Anda di halaman 1dari 30

Dampak Pemerkosaan Dalam Lingkungan Pelajar

Oleh
RAFI FAKHTUR RAHMAN
X MIA 6

SMA NEGERI 5 KOTA JAMBI


TAHUN 2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa.
bahwa

penulis

telah

menyelesaikan

tugas

yang

berjudul

Dampak

Pemerkosaan Dalam Lingkungan Pelajar dalam bentuk makalah.


Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan rekan-rekan kami,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada rekan-rekan yang membantu
dalam menyelesaikan penulisan ini.

Jambi,

Penulis

Mei 2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................................
C. Tujuan Penulisan................................................................................................
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA.....................................................................................................
A. Pengertian Pemerkosaan ..........................................................
B. Macam-macam Pemerkosaan ..................................................
C. Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan .....................................
D. Dampak Sosial .........................................................................
E. Dampak Psikologis ..................................................................
F. Alternatif Penyembuhan ..........................................................
G. Upaya Penanggulangan Pemerkosaan .....................................
BAB 3 METODOLOGI PENILITIAN...................................................................................
A. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................................
B. Variabel Penelitian........................................................................................
C. Populasi Sampel dan Teknik Penarikan Sampel...........................................
D. Alat Pengumpul Data....................................................................................
E. Tekhnik Analisa Data....................................................................................
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................................
A. Hasil Penelitian..................................................................................................
B. Pembahasan.......................................................................................................

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................


A. Kesimpulan.........................................................................................................
B. Saran...................................................................................................................
DAFTAR PUSAKA................................................................................................................
LAMPIRAN............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah
kekerasan, baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat
mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di
Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk
menjadi korban kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi
dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan
juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan
bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun nonverbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau
sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan
psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kasus perkosaan yang marak terjadi di Indonesia , menunjukkan bahwa pelaku tidak
hanya menyangkut pelanggaran hukum namun terkait pula dengan akibat yang akan dialami
oleh korban dan timbulnya rasa takut masyarakat secara luas. Akibat dari ini di Indonesia
secara normatif tidak mendapatkan perhatian selayaknya, hal ini disebabkan oleh karena
hukum pidana (KUHP) masih menempatkan kasus perkosaan ini sama dengan kejahatan
konvensional lainnya, yaitu berakhir sampai dengan dihukumnya pelaku. Kondisi ini terjadi
oleh karena KUHP masih mewarisi nilai-nilai pembalasan dalam KUHP.
Dari sudut pandang ini maka menghukum pelaku menjadi tujuan utama dalam proses
peradilan pidana, oleh karena itu semua komponen dalam proses peradilan pidana
mengarahkan perhatian dan segala kemampuannya untuk menghukum si pelaku dengan

harapan bahwa dengan dihukumnya pelaku dapat mencegah terulangnya tindak pidana
tersebut dan mencegah pelaku lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama ini dan
masyarakat merasa tentram karena dilindungi oleh hukum, seperti yang ada dalam KUHP
pada pasal 285 yaitu Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa
perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun
Adapun yang dimaksud dengan tindakan perkosaan adalah tindakan yang melanggar
hukum. Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah
diperkosa tersebut. Seperti yang sudah ada dalam KUHP Ancaman hukuman dalam pasal 285
ini ialah pria yang memaksa wanita, dimana wanita tersebut bukan istrinya dan pria tersebut
telah bersetubuh dengan dia dengan ancaman atau perkosaan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas apa yang dimaksud dengan tindak pidana
perkosaan. Maka masyarakat harus bisa berhati-hati dan lebih waspada terhadap tindak
pidana perkosaan dan kasus pemerkosaan menjadi masalah yang harus segera dibenahi di
Indonesia agar tidak merusak citra dan moral bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu perkosaan ?
2. Bagaimana dampak perkosaan terhadap sosial ?
3. Bagaimana dampak perkosaan terhadap psikologis?
4. Bagaiamana cara penyembuhannya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu perkosaan.
2. Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap sosial.
3. Untuk mengetahui dampak perkosaan terhadap psikologis.
4. Untuk mengetahui cara penyembuhannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkosaan
Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa,
merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering
dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk
melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan
dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam
Prasetyo, 1997). Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa
Womens Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk
pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala
bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks
(sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan
juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999). Menurut Warshaw (1994) definisi
perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari
pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap
korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban.
Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan
pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara
mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan
oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang

sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP
disebutkan bahwa:
barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Blacks Law
Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat
diartikan ke dalam tiga bentuk:
1.

Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa
persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin
yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.

2.

Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita
yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang
bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi
persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan
paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.

3.

Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap
seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut
ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera
pada KUHP pasal 285.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan.
Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat
dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut.
Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena
pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan
yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan
tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral
maupun anal.

B. Macam-macam pemerkosaan

1. Pemerkosaan saat berkencan


Pemerkosaan saat berkencan adalah hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara
orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar.
Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban.
2. Pemerkosaan dengan obat
Banyak obat-obatan digunakan oleh pemerkosa untuk membuat korbannya tidak sadar atau
kehilangan ingatan.
3. Pemerkosaan wanita
Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6
wanita di AS adalah korban serangan seksual. Banyak wanita yang takut dipermalukan atau
disalahkan, sehingga tidak melaporkan pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku
tidak bisa menahan hasrat seksualnya melihat tubuh wanita
4. Pemerkosaan massal
Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu korban. Antara 10%
sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang. Di beberapa negara,
pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang.
5. Pemerkosaan terhadap laki-laki
Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual. Di banyak negara, hal ini
tidak diakui sebagai suatu kemungkinan. Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat
dituduh memperkosa.
6. Pemerkosaan anak-anak
Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap hubungan sumbang bila dilakukan oleh kerabat dekat,
misalnya orangtua, paman, bibi, kakek, atau nenek. Diperkirakan 40 juta orang dewasa di AS,
di antaranya 15 juta laki-laki, adalah korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.
7. Pemerkosaan dalam perang
Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan musuh dan
menurunkan semangat juang mereka. Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara

sistematis, dan pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang
sipil.
8. Pemerkosaan oleh suami/istri
Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang menikah. Di banyak negara hal ini
dianggap tidak mungkin terjadi karena dua orang yang menikah dapat berhubungan seks
kapan saja. Dalam kenyataannya banyak suami yang memaksa istrinya untuk berhubungan
seks. Dalam hukum islam, seorang istri dilarang menolak ajakan suami untuk berhubungan
seksual, karena hal ini telah diterangkan di hadits nabi shalallahu alaihi wasallam. Akan
tetapi suami dilarang berhubungan seksual dengan istri lewat dubur dan ketika istri sedang
haids.
C. Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan
Berikut faktor-faktor terjadinya permasalahan pemerkosaan adalah sebagai berikut :
1. Faktor intern yaitu:
a.

Keluarga,

b. Ekonomi keluarga,
c.

Tingkat pendidikan,

d. Agama/moral,
2. Faktor ekstern,meliputi :
a.

lingkungan sosial,

b. perkembangan ipteks,
c.

kesempatan,

D. Dampak Sosial
Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun
secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain:
1. kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal;
2. korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS);
3. kehamilan tidak dikehendaki.
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan
baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan

yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan
adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya.
Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan
menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban
perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan
tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat
dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan
reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan
dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat
menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya.
E. Dampak Psikologis
Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka
sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk,
korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama.
Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan
seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi
korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan
akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.
Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang
langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa
bersalah, takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan
gejala psikologis tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan
korban memiliki rasa percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan
juga reaksi somatik seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang
yang berlangsung lebih dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic
Stress Disorder (Rifka Annisa dalam Prasetyo, 1997).
Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing
individu terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan

yang terus menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa
traumatis yang dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu
gangguan kecemasan yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu
experiencing, avoidance, dan hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada
korban yang mengalami kejadian traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang
khusus yaitu melibatkan peristiwa traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang
simptom yang sedang terjadi dan atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus
ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya
sekedar teringat kepada peristiwa traumatis yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan
tetapi juga disertai dengan ketegangan secara terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat,
dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap individu terkadang tidak stabil. Hal ini
disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus menerus dan adanya hal-hal yang
mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang dialaminya. Para korban perkosaan ini
mungkin akan mengalami trauma yang parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan
suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum peristiwa tersebut bisa menimbulkan
dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi
setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Berdasarkan definisi
tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah gangguan kecemasan yang
dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa traumatis yang dialaminya.
Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelahkejadian.
Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada
organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding
vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik. Dari
segi psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan
terhina. Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia),
kehilangan nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan
hingga lebih dari 30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami
mimpi buruk, ingatan-ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres
paska trauma (Hayati, 2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai
pelarian dari masalah yang dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini

terjadi karena manusia memiliki insting insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan
oleh korban merupakan kecemasan yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena
melakukan perbuatan seksual yang tidak sesuai dengan norma masyarakat.
Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa
perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan
merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka
alami sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka
sendiri atas terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka
gangguan yang mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.
Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada
depresi menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala,
1990). Tanda-tanda tersebut adalah:
1. sedih, suasana hati depres;
2.

kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan dan
bertambahnya berat badan;

3.

kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah
terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan
untuk tidur terus-menerus;

4. perubahan tingkat aktivitas;


5. hilangnya minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan;
6. kehilangan energi dan merasa sangat lelah;
7. konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah;
8. sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan sesuatu;
9.

sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994)
sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang dikenal
maupun pelaku adalah orang asing.
Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas.
Korban dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga

mengontrol responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan
mengalami perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan
takut akan kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa
terhina, merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut
secara bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda beda.
Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas
dari perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas
dari suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka
korban akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya
untuk menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah
terganggu, mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa
panas dingin. Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan,
mengalami gangguan secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan
penyerangan yang dialaminya.
F. Alternatif Penyembuhan
Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari
berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan
membuat korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari
pengalaman hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan
bicara, baik teman, orang tua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat
mendengarkan keluhan mereka.
G. Upaya Penanggulangan Pemerkosaan
Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah pemerkosaan adalah
sebagai berikut :
a.

Melakukan razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas


peredaran VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.

b.

Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan moral baik bagi
pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui mass media

c.

Pemerintah , LSM, masyarakat pers, memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi korban,
pelaku maupun saksi serta mengoptimalkan rumah aman.

d. Menanamkan sikap dan perilaku kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai
dengan nilai-nilai moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama masing-masing.
e.

Memberikan perhatian khusus bagi peningkatan sumber daya manusia (SDM) perempuan
melalui sektor penididikan, sehingga mereka memiliki ketahanan diri, mandiri dan mampu
mengatasi setiap persoalan kehidupan.

f.

Masyarakat bersama pihak terkait lainnya harus pula melakukan kontrol dan membendung
maraknya pornografi dan pornoaksi melalui media massa

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
A.TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah SMA
Negeri 5 Kota Jambi.
Waktu penelitian digunakan dalam melaksanakan penelitian selama 2
hari.
B.VARIABEL PENELITIAN
Dari penelitian yang telah dilaksanakan, maka variable yang
dilakukan penelitian tersebut yaitu : Pemerkosaan.
C.POPULASI, SAMPEL DAN TEKNIK PENARIKAN SAMPEL
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 5 Kota Jambi.
Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas X
MIA 6. Dan teknik penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan
sampel angket berkstruktur yang disusun dengan jawaban yang telah
disediakan sebanyak 2 alternatif jawaban (A,B). Angket sebagai alat

pengumpul data utama dalam pelaksanaannya akan diberikan kepada


remaja putra-putri yang menjadi sampel dalam penelitian ini.
D.ALAT PENGUMPUL DATA
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data berupa angket dan
observasi.
E.TEKNIK ANALISIS DATA
Untuk keperluan analisa data, maka peneliti memerlukan sejumlah
data pendukung. Karena itu, peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data yaitu angket (komunikasi tidak langsung, dan observasi (pengamatan
langsung). Teknik komunikasi tidak langsung adalah teknik pengumpulan
data yang dilakukan dengan cara melalui perantara atau alat. Alas an
menggunakan teknik ini dengan menggunakan alat pengumpulan data.

BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses Peradilan Pidana
Secara umum, adanya hukum positif di Indonesia merupakan suatu aturan yang salah satu
tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan. Hal ini berarti, hukum jugu bertujuan
untuk melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan sebelum kejahatan itu terjadi.
Dalam Deklarasi Milan 1985 tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan
yang tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga perlindungan
terhadap korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Hal ini menunjukkan bahwa
perlindungan terhadap korban memperoleh perhatian yang serius tidak hanya dari masing-masing
negara, tetapi juga dunia. Deklarasi PBB memberi perlindungan terhadap korban dengan
memberikan restitusi, sehingga korban mendapatkan ganti kerugian atas apa yang telah
dideritanya.
Perlindungan terhadap korban perkosaan membutuhkan partisipasi masyarakat yang berempati
terhadap apa yang telah dialaminya, sehingga memenuhi rasa kemanusiaan seperti yang tertuang
dalam Pancasila sila ke-2 yang berbunyi, Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang memuat
butir-butir nilai kemanusiaan yang adil dan beradab yang antara lain sebagai berikut:
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

2. Mengakui persamaan hak, persamaan derajat dan persamaan kewajiban asasi setiap manusia,
tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna
kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposliro.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Berdasarkan hasil wawancara saya dengan korban berinisial Rini bahwa untuk perlindungan
korban masih banyak mengalami kekurangan dan belum maksimal, terutama dari pihak medis
atau lembaga kesehatan belum sepenuhnya memberikan yang terbaik buat korban itu sendiri,
artinya dalam hal ini korban belum mendapatkan pelayanan kesehatan misalkan apabila ada
permintaan visum etrepectum terhadap korban tidak diberikan pelayanan secara gratis artinya
korban dibebani biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan lanjutpun tetap dikenakan
biaya pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah persidangan stelah putusan
berakhir korban akan dikembalikan kepada orangtuanya atau kepada keluarganya. Ketika korban
mengalami penderitaan fisik maupun psikis yang menanggung derita korban adalah korban
sendiri, artinya korban tidak mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal.
Kemudian korban tidak mendapatkan rehabilitasi untuk kejiawaan, hal ini bukan tanggung jawab
dari pengadilan. Dan ketiga dalam lembaga sosial pada
rehabilitasi untuk korban-korban asusila belum mendapatkan akses tersebut secara optimal,
dikarenakan lembaga sosial tersebut belum berfungsi di kota gorontalo.
Menurut saya berdasarkan seluruh ketentuan perlindungan hukum terhadap korban perkosaan
tersebut, terdapat kekuatan dan kelemahannya masing-masing Pasal dalam KUHP dan KUHAP,
seperti tidak adanya batas minimum khusus pidana penjara, tidak adanya penjelasan yang tegas
pada pengertian persetubuhan dan pemaksaan kekerasan seksual, serta tidak ada aturan langsung
mengenai ganti rugi sesuai Pasal 98 KUHAP, perlindungan hukum terhadap korban perkosaan
belum memadai apabila diliat dan disinkronkan dengan konvensi-konvensi Internasional dan
prinsip-prinsip victomologi hal ini dikarenakan perlindungan hukum dalam hukum nasional tidak
adanya pengkategorian korban, bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap perempuan, dan
kategori keadaan serta tempat terjadinya perkosaan. Tidak adanya keharusan bagi pelaku
kejahatan untuk memberikan ganti rugi pada korban dan keluarga korban yang mengalami
kerugian. Tidak adanya kompensasi dari Negara apabila pelaku tidak sanggup untuk memberikan
kompensasi karena alasan ekonomi. Tidak adanya keutamaan korban di dalam kasus tindak
pidana pemerkosaan.
Korban tindak pidana perkosaan selain mengalami penderitaan secara fisik juga mengalami
penderitaan secara psikis yang membutuhkan waktu lama untuk memulihkannya. Mengingat
penderitaan yang dialami korban tindak pidana perkosaan tidak ringan dan membutuhkan waktu
yang tidak singkat untuk bisa memulihkannya, maka aparat penegak hukum berkewajiban
memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan yang diimplementasikan
dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang memihak korban.
Dalam konteks perlindungan terhadap korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif
yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah (melalui aparat penegak hukumnya),
seperti pemberian perlindungan/pengawasan dari berbagai ancaman yang dapat membahayakan
nyawa korban, pemberian bantuan medis, maupun hukum secara memadai, proses pemeriksaan
dan peradilan yang fair terhadap pelaku kejahatan, pada dasarnya merupakan salah satu
perwujudan dari perlindungan hak asasi manusia serta instrumen penyeimbang. Dari sinilah dasar
filosofis di balik pentingnya korban kejahatan (keluarganya) memperoleh perlindungan.

