Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Demam

Berdarah

Dengue

(DBD)

atau

Dengue

Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang


disebabkan
nyamuk

oleh virus

Aedes

Dengue yang disebarkan oleh

aegypti. Manifestasi klinis DBD sama

dengan Demam Dengue (DD) atau Dengue Fever (DF) yaitu


berupa demam, nyeri otot atua nyeri sendi yang disertai
dengan leukopeni, trombositopeni, ruam, limfadenoapti,
dan diatesis hemoragik. Perbedaan antara DBD dan DD
adalah pada DBD terjadi kebocoran plasma yang ditandai
oleh

hemokonsentrasi

(peningkatan

hematokrit),

dan

penumpukan cairan di rongga tubuh seperti ascites, efusi


pleura

(9)

DBD

merupakan

salah

satu

masalah

kesehatan

masyarakat yang dapat menimbulkan kematian dalam


jangka

waktu

yang

relatif

singkat

dan

seringkali

menimbulkan wabah. Penyakit ini disebabkan oleh virus di


daerah tropis dan subtropis yang kadang-kadang menjadi
epidemik

(1)

2.2. Epidemiologi
Epidemi Dengue dilaporkan sepanjang abad ke-19 dan
awal abad ke-20 di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara,
Mediterania Timur, Asia dan Australia, dan pada beberapa
pulau di Samudera India, Pasifik Selatan dan tengah serta
Karibia

(2)

Secara umum, DBD menyebabkan angka kesakitan dan


kematian lebih besar dibandingkan dengan infeksi arbovirus
yang lainnya pada manusia. Setiap tahun diperkirakan
terdapat 50-100 juta kejadian infeksi Dengue, dimana

ratusan ribu diantaranya adalah DBD, tergantung dari


aktivitas epidemiknya

(10).

Sedangkan di Indonesia sendiri, penyakit DBD pertama


kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, dimana
sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya
meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia

(3)

Pada Oktober-Desemser tahun 2015, jumlah kasus DBD


di Indonesia telah mengalami penurunan dibandingkan
tahun 2014 yakni dari 23.882 kasus menjadi 7.244 kasus
dengan jumlah kematian 197 jiwa menjadi 100 jiwa. Jakarta,
Bogor,

Depok,

Tangerang,

dan

Bekasi

(Jabodetabek)

menjadi salah satu daerah endemik dikarenakan kondisi


lingkungan yang memang kurang kondusif salah satunya
adalah sistem drainase yang buruk yaitu banyaknya saluran
air yang mampet dan tidak dapat mengalir dengan baik
akan menyebabkan air tergenang dan menyebabkan jentikjentik nyamuk berkembang biak dengan baik

(11)

2.3. Etiologi dan Penularan DBD


DBD disebabkan oleh virus Dengue dari kelompok Arbovirus B,
yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh artropoda.
Virus ini termasuk genus Flavivirus dari keluarga Flaviviridae (12).
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Virus ini memiliki 4
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, serotipe yang
mendominasi adalan DEN-2 dan DEN-3. Serotipe DEN-3 sering
menyebabkan kasus-kasus DBD yang berat. Infeksi oleh salah satu jenis
serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak
menimbulkan kekebalan terhadap serotipe yang lain, sehingga seseorang
yang tinggal di daerah endemis DBD dapat mengalami infeksi sebanyak 4
kali seumur hidupnya (9).

Faktor risiko penting pada DBD adalah serotipe virus dan faktor
penderita seperti umur, status imunitas, dan predisposisi genetis.
Epidemiologi Dengue di Batavia disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu
virus, manusia, dan nyamuk. Vektor utama penyakit DBD adalah nyamuk
Aedes aegypti (di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus (di daerah
pedesaan). Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah(12):
a. Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garis putih.
b. Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak
mandi, WC, tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air
seperti kaleng, ban bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan
lain-lain.
c.

Jarak terbang 100 m, dengan daerah <1000 m di atas permukaan air


laut.

d.

Nyamuk betina bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang


karena sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat).
Nyamuk menggigit pada siang hari.

e.

Tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi.


Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama

dalam kelenjar air liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka
virus Dengue akan dipindahkan bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh
manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari dan orang tersebut
akan terinfeksi virus Dengue. Virus Dengue memperbanyak diri dalam
tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu (12).
Orang yang di dalam tubuhnya terdapat virus Dengue tidak semuanya
akan sakit demam berdarah Dengue. Ada yang mengalami demam ringan
dan sembuh dengan sendirinya, atau bahkan ada yang sama sekali tanpa
gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus dengan selama
satu minggu, sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai
wilayah yang dihuni nyamuk penularnya (12).
Mekanisme cara penularan yang terjadi dalam kasus DBD melalui 4
tahapan, yakni (13):
a.

Masa penularan pada manusia

Orang yang terinfeksi DBD, yang masih dalam periode 3-7 hari setelah
demam, kemudian digigit oleh nyamuk Aedes betina, lalu nyamuk itu
menyebarkan virus DBD di dalam tubuhnya.
b.

Masa inkubasi pada nyamuk


Nyamuk menggigit tubuh manusia yang telah terinfeksi virus Dengue,

kemudian virus tersebut terinkubasi di dalam tubuh nyamuk selama 7 hari.


c.

Masa penyebaran penyakit


Hanya dalam 7 hari nyamuk yang membawa virus Dengue, dapat

menyebarkan penyakit DBD kedalam tubuh manusia


d. Masa penularan kepada orang baru
Masa inkubasi pada pasien baru terjadi dalam waktu 3-14 hari (ratarata 4-7 hari). Selama masa ini, biasanya pasien belum menampakkan
gejala penyakit (13).
2.4. Patogenesis
Virus Dengue yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypty, setelah
memasuki tubuh akan melekat pada monosit dan masuk ke dalam monosit.
Kemudian terbentuk mekanisme aferen (penempelan beberapa segmen
sehingga terbentuk reseptor Fc). Monosit yang mengandung virus
menyebar ke hati, limpa, usus, sumsum tulang dan terjadi viremia
(mekanisme eferen). Pada saat yang bersamaan sel monosit yang telah
terinfeksi akan mengadakan interaksi dengan berbagai sistem humoral,
seperti sistem komplemen, yang akan mengeluarkan substansi inflamasi,
pengeluaran sitokin, dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi faktor koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor (9).
Selain itu masuknya virus Dengue akan membangkitan respon imun
melalui sistem pertahanan alamiah (innate immune sistem), pada sistem ini
komplemen memegang peran utama. Aktivitas komplemen tersebut dapat
melalui monnosa-binding protein, maupun melalui antibodi. Komplemen
berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositois, destruksi dan lisis
virus Dengue (9).

