orde Baru menitikberatkan fokusnya pada pengembangan
sektor pertanian karena menganggap ketahanan pangan adalah prasyarat utama kestabilan
ekonomi dan politik.[14] Sektor ini berkembang pesat setelah pemerintah membangun berbagai
prasarana pertanian seperti irigasi dan perhubungan, teknologi pertanian, hingga penyuluhan
bisnis.[14] Pemerintah juga memberikan kepastian pemasaran hasil produksi melalui lembaga
yang diberi nama Bulog (Badan Urusan Logistik).[14]
Mulai tahun 1968 hingga 1992, produksi hasil-hasil pertanian meningkat tajam.[14] Pada tahun
1962, misalnya, produksi padi hanya mencapai 17.156 ribu ton.[14] Jumlah ini berhasil
ditingkatkan tiga kali lipat menjadi 47.293 ribu ton pada tahun 1992, yang berarti produksi
beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.[14] Prestasi ini merupakan
sebuah prestasi besar mengingat Indonesia pernah menjadi salah satu negara pengimpor beras
terbesar di dunia pada tahun 1970-an.[14]
PEMERATAAN KESEJAHTERAAN PENDUDUK
Pemerintah juga berusaha mengiringi pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan
kesejahteraan penduduk melalui program-program penyediaan kebutuhan pangan,
peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar,
penyediaan air bersih, dan pembangunan perumahan sederhana.[14] Strategi ini dilaksanakan
secara konsekuen di setiap pelita.[15] Berkat usaha ini, penduduk Indonesia berkurang dari
angka 60% pada tahun 1970-an ke angka 15% pada tahun 1990-an.[15] Pendapatan perkapita
masyarakat juga naik dari yang hanya 70 dolar per tahun pada tahun 1969, meningkat
menjadi 600 dolar per tahun pada tahun 1993.[14]
Pemerataan ekonomi juga diiringi dengan adanya peningkatan usia harapan hidup, dari yang
tadinya 50 tahun pada tahun 1970-an menjadi 61 tahun di 1992.[14] Dalam kurun waktu yang
sama, angka kematian bayi juga menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup
menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.[14] Jumlah penduduk juga berhasil
dikendalikan melalui program Keluarga Berencana (KB).[14] Selama dasawarsa 1970-an, laju

pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tersebut
dapat diturunkan menjadi 2,0% per tahun.[14]
PENATAAN KEHIDUPAN POLITIK
PEMBUBARAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA DAN ORGANISASI MASANYA
Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto
sebagai pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[butuh rujukan]

Membubarkan Partai Komunis Indonesia pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat
dengan Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966

Menyatakan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi terlarang di Indonesia

Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat
Gerakan 30 September 1965.

PENYEDERHANAAN PARTAI POLITIK


Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhanaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan sosial politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideologi, tetapi lebih atas persamaan program. Tiga kekuatan
sosial politik itu adalah:[butuh rujukan]

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU,


Parmusi, PSII, dan PERTI

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai
Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo

Golongan Karya

Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam


upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada
masa pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi
dimasa Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsi
serta pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.
PEMILIHAN UMUM
Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[butuh rujukan] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR
dan PPP memperoleh 5,43 % dengan perolehan 27 kursi.[butuh rujukan] Sedangkan PDI mengalami
kemorosotan perolehan suara dengan hanya mendapat 11 kursi di DPR. Hal disebabkan