Dari data kasus pemerkosaan di kota gorontalo dapat dilihat bahwa jumlah kasus sebanyak 36
dan terbanyak yaitu pada tahun 2010 sebanyak 18 kasus sedangkan pada tahun 2011sebanyak 9
kasus pemerkosaan serta tahun 2012 sebanyak 9 kasus, hal ini jelas bahwa menggambarkan
jumlah kasus tersebut elum menimbulkan efek kerja.
Berdasarkan daftar tabel diatas dari hasil penelitian maka peneli menganalisis bahwa dalam kasus
tindak pidana pemerkosaan ini banyak mengalami kendala dalam melakukan pemanggilan
terhadap pelaku masih agak terhamdap dengan adanya administrasi yang harus melalui prosedur
yang ada. Pemerkosan tersebut terjadi karena berbagai bentuk konflik, nafsu, dan ekonomi
sehingga berujung pada tindak pemerkosaan.
Selama ini dalam KUHP khususnya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perempuan,
kaum perempuan hanya dilihat secara parsial, yakni hanya melindungi bagian-bagian tertentu dari
tubuhnya. Bahkan beberapa pasalnya berangkat dari asumsi bahwa perempuan itu lemah dan
berada dalam satu tarikan nafas dengan laki-laki.
Pada tahun 1984 telah diratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap
Perempuan dengan Undang- Undang No. 7 Tahun 1984 (karena kebijakan umum serta berbagai
peraturan yang ada saat ini masih mencerminkan kuatnya nilai patriarki), tetapi dalam
pelaksanaannya masih terjadi diskriminasi dan eksploitasi.
Bentuk perlindungan hukum yang ideal terhadap anak sebagai korban perkosaan, dilakukan
secara preventif dan represif. Secara preventif 39

Dilakukan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku sebaiknya diberikan hukuman
seberat-beratnya. Pemberian sanksi berat tersebut harus diperhatikan pada motif pelaku, tujuan
pelaku melakukan tindak pidana, cara pelaku melakukan tindak pidana dan motif korban. Pasal
81 (1) UU No.23 Tahun 2002 mengatur ketentuan pidana bagi pelaku yang melakukan
persetubuhan di luar perkawinan dengan pidana minimum 3 tahun dan maksimum 15 tahun.
Adanya pidana tambahan berupa ganti kerugian, Menuntut ganti rugi akibat suatu tindak
pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara penggabungan perkara perdata dengan
perkara pidana (Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP). Hak ini diberikan guna
memudahkan korban untuk menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Kemudian dibentuknya
lembaga yang berskala nasional untuk menampung anak yang menjadi korban tindak kekerasan
seperti perkosaan yang didirikan pada masing-masing daerah. Sedangkan secara Represif
diperlukan
Perlindungan hukum berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan
kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam pasal 98101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai korban perkosaan yang mengalami
trauma berupa rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 64 (3) UU Perlindungan Anak.
Secara eksplisit, KUHAP memang telah mengatur tentang ganti kerugian. Tetapi ganti kerugian
tersebut ditujukan bagi tersangka, terdakwa atau terpidana karena adanya kekeliruan dalam
penangkapan. Sedangkan pengaturan ganti kerugian secara umum diatur dalam pasal 98 s/d 101
dengan cara penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Namun penggabungan perkara
gugatan ganti 40