Untuk menghambat laju intervensi virus Dengue, interferon a dan


interferon b berusaha mencegah replikasi virus Dengue di intraselular. Pada
sisi lain limfosit b, sel plasma akan merespon melalui pembentukan
antibodi. Limfosit T mengalami ekspresi oleh indikator berbagai molekul
yang berperan sebagai regulator dan efektor (9).
Limfosit T yang teraktivasi mengakibatkan ekspresi protein permukaan
yang disebut ligan CD40, yang kemudian mengikat CD 40 pada limfosit B,
makrofag-makrofag, sel dendritik, sel endotel serta mengaktivasi berbagai
tersebut. CD40L merupakan mediator penting terhadap berbagai fungsi sel
T helper, termasuk menstimulasi sel B memproduksi antibody dan aktivasi
makrofag untuk menghancurkan virus Dengue (9).
Infeksi

virus

Dengue

menyebabkan

aktivasi

makrofag

yang

memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga virus


bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus Dengue
menyebabkan aktivasi sel T helper dan sel T sitotoksik sehingga diproduksi
limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi
monosit sehingga disekresi berbagai mediator radang seperti TNF-, IL-1,
PAF (platelet activating factor), IL-6 dan histamin yang menyebabkan
terjadinya disfungsi endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan
C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi kompleks virus-antibodi yang dapat
mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma(9).
2..5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat
asimptomatik, atau dapat berupa demam yang tidak khas,
demam dengue, demam berdarah dengue, atau syndrome
syok dengue (SSD) (9).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama
2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada
waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi
mempunyai
mendapat

risiko

untuk

pengobatan

terjadi
yang

renjatan
adekuat.

jika

tidak

Bintik-bintik

perdarahan di kulit sering terjadi, kadang disertai bintikbintik perdarahan di faring dan konjungtiva. Penderita juga
sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri
di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut
Beberapa

gejala

tersebut

akan

(9)

dijelaskan

sebagai

berikut :
1. Demam tinggi yang terjadi tiba-tiba
Demam pada penyakit demam berdarah ini secara mendadak dan
berkisar antara 38,5 C-40 C. Pada anak-anak terjadi peningkatan suhu yang
mendadak. Pagi hari anak masih dapat sekolah dan bermain, mendadak
sore harinya mengeluh demam sangat tinggi. Demam akan terus menerus
naik baik pada pagi maupun malam hari dan hanya menurun sebentar
setelah diberikan obat penurun panas. Pada anak yang lebih besar atau pada
orang dewasa pada saat gejala awal seringkali tidak begitu dihiraukan oleh
karena demam datang dengan tiba-tiba. Mereka tetap melakukan kegiatan
seperti biasanya dan baru merasakan sakit bila timbul gejala berikutnya
yaitu lesu, tidak enak makan dan lain sebagainya.
2. Lesu
Seluruh badan lemah seolah tidak ada kekuatan, pada anak yang masih
kecil tidak dapat mengeluh tetapi anak yang biasanya aktif kali ini tidak
mau bermain lagi dan lebih senang diam duduk atau tiduran. Badan akan
makin bertambah lemah oleh karena nafsu makan menghilang sama sekali
baik minum maupun makan, rasa mual dan rasa tidak enak di perut dan di
daerah ulu hati menyebabkan semua makanan dan minuman yang dimakan
keluar lagi. Rasa mual, muntah dan nyeri pada ulu hati akan makin
bertambah bila penderita minum obat penurun panas yang dapat
merangsang lambung. Pada anak kecil dapat disertai mencret 3-5 kali
sehari, cair, tanpa lendir. Jadi, bila seorang anak menderita mencret disertai
demam tinggi kita harus waspada demam berdarah apalagi terjadi pada
bayi atau anak kecil di bawah umur 2 tahun. Demam berdarah dengue
sebagai penyakit virus sering menyebabkan muka dan badan anak
kemerahan seperti udang rebus (flushing) dan bila dipegang badan sangat
panas.

3. Nyeri Perut
Nyeri perut merupakan gejala yang penting pada demam berdarah
dengue. Gejala ini tampak jelas pada anak besar atau dewasa oleh karena
mereka telah dapat merasakan. Nyeri perut dapat dirasakan di daerah ulu
hati dan daerah di bawah lengkung iga sebelah kanan. Nyeri perut di bawah
lengkung iga sebelah kanan lebih mengarah pada penyakit demam berdarah
dengue dibandingkan nyeri perut pada ulu hati. Penyebab dari nyeri perut
di bawah lengkung iga sebelah kanan ini adalah pembesaran hati (liver)
sehingga terjadi peregangan selaput yang membungkus hati. Pada gejala
selanjutnya dapat diikuti dengan perdarahan pembuluh darah kecil pada
selaput tersebut. Sedangkan nyeri perut di daerah ulu hati yang menyerupai
gejala sakit lambung (sakit maag) dapat juga disebabkan oleh rangsangan
obat penurun panas khususnya obat golongan aspirin atau asetosal. Untuk
memastikan adanya nyeri perut ini dapat dilakukan penekanan (perabaan
disertai penekanan) pada daerah ulu hati dan di bawah lengkung iga
sebelah kanan, terutama pada anak yang belum dapat mengeluh. Perlu
diperhatikan bahwa nyeri perut dapat menyerupai gejala radang usus buntu.
Letak usus buntu pada daerah perut sebelah kanan bawah dekat pangkal
paha kanan. Jadi bila terdapat peradangan usus buntu akan terasa sakit bila
ditekan di daerah perut sebelah kanan bawah, tetapi pada anak-anak
perasaan nyeri perut dapat menjalar dan dirasakan pada daerah pusar
sehingga kadang kala sulit dibedakan dengan nyeri perut pada demam
berdarah dengue. Apalagi gejala radang usus buntu juga disertai dengan
demam, muntah, dan nyeri perut.
4. Manifestasi perdarahan
Pada awal penyakit demam berdarah dengue, tanda perdarahan yang
terjadi adalah perdarahan yang tergolong ringan. Perdarahan kulit
merupakan perdarahan yang terbanyak ditemukan. Bintik kemerahan
sebesar ujung jarum pentul menyerupai bintik gigitan nyamuk.
Manifestasi perdarahan pada DBD dimulai dari tes
torniquet

