Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang praktisi medik dalam praktek sehari-hari sering dihadapkan pada
berbagai permasalahan pengobatan yang kadang memerlukan pertimbanganpertimbangan khusus, seperti misalnya pengobatan pada kelompok umur tertentu
(anak dan usia lanjut), serta pada kehamilan. Meskipun prinsip dasar dan tujuan
terapi pada kelompok-kelompok tersebut tidak banyak berbeda., tetapi mengingat
masing-masing memliki keistimewaan khusus dalam penatalaksanakannya, maka
diperlukan pendekatan-pendekatan yang sedikit berbeda dengan kelompok
dewasa. Pertimbangan pada usia lanjut, tidak saja diambil berdasarkan ketentuan
dewasa, tetapi perlu beberapa penyesuaian seperti dosis dan perhatian lebih besar
pada kemungkinan efek samping, karena adanya perbedaan fungsi organ-organ
tubuh, dan lebih rentannya usia lanjut terhadap efek samping/efek toksik obat.
Kelompok usia lanjut lebih dikenal dengan istilah geriatri.
Geriatri adalah cabang kedokteran yang berkenaan dengan diagnosa dan
pengobatan yang terjadi pada usia tua. Secara fisiologis umumnya gertiari
dianggap sama dengan kelompok umur dewasa. Namun sebenarnya, pada periode
tertentu telah terjadi berbagai penurunan fungsi berbagai organ tubuh. Penurunan
fungsi bisa disebabkan karena proses menua, maupun perubahan-perubahan lain
yang secara fisik kadang tidak terdeteksi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai
batasan usia lanjut, namun pada umumnya para peneliti mengambil batas 65
tahun. Yang perlu mendapat perhatian adalah, bahwa ternyata pada pasien usia
lanjut, umumnya dijumpai lebih dari satu jenis penyakit, satu atau lebih di
antaranya bersifat kronis, sementara penyakit lain yang akut, jika tidak ditangani
dengan baik dapat memperburuk kondisi penderita. Populasi kelompok usia lanjut
sangat bervariasi di bebagai negara, namun umumnya kurang dari 15% jumlah
totalpenduduk. Walaupun jumlahnya relatif kecil, pemakaian obat pada usia lanjut
dapat menjadi masalah antara lain karena : Pertama, kelompok usia lanjut
mengkonsumsi 25% sampai 30% dari total obat yang digunakan di pusat-pusat

pelayanan kesehatan. Kedua, praktek terapi polifarmasi sangat umum dijumpai


pada pasien usia lanjut, oleh karena umumnya menderita lebih dari satu macam
penyakit. Ketiga, penelitian-penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa
kelompok usia lanjut sangat rentan terhadap risiko efek samping obat. Risiko
terjadinya efek samping meningkat dengan bertambahnya jenis obat yang
diberikan.
Dari aspek penderita, faktor-faktor seperti penurunan aktivitas/fungsi organ,
derajat penyakit,

penurunan kemampuan

untuk mengurus

diri

sendiri,

menurunnya masukan cairan dan makanan, serta kemungkinan menderita lebih


dari satu macam penyakit, sering mempersulit proses pengobatan secara opitmal.
Penguasaan dokter terhadap aspek-aspek klinis serta prinsip penggunaan obat
untuk usia lanjut dengan demikian menjadi penting untuk meningkatkan kualitas
pengobatan.
B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pendosisan geriatri,


penyesuaian dosis karena interaksi obat dan aplikasinya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Geriatri

Geriatri adalah cabang kedokteran yang berkenaan dengan diagnosa dan


pengobatan yang terjadi pada usia tua. Menua (menjadi tua) adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan tidak dapat memperbaiki kerusakan yang
terjadi (Boedi, 2006). Proses menua atau aging process merupakan proses alamiah
yang akan dialami oleh setiap makhluk hidup di dunia ini. Definisi yang lebih
kompleks dari Stehler, proses menua merupakan perubahan yang berhubungan
dengan waktu, bersifat universal, intrinsik, terjadi kerusakan yang progresif, yang
mengakibatkan penurunan adaptasi terhadap lingkungan sehingga menyebabkan
hilangnya kemampuan organisme untuk bertahan hidup. Sedangkan menurut
Harman, proses menua ialah penjumlahan semua perubahan yang terjadi dengan
berlalunya waktu. Perubahan ini menjadi penyebab atau berkaitan erat dengan
meningkatnya kerentanan tubuh terhadap penyakit yang berakhir dengan
kematian.
Menurut pendapat berbagai ahli dalam Efendi (2009) batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia adalah sebagai berikut:
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat
2 yang berbunyi Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60
(enam puluh) tahun ke atas.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90
tahun, usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun.
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 4055 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
senium) ialah 65 hingga tutup usia.

d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric


age): > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (7580 tahun), dan very old ( > 80 tahun) (Efendi, 2009).
Beberapa teori Teori yang menjelaskan tentang sebab-sebab menua antara lain:
1) Teori Genetik clock. Tiap spesies mempunyai di dalam nukleusnya suatu
jam genetic yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu.
2) Mutasi somatik (teori Error Catastrophe). Proses menua dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik (radiasi
dan zat-zat kimia), sehingga terjadi kesalahan dalam proses transkripsi
(DNARNA), maupun dalam proses translasi (RNAprotein/enzim).
3) Rusaknya sistem imun tubuh (with incised Auto-Antibodies) Mutasi yang
berulang atau perubahan protein pasca-translasi, dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri
(self recognition).
4) Teori menua karena metabolisme. Pada tahun 1935, McKay et al. (terdapat
dalam Goldstein, et al, 1989), memperlihatkan bahwa pengurangan intake
kalori pada rodentia muda akan menghambat pertumbuhan dan
memperpanjang umur.
5) Kerusakan akibat radikal bebas. Radikal bebas dapat terbentuk di alam
bebas, dan di dalam tubuh kita jika fagosit pecah, dan sebagai produk
sampingan di dalam rantai pernafasan di dalam mitokondria (Oen, 1993).
Radikal bebas dapat juga dinetralkan menggunakan senyawa nonenzimatik, seperti: vitamin C (asam askorbat), provitamin A (BetaKaroten), dan vitamin E (Tocopherol).
Batasan usia lanjut menurut Depkes RI adalah usia 60 69 tahun, dan usia 70
tahun disebut usia lanjut resiko tinggi. Sedangkan menurut WHO, usia 60 64
tahun disebut transisi ke usia tua, usia 65 79 tahun disebut tua, usia 80 tahun
disebut sangat tua. Selain istilah usia lanjut, istilah yang sering muncul adalah
geriatri. Tidak jarang pasien usia lanjut disalah artikan sebagai pasien geriatri,