adanya konflik intern di tubuh partai berkepala banteng tersebut. PDI akhirnya pecah menjadi
PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno Putri yang sekarang menjadi PDIP.
Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa pemerintahan Orde Baru telah
menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan baik.[butuh rujukan]
Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas, dan rahasia).
Namun dalam kenyataannya, Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu kontestan
Pemilu saja yaitu Golkar. Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah yang perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi
Presiden Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden
dipilih oleh anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang,
dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa
catatan.[butuh rujukan]
PERAN GANDA (DWI FUNGSI) ABRI
Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di Indonesia. Selain menjadi
angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik, menjadikannya organisasi politik
terbesar di negara. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan Dwi Fungsi
ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran bahwa TNI
adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam pemerintahan
adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara pengangkatan tanpa
melalui Pemilu.[butuh rujukan] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari ABRI
didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator. Peran dinamisator sebenarnya
telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal Soedirman
telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pemimpin pemerintahan telah
ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukan Soeharto ketika menyelamatkan
bangsa dari perpecahan setelah Gerakan 30 September, yang melahirkankan Orde Baru.
Sistem ini memancing kontroversi di tubuh ABRI sendiri.[16] Banyak perwira, khususnya
mereka yang berusia muda, menganggap bahwa sistem ini mengurangi profesionalitas ABRI.
[16]
Masuknya pendidikan sosial dan politik dalam akademi militer mengakibatkan waktu
mempelajari strategi militer berkurang.[16]
Secara kekuatan, ABRI juga menjadi lemah dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.[16]
Saat itu, hanya ada 533.000 prajurit ABRI, termasuk Polisi yang kala itu masih menjadi
bagian dari ABRI.[16] Angka ini, yang hanya mencakup 0,15 persen dari total populasi, sangat
kecil dibanding Singapura (2,06%), Thailand (0,46%), dan Malaysia (0,68%).[16] Pendanaan
yang didapatkan ABRI pun tak kalah kecil, hanya sekitar 1,96% dari total PDB, sementara
angkatan bersenjata Singapura mendapatkan 5,48% dan Thailand 3,26%.[16] Selain itu,
peralatan dan perlengkapan yang dimiliki juga sedikit; ABRI hanya memiliki 100 tank besar
dan 160 tank ringan.[16]
PEDOMANAN PENGAHAYATAN DAN PENGAMALAN PANCASILA (P4)
Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[butuh rujukan] Untuk

mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan
konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara
menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk
pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman
yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan
kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat
akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[butuh rujukan] Sehingga
sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan
berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila.
Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk
indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya,
dan sistem sosial masyarakat Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru,
dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai
dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi
Pancasila, dan sebagainya. Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak
boleh diperdebatkan.[butuh rujukan]
PENATAAN POLITIK LUAR NEGERI
Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan.
MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingan nasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[butuh rujukan]
KEMBALI MENJADI ANGGOTA PBB
Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah
sadar bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun
1955-1964.[butuh rujukan] Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh
negara-negara Asia lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya
Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974. Dan
Indonesia juga memulihkan hubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand,
Australia, dan negara-negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde
Lama.
NORMALISASI HUBUNGAN DENGAN NEGARA LAIN
PEMULIHAN HUBUNGAN DENGAN SINGAPURA

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[butuh rujukan] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri
Lee Kuan Yew.[butuh rujukan] Lalu pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan
untuk mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.
PEMULIHAN HUBUNGAN DENGAN MALAYSIA

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan


di Bangkok pada 29 Mei - 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah:[butuh rujukan]

Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah


mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.

Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.

Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan


Indonesia-Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul
Razak (Malaysia).
PEMBEKUAN HUBUNGAN DENGAN RRT

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintah Republik Indonesia membekukan hubungan


diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Keputusan tersebut dilakukan karena
RRT telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan
kepada Gerakan 30 September baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya
pemberontakan tersebut.[butuh rujukan] Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan
tindakan teror yang dilakukan orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota
Keduataan Besar Republik Indonesia di Peking. Pemerintah RRT juga telah memberikan
perlindungan kepada tokoh-tokoh Gerakan 30 September di luar negeri, serta secara terangterangan menyokong bangkitnya kembali Partai Komunis Indonesia. Melalui media
massanya RRT telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Pada 30 Oktober 1967,
Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[butuh rujukan]
PENATAAN KEHIDUPAN EKONOMI
STABILISASI DAN REHABILITASI EKONOMI
Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini


didasari oleh Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[butuh rujukan]

MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan


serta program stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama


stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti
mengendalikan inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Rehabilitasi ekonomi
adalah perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini
adalah pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi
ekonomi ke arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Langkah-langkah yang diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS
tersebut adalah:

Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut
adalah:

1. Rendahnya penerimaan negara.


2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan
prasarana.

Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian

Berorientasi pada kepentingan produsen kecil

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru


menempuh cara:[butuh rujukan]

Mengadakan operasi pajak

Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan


maupun kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak
orang.

Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta


menghapuskan subsidi bagi perusahaan Negara.

Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membendung laju inflasi. Pemerintah Orde Baru
berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan kebutuhan

pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi
nasional relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun
1969 dapat dikendalikan pemerintah.[butuh rujukan]
Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi.
Selama sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami
kelumpuhan dan kerusakan pada prasarana sosial dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa,
gerakan koperasi, dan perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan
dan kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya, lembaga negara tidak dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[butuh rujukan]
KERJASAMA LUAR NEGERI

Pertemuan Tokyo

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar, yakni mencapai 2,2 - 2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[butuh rujukan] Pemerintah
Indonesia akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan
digunakan untuk membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahanbahan baku. Hal ini mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun
dilanjutkan di Paris, Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut:[butuh rujukan]
1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai
dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama
besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap
negara kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

Pertemuan Amsterdam

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang
bertujuan membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan
pemberian bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI
(Intergovernmental Group for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut
untuk memenuhi kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan
rehabilitasi ekonomi serta persiapan-persiapan pembangunan.[butuh rujukan] Di samping
mengusahakan bantuan luar negeri tersebut, pemerintah juga telah berusaha mengadakan
penangguhan serta memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-

hutang peninggalan Orde Lama.[butuh rujukan] Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia
berhasil mengusahakan bantuan luar negeri.
PEMBANGUNAN NASIONAL

Trilogi Pembangunan

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya
yang ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional.
Pembangunan nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui
Pembangunan Jangka pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[butuh rujukan] Pambangunan
Jangka Pendek dirancang melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki
misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Sedangkan Pembangunan Jangka Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan
nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi
seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional
dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD
1945 yaitu:[butuh rujukan]
1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia
2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman


pada Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut
adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang
stabil. Isi Trilogi Pembangunan adalah :[butuh rujukan]
1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:[butuh rujukan]
1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan
perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja

5. Pemerataan kesempatan berusaha


6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi
generasi muda dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui


Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde
Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[butuh rujukan]

Pelita I

Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan
tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang
pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[butuh rujukan]

Pelita II

Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama
Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana,
mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang
cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir
Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun
menjadi 9,5%.[butuh rujukan]

Pelita III

Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[butuh rujukan]
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat
pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.

Pelita IV

Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada
Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[butuh rujukan] Untuk mempertahankan
kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.

Pelita V

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan
ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia
berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[butuh rujukan]
Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan.
Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.

Pelita VI

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta
peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi
dipandang sebagai penggerak pembangunan.[butuh rujukan] Namun pada periode ini terjadi krisis
moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis
moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah
menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya
pemerintahan Orde Baru.
WARGA TIONGHOA
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian
barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin
dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama
dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan
berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin.[butuh rujukan] Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia
yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh
militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia
bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu
kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.[butuh rujukan] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan
dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang
diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[butuh rujukan].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[butuh rujukan]
KONFLIK PERPECAHAN PASCA ORDE BARU
Pada masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap
hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan
bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi
dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke
Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[butuh rujukan] Namun dampak negatif yang
tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk
setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan
pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang
sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[17] Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan
sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.
KELEBIHAN SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565[butuh rujukan]

Sukses transmigrasi

Sukses KB

Sukses memerangi buta huruf

Sukses swasembada pangan

Pengangguran minimum

Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

Sukses Gerakan Wajib Belajar

Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

Sukses keamanan dalam negeri

Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri[butuh rujukan]

KEKURANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ORDE BARU


[butuh rujukan]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan
daerah sebagian besar disedot ke pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang
memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak
Senang, hal ini kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif
negara pasti hancur.[butuh rujukan]
12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara
dipegang oleh swasta
14. Dan lain sebagainya

KRISIS FINANSIAL ASIA

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih
jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.[butuh rujukan] Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya
dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan
massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh.[butuh rujukan] Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
PASCA-ORDE BARU
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[butuh rujukan] Masih adanya
tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini
sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh
karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru
ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan
Yugoslavia.[butuh rujukan] Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi
baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Anda mungkin juga menyukai