kerugian ini tidak efektif karena jarang digunakan. Bahkan dari hasil penelitian penulis,
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dalam kasus tindak pidana perkosaan di Semarang
belum pernah ada. Ini disebabkan karena penggabungan perkara gugatan ganti kerugian sangat
rumit dan memakan waktu lama karena harus menggabungkan kasus pidana dan perdata. Hal ini
tentu saja menambah daftar ketidakefektifan peraturan perundang-undangan karena sekalipun
telah diatur namun tidak diaplikasikan dalam prakteknya. Sekali lagi bahwa yang dibutuhkan
dalam perlindungan terhadap korban (khususnya tindak pidana perkosaan) tidak hanya peraturan
tertulis saja, tetapi juga realisasinya dalam masyarakat. Keberadaan manusia sebagai makhluk
sosial tentunya membawa konsekuensi perlunya diciptakan suatu hubungan yang harmonis antara
manusia yang satu dengan yang lainnya. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui kehidupan saling
menghormati dan menghargai bahwa diantara mereka terkandung adanya hak dan kewajiban.
Salah satu akibat dari korban yang mendapat perhatian viktimologi adalah penderitaan, kerugian
mental, fisik, sosial, serta penanggulangannya 58. Adapun manfaat viktimologi antara lain sebagai
berikut:
Arief Gosita. Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa
Catatan), Jakarta, IND.HILL-CO,1987
58

1. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan
manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental dan sosial. Tujuannya untuk memberikan
beberapa penjelasan
41

mengenai kedudukan dan peran korban dan hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain.
2. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi masalah kompensasi pada korban,
pendapat-pendapat viktimologis dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan
reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal yang juga merupakan suatu studi mengenai hak asasi
manusia.59
59 Arief

Gosita. Loc. Cit,1987 60 Muladi, Perlindungan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaimana
dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang,
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), hal.172

Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang
mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan Muladi saat menyatakan: korban kejahatan
perlu dilindungi karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan
yang melembaga (system of institutionalized trust).60 Kepercayaan ini terpadu melalui
normanorma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan sebagainya. Kedua, adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena
negara boleh dikatakan monopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakantindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus
memperhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak.
Ketiga, perlindungan korban yang biasa dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu
penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana
akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa 42

damai dalam masyarakat. Dalam konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan,
terkandung pula beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam
konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil,
hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana .
Adapun asas-asas yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Asas manfaat
Artinya, perlindungan korban tidak hanya ditujukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil
maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas,
khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban
masyarakat.
2. Asas keadilan
Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak
karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada pelaku kejahatan.
3. Asas keseimbangan
Karena tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan
manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada
keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang
penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban.
4. Asas kepastian hukum
43

Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat
melaksanakan tugas-tugasnya dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban
kejahatan.61 Secara teoritis, bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan dapat diberikan
dalam berbagai cara, tergantung pada penderitaan/kerugian yang diderita oleh korban. Misalnya,
untuk kerugian yang sifatnya mental/psikis tentunya bentuk ganti rugi dalam bentuk materi/uang
tidaklah memadai apabila tidak diserta dengan upaya pemulihan mental korban. Sebaliknya,
apabila korban hanya menderita kerugian secara materiil, pelayanan yang sifatnya psikis terkesan
terlalu berlebihan. Mengacu pada uraian di atas, ada beberapa perlindungan terhadap korban
kejahatan yang lazim diberikan, antara lain sebagai berikut:
61 Muladi

Dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, PT Alumni, 1992, 62 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

1. Pemberian Restitusi dan Kompensasi


Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 memberikan pengertian kompensasi,
yaitu kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti
kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya, sedangkan restitusi, yaitu ganti kerugian
yang diberikan kepada korban atau keluarganyaoleh pelaku atau pihak ketiga.62 Menurut
Stephen Schafer, terdapat 4 (empat) sistem pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban
kejahatan, yaitu antara lain: 44
4.2 Hambatan Yang Di Hadapi Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Saksi
Korban Tindak Pidana Pemerkosaan
63 Dikdik

M. Arief Mansur-Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan
Realita, Jakarta, PT.RadjaGrafindo Persada, 2007

Berdasarkan Hasil wawancara Oleh Noldy Takasanakeng, Majelis Hakim Anggota Pengadilan
Negeri Gorontalo, (Tanggal 03 Oktober 2013,Jam 10:00) mengemukakan; Majelis Hakim
menjelaskan Hambatannya yaitu persidangan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa
malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa
takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh. Hal ini tentu saja
mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada
proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan
masyarakat. Disaat korban dipanggil untuk proses 45