padahal pasien usia lanjut belum tentu geriatri. Sebaliknya, pasien geriatri sudah
pasti berusia lanjut.
Penurunan fungsi tubuh pada geriatri ditandai dengan munculnya berbagai
macam penyakit. Penyakit pada usia lanjut sering terjadi pada banyak organ
sehingga pemberian obat sering terjadi polifarmasi. Polifarmasi berarti pemakaian
banyak obat sekaligus pada seorang pasien, lebih dari yang dibutuhkan secara
logis-rasional dihubungkan dengan diagnosis yang diperkirakan. Diantara
demikian banyak obat yang ditelan pasti terjadi interaksi obat yang sebagian dapat
bersifat serius dan sering menyebabkan hospitalisasi atau kematian. Kejadian ini
lebih sering terjadi pada pasien yang sudah berusia lanjut yang biasanya menderita
lebih dari satu penyakit. Penyakit utama yang menyerang lansia ialah hipertensi,
gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes mellitus,
gangguan fungsi ginjal dan hati. Selain itu, juga terjadi keadaan yang sering
mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif, keseimbangan badan,
penglihatan dan pendengaran. Semua keadaan ini menyebabkan lansia
memperoleh pengobatan yang banyak jenisnya (Darmansjah, 1994). Pemberian
obat atau terapi untuk kaum lansia, memang banyak masalahnya, karena beberapa
obat sering beinteraksi. Kondisi patologi pada golongan usia lanjut, cenderung
membuat lansia mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami efek
samping dan interaksi obat yang merugikan (Anonim, 2004).
B. Pemakaian Obat Pada Usia Lanjut
Ada tiga faktor yang menjadi acuan dasar dalam pembuatan atau peresepan obat,
1) Diagnosis dan patofisiologi penyakit
2) Kondisi organ tubuh
3) Farmakologi klinik obat
Setelah dokter mendiagnosis penyakit pasien, maka sebelum penentuan obat yang
dibeikan perlu dipertimbangkan kondisi organ tubuh serta farmakologi dari obat
yang akan diresepkan. Pada usia lanjut banyak hal-hal yang lainnya yang perlu
dipertimbangkan dalam pemilihan obat, karena pada golongan lansia berbagai
perubahan fisiologik pada organ dan sistema tubuh akan mempengaruhi

tanggapan tubuh terhadap obat. Adapun prinsip umum penggunaan obat pada usia
lanjut :
1) Berikan obat hanya yang betul-betul diperlukan artinya hanya bila ada
indikasi yang tepat. Bila diperlukan efek plasebo berikan plasebo yang
sesungguhnya.
2) Pilihlah obat yang memberikan rasio manfaat yang paling menguntungkan
dan tidak berinteraksi dengan obat yang lain atau penyakit lainnya.
3) Mulai pengobatan dengan dosis separuh lebih sedikit dari dosis yang biasa
diberikan pada orang dewasa yang masih muda.
4) Sesuaikan dosis obat berdasarkan dosis klinik pasien, dan bila perlu
dengan memonitor kadar plasma pasien. Dosis penunjang yang tepat
umumnya lebih rendah.
5) Berikan regimen dosis yang sederhana dan sediaan obat yang mudah
ditelan untuk memelihara kepatuhan pasien.
6) Periksa secara berkala semua obat yang dimakan pasien, dan hentikan obat
yang tidak diperlukan lagi.
C. Perubahan pada usia lanjut yang berkaitan dengan Pemakaian Obat
1. Perubahan farmakokinetik
Telah terbukti bahwa proses menua akan menyebabkan penurunan fungsi
organ, baik sebagai akibat proses degenerasi yang secara ilmiah akan dialami oleh
setiap orang, maupun akibat penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya. Dengan
demikian, ada kemungkinan bahwa kecepatan dan derajat absorpsi, metabolisme,
maupun ekskresi obat berubah pada usia lanjut.
1). Absorpsi
Perubahan dalam hal absorpsi obat pada usia lanjut belum diketahui secara
jelas, tetapi tampaknya tidak berubah untuk sebagian besar obat. Keadaan yang
mungkin dapat mempengaruhi absorpsi ini antara lain perubahan kebiasaan
makan, tingginya konsumsi obat-obat non resep (misalnya antasida, laksansia)
dan lebih lambatnya kecepatan pengosongan lambung.
2). Distribusi
Selain oleh sifat fisiko-kimiawi molekul obat, distribusi ditentukan pula
oleh komposisi tubuh, ikatan protein plasma dan aliran darah organ, semuanya
akan mengalami perubahan dengan bertambahnya usia, akibatnya konsentrasi obat

akan berbeda pada pasien lanjut usia jika dibandingkan dengan pasien yang lebih
muda pada pemberian dosis obat yang sama (Aslam, et al., 2003). Dengan
bertambahnya usia, prosentase air total dan masa tubuh yang tidak mengandung
lemak (lean body mass) menjadi lebih sedikit.
a. Komposisi Tubuh
Pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan total air. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan volume distribusi obat yang larut air sehingga
konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Pertambahan usia juga akan
meningkatkan massa lemak tubuh. Hal ini akan menyebabkan volume distribusi
obat larut lemak meningkat dan konsentrasi obat dalam plasma turun namun
terjadi peningkatan durasi obat (missal golongan benzodiazepin) dari durasi
normalnya (Aslam, et al., 2003).
b. Ikatan Plasma Protein
Seiring dengan pertambahan usia, albumin manusia juga akan turun. Obatobatan dengan sifat asam akan berikatan dengan protein albumin sehingga
menyebabkan obat bentuk bebas akan meningkat pada pasien geriatri. Saat obat
bentuk bebas berada dalam jumlah yang banyak maka akan mengakibatkan
peningkatan konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Hal ini menyebabkan
kadar obat tersebut dapat melampaui konsentrasi toksis minimum (terlebih untuk
obat-obatan poten) (Aslam, et al., 2003). Penurunan albumin secara mencolok
pada usia lanjut umumnya disebabkan oleh menurunnya aktivitas fisik. Tetapi
dapat juga memberi petunjuk beratnya penyakit sistemik yang diderita, seperti
miokard infark akut, penyakit-penyakit inflamasi dan infeksi berat. Sehingga
obat-obat yang terutama terikat pada albumin akan lebih banyak berada dalam
bentuk bebas. Dengan kata lain, kadar obat-obat tersebut akan meningkat dalam
plasma. Molekul obat yang terikat pada albumin adalah yang bersifat asam lemah.
c. Aliran Darah pada Organ
Penurunan aliran darah organ pada lansia akan mengakibatkan penurunan
perfusi darah. Pada pasien geriatri penurunan perfusi darah terjadi sampai dengan
45%. Hal ini akan menyebabkan penurunan distribusi obat ke jaringan sehingga
efek obat akan menurun (Aslam, et al., 2003). Obat yang mempunyai sifat lipofili

yang kecil, misalnya digoksin dan propranolol, menjadi lebih tinggi kadarnya
dalam darah, walaupun pada dosis yang lazim untuk dewasa. Untuk obat yang
mempunyai sifat lipofilik yang besar, misalnya benzodiazepin, klordiazepoksid,
peningkatan komposisi lemak menyebabkan menurunnya kadar obat dalam darah.
Komposisi protein total pada usia lanjut praktis tidak berubah, tetapi biasanya
terjadi perubahan rasio albumin globulin.
d. Eliminasi
Metabolisme hati dan eskresi ginjal adalah mekanisme penting yang
terlibat dalam proses eliminasi. Efek dosis obat tunggal akan diperpanjang dan
pada keadaan steady state akan meningkat jika kedua mekanisme menurun.
3). Metabolisme
Hepar

berperan

penting

dalam

metabolisme

obat,

tidak

hanya

mengaktifkan obat ataupun mengakhiri aksi obat tetapi juga membantu


terbentuknya metabolit terionisasi yang lebih polar yang memungkinkan
berlangsungnya

mekanisme

ekskresi

ginjal.