positif

dan

bintik-bintik

perdarahan

di

kulit

(ptechiae). Ptechiae ini bisa terlihat di seluruh anggota


gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan

hidung, perdarahan gusi, perdarahan dari saluran cerna dan


perdarahan dalam urin.
Maka, untuk membedakan bintik merah yang disebabkan oleh karena
perdarahan pada demam berdarah dengan bintik karena gigitan nyamuk,
carilah juga di daerah yang terlindung pakaian (misalnya dada dan
punggung) sehingga hampir dapat dipastikan terlindung dari gigitan
nyamuk. Kemudian coba tekan bintik merah tersebut: bila menghilang itu
berarti gigitan nyamuk dan sebaliknya bila menetap itu adalah perdarahan
kulit, juga pada perabaan pada gigitan nyamuk akan teraba menonjol
sedangkan pada demam berdarah bintik tersebut rata dengan permukaan
kulit.
Hal ini karena pada gigitan nyamuk bintik merah disebabkan oleh
pelebaran pembuluh darah sebagai akibat dari reaksi terhadap racun yang
terdapat di dalam kelenjar liur nyamuk dan bukan karena perdarahan kulit.
Bintik merah pada demam berdarah tidak bergerombol seperti halnya bintik
merah pada campak, tetapi terpisah satu-satu.
Perdarahan lain yang sering ditemukan adalah mimisan. Terutama pada
anak perlu diperhatikan apakah anak sering menderita mimisan
sebelumnya. Mimisan, terbanyak disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah di daerah selaput lendir hidung yang disebabkan oleh rangsangan
baik dari dalam ataupun dari luar tubuh seperti demam tinggi, udara yang
terlampau dingin, udara yang terlampau panas, terlampau letih sehingga
kurang istirahat atau makan kurang teratur, dan sebagainya. Bila anak
pernah menderita mimisan sebelumnya, maka mimisan mungkin tidak
berbahaya, tetapi pada seorang anak yang belum pernah mimisan kemudian
demam tinggi dan mimisan maka perlu diwaspadai. Gejala perdarahan lain
yang dapat dijumpai adalah haid yang berlebihan pada anak perempuan
atau lebam pada kulit bekas pengambilan darah, dan perdarahan gusi.
6. Hepatomegali/pembesaran hati
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan berapa penyakit
Pembesan hati mungkin berkaitan dengan strain serotype virus dengue.
7. Syok/ renjatan
Renjatan dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari 3-7
mulai sakit. Renjatan terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma ke

daerah ekstra vaskuler melalui kapilar yang rusak. Adapun tanda-tanda


perdarahan:
-

Kulit teraba dingin pada ujung hidung, jari dan kaki.


Penderita menjadi gelisah.
Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba.
Tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmhg atau kurang)
Tekanan darah menurun (tekanan sistolik menurun sampai 80
mmhg atau kurang). Renjatan yang terjadi pada saat demam,

biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih buruk.


8. Gejala Klinis Lain
Gejala lainnya yang dapat menyertai ialah : anoreksia, mual, muntah,
lemah, sakit perut, diare atau konstipasi dan kejang (14).
2.6. Diagnosis
Langkah diagnostik demam dengue dapat dilakukan
melalui

(15)

a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis
pasien

tersangka

pemeriksaan

kadar

demam

dengue

hemoglobin,

adalah

hematokrit,

melalui
jumlah

trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya


limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus
dengue (cell culture) ataupun deteksi antigen virus RNA
dengue dengan teknik

RT-PCR (Reverse Transcriptase

Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang


lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total,
IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain
:
1. Leukosit

Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat


ditemukan limfositosis relatif (>45% dari leukosit) disertai
adanya lifosit plasma biru (LPB) > 15% dari

jumlah total

leukosit pada fase syok akan meningkat.


2. Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
3. Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrit
20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari
ke-3 demam
4. Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan
atau kelainan pembekuan darah.
5. Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
6. Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
7. Serologi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap
dengue, yaitu:
-

IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai

minggu ke 3, menghilang setelah 60-90 hari


IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari
ke 2 (infeksi sekunder).

8. NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari
pertama sampai hari kedelapan. Sensitivitas sama
tingginya dengan spesitifitas gold standart kultur virus.
Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya
infeksi virus dengue.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada
hematoraks

kanan

tetapi

apabila

terjadi

perembesan

plasma

hebat,

efusi

pleura

dapat

dijumpai

kedua

hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya


dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG.
Kriteria diagnosis menurut WHO sebagai berikut (9)
a. Kriteria Klinis

b.

1)

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan

2)
3)
4)

berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari.


Terdapat manifestasi perdarahan.
Pembesaran hati.
Syok.

Kriteria Laboratoris
1)
2)

Trombositopenia (< 100.000/mm3).


Hemokonsentrasi (Ht meningkat > 20%).

Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DBD bila


terdapat minimal 2 gejala klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium
yang positif. Bila gejala dan tanda tersebut kurang dari ketentuan di
atas maka pasien dinyatakan menderita demam Dengue (12).
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat
pada tabel berikut:
DD/DBD
DD

Derajat

DBD

II

Gejala
Lab
Demam

Leuk Serologi
disertasi 2
dengue (+)
openia
atau
lebih
Trom
tanda : sakit
bositop
kepala, nyeri
enia,
retro-orbital,
tdk ada
mialgia,
kebocor
artralgia
an
plasma
Gejala
Trombositop
diatas,
enia
ditambah
(<100.000),
dgn
uji bukti
ada
bendung (+) kebocoran
plasma
Gejala
Trombositop

III

IV

diatas,
ditambah
dgn
perdarahan
spontan
Gejala diatas
ditambah
dengan
kegagalan
sirkulasi
(kulit dingin
dan lembab,
serta
gelisah)
Syok berat
disertai
dengan
tekanan
darah
dan
nadi tidak
terukur

enia
(<100.000),
bukti
ada
kebocoran
plasma
Trombositop
enia
(<100.000),
bukti
ada
kebocoran
plasma

Trombositop
enia
(<100.000),
bukti
ada
kebocoran
plasma

Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah


ditemukannya semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan
sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah
turun (20 mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit
dingin dan lembab serta gelisah (9).
2.7. Penatalaksanaan
Protokol dibagi dalam 5 kategori

(9)

1. Protokol 1: Penanganan Tersangka (Probable) DBD


Dewasa tanpa Syok
Protokol ini digunakan sebagai petunjuk dalam
pemberian pertolongan pertama pada penderita DBD
atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan
juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan
indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita
DBD

Unit Gawat Darurat dilakukan

pemeriksaan

hemonglonin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :

Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara


100.000-150.000, pasien dapat dipulangkan dengan
anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam
waktu 24 jam berikutnya (dilakukan pemriksaan Hb,
Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit

Gawat Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit , 100.000 dianjurkan

untuk dirawat
Hb, Ht meningkat dan tombosit normal atau turun
juga dianjurka untuk dirawat
2. Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD
Dewasa di Ruanag Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan

spontan dan masih dan tanpa syok maka di ruang rawat


diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid / hari yang diperkukan, sesuai
rumus berikut :
1500+ (20 x (BB dalam kg
20 )
Setelah

pemberian

cairan

dilakukan

dilakukan

pemberian Hb, Ht tiap 24 jam:


-

Bila Hb, Ht meningkan 10-20% dan tombosit <


100.000 jumlah pemberian cairan tetap seperti
rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo

dilakukan tiap 12 jam.


Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit
<100.000 maka pemberian cairan sesuai dengan
protocol

penatalaksanaan

peningkatan Ht >20%.
3. Protokol
3.
Penatalaksaan
Peningkatan Ht > 20%

DBD
DBD

dengan
dengan

Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh


mengalami defisit cairan sebanyak 5%. Pada keadaan
ini

terapi

awal

memberikan

pemberian

infus

cairan

cairan

adalah

kristaloid

dengan

sebanyak

6-7

ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam


pemberian cairan. Bila terjadi perbaikkan perbaikan
yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun,
frekuensi nadi turun tekanan darah stabil, produksi urin
meningkat maka jumlah cairan infuse dikurangimenjadi
5

ml/KgBB/jam.

pemantauan

Dua

kembali

jam
dan

kemudian
bila

dilakukan

keadaan

tetap

menunjukkan perbaikkan maka jumlah cairan infuse


dikurangi

3ml/KgBB/jam.

Bila

dalam

pemantauan

keadaan tetap membaik cairan dapat dihentikan24-48


jam kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7
ml/KgBB/jam dalam tapi keadaan tetap tidak membaik,
yang ditndai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan
nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun,
maka kita harus menaikkan

jumlah cairan infuse

menjadi 10 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan


pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikkan maka jumlah cairan dikuarangi menjadi 5
ml/KgBB/jam tetapi bila keadaan tidak menunjukkan
perbaikkan

maka

15ml/KgBB/jam

jumlaah

dan

bila

cairan
dalam

infuse

dinaikkan

perkembangannya

kondisi menjadi memburuk dan didapatkn tanda-tanda


syok

maka

pasien

ditananganisesuai

protocol

tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila


syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi
seperti terapi pemberian cairan

4. Protokol 4. Penatalaksaan Perdarahan Spontan


pada DBD Dewasa
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD
dewasa adalah : perdarahan hidung/epistaksis yang
tidak

terkendali

walaupun

telah

diberikan

tampon

hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan


melena

atau

hematoskesia),

perdarahan

saluran

kencing ( hematuria, perdarahan otak atau perdarahan


sembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/KgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD
tanpa syok. Pemeriksaan TD, nadi, pernapasan, dan
jumlah

urin

dilakukan

sesering

mungkin

dengan

kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulang


setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis
dan

laboratoris

didapatkan

tanda-tanda

koagulasi

intravaskuler diseminata (KID). Taranfusi komponen


darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila
didapatkan defisiensi factor-faktor pembekuan darah
(PT dan aPTT) yang memanjang), PRC diberikan bila nilai
Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD yang perdarahan spontan
dan massif dengan jumlah tromboit <100.000/mm 3
disertai atau tanpa KID
5. Protokol 5. Tatalaksanaan Sindrom Syok Dengue
pada Dewasa
Bila berhadapan dengan SSD maka hal pertama
yang harus diingat adalah renjatan harus segera diatasi
dan oleh karena itu penggantian cairan dilakukan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian SSD 10 kali lipat dibandingakan dengan

penderita DBD tanpa renjatan. Dan renjatan dapat


terjadi karena kerelambatan penderita DBD mendapat
pertolongan.
Pada kasus SSD cairan kritaloid adalah pilihan
utama yang diberikan. Penderita juga diberikan O 2 2-4
liter/menit. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostalisi,
analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida,
serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak
10-20ml/kgBB dan evaluasi 15-30 menit. Bila renjatan
telah teratasi ( ditandai dengan TD sistolik 100mmHg
dan tekanan nadi > 20mmHg, frekuensi nadi <100
x/menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi 7 ml/kgBB/jam.
Biala dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dam
waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian
cairan dikurangi 3 ml/kgBB/jam. Bila 23-48 jam setelag
renjatan teratasi tanda-tanda vital, hematokrit tetap
stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan
perinfus dihentikan.
Pengawasan dini tetap dilakukan tertama dalam 24
jam pertama sejak terjadi renjatan. Oleh karena itu
untuk
dengan

mengetahui
baik,

apakah

diperlukan

renjatan

pemantauan

telah

teratasi

tanda

vital,

pembesaran hati, nyeri tekan didaerah hipokondrium


kanan

dan

(diusahakan

epigastrium

serta

2ml/kgBB/jam).

jumlah
Pemantauan

diuresis
DPL

dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.

Bila fase awal pemberian ternyata renjatan belum


teratasi,

maka

ditingkatkan

pemberan

menjadi

cairan

kristaloid

20-30ml/kgBB,

dan

dapat

kemudian

dievaluasi setelah 20-30 menit.


Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan
nilai Ht.
-

Bila Ht meningkat berarti perembesan plasma


masih berlangsung maka pemberian cairan koloid

merupakan pilihan.
Pemberian koloid

mula-mula

diberikan

10-20

ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila


keadaan tetap belum teratasi maka pemantaun
cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan

pmberian

maksimum
-

dapat

ditambah

30ml/kgBB

hingga

maksimal

jumlah

1-1,5/hari)

dengan sasaran tekanan vena sentral 15-18cmH2O


Bila keadaan belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa,
elektrolit,

hipoglikemia,

anemia,

KID,

infeksi

sekunder.
Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai
dengan target tetapu renjatan tetap belum teratasi

maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.


Bila Ht menurun, berarti terjadi perdarahan
(internal bleeding) maka pada penderita diberikan
transfuse

darah

segar

10ml/kgBB

dan

dapat

diulang sesuai kebutuhan.


Kriteria memulangkan pasien

(9)

Pasien dapat pulang jika syarat-syarat sebagai berikut


terpenuhi
1. Tidak demam selama 24 jam tanpa pemberian
antipiretik

2.
3.
4.
5.

Nafsu makan membaik


Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/ml. Kriteria ini berlaku jika
pada keadaan sebelumnya pasien memiliki trombosit

yang sangat rendah, misalnya 12.000/ml


6. Tidak dijumpai distress pernafasan
2.8. Prognosis
Prognosis demam dengue beragam, dipengaruhi
oleh adanya antibodi yang didadapat secara pasif atau
infeksi sebelumnya. Pada DBD, kematian telah terjadi
pada 40-50% pasien dengan syok, tetapi dengan
penanganan

intensif

yang

adekuat

kemtian

dapat

ditekan <1% kasus. Keselamatan secara langsung


berhubungan

dengan

penatalaksanaan

awal

dan

intensif. Pada kasus yang jarang, terdapat kerusakan


otak

yang

disebabkan

syok

berkepanjangan

atau

perdarahan intrakranial (9).