pemerikasaan dan persidangan sering kali tidak mau menghadiri saat diminta memberikan
keterangan dan kesaksian disaat terjadinya tindak pidana perkosaan, di karenakan trauma yang
dialami setelah kejadian tersebut. Ini menjadi hambatan pihak Penyelidik dan penyidik untuk
memperoleh informasi dalam proses penyidikan hingga persidangannya. Namun disaat
pemerikasaan dan sampai di persidangan korban di perlakukan dengan baik agar tidak tertekan
Psikologisnya yang mana akan bisa memperlambat proses peradilan. 64 Kasus tindak pidana
perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya baik pada tahap
penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan
di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya
dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah
diproses sampai ke Pengadilan, tapi dari kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang
maksimal sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang tercantum dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281
s/d 296), khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan (Pasal 285) yang
menyatakan: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.
64 Hasil wawancara Oleh Noldy Takasanakeng, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo 46

Sudarto berpendapat bahwa untuk menanggulangi kejahatan diperlukan suatu usaha yang rasional
dari masyarakat, yaitu dengan cara politik kriminal. 65 Kebijakan atau upaya penanggulangan
kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat
(social defence). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan utama dari politik criminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
65 Barda

Nawawi Arief Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti 2002

Menurut saya dari beberapa hambatan perlindungan hukum bagi anak sebagai korban perkosaan
di atas, ternyata terdapat kelemahan, yang tidak sesuai diberikan oleh undang undang. Seperti
Pertama, sebelum persidangan dalam hal pemenuhan hak korban/ perlindungan dari pihak /
lembaga kesehatan (Rumah sakit atau Puskesmas) terhadap korban perkosaan di wilayah hukum
PN Gorontalo, belum maksimal, artinya dalam hal ini korban belum mendapatkan pelayanan
kesehatan misalkan apabila ada permintaan visum et repertum terhadap korban tidak diberikan
pelayanan secara gratis artinya korban dibebani biaya dalam hal visum, bahkan untuk pengobatan
lanjutanpun tetap dikenakan biaya pengobatan sendiri pada korban. Kedua, pada saat setelah
persidangan setelah putusan berakhir anak sebagai korban akan dikembalikan kepada
orangtuanya atau kepada keluarganya. Ketika korban mengalami penderitaan fisik maupun psikis
yang menanggung derita korban adalah korban dan pihak keluarga korban sendiri, artinya korban
tidak mendapatkan ganti rugi maupun bantuan hukum secara optimal. Kemudian anak sebagai
korban tidak mendapatkan rehabilitasi, hal ini dikarenakan bukan tanggung jawab dari
pengadilan. Dan Ketiga dalam 47

lembaga sosial pada rehabilitasi untuk korban-korban asusila belum mendapatkan akses tersebut
secara optimal.
Sedangkan perlindungan Hukum di PN Gorontalo, Pertama, sebelum persidangan pada proses
penyidikan, anak korban dimintai keterangan oleh pihak kepolisian yang dilakukan oleh polisi
wanita unit PPA. Dalam memberikan pertanyaan kepada korban, tidak bersifat memojokan
korban. Dalam permintaan visum untuk menemukan bukti, anak tidak dibebani biaya. Dalam
persidangan, sidang tertutup untuk umum. Kemudian anak sebagai korban dilindungi dari
berbagai ancaman maupun tekanan dari pihak lain, misalkan ada pendampingan dan ketika anak
korban memberikan keterangan dia takut pada pelaku, maka hakim dengan bijaksana untuk
meminta pelaku untuk keluar dari ruang sidang. Dan korban tidak diberi kesempatan untuk
mengajukan gugatan ganti kerugian. Dari beberapa kelemahan tersebut di atas menunjukkan
bahwa adanya ketidaksesuaian antara norma dan penerapan di lapangan,hal ini ditunjukkan pada
proses peradilan pidana anak sebagai korban tidak mendapatkan hak sepenuhnya sebagaimana
yang diberikan oleh undang-undang. Dalam penanganan kasus perkosaan terhadap anak sebagai
korban seharusnya bersifat holistik dan terintegrasi. Semua sisi memerlukan pembenahan dan
penanganan, baik dari sisi medis, sisi internal penghayatan individu, aspek hukum yang masih
banyak mengandung kelemahan, dukungan sosial, dukungan ekonomis, maupun langkah-langkah
politis dan avokasi. Tujuan dalam memberikan kebutuhan hukum secara holistik tersebut adalah
untuk memberikan keadilan. Ketidakadilan yang menimpa golongan-golongan sosial yang lemah
seperti anak sebagai korban perkosaan, 48