Kapasitas

hepar

untuk

memetabolisme obat tidak terbukti berubah dengan bertambahnya umur, tetapi


jelas

terdapat

penurunan

aliran

darah

hepar

yang

tampaknya

sangat

mempengaruhi kemampuan metabolisme obat. Pada usia lanjut terjadi pula


penurunan kemampuan hepar dalam proses penyembuhan penyakit, misalnya oleh
karena virus hepatitis atau alkohol. Oleh sebab itu riwayat penyakit hepar terakhir
seorang lanjut usia sangat perlu dipetimbangkan dalam pemberian obat yang
terutama dimetabolisme di hepar. Sementara itu beberapa penyakit yang sering
pula terjadi pada usia lanjut seperti misalnya kegagalan jantung kongestif, secara
menyolok dapat mengubah kemampuan hepar untuk memetabolisme obat dan
dapat pula menurunkan aliran darah hepar.
4). Ekskresi ginjal
Ginjal merupakan tempat ekskresi sebagian besar obat, baik dalam bentuk
aktif maupun hasil metabolitnya. Seperti halnya dengan organ-organ yang lain,
ginjal akan mengalami perubahan fisiologis dan anatomis dengan bertambahnya
umur. Dengan menurunnya kapasitas fungsi ginjal secara ilmiah karena usia
lanjut, maka eliminasi sebagian besar obat juga akan terpengaruh. Obat-obat yang

dimetabolisme kebentuk aktif, seperti: metildopa, triamteren, spironolakton,


oksifenbutazon, levodopa, dan acetoheksamid mungkin akan terakumulasi karena
memburuknya fungsi ginjal pada usia lanjut. Sementara itu juga terdapat
penurunan klirens yang konsisten dengan bertambahnya umur.
Pada keadaan ini pengukuran klirens kreatinin kadang perlu dibuat,
sebelum pemberian obat, terutama jika ada kecurigaan adanya kelainan ginjal atau
gangguan metabolisme air dan garam, sepertinya misalnya dehidrasi berat. Salah
satu akibat dari turunnya klirens adalah terjadi pemanjangan waktu paruh
beberapa obat dan kemungkinan tertumpuknya obat hingga mencapai kadar
toksik, bila dosis dan frekuensi pemberian tidak diturunkan. Sebagai contoh antara
lain amioglikosida, litium, digoksin, prokainamida, hipoglikemik oral dan
simetidin.
2. Interaksi Farmakokinetik
1) Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya
fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat
penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi
obat sering berkurang, sehingga memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang
mempunyai half-life panjang perlu diberi dalam dosis lebih kecil bila efek
sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan kepada lansia ialah
glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa kerja
panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis
terbagi yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen.
Digoksin juga mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang
menimbulkan efek samping terbanyak di Jerman, karena dokter Jerman
memakainya berlebihan, walaupun sekarang digoksin sudah digantikan dengan
furosemid untuk mengobati payah jantung sebagai first-line drug (Darmansjah,
1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka
harus digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang

renal-toxic, misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti


infark miokard dan pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi
ginjal dan ekskresi obat. Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan
fungsi ginjal, khususnya bila memberi obat yang mempunyai batas keamanan
yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua obat yang sering digunakan pada lansia
dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga kedua obat ini juga perlu diberi
dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2) Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu
batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti
penurunan creatinine-clearance. ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih
merupakan marker kerusakan sel hati dan karena kapasitas hati sangat besar,
kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel hati yang sehat. ALT juga
tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi obat tertentu. Hanya
anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai normal
sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya
pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon
oleh hati. Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal
atau bila hati berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila
diperlukan bantuan hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding)
berpengaruh penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh
usus dan sebagian terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati
sebelum memasuki sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang
disebut first-pass effect dan mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma
hingga 30% atau lebih. Kadar yang kemudian ditemukan dalam plasma
merupakan bioavailability suatu produk yang dinyatakan dalam prosentase dari
dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-vena tidak akan melalui hati
dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena itu untuk obat-obat

tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih kecil daripada
dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang
diikat banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk
ikatan dengan protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi
sekali dalam darah dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat
oleh protein (albumin) sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang
bebas dan aktif. Proses redistribusi menyebabkan 1% ini dipertahankan selama
obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin yang 80-90% diikat oleh protein,
aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein sehingga kadar warfarin-bebas
naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek samping perdarahan spontan.
Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas perdarahan. Hal ini
juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma hanya 15
menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk obat
yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)
3.

Perubahan farmakodinamik
Pasien-pasien usia lanjut relatif lebih sensitif terhadap aksi beberapa obat

dibanding kelompok usia muda. Hal ini memberi petunjuk adanya perubahan
interaksi farmakodinamika obat terhadap reseptor yang nampaknya merupakan
hasil perubahan farmakokinetika atau hilangnya respons homeostatis. Mekanisme
pengontrol homeostatis tertentu tampaknya juga mulai kehilangan fungsi pada
usia lanjut, sehingga pola atau intensitas respons terhadap obat juga berubah.
Sebagai contoh tekanan darah rata-rata pada usia lanjut relatif lebih tinggi, tetapi
sementara itu insidensi hipotensi ortostatik juga meningkat secara menyolok.
Demikian pula mekanisme pengaturan suhu juga memburuk dan hipotermia
kurang ditoleransi secara baik pada usia lanjut.
1). Pengaturan temperatur
Hipotermia tidak diharapkan terjadi pada pasien geriatri yang mendapat
beberapa macam obat. Obat-obatan yang menyebabakan terjadinya hipotermia
diantaranya benzodiazepine, opoid, alkohol, dan antidepresan trisiklik dapat

menyebabkan sedasi gangguan kepekaan subjektif terhadap tempratur dan


pennurunan mobilitas maupun aktivitas.
2) Fungsi usus dan kandung Kemih
Konstipasi sering muncul pada geriatri sebagai akibat penurunan motilitas
saluran gastrointestinal. Obat-obat antikolinergik dapat menyebabkan retensi urin
pada pasien pria lanjut usia terutama pasien dengan hipertropi prostat sedangkan
pada wanita sering terjadi disfungsi uretra.
3) Pengaturan tekanan darah
Pada pasien geriatri terjadi penumpukan reflex takikardia sehingga
hipotensi postural merupakan masalah yang sering terjadi pada pasien geriatri. Hal
ini

mengakibatkan

obat

obatan

dengan

efek

antihipertensi

cenderung

menyebabkan masalah pada pasien geriatri.