2.9. Pencegahan dan Pemberantasan
2.9.1. Pencegahan
Pencegahan DBD seperti juga penyakit menular lain, didasarkan
atas pemutusan rantai penularan. Dalam hal DBD, komponen
penularan terdiri dari virus, Ae. aegypti, dan manusia. Sampai saat ini
belum terdapat vaksin yang efektif terhadap virus tersebut, maka
pemberantasan ditujukan pada manusia dan terutama pada vektornya.
Dengan demikian, pengetahuan mengenai ekologi vektor dan manusia
adalah sangat penting (16).
Pencegahan DBD dapat dilakukan dengan mengendalikan
vektornya. Pengendalian nyamuk vektor virus Dengue ini dapat
dilakukan dengan berbagai cara, seperti (17):
a. Perlindungan perseorangan untuk mencegah terjadinya gigitan
yaitu memasang kawat kasa di lubang angin di atas jendela atau

pintu, tidur dengan kelambu, penyemprotan dinding rumah


dengan insektisida, dan penggunaan obat anti nyamuk saat
berkebun.
b. Pembuangan atau mengubur benda-benda di pekarangan atau
kebun yang dapat menampung air hujan seperti kaleng, botol,
ban mobil, dan tempat-tempat lain yang menjadi tempat
perindukan Aedes aegypti.
c. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat air secara
teratur setiap minggu sekali, pot bunga, tempayan, dan bak
mandi.
d. Pemberian Abate ke dalam tempat penampungan/penyimpanan
air.
e. Fogging dengan malathion setidaknya 2 kali dengan jarak waktu
10 hari di daerah yang terkena.
f. Rutin membersihkan saluran air terutama di musim hujan di
mana biasanya air hujan tergenang.
g. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah agar rakyat
dapat memelihara kebersihan lingkungan dan turut secara
perseorangan memusnahkan tempat-tempat perindukan nyamuk
di sekitar rumah.
Pengoabatan sederhana yang dapat dilakukan sebagai berikut (14):
a.
b.
c.
d.

Awal penyakit: masalah demam, berakibat obat anti demam


Mengupayakan cukup cairan
Penggantian cairan (minum & infus)
Obat lain tergantung komplikasi yang timbul.

2.9.2. Pemberantasan DBD


Pemberantasan Jentik
Pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypty yang dikenal dengan
PSN DBD dilakukan dengan cara (18):
1.

Fisik
Pemberantasan dengan cara ini dikenal sebagai kegiatan 3 M yaitu

menguras dan menyikat bak mandi, bak WC, menutup tempat


penampungan air, mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan
barang-barang bekas. Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu
dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya satu minggu sekali agar

nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu. Pada saat ini telah
dikenal puladengan istilah 3M PLUS yaitu, kegiatan 3M yang diperluas.
Bila PSN-DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi
nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga
DBD tidak menular lagi. Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi
kapada

masyarakat

harus

dilakukan

secara

terus-menerus

dan

berkesinambungan, oleh karena keberadaan jentik nyamuk berkaitan


erat dengan perilaku masyarakat.
2.
Biologi
Pemberantasan cara ini menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
kepala timah, ikan gupi, ikan cupang). Dapat juga menggunakan
Bacillus thuringiensis var Israeliensis (Bti).
3.
Kimia
Pemberantasan jentik Aedes aegypti

dengan

mengunakan

insektisida pembasmi jentik yang dikenal dengan istilah larvasidasi.


Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan

nyamuk

dewasa

dilakukan

dengan

cara

penyemprotan dengan insektisida. Mengingat kebiasaan nyamuk senang


hinggap pada benda-benda bergantungan, maka penyemprotan tidak
dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk
menular malaria.
Alat yang digunakan adalah mesin fog (pengasapan) dan
penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek residu.
Untuk membasmi penularan virus Dengue penyemprotan dilakukan dua
siklus dengan inetrval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama,
semua nyamuk yang mengandung virus Dengue dan nyamuk-nyamuk
lainnya akan mati. Tetapi akan segara muncul nyamuk-nyamuk baru
yang diantaranya akan menghisap darah pada penderita viremia (pasien
yang positif terinfaksi DBD) yang masih ada yangdapat menimbulkan
terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu dilakukan
penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru yang infektif tersebut
akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain.

Tindakan penyemprotan dapat membasmi penularan, akan tetapi


tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar
populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan serendah-rendahnya (19).
Program P2DBD
Berdasarkan Lampiran Keputusan menteri Kesehatan RI Nomor
581/MENKES/SK/VII/1992 tentang Pemberantasan Penyakit Demam
Berdarah Dengue, pemberantasan penyakit DBD adalah semua upaya
untuk mencegah dan menangani kejadian DBD. Keputusan tersebut
bertujuan untuk memberikan pedoman bagi masyarakat, tokoh
masyarakat, petugas kesehatan dan sektor-sektor terkait dalam upaya
bersama mencegah dan membatasi penyebaran penyakit sehingga
program P2DBD dapat tercapai. Tujuan utama P2DBD dalah untuk
menurunkan angka kesakitan, menurunkan kematian, dan mencegah
terjadinya KLB penyakit DBD. Tenaga yang terlibat dalam program
P2DBD diantaranya yaitu (20):
1.

Petugas provinsi, berfungsi sebagai:


a.

Melakukan evaluasi dan bimbingan kegiatan pengendalian


vektor (foging), larvasida, PJB, dan PSN.

b.
2.

Penentuan kegiatan PSN.

Petugas Dinkes Kabupaten/Kota, berfungsi sebagai:


a.

Pembuat rencana kegiatan foging, larvasida, PSN.

b.

Pelaksana kegiatan larvasida, PJB, PSN, melakukan


pelatihan foging.

c.
3.

Pengawasan kegiatan foging, larvasida, PJB.

Petugas Puskesmas, berfungsi sebagai:


a.

Pengusul kegiatan larvasida, PJB, dan PSN.

b.

Pelaksana kegiatan foging, larvasida, PJB, dan PSN serta


penyelenggara pelatihan kegiatan foging.

c.

Pengawas pelaksanaan kegiatan foging, larvasida, PJB, dan


PSN.

4.

Juru Pemantau Jentik, berfungsi sebagai tenaga pelaksana kegiatan


PSN, larvasida dan PJB.

5.

Tenaga Lepas Harian, berfungsi sebagai tenaga penyemprot foging


Sarana dan bahan yang digunakan untuk kegiatan program
P2DBD diantaranya:
a. Mesin foging, dengan kebutuhannya yaitu tiap puskesmas
4 unit, tipa kab/kota 10 unit, dan tiap provinsi 10 unit.
b. Mesin ULV dan kendaraan pengangkut ULV, dengan
kebutuhannya tiap kabupaten yaitu 2 unit kecuali
kotamadya 2 unit, tiap provinsi 2 unit. Kebutuhan PSN kit
dan kebutuhan Jumantik.
c. Insektisida
d. Larvasida
e. Bahan pendukung diagnosis dan penatalaksanaan penderita
DBD.
Sumber dana pola pembiayaan untuk pengadaan sarana dan bahan

untuk mengoperasikan kegiatan program P2DBD berasal dari APBD


atau melalui DIPA P2P Kabupaten/Kota (20).
Kegiatan Program P2DBD yang dilakukan di puskesmas diantaranya
yaitu(20) :
1.