dalam hal ini negara dibebani tanggung jawab sosial, artinya negara tidak boleh sekedar netral
terhadap semua golongan, melainkan harus berpihak pada mereka yang lemah dan memerlukan
bantuan. Berpihak dalam arti bahwa negara harus mengambil tindakan khusus untuk menjamin
tuntutan keadilan. Untuk itu, bagi golongan-golongan lemah harus dibuka kemungkinan
berpartisipasi aktif dalam menuntut hak-hak yang telah merugikan mereka.
Sebagaimana filosofi Indonesia di negara yang berlandaskan pancasila, hakikat keadilan manusia
sebagai makhluk yang beradab (sila II). Manusia pada hakikatnya adalah adil dan beradab, yang
berarti manusia harus adil terhadap diri sendiri, adil terhadap Tuhannya, adil terhadap orang lain
dan masyarakat serta adil terhadap lingkungan alaminya. Dengan keadilan yang berlandaskan
dalam sila kedua pancasila tersebut berhak didapat bagi si pelaku maupun korban pada kasus
perkosaan. Keadilan dalam hal ini bukan hanya dimaksudkan untuk sama-sama mendapatkan
pada bagian sama, namun keadilan dalam kasus ini adalah untuk keadilan yang merupakan
struktur kekuasaan yang menguasai golongan-golongan yang menderita ketidakadilan yakni
pihak yang menderita atau dirugikan (korban). Sila kedua dalam Pancasila menunjuk kepada
nilai-nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak-hak asasi manusia, taraf kehidupan yang
layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai-nilai manusiawi
merupakan dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak-hak asasi manusia. Terlebih pada
hak yang dimiliki oleh pelaku dan korban, bila terkait dalam persoalan ini artinya hak yang
didapat masing-masing harus diwujudkan karena merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Namun persoalan hak asasi 49

dalam hal ini tidak terlepas pada kewajiban yang di laksanakan oleh pelaku maupun korban.
Karenanya tanpa adanya kewajiban maka tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia.
Selain itu, hak anak sebagai korban perkosaan yang menderita secara fisik perlu mendapatkan
restitusi maupun kompensasi atas akibat penderitaan yang dialaminya.

a. Ganti rugi (damages) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini
memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses pidana
b. Kompensasi yang bersifat keperdataan diberikan melalui proses pidana.
c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana diberikan melalui proses
pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, tidak diragukan sifat pidana (punitif)
nya.
d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana, dan didukung oleh
sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun,
walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap.63

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan
baik secara halus maupun kasar. Pemerkosaan terjadi tidak semata-mata karena ada
kesempatan, namun pemerkosaan dapat terjadi karena pakaian yang dikenakan korban
menimbulkan hasrat pada sipelaku untuk melakukan tindakan pemerkosaan, serta
pemerkosaan bisa juga disebabkan karena rendahnya rasa nilai, moral, asusila dan nilai
kesadaran beragama yang rendah yang dimiliki pelaku pemerkosaan. Hal ini akan
menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi
dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan
juga kekerasan seksual. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal
maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap
seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik,
emosional, dan psikologis
B. Saran
Pemerkosaan di Indonesia termasuk masalah yang harus segera di benahi oleh kita
semua karena sebagaimana kita ketahui bahwa tindak pemerkosaan dapat merusak citra dan
moral bangsa.
Maka dari itu pemerintah dan masyarakat harus bekerja keras dalam menaggulangi
tindak pidana pemerkosaan salah satunya dengan menanamkan sikap dan perilaku kehidupan
keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat
istiadat dan ajaran agama masing-masing serta menindaklanjuti dengan penegakan hukum
sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku

DAFTAR PUSTAKA

Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam Wacana Pers National, kerjasama PPK &
Ford Foundation. Yogyakarta.
Davison, G. C, and Neale, J. M. 1990. Abnormal Psychology. New York: John Wiley & Sons.
Harkrisnowo, H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan Terhadap Perempuan Indonesia.
Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2) Agustus 2000.
Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita.
Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.

Anda mungkin juga menyukai