4) Keseimbangan cairan atau elektrolit
Pasien geriatri mengalami penuruan kemampuan ekskresi retensi air.
Obat-obatan yang menyebabkan retensi cairan ini diantaranya kortikosteroid dan
antiinflamasi non steroid.
5) Fungsi Kognitif
Pertambahan usia juga akan menurunkan fungsi sistem saraf pusat yang
terjadi akibat perubahan struktur dan kimiawi saraf. Aktivitas enzim kolinesterase
menurun pada lansia dan berakibat pada menurunnya transmisi kolinergik.
Transmisi kolnergik sangat berperan dalam fungsi kognitif normal sehingga obatobatan antikolinergik dan hipnotik dapat memperburuk efek tersebut. Lansia yang
mengkonsumsi obat-obatan tersebut akan mengalami kebingungan.
Interaksi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons
reseptor obat dan target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat
menjadi lain. Ini menyebabkan kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus
dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin menimbulkan efek yang sangat
nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis normal dapat
menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif seperti
klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg

memang terlalu besar) pada lansia. Berbagai penelitian klinik menunjukkan


bahwa usia lanjut ternyata lebih sensitif terhadap analgetika, alkaloida, opium,
beberapa sedatif dan tranquilizer, serta obat antiparkinson. Sayangnya, obat-obat
tersebut justru sering diresepkan untuk kelompok usia ini.
4. Efek samping obat pada usia lanjut
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah
obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak
jenis obat yang diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula
kemungkinan terjadinya efek samping. Secara epidemiologis, 1 dari 10 orang
(10%) akan mengalami efek samping setelah pemberian 1 jenis obat. Resiko ini
meningkat mencapai 100% jika jumlah obat yang diberikan mencapai 10 jenis
atau lebih. Secara umum angka kejadian efek samping obat pada usia lanjut
mencapai 2 kali lipat kelompok usia dewasa. Obat-obatan yang sering
menimbulkan efek samping pada usia lanjut antara lain analgetika, antihipertensi,
antiparkinsion, antipsikotik, sedatif dan obat-obat gastrointestinal. Sedangkan efek
samping yang paling banyak dialami antara lain hipotensi postural, ataksia,
kebingungan, retensi urin, dan konstipasi. Tingginya angka kejadian efek samping
obat ini nampaknya berkaitan erat dengan kesalahan peresepan oleh dokter
maupun kesalahan pemakaian oleh pasien.
1). Kesalahan peresepan
Kesalahan peresepan sering kali terjadi akibat dokter kurang memahami
adanya perubahan farmakokinetika/farmakodinamika karena usia lanjut. Sebagai
contoh adalah simetidin yang acap kali diberikan pada kelompok usia ini, ternyata
memberi dampak efek samping yang cukup sering (misalnya halusinasi dan reaksi
psikotik), jika diberikan sebagai obat tunggal. Obat ini juga menghambat
metabolisme berbagai obat seperti warfarin, fenitoin dan beta blocker. Sehingga
pada pemberian bersama simetidin tanpa lebih dulu melakukan penetapan dosis
yang sesuai, akan menimbulkan efek toksik yang kadang fatal karena
meningkatnya kadar obatdalam darah secara mendadak.
2). Kesalahan pasien

Secara konsisten, kelompok usia lanjut banyak mengkonsumsi obat-obat


yang dijual bebas/tanpa resep (OTC). Pemakaian obat-obat OTC pada penderita
usia lanjut bukannya tidak memberi resiko, mengingat kandungan zat-zat aktif
dalam satu obat OTC kadang-kadang belum jelas efek farmakologiknya atau
malah bersifat membahayakan. Sebagai contoh adalah beberapa antihistamin yang
mempunyai efek sedasi, yang jika diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
kognitif akan memberi efek samping yang serius. Demikian pula obat-obat
dengan kandungan zat yang mempunyai aksi antimuskarinik akan menyebabkan
retensi urin (pada penderita lakilaki) atau glaukoma, yang penanganannya akan
jauh lebih sulit dibanding penyakitnya semula.
3). Ketidak-jelasan informasi pengobatan
Pasien-pasien usia lanjut sering pula menjadi korban dari tidak jelasnya
informasi pengobatan dan beragamnya obat yang diberikan oleh dokter. Keadaan
ini banyak dialami oleh penderita-penderita penyakit yang bersifat hilang timbul
(sering kambuh). Kesalahan umumnya berupa salah minum obat (karena
banyaknya jenis obat yang diresepkan pada suatu saat), atau berupa
ketidaksesuaian dosis dan cara pemakaian seperti yang dianjurkan. Kelompok usia
ini tidak jarang pula memanfaatkan obat-obat yang kadaluwarsa secara tidak
sengaja, karena ketidaktahuan ataupun ketidakjelasan informasi. Dengan demikan,
pemakaian obat secara bijaksana pada penderita-penderita usia lanjut akan
membantu meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia. Namun
demikian, hal-hal yang perlu dicatat dalam segi ketaatan pasien antara lain :
Meskipun secara umum populasi usia lanjut kurang dari 15%, tetapi
peresepan pada usia ini relatif tinggi, yaitu mencapai 25%-30% dari
seluruh peresepan.
Pasien sering lupa instruksi yang berkenaan dengan cara, frekuensi dan
berapa lama obat harus diminum untuk memperoleh efek terapetik yang
optimal. Untuk antibiotika, misalnya pasien sering menganggap bahwa
hilangnya simptom memberi tanda untuk menghentikan pemakaian obat.
Pada penderita yang tremor, mengalami gangguan visual atau menderita
artritis, jangan diberi obat cairan yang harus ditakar dengan sendok.

Untuk pasien usia lanjut dengan katarak atau gangguan visual karena
degenerasi makular, sebaiknya etiket dibuat lebih besar agar mudah
dibaca.
5. Obat-obat yang sering diresepkan pada usia lanjut dan pertimbangan
pemakaian
1. Obat-obat sistem saraf pusat
a. Sedativa-hipnotika
Mengingat sering diresepkannya obat-obat golongan sedativa-hipnotika
pada pasien usia lanjut, maka efek samping obat golongan ini yang diketahui
maupun tidak diketahui oleh pasien relatif lebih sering terjadi. Pasien merasa tidak
enak badan setelah bangun tidur (dapat terjadi sepanjang hari), sempoyongan,
kekakuan dalam bicara dan kebingungan beberapa waktu sesudah minum obat.
Sebagai contoh, waktu paruh beberapa obat golongan benzodiazepin dan
barbiturat meningkat sampai 1,5 kali. Namun lorazepam dan oksazepam mungkin
kurang begitu berpengaruh oleh perubahan ini. Efek samping yang perlu diamati
pada penggunaan obat sedativa-hipnotika antara lain adalah ataksia.
b. Analgetika
Dengan menurunnya fungsi respirasi karena bertambahnya umur, maka
kepekaan terhadap efek respirasi obat-obat golongan opioid (analgetika-narkotik)
juga meningkat. Jika tidak sangat terpaksa dan indikasi pemakaian tidak
terpenuhi, maka pemberian analgetika-narkotik pada usia lanjutnya hendaknya
dihindari
c. Antidepresan
Obat-obat golongan antidepresan trisiklik yang cukup banyak diresepkan
ternyata sering menimbulkan efek samping pada usia lanjut, yang antara lain
berupa mulut kering, retensi urin, konstipasi, hipotensi postural, kekaburan
pandangan, kebingungan, dan aritmia jantung. Jika terpaksa diberikan, maka
sebaiknya dimulai dari dosis terendah, misalnya imipramin 10 mg pada malam
hari. Selain itu diperlukan pula pemantauan yang terus menerus untuk mencegah
kemungkinan efek samping tersebut.