Penyelidikan Epidemiologi (PE)


PE adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD

lainnya serta pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di rumah


penderita/tersangka dan rumah/bangunan sekitarnya dengan radius
sekurang-kurangnya 100 meter. Kegiatan PE dilakukan oleh petugas
puskesmas. Tujuan kegiatan ini adalah mengetahui potensi penularan
dan penyebaran DBD lebih lanjut dengan menyelidiki adanya penderita
tersangka DBD lainnya dan ada/tidaknya jentik nyamuk penular DBD,
serta untuk menentukan tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan
di wilayah kerja sekitar tempat tinggal penderita.
2.

Fogging Fokus (FF)


FF adalah kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta

penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter,


dilaksanakan 2 siklus dengan interval 1 minggu oleh petugas. Kegiatan
ini merupakan salah satu upaya pengendalian vektor yang bertujuan
mencegah terjadinya KLB dengan memutuskan rantai penularan di

lokasi terjadinya kasus DBD, yaitu di rumah penderita/tersangka DBD


dan lokasi sekitarnya yang diperkirakan menjadi sumber penularan.
Fogging dilakukan bila hasil penyelidikan epidemiologi positif, yakni
ditemukan penderita/tersangka DBD lainnya, atau ditemukan 3 atau
lebih penderita panas tanpa sebab yang jelas dan ditemukan jentik.
Sasaran (target) FF dihitung berdasarkan jumlah fokus yang akan
ditanggulangi (1 fokus = 300 rumah atau 15 Ha) dalam 1 tahun.
Kegiatan ini dilaksanakan oleh petugas puskesmas atau bekerja sama
dengan dinas kesehatan kabupaten/kota. Petugas penyemprot adalah
petugas puskesmas atau petugas harian lepas terlatih.
3.

Larvasidasi
Larvasidasi termasuk kegiatan pengendalian vektor yaitu dengan

penaburan bubuk larvasida atau pembunuh jentik guna memberantas


jentik di tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
sehingga populasi nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendahrendahnya. Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah
yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos
(abate 1%) dan insect growth regulators (pengatur pertumbuhan
serangga). Kegiatan larvasidasi meliputi:
a.

Abatisasi Selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan TPA baik di dalam

maupun di luar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di


desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate
(larvasida). Kegiatan larvasidasi ini dilaksanakan 4 siklus (3 bulan
sekali) dengan menaburkan larvasida pada TPA yang ditemukan jentik.
Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas
puskesmas. Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai
tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.
b.

Abatisasi Massal
Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan di lokasi terjadinya KLB

DBD. Abatisasi massal adalah penaburan abate secara serentak di


seluruh wilayah/daerah tertentu di semua TPA baik terdapat jentik
maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Sasaran larvasidasi

rumah per desa/kelurahan (kurang lebih 3000 rumah)sedangkan untuk


sekolah adalah per 15 sekolah.
4. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Kegiatan PJB merupakan kegiatan pemeriksaan atau pengamatan
dan pemberantasan vektor penular DBD pada tempat penampungan air
dan tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti untuk mengetahui
adanya jentik nyamuk. Kegiatan tersebut yang dilakukan secara teratur 3
bulan sekali. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui 3M baik di
pemukiman maupun di tempat-tempat umum/industri. Sasaran lokasi
kegiatan ini adalah rumah/bangunan sekolah dan fasilitas kesehatan
didesa/kelurahanendemis

dan

sporadis

pada

tempat-tempat

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti di 100 sampel yang dipilih


secara acak.
5. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
PSN yaitu kegiatan memberantas jentik nyamuk Aedes aegypti di
tempat berkembang biaknya dalam bentuk kegiatan 3M plus (menguras,
menutup, mengubur) yakni menguras bak mandi, bak WC, menutup
TPA rumah tangga (tempayan, drum, dan lain-lain) serta mengubur atau
memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban, dan lain-lain). Tujuan
dari kegiatan PSN adalah untuk mengendalikan populasi nyamu
Aedesaegypti, sehingga penularan penyakit DBD dapat dicegah atau
dikurangi.Sasaran kegiatan PSN adalah desa/kelurahan dengan rincian
terdiri dari pertemuan Pokja, latihan kader, penyuluhan, penggerakan
massa, operasional kerja bakti, pemeriksaan jnetik. Ukuran keberhasilan
kegiatan PSN DBD adalah antara lain dapat diukur dengan Angka Bebas
Jentik (ABJ). Apabila lebih atau sama dengan 95% diharapakan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
PSN DBD adalah kegiatan memberantas telur, jentik, dan
kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat
perkembangbiakannya. PSN merupakan tindakan untuk memutus mata
rantai perkembangan nyamuk. Tindakan PSN terdiri atas beberapa
kegiatan antara lain (21):
a.

3M (3M Plus)

3M adalah tindakan yang dilakukan secara teratur untuk


memberantas

jentik dan

menghindari

gigitan

nyamuk

Demam

Berdarah dengan cara:


1)Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak
mandi, tempayan, ember, vas bunga, tempat minum burung
dan lain-lain seminggu sekali.
2)Menutup rapat semua tempat penampungan air seperti
ember, gentong, drum, dan lain-lain.
3)Mengubur semua barang-barang bekas yang ada di sekitar
rumah yang dapat menampung air hujan.
b.

Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk

c.

Mencegah gigitan nyamuk dengan cara:


1)

Membunuh jentik nyamuk demam berdarah di tempat air


yang sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk
temephos (abate) atau altosoid 2-3 bulan sekali dengan
takaran 1 gram abate untuk 10 liter air atau 2,5 gram altosoid
untuk 100 liter air. Abate dapat diperoleh/dibeli di
puskesmas atau di apotik.

2)

Mengusir nyamuk dengan obat anti nyamuk.

3)

Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk


gosok.

Fa

4)

Memasang kawat kasa di jendela dan di ventilasi.

5)

Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar.

6)

Gunakan sarung kelambu waktu tidur

Faktor-faktor yang berkaitan dengan penderita DBD


1.

(22)

Faktor Sosial Ekonomi


Penderita

penyakit

DBD

jika

tidak

mendapat

perawatan yang memadai dapat mengalami perdarahan


yang hebat, syok dan dapat mengakibatkan kematian.
Oleh karena itu semua kasus DBD sesuai dengan kriteria
WHO harus mendapat perawatan di tempat pelayanan

kesehatan atau Rumah sakit. Beberapa faktor sosial


ekonomi yang berpengaruh antara lain :
a. Tingkat

Pendidikan

mengakibatkan

masyarakat

rendahnya

yang

kepedulian

rendah
terhadap

pencegahan penyakit DBD


b. Tingkat

penghasilan

memungkinkan

masyarakat

penderita

segera

yang

tinggi

mendapatkan

pertolongan dan pengobatan, sehingga komplikasi


kematian akibat penyakit DBD dapat dihindari.

2.

Faktor Perilaku

a.

Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari perilaku dan ini

terjadi

setelah

terhadap

orang

tertentu

melakukan

melalui

panca

penginderaan

indera

manusia,

pengetahuan ini menyebabkan sikap positif dan negatif


(23)

1. Pengetahuan masyarakat tentang gejala/tanda-tanda


demam berdarah seperti demam tinggi selama 2-7
hari,

timbulnya

bercak-bercak

merah

(ptekia),

kadang-kadang disertai mimisan.