d. Obat-obat kardiovaskuler
a) Antihipertensi
Pengobatan hipertensi pada usia lanjut sering menjadi masalah, tidak saja
dalam hal pemilihan obat, penentuan dosis dan lamanya pemberian, tetapi juga
menyangkut keterlibatan pasien secara terus menerus dalam proses terapi. Hal ini
karena pengobatannya umumnya jangka panjang. Jika terapi non-obat dirasa
masih memungkinkan, pembatasan

masukan garam, latihan (exercise), dan

penurunan berat badan, serta pencegahan terhadap faktor-faktor risiko hipertensi


(misalnya merokok dan hiperkholesterolemia) perlu dianjurkan bagi pasien
dengan hipertensi ringan. Namun jika yang dipilih adalah alternatif pengobatan,
maka hendaknya dipertimbangkan pula hal-hal berikut:
penyakit lain yang diderita (associated illness)
obat-obat yang diberikan bersamaan (concurrent therapy)
biaya obat (medication cost)
ketaatan pasien (patient compliance).
Pilihan pertama yang dianjurkan adalah diuretika dengan dosis yang
sekecil mungkin. Efek samping hipokalemia dapat diatasi dengan pemberian
suplemen kalium atau pemberian diuretika potassium-sparing seperti triamteren
dan amilorida. Kemungkinan terjadinya hipotensi postural dan dehidrasi
hendaknya selalu diamati. Jika diuretika ternyata kurang efektif, pilihan
selanjutnya adalah obat-obat antagonis beta-adrenoseptor (=beta bloker). Untuk
penderita angina atau aritmia, beta blocker cukup bermanfaat sebagai obat
tunggal, tetapi jangan diberikan pada pasien dengan kegagalan ginjal kongestif,
bronkhospasmus, dan penyakit vaskuler perifer. Pengobatan dengan
beta-1-selektif yang mempunyai waktu paruh pendek seperti metoprolol 50 mg 12x sehari juga cukup efektif bagi pasien yang tidak mempunyai kontraindikasi
terhadap pemakaian beta-blocker. Dosis awal dan rumat hendaknya ditetapkan
secara hati-hati atas dasar respons pasien secara individual.
Vasodilator perifer seperti prazosin, hidralazin, verapamil dan nifedipin
juga ditoleransi dengan baik pada usia lanjut, meskipun pengamatan yang
seksama terhadap kemungkinan terjadinya hipotensi ortostatik perlu dilakukan.

Meskipun beberapa peneliti akhir-akhir ini menganjurkan kalsium antagonis,


seperti verapamil dan diltiazem untuk usia lanjut sebagai obat lini pertama. Tetapi
mengingat harganya relatif mahal dengan frekuensi pemberian yang lebih sering,
maka dikhawatirkan akan menurunkan ketaatan pasien.
b) Obat-obat antiaritmia
Pengobatan antiaritmia pada usia lanjut akhir-akhir ini semakin sering
dilakukan mengingat makin tingginya angka kejadian penyakit jantung koroner
pada kelompok ini. Namun demikian obat-obat seperti disopiramida sangat tidak
dianjurkan, mengingat efek antikholinergiknya yang antara lain berupa takhikardi,
mulut kering, retensi urin, konstipasi, dan kebingungan. Pemberian kuinidin dan
prokainamid hendaknya mempertimbangkan dosis dan frekuensi pemberian,
karena terjadinya penurunan klirens dan pemanjangan waktu paruh.
c) Glikosida jantung
Digoksin merupakan obat yang diberikan pada penderita usia lanjut
dengan kegagalan jantung atau aritmia jantung. Intoksikasi digoksin tidak jarang
dijumpai pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, khususnya jika kepada
pasien yang bersangkutan juga diberi diuretika. Gejala intoksikasi digoksin sangat
beragam mulai anoreksia, kekaburan penglihatan, dan psikosis hingga gangguan
irama jantung yang serius. Meskipun digoksin dapat memperbaiki kontraktilitas
jantung dan memberi efek inotropik yang menguntungkan, tetapi kemanfaatannya
untuk kegagalan jantung kronis tanpa disertai fibrilasi atrial masih diragukan.
Oleh sebab itu, mengingat kemungkinan kecilnya manfaat klinik untuk usia lanjut
dan efek samping digoksin sangat sering terjadi, maka pilihan alternatif terapi
lainnya perlu dipetimbangkan lebih dahulu. Diuretika dan vasodilator perifer
sebetulnya cukup efektif sebagian besar penderita.
d) Antibiotika
Prinsip-prinsip dasar pemakaian antibiotika pada usia lanjut tidak berbeda
dengan kelompok usia lainnya. Yang perlu diwaspadai adalah pemakaian
antibiotika golongan aminoglikosida dan laktam, yang ekskresi utamanya melalui
ginjal. Penurunan fungsi ginjal karena usia lanjut akan mempengaruhi eliminasi
antibiotika tersebut, di mana waktu paruh obat menjadi lebih panjang (waktu

paruh gentasimin, kanamisin, dan netilmisin dapat meningkat sampai dua kali
lipat) dan memberi efek toksik pada ginjal (nefrotoksik), maupun organ lain
(misalnya ototoksisitas).
e) Obat-obat antiinflamasi
Obat-obat golongan antiinflamasi relatif lebih banyak diresepkan pada usia
lanjut, terutama untuk keluhan-keluhan nyeri sendi (osteoaritris). Berbagai studi
menunjukkan bahwa obat-obat antiinflamasi non-steroid (AINS), seperti misalnya
indometasin dan fenilbutazon, akan mengalami perpanjangan waktu paruh jika
diberikan pada usia lanjut, karena menurunnya kemampuan metabolisme hepatal.
Karena meningkatnya kemungkinan terjadinya efek samping gastrointestinal
seperti nausea, diare, nyeri abdominal dan perdarahan lambung (20% pemakai
AINS usia lanjut mengalami efek samping tersebut), maka pemakaian obat-obat
golongan ini hendaknya dengan pertimbangan yang seksama. Efek samping dapat
dicegah misalnya dengan memberikan antasida secara bersamaan, tetapi perlu
diingat bahwa antasida justru dapat mengurangi kemampuan absorpsi AINS.
f) Laksansia
Pada