2. Bahaya

demam

pertolongan

berdarah

dapat

bila

terlambat

menyebabkan

diberi

komplikasi

kematian .
3. Tempat-tempat yang disukai nyamuk Aedes aegypti
adalah di tempat-tempat penampungan air jernih
seperti bak mandi, kontainer, barang-barang bekas
yang dapat menampung air, pohon yang dapat
menampung air, air yang tergenang di atap-atap
rumah dan talang air, baju-baju yang digantung

4. Mengetahui program 3M : Menguras TPA, Mengubur


sisa-sisa barang bekas yang dapat menampung air,
dan Menutup TPA.
b.

Perilaku Masyarakat
Perilaku

kesehatan.

mempunyai
Perilaku

peranan

merupakan

besar

hasil

terhadap

dari

segala

macam pengalaman serta interaksi manusia dengan


lingkungan, secara operasional perilaku dapat diartikan
sebagai

suatu

respon

organisme

atau

seseorang

terhadap rangsangan diluar objek tersebut.


Perilaku

masyarakat

yang

dapat

mencegah

timbulnya penyakit DBD


a. Menguras TPA minimal seminggu sekali
b. Mengganti vas bunga,tempat minum burung bila ada
minimal seminggu sekali
c. Tidak menggantung baju karena nyamuk Aedes
aegypti suka pada baju yang digantung
d. Menimbun

barang-barang

bekas

yang

dapat

menampung air
3.

Faktor Lingkungan
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Angka bebas jentik adalah suatu prosentase dari jumlah

rumah yang tidak ditemukan jentik dibanding dengan jumlah


rumah yang diperiksa. Angka Bebas Jentik (ABJ) ini didapatkan
melalui kegiatan pemeriksaan jentik secara berkala (PJB) pada
rumah dan kontainer didalam dan diluar rumah yang positif
atau negatif jentik.
4. Faktor Pencegahan
- Pemberatasan sarang nyamuk (PSN)

PSN adalah cara yang dilakukan dengan menghilangkan atau


mengurangi tempat-tempat perindukan yang pada dasarnya
adalah pemberantasan jentik atau mencegah nyamuk tidak
berkembang biak seperti sebagai berikut :
a. Menguras

sekurangnya

satu

minggu

sekali,

dilakukan dengan pertimbangan siklus hidup


perkembangan telur sampai menjadi nyamuk 110 hari
b. Menutup rapat tempat penampungan air
c. Mengganti air vas bunga seminggu sekali
d. Membersihkan pekarangan dan halaman rumah
dari barang bekas
e. Menutup lubang pada pagar bambu dan lubang
pohon dengan tanah
f. Membersihkan

air

yang

tergenang

didepan

rumah
g. Memelihara ikan khusus untuk daerah sulit air
- Abate
Abate adalah pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan
penggunaan
penampungan

Temophost
air

yang

(Abate)

dimasukkan

diperkirakan

menjadi

kedalam
tempat

bersarangnya nyamuk dengan dosis yang digunakan 10 gram


abate untuk 100 liter air.Abate mempunyai efek residu 3 bulan
dan aman digunakan di teempat penampungan air yang airnya
digunakan untuk manusia.
- Fogging
Fogging adalah pemberantasan terhadap nyamuk dewasa
dengan cara peyemprotan pengasapan dengan insektida.
Dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap pada
benda-benda tergantung. Karena itu dilakukan penyemprotan
ke dindining-dinding rumah. Insektisida yang dipakai :
- Organohospat misal : Malathion, feniltrothion.

-Pyremoitsritetie misal : lomda sihalotrim


-Carbamat
Alat yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin fog
atau mesin ULV karena penyemprotan dilakukan dengan cara
pengasapan. Ini dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu
untuk membatasi penularan virus dengue (nyamuk infektif) dan
nyamuk

lainnya

akan

mati,tetapi

akan

mengisap

darah

penderita viremia yang masih ada setelah penyemprotan siklus


2 selanjutnya akan menimbulkan penularan virus dengue lagi.
Oeh karena itu perlu dilakukan penyemprotan siklus ke II
dengan

penyemprotan

yang

kedua

minggu

sesudah

penyemprotan yang ke 1 nyamuk baru yang infektif ini akan


terbasmi sebelum sempat menularkan kepada orang lain.
Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat
membatasi penularan,akan tetapi tindakan ini perlu diikuti
dengan pemberantasan jentiknya.
5. Faktor Penanggulangan
Selain keempat faktor di atas, faktor lain yang memegang
peranan penting adalah faktor penanggulangan. Yang dimaksud
dengan upaya penanggulangan disini adalah tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat maupun tenaga kesehatan mulai
dari pengenalan tanda dan gejala DBD sampai penanganan
awal penderita DBD sehingga dapat mencegah mortalitas. Jika
faktor sosial ekonomi, perilaku, lingkungan, dan pencegahan
sudah baik namun disaat ada penderita DBD namun tenaga
kesehatan terlebih masyarakat biasa tidak mampu mengenali
tanda dan gejala apalagi penanganan awal maka hal ini juga
sangat berpengaruh pada tingginya angka mortalitas DBD.
Beberapa studi perilaku pencarian pengobatan para penderita
DBD ( treatment seeking behavior) memberikan gambaran
bahwa, pada umumnya mula mula penderita akan mengobati

diri sendiri atau pergi ke Puskesmas atau ke dokter umum


(Depkes, 2005, Nainggolan, 2007). Penderita akan mencoba
beberapa obat, dan kalau bertambah buruk baru kembali ke
dokter yang mengobati tersebut dan atau dirujuk ke Rumah
Sakit.
Studi pendahuluan memberikan informasi bahwa rata rata
penderita mendatangi RS untuk mencari pengobatan datang di
RS pada hari ke-3. Pada saat tersebut jumlah virus dalam
peredaran darah penderita yang bersangkutan sudah mulai
menurun. Diketahui bahwa DBD adalah self limiting disease.
Menjadi berbahaya kalau terjadi dampak ikutan, misalnya
Schock Syndrome.
Berdasar data atau informasi dari UGD Rumah Sakit tersebut,
maka

Dinas

Kesehatan

setempat

akan

melacak

alamat

penderita. Setiap penderita yang telah didiagnosis sebagai


kasus DBD di RS, akan dilakukan penyelidikan epidemiologi
disekitar rumah penderita apakah ada tempat perindukan
nyamuk Aedes spp, dan apabila didapatkan ada tempat per
indukan, dan atau jentik dan atau kasus baru, maka dilakukan
fogging dan pemberian larvicida. Hal ini disebut sebagai
Fogging Focus approach. Kegiatan ini menurut hemat penulis
oleh karena bila dirunut ke belakang, untuk memperoleh
informasi adanya sumber penularan, penularan itu sendiri pada
dasarnya telah berlangsung 4 hingga 5 hari sejak seseorang
mengidap virus dalam peredaran darahnya. Selama itu pula
telah terjadi eskalasi yang mirip deret ukur. Satu menjadi dua,
dua menjadi empat, dan seterusnya. Kedua penderita dengan
gejala klinik dan manifestasi khas, hanyalah sebuah puncak
piramid. Sebagian besar justru tanpa gejala, berkeliaran, dan
siap menjadi fokus yang bergerak secara dinamik.
Berbagai keterlambatan pencarian pengobatan, disebabkan
oleh karena 2 hal. Pertama disebabkan karena keterbatasan

aksesibilitas terhadap pelayanan, kedua disebabkan karena


keterbatasan

kemampuan

ketrampilan

dokter

untuk

menegakkan diagnosis dini kasus DBD. Kemampuan diagnostik


di garis depan juga disebabkan pula karena tidak tersedianya
alat diagnostic dini. Sebagai akibat dari kelambatan diagnosis,
maka seseorang yang mengidap virus Dengue dalam tubuhnya,
beredar bergerak kesana kemari, menjadi sumber (foci) KLB
yang sangat efektif.
Upaya Pengendalian KLB DBD dapat dihindari bila Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) dan pengendalian vektor dilakukan
dengan baik, terpadu dan berkesinambungan.
Oleh sebab itu diperlukan konsep baru atau metode baru yang
dikenal

sebagai

Pengendalian

Demam

Berdarah

berbasis

Wilayah, dengan cara deteksi dini dan pengobatan secara pro


aktif untuk mencegah dan mengendalikan sumber penularan,
agar tidak menjadi sumber infeksi dan mencegah terjadinya
KLB.
Manajemen DBD berbasis wilayah adalah upaya paripurna
terintegrasi antara manajemen kasus Demam Dengue sebagai
sumber penularan, serta pengendalian faktor risiko penularan
DBD pada satu wilayah RT, RW ataupun Kelurahan. Komponen
Manajemen DD berbasis wilayah atau Getas DBD, terdiri dari 3
kegiatan yang dilaksanakan secara simultan dan paripurna:
Pencarian dan pengobatan kasus secara pro aktif. Gerakan
Lingkungan

Bersih

(Pembersihan

perindukan

nyamuk)

Penggalangan masyarakat untuk melakukan Getas DBD.


Manajemen DBD berbasis wilayah, merupakan konsep yang
mengutamakan, menggarap atau berfokus pada pengendalian
sumber penyakit (yaitu penderita Demam Berdarah dengan
atau tanpa gejala) dilakukan secara dini untuk mencegah
eskalasi atau terjadinya KLB, secara bersamaan dilakukan

pencarian

dan

pembasmian

tempat

perindukan

nyamuk.

Konsep ini mengutamakan deteksi dini yakni deteksi virus


(antigen) secara dini dengan metode antigen capture (NS1 atau
non-structural protein 1) untuk mendeteksi adanya virus dalam
tubuh (Lei, 2007, Young et al, 2006). Deteksi virus bisa
dilakukan sehari sebelum penderita menderita demam, hingga
virus hilang pada hari ke 9. Setelah diketahui ada nya virus:
penderita diberi antiviral yang efektif membunuh virus DBD
(Achmadi, Reynolds, dan Khuzaemah, 2007, Witarto, 2007;
Huang, 2007, Jiang, 2007, Depkes, 2006; Hakim, 2008, Hakim,
2007).
Deteksi dini dilakukan oleh petugas surveilans atau kader
dengan mencari kasus DBD secara pro aktif disekitar penderita
pertama

yang

diketahui

alamatnya,

atau

menggunakan

petugas yang siaga, dengan mendirikan Pos-pos DBD disetiap


RW,

atau

Kelurahan.

Setiap

kelurahan

atau

Puskesmas

dilengkapi alat antigen capture NS1 yang Rapid (yang hanya


hitungan 20 menit sudah diketahui, dengan ketepatan harus
diatas 95%).
Deteksi dini kasus pertama harus di lakukan sedini mungkin.
Model ini terdiri dari unit pelayanan garis depan (front liners).
Mereka adalah Puskesmas dan atau dokter praktek umum/klinik
yang berpartisipasi yang diharapkan merupakan unit pelayanan
yang dimintai pertolongan pengobatan akan mencatat alamat
penderita positif DBD.
Penderita yang berobat akan dicatat alamatnya, lalu dilaporkan
ke

Puskesmas,

Penyelidikan

yang

Epidemiologi

kemudian
oleh

hendaknya

petugas

dilakukan

survailans

yang

ditunjuk dan segera menyisir sekitar rumah menanyakan


secara proaktif apakah ada yang menderita demam tambahan
atau

tidak

(ada

tidak

penderita

tambahan).

Diagnostik

dilakukan dengan antigen captured yang Rapid (test). Bagi

yang memberikan gambaran positif akan langsung diberi


pengobatan dengan antiviral DBD. Setiap penderita akan
memerlukan dukungan laboratorium untuk memeriksa tanda
awal seperti, hematokrit, trombosit, leucocyte dan gejala klinik
lain.

Oleh

sebab

itu

dianjurkan

ada

Puskesmas

rujukan

laboratorium atau kepesertaan Laboratorium Klinik dalam


wilayah bersangkutan. Dengan kata lain Manajemen DBD
Berbasis Wilayah memerlukan networking semua provider
kesehatan di kota kota dengan basis wilayah kelurahan.
Diantara komponen networking adalah puskesmas dan para
dokter

umum

yang

berpraktek

dalam

sebuah

wilayah

keluarahan yang dimaksud.


Kalau saja kasus kasus secara awal atau secara dini di ketahui
dan dikendalikan dengan anti viral (misalnya MAC) maka focus
focus KLB dapat ditekan. Kegiatan ini dilakukan dengan
kegiatan lainnya, yakni pengendalian perindukan (sarang)
nyamuk (breeding places), jentik dan lain-lain. Apabila konsep
ini benar diterapkan hampir dipastikan Fogging Focus tidak
diperlukan

atau

hanya

dilakukan

kalau

sangat

perlu.

Pendekatan ini bisa menekan biaya APBD yang menggratiskan


pasien DBD di Rumah Sakit. Pasien Demam Berdarah tidak
perlu ke Rumah Sakit namun cukup hanya dikelola oleh
Puskesmas. Biaya opportunity cost bisa ditekan. Biaya transport
keluarga penderita yang dirawat bisa ditekan, yang dikeluarkan
sebagai extra cost selama masa perawatan tidak diperlukan
lagi. Mengingat bahwa kejadian DBD berakar pada ekosistem,
maka dalam menentukan batasan wilayah administratif harus
hati hati. Penularan DBD bounded kepada wilayah ekosistem. Di
wilayah kelurahan perbatasan, diperlukan kerjasama yang
dimediasi oleh Puskesmas atau Kecamatan Kota.

Anda mungkin juga menyukai