usia

lanjut

umumnya

akan

terjadi

penurunan

motilitas

gastrointestinal, yang biasanya dikeluhkan dalam bentuk konstipasi. Pemberian


obat-obat laksansia jangka panjang sangat tidak dianjurkan, karena di samping
menimbulkan habituasi juga akan memperlemah motilitas usus. Pemberian obatobat ini hendaknya disertai anjuran agar melakukan diet tinggi serat dan
meningkatkan masukan cairan serta jika mungkin dengan latihan fisik (olah raga).
6. ADR (Adverse Drug Reaction) pada Geriatri
Pasien geriatri akan lebih sering mengalami ADR dibandingkan pasien yang
lebih muda. Hal ini dimungkinkan karena pasien geriatri lebih sering
mendapatkan terapi obat. Di samping itu faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya ADR pada geriatri adalah perubahan farmakokinetika yang meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat, yang sangat tergantung pada
kondisi organ-organ tubuh penderita (Aslam, Tan, Prayitno, 2003). Pada pasien
geriatri sering mendapatkan peresepan dengan jumlah obat yang banyak

(polifarmasi). Hal tersebut disebabkan oleh penderita yang mengalami beberapa


penyakit sekaligus. Khususnya penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal
dan hati memiliki risiko yang tinggi bagi kejadian ADR (Aslam, et al., 2003).
7.

Prinsip pengobatan pada usia lanjut


Secara singkat, pemakaian/pemberian obat pada usia lanjut hendaknya

mempertimbangkan hal-hal berikut:


1). Riwayat pemakaian obat
Informasi mengenai pemakaian obat sebelumnya perlu ditanyakan,
mengingat sebelum datang ke dokter umumnya penderita sudah melakukan
upaya pengobatan sendiri.
Informasi ini diperlukan juga untuk mengetahui apakah keluhan/penyakitnya
ada kaitan dengan pemakaian obat (efek samping), serta ada kaitannya
dengan pemakaian obat yang memberi interaksi.
2). Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat. Sebagai
contoh, sangat tidak dianjurkan memberikan simetidin pada kecurigaan diagnosis
ke arah dispepsia.
3). Mulai dengan dosis terkecil. Penyesuaian dosis secara individual perlu
dilakukan untuk menghindari kemungkinan intoksikasi, karena penanganan
terhadap akibat intoksikasi obat akan jauh lebih sulit.
4). Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi
resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat.
Jika terpaksa memberikan lebih dari 1 macam obat, pertimbangkan cara
pemberian yang bisa dilakukan pada saat yang bersamaan.
8.

Penelaahan Terapi
Dalam penelaahan suatu keputusan terapi sebenarnya secara sederhana dan

praktis kita dapat meringkasnya sebagai berikut :


1). Ketepatan indikasi : ada diagnosis (pasti atau kemungkinan) yang memang
secara medik memerlukan farmakoterapi.

2). Ketepatan pemilihan obat : obat yang diberikan adalah obat-obat yang terbukti
(secra ilmiah) memebrikan manfaat klinik maksimal, paling aman dan ekonomis
(manfaat maksimal dan resiko minimal).
3). Ketepatan dosis dan cara pemakaian : bentuk sediaan, cara pemberian, besar
dosis, frekuensi dan lama pemberian.
4). Ketepatan (penilaian) pasien : kontra indikasi, ketaatan pasien, efek samping,
efek klinik, dan lain-lain.
9. Pelaksanaan Penugasan
1). Penelaahan dilakukan terhadap satu atau dua kasus pengobatan yang riil
ditemui di lingkungan peserta. Kasus pengobatan adalah setiap orang yang
menderita sakit/gejala sakit tertentu dan mendapatkan pengobatan baik dari
dokter, paramedik dan pihak-pihak lain.
2). Kasus pengobatan ini dapat dipilih dari misalnya teman, famili, atau tetangga
yang pernah sakit dan mendapatkan pengobatan. Pilih kasus-kasus yang masih
dapat mengingat dengan jelas keluhan dan gejalagejala yang diderita, pemeriksaan
yang dialami, obat yang diterima (nama dan dosis), dll. Umumnya kalau sakitnya
dalam tempo kurang lebih 2 minggu terakhir sebelum wawancara.
3). Terhadap kasus yang dipilih tadi dilakukan wawancara dan pencatatan
mengenai penyakitnya, perjalanan, pemeriksaan-pemeriksaan, diagnosis yang
diberikan dokter, obat-obat, dosis, dan aturan pemakaiannya. Catatan: Dalam
wawancara jangan lupa harus minta ijin pada pasien, kalau yang bersangkutan
keberatan jangan diteruskan.
4). Lakukan penelaahan terhadap temuan anda, yakni suatu keputusan terapi
terhadap kasus tersebut, sesuai dengan lembar kerja terlampir. Dalam penelaahan,
anda harus selalu mengacu kepada sumber-sumber pustaka yang dianjurkan, yakni
buku-buku teks mengenai pengobatan
5). Obat-obat yang tertulis dengan nama patent harap dicari nama generiknya dari
package insert atau IIMS/ISO.
10. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk mencapai keberhasilan
farmakoterapi lansia

1). Dosis, keamanan dan manfaat dari obat.

Dosis umumnya diturunkan hingga 1/5, tetapi berbeda untuk setiap


individu.

Obat dengan indeks terapi sempit dimulai dengan 1/3 atau dosis lazim.

Untuk obat yang eliminasi nya dipengaruhi (menurun), berikan 50 % dari


dosis awal yg dianjurkan.

2). Jumlah obat yang diberikan

Semakin banyak jumlah obat polifarmasi dgn segala risiko

3). Kepatuhan pasien


Hanya 60 % yang patuh sedangkan 40 % pasien lansia meminum obat

kurang dari yang diberikan dokter.


11. Aplikasi Dosis
Contoh Resep
R/ Captopril 25

XLV

S 3 dd 1
R/ HCT

XV

S 1-0-0
R/ Bisoprolol 5

XV

S 1 dd 1
R/ ISDN 5

XV

S 1 dd 1 SL bila nyeri dada


R/ B1

XLV

S 3 dd 1
R/ Meloxicam 15

XV

S 2 dd 1
R/ Antasida Fl.
S 4 dd C
Pro : Ny. N (61 Th)
a.

Ananmnesa

Pasien mengeluh nyeri dada, tekanan darah tinggi, sering tremor, dan pegal-pegal
pada sekujur badan.
b.

Analisa
Dalam kasus ini pasien menerima 7 item obat dalam sekali waktu konsumsi. 7
item obat tersebut yaitu :

- captopril yang merupakan antihipertensi golongan inhibitor enzim pengkonversi


angiotensin (ACEI),
-

hidroklorotiazid (HCT) yang merupakan diuretik golongan tiazid,

bisoprolol, suatu agen antihipertensi golongan pemblok yang kardioselektif

isosorbid dinitrat (ISDN), antiangina golongan nitrat

tiamin (vitamin B1), untuk terapi defisiensi vitamin B1

meloksikam, obat antiinflamasi nonsteroid, yang memiliki sifat antinyeri

antasida, untuk menetralkan asam lambung


Dengan memperhatikan keluhan yang disampaikan oleh pasien dan obat-obat
yang diresepkan oleh dokter dapat diduga pemberian captopril, HCT, bisoprolol,
dan ISDN berhubungan dengan hipertensi dan keluhan nyeri dada. Nyeri dada,
sering menjadi indikasi adanya gangguan jantung. Meski tidak semua nyeri dada
diakibatkan oleh kelainan jantung. Meloksikam dan vitamin B1 ditujukan untuk
mengatasi keluhan nyeri badan. Pasien tidak secara langsung mengeluhkan
kondisi yang berhubungan dengan kelebihan asam lambung, namun dokter
meresepkan antasida, hal ini mungkin ditujukan untuk mencegah kemungkinan
terjadinya iritasi lambung yang dapat memicu peningkatan asam lambung.
Jika benar, keluhan nyeri dada pada kasus ini berhubungan dengan gangguan
system jantung seperti halnya angina, maka pemilihan kombinasi antihipertensi
berupa captopril (ACE inhibitor), HCT (diuretik tiazid), dan bisoprolol (-bloker
kardioselektif) relative merupakan pilihan yang tepat. Kombinasi tersebut
sebagaimana disarankan oleh JNC7. Kecuali pasien tersebut memiliki riwayat
infark myokardiak, penggunaan diuretik tidak disarankan.
Disamping diagnose penyerta dalam kasus hipertensi ini yang harus menjadi
dasar pemilihan terapi, faktor usia juga harus dipertimbangkan. Dalam hal ini,
pasien telah cukup lanjut usia, yaitu 61 tahun. Faktor usia lanjut sangat

memungkinkan terjadinya pengaruh hipertensi terhadap kerusakan berbagai organ


seperti jantung, hati, ginjal, dan otak. Sehingga pemilihan terapinya harus benarbenar diperhatikan.
Dosis captopril, pasien menerima captopril 75 mg/hr dalam dosis terbagi tiga,
maka dosis tersebut masih dapat diterima sebagai dosis aman. Begitu pun dengan
HCT satu kali sehari pada pagi hari, merupakan dosis yang lazim. Dalam hal ini
perlu diingatkan pada pasien, agar jangan sampai mengkonsumsi HCT ini pada
waktu sore atau malam hari, karena dapat menimbulkan efek diuresis nokturnal,
yang akan sangat mengganggu waktu istirahat pasien pada malam hari. Bisoprolol
5 mg satu kali sehari juga merupakan dosis aman. Namun pasien harus diingatkan
untuk tidak menghentikan penggunaan obat ini secara mendadak, karena dapat
menyebabkan kambuhan hipertensi. (Dipiro; 221).

12. Interaksi Obat


Obat 1

Level

Efek

Penanganan

Alprazolam

Aminofilin
mengantagonis
efek
sedatif
dari Benzodiazepin

Tidak perlu tindakan


pencegahan khusus.
Sesuaikan
dosis
Benzodiazepin, bila
perlu

Amitriptilin Flukonazol

Kadar Amitriptilin
meningkat,
sehingga
efek
terapi
dan efek samping
juga meningkat

Pantau respons klinik


pasien
dan
konsentrasi
Amitriptilin
ketika
Flukonazol
dihentikan. Sesuaikan
dosis
Amitriptilin,

Aminofilin

Obat 2

jika perlu
Asetosal

Glibenklamid

Dapat
Pantau kadar glukosa
meningkatkan efek darah.
Turunkan
hipoglikemia dari dosis Glibenklamid,
Sulfonilurea
jika
terjadi
hipoglikemia.
Pertimbangkan
untuk menggunakan
obat alternatif lain
seperti Parasetamol
atau AINS

Asetosal

Warfarin

Dapat
meningkatkan
aktifitas
Antikoagulan

Bisoprolol
Fumarat

Nifedipin

Efek farmakologi Pantau fungsi jantung


kedua
obat pada pasien yang
dapat meningkat
memiliki
kemungkinan
efek
samping
kardiovaskular

Kaptopril

Allopurinol

Meningkatkan
risiko
reaksi
hipersensitifitas
bila
digunakan
bersama

Kaptopril

Asetosal

Dapat menurunkan Pantau tekanan darah


efek Antihipertensi dan
parameter
dan
vasodilatasi hemodinamik
dari Kaptopril

Kaptopril

Kalium

Meningkatkan
kadar
Kalium.
Dapat
menyebabkan
hiperkalemia akut.

Obat 1
Digoksin

Obat 2
Furosemid

Pantau
Sesuaikan
Antikoagulan.

INR.
dosis

Bila terjadi reaksi


hipersensitivitas,
hentikan penggunaan
obat secara bersama

Pantau kadar Kalium


dalam darah secara
berkala.
Sesuaikan
dosis Kalium

Level
Efek
Penanganan
1
Diuretik
dapat Pantau kadar Kalium

Flukonazol

Prednison

menyebabkan
hipokalemia.
Keadaan
hipokalemia
menyebabkan
toksisitas Digoksin
meningkat.
Meningkatkan
efek
Kortikosteroid.
Kemungkinan
dapat
meningkatkan
efek samping.

dan
Magnesium
dalam
plasma.
Gunakan
Diuretik
hemat Kalium.

Pantau
pasien
dengan
seksama
untuk
melihat
kemungkinan
efek
samping
yang
merugikan.
Sesuaikan
dosis
Kortikosteroid, bila
perlu.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Geriatri adalah cabang kedokteran yang berkenaan dengan diagnosa dan
pengobatan yang terjadi pada usia tua.
Interaksi Farmakokinetik
1. Fungsi Ginjal : Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah

berkurangnya fungsi ginjal dan menurunnya creatinine clearance,


walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar kreatininnya normal.
Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga
penurunan fungsinya tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga
suatu batas. Batas ini lebih sulit ditentukan karena peninggian nilai ALT
tidak seperti penurunan creatinine-clearance.
Efek samping obat pada usia lanjut
Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara jumlah
obat yang diminum dengan kejadian efek samping obat. Artinya, makin banyak
jenis obat yang diresepkan pada individu-individu usia lanjut, makin tinggi pula
kemungkinan terjadinya efek samping.
Obat-obat yang sering diresepkan pada usia lanjut dan pertimbangan
pemakaian
Obat-obat sistem saraf pusat : Sedativa-hipnotika, Analgetik dan Antidepresan.
Obat-obat kardiovaskuler : Antihipertensi, antiaritmia, Glikosida jantung,
Antibiotik, Antiinflamasi dan Laksansia.
Prinsip pengobatan pada usia lanjut
1). Riwayat pemakaian obat
2). Obat diberikan atas indikasi yang ketat, untuk diagnosis yang dibuat.
3). Mulai dengan dosis terkecil.

4). Hanya resepkan obat yang sekiranya menjamin ketaatan pasien, memberi
resiko yang terkecil, dan sejauh mungkin jangan diberikan lebih dari 2 jenis obat.
Hal-hal

yang

harus

diperhatikan

untuk

mencapai

keberhasilan

farmakoterapi lansia
1). Dosis, keamanan dan manfaat dari obat.
2). Jumlah obat yang diberikan
3). Kepatuhan pasien.
B. Saran

Untuk lebih memperhatikan dosis pasien geriatri, dan tercapainya


pengobatan yang rasional
Perlunya perhatian khusus pada pasien geriatri terutama resep polifarmasi
agar tidak terjadi interaksi obat yang tidak diinginkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2004, Pedoman Yanfar Geriatri, Depkes RI, Jakarta

Anonim, 2008, Pedoman Pelayanan Farmasi(tata Laksana Terapi


Obat)untuk Pasien Geriatri, Depkes RI, Jakarta

Effendi dan ferry, 2009. Keperawatan Kesehatan komunitas : Teori dan


Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: salemba Medika

Mohammad Aslam et al, eds. Farmasi klinis, menuju pengobatan rasional


dan penghargaan pilihan pasien. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
PP : 203- 215 : 2003.
Rahmawati Fita, Dkk. problem pemilihan obat pada pasienrawat inap
geriatri di rsup dr. sardjito yogyakarta. 2008.

HASIL DISKUSI
1. Untuk pendosisan geriatri, adakah konversi dosis? Berikan contoh
pendosisan geratri! (vicky yugasworo)
Jawab :
Umur (tahun)
60-70
70-80
80-90
>90

Dosis
4/5 Dosis maksimum
3/4 Dosis maksimum
2/3 Dosis maksimum
Dosis maksimum

Contohnya :
misal Dosis maksimum parasetamol 500 mg untuk sekali pakai,
berapa
dosis
untuk
lansian
berumur
67
tahun.
maka jawabnya : 4/5 x 500 mg = 400 mg untuk sekali pakai lansia umur 67
tahun (kisaran 60-70 tahun)

2. Bagaimana pendosisan geriatri untuk bentuk sediaan lain selain


oral? (sirman)
Jawab :
Untuk semua bentuk sediaan, baik itu sediaan oral, parenteral maupun
topical yang melalui proses metabolisme dihati tetap perlu adanya
penyesuaian dosis, mengingat fungsi organ dari geriatri termasuk hati
menurun sehingga penyesuaian dosis ini dilakukan untuk menghindari
terjadinya level toksik.
3. Ada kasus pasien geriatri menderita hipertensi dan osteoporosis.
Diberikan terapi amlodipin untuk hipertensinya dan diostin DS
untuk osteoporosisnya. Dikatakan oleh dokter untuk konsumsi
seumur hidup. Bagaimana pendapat kelompok anda? (anwar wali)
Jawab: Amlodipin merupakan antihipertensi golongan antagonis
kalsium sehingga bekerja dengan menghambat penyerapan kalsium ke
dalam tulang. Hal ini menyebabkab efek samping penurunan jumlah
kalsium yang jika dibiarkan akan menjadi osteopenia dan lama-kelamaan
berubah menjadi osteoporosis. Berdasarkan mekanisme kerja obat
tersebut, maka sebagai apoteker memang disarankan menggunakan

suplemen untuk efek sampingnya. Untuk suplemen ini dapat didiskusikan


bersama dokter pasien tersebut.
4. Untuk pasien geriatri, mengobati penyebab bukan sekedar gejala.
Maksud pernyataan ini bagaimana? Dan bagaimana untuk pasien
geriatri yang sudah pikun? (nur dahniar)
Jawab :
Untuk pasien geriatri, pengobatan memang bukan sekedar gejala
saja melainkan penyakit utama yang dialami pasien, hal ini dimaksudkan
agar pasien geriatri tidak mengkonsumsi terlalu banyak obat padahal
fungsi-fungsi organnya telah menurun. Adapun untuk pasien geriatri
yang sudah pikun, cara konseling penggunaan obatnya melalui keluarga
atau pendampingnya yang akan membantu saat minum obat.
5. Apa maksud dari level interaksi obat? (christel sambou)
Jawab:
Tingkat Keparahan Interaksi Obat Keparahan interaksi diberi
tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level : minor,
moderate, atau major. 1. Keparahan minor Sebuah interaksi termasuk ke
dalam

keparahan

minor

jika

interaksi

mungkin

terjadi

tetapi

dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika


terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin
oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya
(Bailie, 2004). 2. Keparahan moderate Sebuah interaksi termasuk ke
dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya potensial mungkin
terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering
diperlukan. Efek interaksi moderate mungkin menyebabkan perubahan
status klinis pasien, menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di
rumah sakit dan atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit.
Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu
dilakukan monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).
Keparahan major Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan
major

jika

terdapat

probabilitas

yang

tinggi

kejadian

yang

membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa


pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya
adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin
dan terfenadin (Piscitelii, 2005).
Menurut Hansten dan Horn (2002) signifikansi klinis dibuat
dengan mempertimbangkan kemungkinan bagi pasien dan tingkat
dokumentasi yang tersedia. Setiap interaksi telah ditandai dengan salah
satu dari tiga kelas, yaitu: Mayor, Moderat, atau Minor. Sistem klasifikasi
tersebut telah disesuaikan dengan banyak provider lain dari informasi
interaksi obat. Pengetahuan signifikansi klinis dari suatu interaksi hanya
menyediakan sedikit informasi untuk memilih strategi manajemen yang
tepat untuk pasien khusus. Interaksi obat ditandai dengan salah satu dari
tiga

kelas

berdasarkan

interevensi

yuang

dibutuhkan

untuk

meminimalisasi risiko dari interaksi. Interaksi ditandai berdasarkan nomer


signifikansi sebagai berikut:
1. Interaksi kelas 1
Sebaiknya kombinasi ini dihindari, karena lebih banyak
risikonya dibandingkan keuntungannya.
2. Interaksi kelas 2
Biasanya

kombinasi

ini

dihindari,

sebaiknya

penggunaan

kombinasi tersebut hanya pada keadaan khusus.


3. Interaksi kelas 3
Interaksi kelas 3 ini risikonya minimal, untuk itu perlu diambil
tindakan

yang

dibutuhkan

untuk

mengurangi

risiko.

6. Bagaimana peran farmasis dengan keadaan obat polifarmasi dalam


resep? Dahulukan yang mana? (restu permatasari)
Jawab :
Sebenarnya untuk penanganan polifarmasi dalam resep mengenai
dahulukan yang mana dalam penggunaannya itu sebenarnya ranah
dokter, bukan farmasis.

Anda mungkin juga menyukai